Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

"HADIS MUTAWATIR DAN HADIS AHAD"

Tugas kelompok ini dibuat untuk memenuhi kriteria penugasan Mata kuliah "ILMU HADIS"
Dosen Pengampu: SYARIFUDDIN SAHID S.AG.,SH.,MH

DISUSUN OLEH: NURFADILAH

NIM : 2033110022

NIMKO : 82710220002

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AMANAH 2021/2022


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan anugrah
kesehatan dan kesempatan kepada kami untuk dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah yang sederhana ini, terkait dengan “Perbuatan Melanggar Hukum” sehingga kami
dapat menyalurkan kemampuan yang kami miliki. Dengan penuh kerendahan hati kami
mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga Kami berharap penyusunan
Makalah ini dapat menambah Ilmu pengetahuan yang telah ada maupun menjadi ilmu
pengetahuan baru. Kami juga berusaha Menyusun materi Makalah ini secararinci dan
terstruktur sehingga mempermudah pembaca dalam memahami Makalah ini. Kami selaku
penyusun setia menanti kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca untuk memperbaiki
Makalah ini kedepannya. Akhir kata, semoga Makalah ini dapat memberikan maanfaat bagi
pembaca. Aamiin. Jeneponto, 2021 Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat
diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Qur’an,
maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang
membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam dengan
cara mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama
setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad
kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan pada sekitar tahun 22 Hijriyah.
Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an telah tersusun dengan
bak. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist. Untuk kepentingan
netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama
hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para
perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak
secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan
hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang
tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist.
Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam berbagai
bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat itu yang struktur
transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash bahwa pendapat itu betul
bersumber dari Plato atau Aristoteles. Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan
struktur transmisi hadist. Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah
diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan
berbagai pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan
tentang Hadist Mutawatir, Masyhur dan Ahad. B. Rumusan Masalah 1. Ada berapakah
klasifikasi Hadits ditinjau dari segi kuantitas sanadnya ? 2. Apakah syarat, macam-macam
dan contoh Hadits Mutawatir ? 3. Apakah pengertian dan macam-macam Hadits Ahad ? 4.
Bagaimanakah kedudukan Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad ? C. Tujuan Penulisan 1.
Mengetahui tinjauan klasifikasi Hadits dari segi kuantitas sanadnya 2. Mengetahui
penjelasan dari hadits mutawatir dan hadits ahad serta kedudukan dari kedua hadits terkait.
BAB II PEMBAHASAN A. Hadist Mutawatir 1. Pengertian a. Menurut bahasa, kata al-
mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar ”al-tawatur´ semakna dengan ”at-tatabu’u”
yang berarti berturut-turut atau beriring-iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang
berartihujan turun berturut-turut. b. Menurut istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang
diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan
adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.[1][1] Dalam ilmu Hadist
maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan dengan banyak sanad yang berlainan rawi-
rawinya serta mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan
hadist itu. Pengertian di atas, kalau kita pecah-pecah akan terdapat tiga syarat bagi
Mutawatir yaitu: a. Mesti banyak sanadnya. b. Mesti sama banyak rawinya dari permulaan
sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad, umpamanya: dipermulaan sanad yang mencatat 50
orang, maka dipertengahan sanadnya, sedikitnya mesti 50 rawi dan diakhir sanad sahabat
yang mendengar dari Nabi SAW pun sedikitnya mesti 50 orang. c. Mesti menurut
pertimbangan akal bahwa tidak bias jadi rawi-rawi itu berkumpul bersama-sama, lalu
mereka berdusta mengatakan itu sabda Nabi kita, maupun berkumpulnya itu dengan
disengaja atau kebetulan.[2][2] 2. Syarat-syarat Hadist Mutawatir Dengan definisi di atas,
dipahami bahwa suatu hadist bias dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi 4 syarat,
yakni: a. Jumlah perawinya harus banyak. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
jumlah minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih minimal sepuluh perawi. b. Perawi
yang banyak ini harus terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad. c. Secara rasional
dan menurut kebasaan (adat), para perawi-perawi tersebut mustahil sepakat untuk
berdusta. d. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang
digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadist, seperti kata: ‫ )سمعنا‬kami telah mendengar),
‫ )رأینا‬kami telah melihat), ‫ )لمسنا‬kami telah menyentuh) dan lain sebagainya. Adapun jika
sandaran beritanya adalah akal semata, seperti: pendapat tentang alam semesta yang
bersifat huduuts(baru), maka hadist tersebut tidak dinamakan mutawatir. 3. Nilai Hadist
Mutawatir Hadist mutawatir itu mengandung nilai “dlaruriy”. Yakni suatu keharusan bagi
manusia untuk mengakui kapasitas kebenaran suatu hadist, seperti halnya seseorang yang
telah menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri. Bagaimana mungkin dia
ragu-ragu atas kebenaran sesuatu yang disaksikan itu? Demikian juga dengan nilai hadis
mutawatir, semua hadist mutawatir bernilai maqbul (dapat diterima sebagai dasar hukum)
dan tidak perlu lagi diselidiki keadaan perawinya.[3][3] 4. Hukum Hadist Mutawatir Hadist
mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan informasi yang pasti akan
sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist
mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist
mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas
dan pasti bersumber dari Rasulullah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan
hadist mutawatir tidak membutuhkan proses seperti hadist ahad. Cukup denga bersandar
pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran khabar yang dibawa.
Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa ada sahabat nabi yang bernama Umar
bin Khattab, sekalipun kita belum pernah melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info
tersebut benar. 5. Keberadaan Hadist Mutawatir Ibnu Shalah berpendapat bahwa hadist
mutawatir jumlahnya tidak banyak. Pendapat ini dibantah keras oleh Ibn Hajar, “orang yang
mengatakan bahwa hadist mutawatir jumlahnya sedikit, berarti dia kurang serius mengkaji
hadist”. Para ulama kemudian berusaha mengakurkan dua pendapat ini. Apabila yang
dimaksud oleh Ibn Shalah adalah hadist mutawatir lafdzi, maka pendapat itu ada benarnya,
karena keberadaan hadist mutawatir lafdzi realitanya memang tidak banyak. Ibn Hajar
tatkala mengatakan bahwa hadist mutawatir jumlahnya banyak, juga ada benarnya, jika
yang dimaksud adalah hadist mutawatir maknawi atau mutawatir secara umum.[4][4] 6.
Macam-macam Hadist Mutawatir Hadist mutawatir terdiri dari 2 macam, yakni : a.
Mutawatir Lafdzi Lafdzi artinya secara lafadz. Jadi Mutawatir Lafdzi itu ialah Mutawatir yang
lafadz hadistnya sama atau hampir bersamaan atau hadist mutawatir yang berkaitan
dengan lafal perkataan Nabi. Artinya perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak
kepada orang banyak. Hadist Ahad 1. Pengertian a. Menurut bahasa kata “ahad” bentuk
plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu (hadist wahid) berarti hadis yang
diriwayatkan satu perawi. Yang dimaksud hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh
beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir. Mayoritas
hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan terdapat dalam kitab-kitab referensi
adalah jenis hadist ahad.[8][8] 2. Nilai Hadist Ahad Hadist ahad memiliki nilai “nadhariy”.
Yakni ia masih merupakan ilmu yang masih memerlukan penyelidikan dan pembuktian lebih
lanjut.[9][9] Menurut Ibn Ash-Shalah, riwayat perawi tunggal tsiqah (Hadist gharib dan
hadist fard) diklasifikasi ke dalam tiga kategori: Pertama, riwayat perawi tsiqah yang
bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah. Riwayat seperti ini harus ditolak dan
dianggap syadzdz. Kedua, riwayat perawi yang bertentangan dengan riwayat perawi tsiqah
lainnya. Riwayat jenis ini diterima. Ketiga, riwayat yang berada diantara dua jenis kategori di
atas. Contoh, menambah sebuah kata dalam hadist yang tidak disebutkan oleh semua
perawi lain yang turut meriwayatkan hadist tersebut. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh
Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Anna rasul Allah faradha zakat al-fithr min ramadhan ala
kulli hurrin au ‘abdin dzakarin au untsa min al-muslimin”. Dilaporkan bahwa Malik adalah
satu-satunya perawi diantara para perawi yang menambah kata “min al-muslimin”.
Ubaidillah Ibn Umar, Ayyub dan lain-lain meriwayatkan hadist tersebut dari Nafi’ tanpa
tambahan tersebut. Untuk kategori ketiga ini, Ibn Ash-Shalah tidak memberikan penilaian
sama sekali. Al-Khathib Al-Baghdadi tidak keberatan dengan tambahan tersebut, dengan
syarat dilakukan oleh perawi yang tsiqah. Dalam hal ini, ia bahkan mengklaim mengikuti
pendapat mayoritas fukaha dan ahli hadist. Menurut Ibn Katsir (701-774), tambahan yang
dilakukan oleh perawi tsiqah diterima oleh mayoritas fukaha dan ditolak oleh mayoritas
para ahli hadist. Namun, At-Tarmidzi dalam Al-‘Ilal menganggap shahih apabila tambahan
tersebut dilakukan oleh orang yang kuat hafalannya (dhabith). Hadist gharib atau fard
(tunggal) dapat diketahui melalui tiga cara: 1) dari aspek lokalitas, hadist tersebut
diriwayatkan oleh perawi tunggal dari sebuah daerah; 2) perawi tunggal dari seorang imam
yang terkenal; 3) perawi dari sebuah daerah tertentu meriwayatkan hadist dari orang
Madinah. Al-Khitab Al-Baghdadi, Ibn Ash-Shaleh, As-Suyuthi, dan Ibn Katsir mengikuti
pendapat Asy-Syafi’I bahwa keshahihan sebuah riwayat tunggal tergantung pada ke-tsiqah-
an perawinya. Dengan kata lain, untuk menilai ke-tsiqah-an hadis gharib tergantung pada
apakah hadist tersebut memenuhi syarat-syarat hadist shahih ataukah tidak. Jadi, historitis
riwayat pada dasarnya ditentukan oleh kualitas perawi. Jumlah perawi dalam setiap
tingkatan adalah penting, tetapi tidak menentukan historisitas dan kepalsuan riwayat
tersebut. Dengan kata lain, status “ketunggalan” perawi tsiqah dalam setiap tingkatan tidak
berarti bahwa riwayatnya tertolak atau palsu.[10][10] 3. Sebab-sebab Hadist Ahad
Dinyatakan sebagai Zhanni Al-Wurud dan Menjadi Obyek Pembahasan Ilmu Hadist Jumlah
periwayat yang terlibat pada hadist ahad untuk setiap (tsabaqah) sanadnya tidak sebanyak
jumlah periwayat pada hadist mutawwatir. Akibatnya, tingkat keakuratan riwayat hadist
ahad tidak setinggi hadist mutawwatir. Untuk hadist mutawatir tingkat keakuratan
riwayatnya mencapai qath’i (meyakinkan kebenaran beritanya), sedang untuk hadist ahad,
tingkat keakuratan riwayatnya hanya mencapai zhanni (dugaan keras). Karenanya, untuk
mengetahui apakah wurud (kedatangan) hadist ahad dapat dipercaya ataukah tidak, maka
terlebih dahulu sanad dan matannya harus diteliti. Untuk hadist mutawatir, penelitian yang
demikian itu tidak diperlukan karena sudah pasti kebenaran wurud-nya.[11][11] 4. Macam-
macam Hadist Ahad Hadist ahad bila ditinjau dari segi jumlah perawi dalam sanadnya dibagi
menjadi 3 macam, yaitu Hadist Masyhur, Hadist Aziz, dan Hadist Gharib. a. Hadist Masyhur
1) Pengertian Hadis tMasyhur Hadist masyhur menurut bahasa yaitu kata “Masyhur”
berbentuk isim maf’ul dari kata “syaharats Al-Amru” yang berarti sesuatu yang telah
terkenal setelah disebarluaskan dan ditampakkan dipermukaan.[12][12] Hadist masyhur
adalah hadist yang diriwayatkan oleh lebih dari tiga perawi dan belum mencapai batasan
mutawatir. Apabila dalam salah satu thabaqahnya (jenjang) dari thabaqat sanad terdapat
tiga perawi maka hadist tersebut dikategorikan hadist masyhur, sekalipun pada thabaqah
sebelum atau sesudahnya terdapat banyak perawi.[13][13] Hadist masyhur terbagi ke dalam
dua bagian. Pertama, hadist masyhur yang shahih, hasan, dan dha’if. Kedua, hadist masyhur
yang hanya dikenal dikalangan terbatas, seperti hadist yang populer dikalangan ahli hadist
atau hadist yang telah cukup populer dikalangan masyarakat. Di antara kelompok hadist
masyhur adalah hadist mutawatir yang hanya populer, misalnya dalam disiplin ilmu fiqih dan
ushul fiqih, di mana hadist itu tidak pernah disebutkan secara khusus oleh ahli hadist. Hadist
seperti ini sedikit sekali dan hampir tidak ditemukan pada periwayatan-periwayatan ahli
hadist. Hadist ini seperti pada hadist yang dinukil oleh seseorang yang memperoleh ilmu
dengan kejujuran, sesuai kebutuhan dari orang-orang yang selevel dengannya, mulai dari
awal sanadnya sampai akhir sanadnya. Karenanya hadist Man kadzaba ‘alayya
muta’ammidan falyatabawwa maq’adahu min al-nar (Barangsiapa yang berdusta pada ku
secara sengaja, maka bersiaplah untuk menempati tempat tinggalnya yang telah disiapkan
untuknya nanti di neraka) adalah hadist mutawatir. Dan hadist Innama al-a’malu bi al-niyyat
(Sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya), menurut sudut
pandang ini, adalah bukan hadist mutawatir. Kehujjahan Hadist Ahad Hadist ahad dengan
pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau dha’if bergantung pada
syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama sepakat
bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadis tersebut masuk kategori
hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadist. Para ulama banyak memberikan
bukti tentang kehujjahan hadist ahad. Di antara dalil-dalil yang mereka gunakan adalah: a.
Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW tatkala menyebarkan Islam kepada para
pemimpin negeri atau para raja, beliau menunjuk dan mengutus satu atau dua orang
sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua
belas pemimpin saat itu untuk diajak menganut Islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar
yang disampaikan atau dibawa oleh satu dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah.
Seandainya Rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi
agama dan tidak dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim
jumlah sedikit tersebut. Demikian kata Imam Syafi’i. b. Dalam menyebarkan hukum syar’i,
kita dapatkan juga bahwa Rasulullah mengutus satu orang untuk mensosialisasikan hukum-
hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan tidak mengetahui hukum yang baru
ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis di Palestina
kemudian dipindah ke arah kiblat (Ka’bah) di Mekkah. Info pengalihan seperti ini
disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama Nabi SAW kemudian datang ke
salah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan shalat subuh lalu memberitahukan
bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi seperti itu spontan mereka berputar
arah untuk menghadap ke Ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri ayat yang turun
tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya khabar satu orang yang dikenal jujur
tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan menggubris informasi pemindahan arah
kiblat tersebut. Anjuran Rasulullah SAW untuk menghafal lalu menyampaikan pada orang
lain menunjukkan bahwa khabar atau hadist yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan
sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil. Di sisi lain hadist yang disampaikan itu bisa berupa
hukum-hukum halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian
hadist dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria
shahih.[19][19] Namun demikian, pembelaan kaum ahlu sunnah wa al jama’ah terhadap
hadist ahad, bukan berarti tanpa alasan. Mereka yakin bahwa memanfaatkan hadist
sekalipun ahad, jauh lebih bernilai dibandingkan dengan ketiadaan rujukan dalam
penetapan hukum. BAB III PENUTUP Kesimpulan Dari penjelasan di atas kita dapat
menyimpulkan bahwa jika hadist ditinjau dari segi jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau
sumber berita, hadist dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist
ahad. Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari thabaqat
pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’at thabi’un). Dengan
demikian penyebutan hadist dengan jenis ini akan sangat dipengaruhi oleh kualitas perawi
dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan. Dilihat dari cara periwayatannya, hadist
mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni: 1. Hadist mutawatir lafdzi yaitu hadist
yang apabila dilihat dari sisi susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu
periwayatan dengan periwayatan lainnya. 2. Hadist mutawatir ma’nawi adalah hadist yang
rawi-rawinya berlainan dalam susunan redaksinya, tetapi di antara perbedaan itu, masih
menyisakan persamaan dan persesuaian yakni pada prinsipnya. Dengan kata lain hadist
yang dalam susunan redaksi kalimatnya menggunakan kata-kata yang berasal dari perawi itu
sendiri. Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad yakni hadist yang dilihat dari sisi
penutur dan perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir atau terkadang mendekati jumlah
hadist mutawatir.. berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad mengalami pencabangan.
Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi dalam masing-masing thabaqat.
Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib. 1.
Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih perawi hadist
tetapi belum mencapai tingkat mutawatir. 2. Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan
oleh dua orang walaupun jumlah dimaksud hanya terdapat dalam satu thabaqat., kemudian
setelah itu orang-orang meriwayatkannya. 3. Hadist gharib adalah hadist yang dalam
sanadnya hanya terdapat seorang perawi hadist.

DAFTAR PUSTAKA Al-Nawawi, Imam. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001). Amin, Kamaruddin. Metode Kritik Hadist.(Jakarta:Hikmah, 2009). Hassan, A. Qadir.
Penerangan Ilmu Hadiest Juz 1-2. (Bangil:Al-Muslimun, 1966). Ismail, M. Syuhudi. Ulumul
Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993). Saefullah, Yusuf, dan Cecep Sumarna.
Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004). Smeer, Zeid B. Ulumum
Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis.(Malang, UIN- Malang Press). Thahhan, Mahmud.
Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007).

Anda mungkin juga menyukai