Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

KEHUJJAHAN HADITS AHAD

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Koko Komarudin, M.Pd.

Disusun oleh:

Pika Nurhasanah 2103003908


Elsa Amalia 2103003883
Jajang Miptah Maulana 2103003874
Wina Solihatussa’adah 2103003893

PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
DARUSSALAM CIAMIS - JAWA BARAT
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Kehujjahan Hadits Ahad”. Makalah ini telah
kami susun dengan maksimal dan tentunya dengan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah tentang “Kehujjahan Hadits Ahad” ini dapat menambah wawasan serta
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Ciamis, 08 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...................................................................1


B. Rumusan Masalah.............................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................2
D. Kerangka Berpikir............................................................................2

Bab II PEMBAHASAN..................................................................................4

A. Pengertian Hadits Ahad....................................................................4


B. Klasifikasi Hadits Ahad (Masyhur, Aziz, Gharib)...........................6
C. Awal Munculnya Tasykik (Peraguan) terhadap Kehujjahan Hadits
Ahad.................................................................................................8
D. Contoh-contoh Hadits Ahad...........................................................11
E. Pandangan Para Ulama Tentang Kehujjahan Hadits Ahad Khususnya
dalam Masalah Akidah...................................................................14

BAB III PENUTUP.........................................................................................21

A. Kesimpulan....................................................................................21
B. Saran..............................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur'an.


Sebelum menerapkan sesuatu yang baru dalam hidup ada kalanya kita harus tau
asal muasal kualitas dari sesuatu perkataan juga perbuatan dari Nabi Muhammad
SAW yang ditulis dalam hadits. Hadits atau al-hadits menurut bahasa al-Jadid
yang artinya sesuatu yang baru. Hadits sering disebut dengan al-Khabar yang
berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian


tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam hadits. Banyak sekali bahasan
dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan
dipelajari, terutama masalah ilmu hadits. Maka sebelum memakai hadits
adakalanya kita harus tau kualitas dan kuantitasnya.

Di dalam makalah ini, akan disajikan tentang kehujjahan hadits ahad.


Maka dari makalah ini diharapkan pembaca bisa memahami hadits ahad. Jadi
tidak akan terjadi keragu-raguan dalam mengikuti amalan yang di perbuat dari
hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari hadits ahad?
2. Bagaimana klasifikasi hadits ahad (masyhur, aziz, gharib)?
3. Bagaimana awal munculnya tasykik (peraguan) terhadap kehujjahan hadits
ahad?
4. Apa saja contoh-contoh hadits ahad?
5. Bagaimana pandangan para ulama tentang kehujjahan hadits ahad khususnya
dalam masalah akidah?

1
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari hadits ahad.
2. Untuk mengetahui klasifikasi hadits ahad (masyhur, aziz, gharib).
3. Untuk mengetahui awal munculnya tasykik (peraguan) terhadap
kehujjahan hadits ahad.
4. Untuk mengetahui contoh-contoh hadits ahad.
5. Untuk mengetahui pandangan para ulama tentang kehujjahan hadits ahad
khususnya dalam masalah akidah.

D. Kerangka Berpikir

Menggunakan kerangka konseptual & kerangka teoritis:

Ada kecenderungan sebagian ulama terutama dari kalangan mutakallimin


untuk menghindari hadits ahad, terutama masalah akidah. Kondisi ini semakin
diperparah seiring perkembangan zaman dengan pernyataan sebagian ahli kalam
dan ra'yu yang menyatakan bahwa dikotomi mutawatir-ahad "menyesatkan". Hal
tersebut dapat terjadi karena perbedaan pandangan para ulama tentang kehujahan
hadits mutawatir-ahad. Dalam kehujahannya, hadits mutawatir dapat dijadikan
landasan sumber hukum Islam karena memberikan faedah qat'i al-wurud,
sedangkan hadits ahad hanya dapat berfaedah sunni. Hal inilah yang menjadi titik
permasalahan, yang mengakibatkan pendapat di kalangan ulama. Adapun masalah
yang diperselisihkan tentang kehujahan hadits ahad yaitu: Pertama, faedah hadits
ahad serta pengamalannya. Kedua, batas-batas pemakaian hadits. Ketiga, Kriteria
atau syarat kesahihan hadits ahad untuk dapat diamalkan. Hadirnya Ibnu
Taimiyah dalam kancah tersebut memberi angin segar bagi kaum muslimin dalam
memberikan penjelasan yang lugas tentang hadits mutawatir-ahad.

Tulisan ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode


deskriptif-analitis dan bekerja atas dasar sumber primer dan sekunder. Sumber
pertama berasal dari tulisan Ibnu Taimiyah, yaitu Majmu al-Fatawa, Ilm al Hadis
serta Muqaddimah fi Usul at-l'afsir. Dalam ketiga kitab tersebut akan dikaji sejauh
mana Ibnu Taimiyah tetap konsisten dengan konsepnya yang telah ia paparkan.
Sedangkan sumber kedua diambil dari tulisan-tulisan yang setema dan yang

2
menyangkut pemikiran Ibnu Taimiyah, sebagai pembanding untuk melengkapi
sumber pertama.

Ketika mendefinisikan hadits mutuwatir, Ibnu Taimiyah menggunakan


istilah yang berbeda dengan mayoritas ulama. Ia memaknai hadits mutawatir tidak
hanya dibatasi jumlah periwayat saja, ia mendasarkan kebenaran berita yang
diperoleh berdasarkan empat premis. Pertama, kepastian kebenaran. Kedua, tidak
ada indikasi kebohongan atau pemalsuan, Ketiga, telah diamalkan oleh para
imam. Keempat, berfaedah ilmu. Sedangkan hadits ahad menurutnya ialah hadits
yang tidak mencapai batasan mutawatir, meskipun diriwayatkan oleh lima atau
enam orang misalnya, dengan kata lain hadits yang tidak mencapai empat premis
tersebut.

Ibnu Taimiyah memposisikan hadits mutawatir dan ahad sama-sama dapat


dijadikan hujjah atau landasan sumber hukum Islam. la memberikan perincian
bahwa ada tiga kriteria hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah dalam ajaran
Islam, yaitu: Pertama, hadits mutawatir yang tidak menyalahi makna zahir Al-
Qur'an, bahkan sebagai penafsir Al-Qur'an Kedua, hadits mutawatir yang tidak
menyalakan Al-Qur'an dan tidak menyalahi makna zahir Al-Qur'an, tetapi hukum
baru yang tidak ada nasnya. Ketiga, hadits ahad yang sanadnya melalui riwayat
yang siqah.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Ahad


Kata ‫( اآلحاد‬al-Ahad) adalah bentuk jamak dari kata ‫ أ‬yang berarti
‫حد‬
‫( الواحد‬al-wahid) yang artinya satu. ‫ اآلحاد خبر‬khabar ahad adalah berita yang
disampaikan oleh satu orang saja. Adapun pengertian hadits Ahad secara istilah,
sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Manna’ Al-Qathan adalah :

‫َ ُش ْر ط الّت ََ واُت ¸ر‬ ‫ما َل ْم‬


‫م ْو ع‬

‫ج‬

“Hadits yang tidak terkumpul padanya syarat-syarat mutawatir atau tidak


memenuhi syarat-syarat mutawatir.”
Kata ahad sebagai jamak untuk kata wahid, yang arti harfiahnya satu.
Dengan demikian kata ahad berarti satuan dari satu suku dari sesuatu. Menurut
istilah, hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau dua orang,
atau lebih, akan tetapi belum cukup syarat padanya untuk dimasukkan sebagai
mutawatir. Menurut Istilah ahli hadits, pengertian hadits ahad adalah pengertian
hadits yang tidak membahas syarat-syarat persyaratan mutawatir (Nasrudin, 2017:
163).
Secara sederhana, yang disebut hadits ahad adalah hadits yang tidak
mutawatir. Kata ahad adalah bahasa Arab yang berarti satu, maka pengertian
hadits ahad adalah hadits yang disampaikan oleh satu periwayat. Dalam beberapa
literatur yang didapat pengertian hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits Mutawatir, atau yang jumlah periwayatnya terbatas dan tidak
banyak sebagaimana yang terjadi pada hadits Mutawatir. Hadits ahad dibagi
menjadi tiga jenis yaitu, hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits gharib.

4
Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan satu atau dua periwayat atau
lebih, yang tidak memenuhi syarat-syarat masyhur ataupun mutawatir, dan tidak
diperhitungkan lagi jumlah periwayatnya setelah itu.

5
Terdapat banyak versi mengenai pengertian hadits ahad di kalangan ulama
hadis. Berikut akan dipaparkan mengenai pengertian hadits ahad:
1) Hadits ahad menurut ulama hadits adalah hadits yang tidak mencapai
derajat mutawatir (Muhid, 2013: 52).
2) Hadits ahad secara etimologi: Al-Ahad merupakan kata jamak dari ahad
yang berarti satu, khabar al-wahid adalah berita yang hanya diriwayatkan
oleh satu orang perawi. Sedangkan pengertian hadits ahad secara
terminologi yaitu khabar yang belum memenuhi syarat hadits mutawatir
(Thahhan: 32).
3) Muhammad Abu Zahrah menjelaskan definisi hadits ahad adalah setiap
khabar yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih yang
diterima dari Rasulullah SAW dan tidak memenuhi syarat hadits masyhur
(Sahrani, 2015: 92).
4) Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa hadits ahad merupakan hadits
yang diriwayatkan oleh satu, dua orang, atau sejumlah orang, namun
jumlahnya tidak memenuhi jumlah perawi hadits mutawatir (Sahrani,
2015: 93).
5) Hadits ahad ialah hadits yang para perawinya tidak mencapai jumlah rawi
hadits mutawatir, tidak memenuhi syarat hadits mutawatir, dan juga tidak
sampai pada derajat mutawatir sebagaimana yang dinyatakan dalam
kaidah ilmu hadits (Soetari, 2010: 99).
Terkait dengan kedudukannya, ulama hadits sependapat bahwa hadits ahad
yang maqbul (bisa diterima) dalam arti shahih, bisa digunakan sebagai dasar
hukum Islam, dan wajib diamalkan. Adapun yang berkaitan dengan akidah ada
beberapa pendapat yang netral, hadits ahad yang telah memenuhi syarat (shahih)
dapat dijadikan hujjah / dalil untuk masalah akidah asal hadits tersebut tidak
bertentangan dengan Al Qur'an, dan hadits-hadits lain yang lebih kuat, dan tidak
bertentangan dengan akal sehat (Shalahudin, 2020: 53).
Hadits Ahad merupakan kebalikan dari hadits Mutawatir. Menurut bahasa
(lughah), "ahad" artinya satu. Hadits ahad berarti hadits satu atau tunggal. Namun
menurut istilah para ulama hadits, hadits ahad adalah suatu hadits yang jumlah
perawinya tidak mencapai jumlah rawi hadits mutawatir, baik pemberita itu

6
seorang, dua orang, tiga orang, dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak
memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk dalam kategori hadits
mutawatir. Secara sederhana, hadits ahad adalah suatu hadits yang padanya tidak
terkumpul syarat-syarat mutawatir atau hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah
rawi yang tidak mencapai derajat mutawatir (Herdi, 2014: 76).

B. Klasifikasi Hadits Ahad (Masyhur, Aziz, Gharib)


Ditinjau dari segi jumlah perawinya, hadis Ahad dibagi menjadi 3, yaitu:
A. Hadits Masyhur
Hadits Masyhur seringkali disebut dengan hadits Mustafid. Menurut bahasa
(lughah), masyhur berarti 'yang sudah tersebar' atau yang sudah populer. Mustafid
menurut bahasa juga berarti ‘yang telah tersiar/tersebar’. Sedangkan menurut
istilah, hadits masyhur/mustafid adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang
perawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir (Herdi, 2014: 77).
Diantara contoh hadits masyhur adalah "Rasulullah Saw bersabda,
"Seorang muslim adalah kaum muslim yang tidak terganggu (selamat) dari lidah
dan tangannya." (H.R. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi). Menurut hasil penelitian
terhadap jumlah rawinya, diketahui bahwa hadits tersebut sejak thabaqah
(tingkatan) pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang
membukukan hadits (dalam hadits ini adalah Bukhari, Muslim, Tirmidzi)
diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan (thabaqah)
(Herdi, 2014: 77).
Sekalipun terdapat ulama yang menyamakan antara hadits masyhur dan
mustafid, namun sebagian ulama lain membedakan diantara keduanya. Menurut
ulama tersebut, Hadits mustafid adalah hadits yang diriwayatkan oleh empat
orang rawi atau lebih dan belum mencapai derajat hadits mutawatir, sedangkan
hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi dan juga
belum mencapai kategori hadits mutawatir. Jadi terdapat perbedaan jumlah rawi
seorang saja (Herdi, 2014: 77).
Macam-macam hadis Masyhur terbagi menjadi 3:
1. Masyhur di kalangan para Muhadditsin dan lainnya (golongan ahli ilmu
dan orang umum).

7
2. Masyhur di kalangan ahli ilmu-ilmu tertentu (ahli hadis saja, ahli fiqh saja,
atau ahli tasawuf saja) dan lain sebagainya.
3. Masyhur di kalangan orang-orang umum saja (Ahmad, 1994: 153).

B. Hadits 'aziz

Al-Aziz menurut bahasa berarti ‫( النادر‬jarang) dan berarti juga ‫( القوي‬kuat,


mulia). Menurut istilah, hadits ‘aziz ialah hadits yang rentetan periwayatnya
terdiri dari dua orang atau pada satu tingkat (thabaqat) terdiri dari dua orang.
Sebagian yang lain mengatakan, hadits ‘aziz ialah hadits yang diriwayatkan oleh
atau dari dua orang kepada dua orang pada tiap tingkatan (thabaqat)-nya.
Misalnya, sahabat Anas menyampaikan sebuah hadits kepada Qatadah dan ‘Abd.
Al-Aziz; kemudian Qatadah menyampaikan kepada Husain al-Mu’allim dan
Syu’bah; kemudian lagi, ‘Abd. Al-Aziz menyampaikan kepada Ismail bin Uliyyah
dan ‘Abd. al-Warits. Setelah itu barulah hadits itu disampaikan oleh orang banyak
(Hamang, 2010: 412).

Aziz artinya mulia atau kuat. Menurut bahasa hadits aziz ini adalah hadits
yang mulia, atau hadits yang kuat, atau hadits yang jarang, karena hadits 'aziz itu
jarang adanya. Tetapi para ulama memberi batasan hadits aziz. Menurut mereka,
Hadits 'aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi walaupun dua
perawi itu hanya pada satu tingkatan saja dan setelah itu diriwayatkan oleh
beberapa rawi. Di antara contoh hadits 'aziz adalah: "Rasulullah Saw bersabda,
"Kita adalah orang-orang yang paling akhir di dunia, paling terdahulu di hari
kiamat.” (H.R. Hudzaifah dan Abu Hurairah) (Herdi, 2014: 77-78).
Menurut penelitian, Hudzaifah dan Abu Hurairah adalah sahabat Nabi.
Walaupun pada tingkatan selanjutnya hadits itu diriwayatkan oleh lebih dari dua
orang, namun hadits itu tetap dianggap hadits yang diriwayatkan oleh dua orang
rawi, dan karena itu hadits tersebut termasuk hadits 'aziz (Herdi, 2014: 77-78).
C. Hadist Gharib
Gharib artinya asing, terasing atau menyendiri. Hadits gharib menurut
bahasa yaitu hadits yang menyendiri atau terpisah dari yang lain. Sedangkan
menurut istilah, hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang
rawi pada tingkatan maupun sanad (Herdi, 2014: 78-79).

8
Berdasarkan definsi tersebut, maka jika suatu hadits diriwayatkan oleh
seorang sahabat Nabi dan pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak
rawi, maka hadits tersebut dipandang sebagai hadits gharib atau hadits yang
menyendiri (Herdi, 2014: 78-79).
Adapun maksud daripada penyendirian perawi, bisa berarti: mengenai
personnya, yaitu tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain dia sendiri. Atau
mengenai sifat dan keadaan perawi, yakni perawi itu berbeda dengan sifat dan
keadaan perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan hadits itu. Dilihat dari
bentuk penyendirian perawi tersebut, maka hadits gharib dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib Nisbi (Zuhri, 2008: 68).
Diantara contoh hadits gharib adalah "Dari Umar bin Khattab r.a. berkata,
aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya aurat itu hanya
(memperoleh) yang diniatkannya "(HR. Bukhari Muslim, dll) (Herdi, 2014: 78-
79).
Setelah dilakukan penelitian, sekalipun hadits tersebut diriwayatkan oleh
beberapa imam hadits, namun pada tingkatan pertamanya hanya diriwayatkan
oleh seorang sahabat Nabi yaitu Umar ra. dan tingkatan kedua juga diriwayatkan
oleh seorang tabi'in yaitu Al-Qamah. Maka hadits itu dipandang sebagai hadits
gharib atau hadits yang menyendiri (Herdi, 2014: 78-79).

C. Awal Munculnya Tasykik (Peraguan) terhadap Kehujjahan Hadits Ahad


Sebagian ahli kalam berdalil bahwa akidah tidak bisa diambil melainkan
dari dalil yang berfaidah yakin saja. Sehingga masalah ini harus diambil dari dalil
yang qath'i (pasti) baik itu tsubut (eksplisit) dan dalalah (implisit). Mereka
berdalil bahwasanya dalil-dalil zhaniyah tidak berfaidah melainkan zhan saja, dan
zhan tidak boleh dijadikan sebagai argumen dalam akidah. Mereka beralasan
dengan firman Allah Ta'ala,

ۚ‫ظن و ما َت ْه نُفس‬
َ ‫ا¸ن َّيتّ َ ْ َّ َّل‬
‫َوى ا ْ ََّل‬ ‫¸ب ون ال‬

Artinya: "Mereka hanya mengikuti zhan, dan apa yang diingini oleh ke
inginannya." (An-Najm: 23)

9
‫ا ْل حـ ش ْيئً ـا‬ ‫ن ّتَ ¸ب ا¸َّ َّل الظن ۚ ن ظن ¸ن‬
¸ ‫من‬ ‫ن وا¸ ال َّل ي‬ ‫ْو‬
‫ق‬ ‫غ‬
Artinya: "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti zhan, dan sesungguhnya
zhan itu tidak berfaidah sedikit pun terhadap kebenaran." (An Najm: 28)

Dan ayat-ayat lainnya di mana Allah mencela kaum musyrikin karena


mereka mengikuti zhan, dan mereka berdalil dengan ayat tersebut dan semisalnya.
Padahal zhan dalam ayat tersebut bukanlah zhan yang mereka maksudkan, karena
nash-nash yang mereka tolak berargumen dengannya (yaitu di antaranya hadits
ahad) itu adalah az-zhan ar-rajih (sangkaan yang kuat). Adapun zhan yang
dimaksud dalam ayat yang mereka pakai sebagai argumen, adalah zhan dalam arti
as syakk (keraguan) yang menduga-duga dan mengira-ngira suatu hal (Al-
Mukaffi, 2018: 71).

Dalam Lisan Al-Arab, XIII/272; dan An-Nihayah fi Gharib Al-Atsar,


III/362 disebutkan bahwa azh-zhan,

‫أراد الشك يعرض لك في الشيء فتحققه وتحكم به‬


Artinya: "(Makna) yang diinginkan adalah keraguan yang dipaparkan
padamu mengenai sesuatu hal, lalu kamu mewujudkan dan memutuskan
dengannya (zhan tersebut)."

Inilah zhan yang Allah Ta'ala melarang kaum musyrikin untuk


mengikutinya, hal ini ditegaskan pula dalam firman Allah Ta'ala,

‫صون‬
‫َّ َّل‬ ‫ن ّتَ ¸ب َّ َّل و ¸إ ن ه‬
‫َيخر‬ ‫ُعون ال ظن ْم‬

Artinya: "Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanya
lah membuat kebohongan." (Al-An'am: 116)

Adapun zhan rajih tidak termasuk dalam hal itu. Seandainya termasuk,
maka semua dalil syara' haruslah qath'i, padahal yang terjadi tidaklah seperti itu.
Mayoritas dalil syar'i adalah zhani, dalalah (dalam hal pendalilannya) maupun
tsubut (dalam hal penetapan keshahihan nya), atau dalalah dan tsubut. Padahal
10
para shahabat dan tabi'in ti daklah mereka membatasi dalam mengambil darinya
permasalahan akidah dan selainnya. Para shahabat dan tabi'in juga ketika

11
menerima hadits tidak menanyakan berapa jumlah keseluruhan perawinya, kalau
sangat banyak (mutawatir) baru mereka terima, kalau sedikit (ahad) mereka tolak.
Tidak demikian!

:‫ ولو جاز ألحد من الناس أن يقول في علم الخاصة‬:‫قال اإلمام الشافعي في كتابه ـ الرسالة‬
‫ بأنه لم يعلم من فقهاء‬،‫أجمع المسلمون قديماً وحديثاً على تثبيت خبر الواحد واَّلنتهاء إليه‬
‫ لم عن فقهاء‬:‫المسلمين أحد َّإل وقد تبته جاز لي ولكن أقول‬
‫ أحفظ‬.‫المسلمين أنهم اختلفوا في تثبيت خبر الواحد‬
Al-Imam Asy-Syafi'i berkata dalam kitab beliau Ar-Risalah, 1/457, "Apa
bila satu orang boleh berbicara dalam suatu cabang ilmu tertentu, maka kaum
Muslimin, yang lalu maupun yang sekarang, juga telah bersepakat atas validnya
berargumen dengan hadits ahad dan mencukupkan diri dengannya. Dan tidak
diketahui seorang pun fuqaha dari kaum Muslimin kecuali mereka menetapkan
validitas argumen dengan hadits ahad." Akan tetapi aku berkata, "Aku tidak hafal
adanya seorang pun fuqaha kaum Muslimin yang berselisih dalam masalah
penetapan khabar ahad."

‫ وأما المقام الثامن وهو العقاد اإلجماع المعلوم المتيقن على قبول‬:‫وقال اإلمام ابن القيم‬
،‫ فهذا َّل يشك فيه من له أقل خبرة بالمنقول‬،‫هذه األحاديث وإثبات صفات الرب تعالى بها‬
‫ ولم‬،‫ وتلقاها بعضهم عن بعض بالقبول‬،‫فإن الصحابة هم الذين رووا هذه األحاديث‬
‫ ثم تلقاها عنهم جميع‬،‫ينكرها أحد منهم على من رواها‬
‫التابعين من أولهم إلى آخرهم‬
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, "Adapun tingkatan yang ke
delapan: Meyakini telah bersepakatnya umat atas hal-hal yang telah diketahui dan
diyakini, yaitu dengan menerima hadits-hadits dan mene tapkan sifat-sifat Rabb
Ta'ala dengannya. Dalam hal ini tidak boleh meragukan suatu khabar yang sedikit
penukilnya, yaitu dari kalangan shahabat -Radhiyallahu Anhum-. Merekalah yang
meriwayatkan hadits-hadits dan sebagian mereka saling bertemu satu sama lain
dan saling menerima khabar tersebut, dan tidak ada satu pun dari mereka yang

12
mengingkari riwayat (ahad) tersebut. Kemudian bertemulah mereka dengan
segenap tabi'in, dari awal sampai akhir."

،‫ فأما األخبار فإنها كلها أخبار أحاد‬:‫قال اإلمام أبو حاتم ابن حبان في مقدمة صحيحه‬
‫ وأن من نت كب عن قبول أخبار اآلحاد فقد عمد إلى ترك السنن‬:‫إلى أن قال‬
‫ لعدم وجود السنن َّإل من رواية اآلحاد‬،‫كلها‬
Al-Imam Abu Hatim Ibnu Hibban dalam Muqaddimah Shahih-nya
berkata, "Adapun khabar, maka sesungguhnya seluruhnya adalah khabar ahad."
Sampai perkataannya, "Sesungguhnya barang siapa yang menghindari dan tidak
menerima khabar ahad, maka ia telah berpegang pada prinsip meninggalkan
Sunnah seluruhnya. Karena Sunnah tidak akan terwujud tanpa adanya riwayat
ahad (Al-Mukaffi, 2018 :72-73).

D. Contoh-contoh Hadits Ahad


1. Hadist Shahih Bukhari, yaitu sebuah hadits ahad dan gharib.

Sesungguhnya amal itu dangan niat, dan sesungguhnya bagi masing-


masing orang apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada dunia
yang akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil)
hijrahnya adalah apa yang dia niatkan (Muttafaqun ‘alaih).
Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang
ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini jelas
merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak
diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang
meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada
yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak
ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian
dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan.
Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang
diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.

13
2. Hadits di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam
Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits
ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu Umar.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Islam dibangun di


atas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak ada ilah yang berhak
disembah kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah,
mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa ramadhan” (dalam riwayat
lain puasa ramadhan baru haji).
Hadits ini menjelaskan tentang rukun-rukun Islam, dan diawali dangan
syahadat. Di sini kita melihat lagi bahwa satu hadits, selain berbicara masalah
aqidah, juga masalah hukum.

3. Hadist ketiga

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya: “Amal


apakah yang paling afdhal?” Beliau: menjawab, Iman kepada Allah dan Rasul-
Nya.” Kemudian ditanya lagi, Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
Salam menjawab, Jihad dl jalan Allah’. Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’
Beliau menjawab, Haji yang mabrur ‘
Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang iman. Bahwa iman itu masuk
dalam bagian amal, dan amal itu masuk dalam bagian iman. Oleh karena itu,
Imam Bukhari memberikan Bab : Man Qaala Annal Iman Huwal Amal, bahwa
amal itu masuk dalam iman. Sehingga, ketika Nabi ditanya tentang amal yang
paling afdhal, Beliau menjawab iman kepada Allah.

Hadits ini telah diterima oleh semua ulama Ahlus Sunnah untuk
menetapkan, bahwa amal itu masuk dalam bagian iman. Yang tentunya akan

14
menjelaskan kepada kita, bila iman itu bisa bertambah karena perbuatan ta’at, dan
bisa berkurang karena perbuatan maksiat.

4. Hadits yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang,
berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang
kisah Hiraklius. Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya
diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih
musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah. Diantaranya, Hiraklius
bertanya kepada Abu Sufyan.

Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu


Sufyan) menjawab, ‘Muhammad mengatakan. ‘Sembahlah Allah semata dan
janganlah kalian menyekutukan-Nya dangan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa
yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian’. Muhammad
(juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan
menyambung tali silaturrahim. ..
Demikian hadist ini mengenai tentang aqidah, dan hadits ini juga
merupakan hadits ahad dan bukan mutawatir. Bahkan dalam hadits yang mulia ini
tercapat surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yaitu:

Bismillahirrahmanir rahim, dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya


kepada Hirakla (Hiraklius) pembesar Romawi, keselamatan atas orang yang
mengikuti petunjuk, amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dangan ajakan
Islam, islamlah! Engkau pasti akan selamat dan Allah akan memberikan
kepadamu balasan dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka engkau akan
menanggung dosa-dosa rakyatmu. (Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

15
Salam membawakan ayat, yang artinya.) Katakanlah. “Hai Ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dangan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagal llah selain Allah. Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka . “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)”. (QS Ali Imran:64).
Surat ini mengajak Hiraklius untuk masuk Islam, kembali ke agama tauhid.
Dengan demikian ini adalah masalah aqidah. Bahkan dalam hadits ini terkumpul
masalah akhlak, hukum, aqidah dan sebagainya. Kalau hadits ahad tidak bisa
dijadikan sebagal hujjah dalam masalah aqidah, maka hadits yang mulia ini
tertolak.

E. Pandangan Para Ulama Tentang Kehujjahan Hadits Ahad Khususnya dalam


Masalah Akidah
Hadits atau sunnah dilihat dari segi jumlah periwayat pada setiap thabaqat
(tingkatan) sanadnya (rangkaian para periwayatnya) terbagi kepada mutawatir dan
ahad. Hadits yang berkategori mutawatir disepakati oleh ulama sebagai berstatus
qath`iy al-wurud. Sedangkan untuk hadits yang berkategori ahad, ulama berbeda
pendapat tentang status wurudnya.
Menurut sebagian ulama, status wurud hadits ahad adalah zhanni. Mereka
beralasan bahwa hadits ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak
menimbulkan keyakinan yang pasti kebenarannya. Dalam pada itu, mereka juga
berpendapat bahwa status zhanniy dalam hal ini mengakibatkan adanya kewajiban
untuk mengamalkannya.
Jumhur ulama sepakat bahwa sekalipun hadits ahad statusnya zhanniy al-
wurud, akan tetapi wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya. Imam Syafi`i,
Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menerima hadis ahad apabila syarat-syarat
periwayatan terpenuhi. Demikian pula, Muhammad Ajjaj al-Khatib menyatakan
bahwa hukum hadits ahad wajib diamalkan, apabila memenuhi syarat-syarat untuk
diterima. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menurut Imam Muslim
sebagaimana yang dikatakan al-Nawawiy, bahwa beramal dengan hadits ahad
yang telah memenuhi ketentuan maqbul (diterima), hukumnya wajib. Menurut al-

16
Qasimiy, jumrur ulama, baik dikalangan sahabat maupun tabi`in, serta para ulama
sesudahnya, baik kalangan ahli hadits, ahli fiqh, maupun ahli usul, berpendapat
bahwa hadits ahad yang sahih itu dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
Kewajiban beramal dengannya didasarkan atas kewajiban syar`iy, bukan atas
dasar aqliy.
Golongan Mu`tazilah berpendapat bahwa, tidak wajib beramal dengan
hadis hadits ahad, kecuali jika hadits itu diriwayatkan oleh dua orang yang
diterimanya dari dua orang pula. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa
hadits semacam itu wajib di amalkan jika diriwayatkan oleh empat orang dan
diterimanya dari empat orang pula. Oleh karena itu, walaupun hadits ahad tidak
memenuhi kriteria hadits mutawatir, oleh sebahagian ulama menetapkan bahwa
hadits ahad boleh diamalkan dalam segala bidang. Sedangkan sebagian ulama
lainnya menetapkan bahwa hadits ahad wajib diamalkan dalam urusan amaliyah
(furu`) ibadat, kaffarat, dan hudud, tetapi tidak boleh dipakai dalam menetapkan
urusan akidah.
Oleh karena itu, untuk yang berkenaan dengan akidah, ulama berbeda
pendapat tentang kehujjahan hadits ahad. Sebagian ulama menyatakan bahwa
hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah karena hadits ahad berstatus zhanniy al-
wurud. Alasannya, yang zhanniy tidak dapat dijadikan dalil untuk yang berkaitan
dengan keyakinan. Soal keyakinan harus berdasarkan dalil yang qath`iy, baik
wurud maupun dalalahnya. Jadi, menurut mereka, hal-hal yang berkenaan dengan
masalah akidah haruslah berdasarkan petunjuk al-Qur`an dan atau hadits
mutawatir. Sebagian pendapat lagi yang menyatakan bahwa hadis ahad yang sahih
dapat dijadikan hujjah untuk masalah akidah. Selanjutnya, mereka menyatakan
bahwa hadits ahad yang sahih berstatus qath`iy al-wurud. Alasannya antara lain:
1) Sesuatu yang berstatus zhanniy mempunyai kemungkinan mengandung
kesalahan. Hadis yang diteliti dengan cermat dan ternyata berkualitas
sahih terhindar dari kesalahan. Karenanya, hadis yang berkualitas sahih,
walaupun berkategori ahad, memiliki status qath`iy al-wurud.
2) Nabi Muhammad saw., telah pernah mengutus sejumlah muballigh ke
berbagai daerah. Jumlah mereka tidak mencapai kategori mutawatir.
Sekiranya penjelasan tentang agama harus berasal dari berita yang

17
berkategori mutawatir, niscaya masyarakat tidak membenarkan menerima
dakwah dari muballig yang diutus oleh Rasulullah saw.
3) Umar bin al-Khattab pernah membatalkan hasil ijtihadnya ketika dia
mendengar hadits Nabi yang disampaikan al-Dhahhak bin Sufyan secara
ahad.
Walaupun ulama berbeda pendapat dalam menetapkan status wurud untuk
hadits ahad yang sahih, namun mereka sependapat bahwa hukum mengamalkan
hadits ahad adalah wajib dimalkan, kecuali untuk hal-hal yang berhubungan
dengan akidah. Dalam masalah akidah ulama berbeda pendapat. Selanjutnya,
tentang al-sunnah dilihat dari segi dalalahnya ulama berpendapat bahwa dalam
sunnah yang berkategorikan mutawatir, ada yang berstatus qath`iy al-dalalah dan
ada yang berstatus zhanni al-dalalah. Dalam hal ini, kemungkinan status dalalah
untuk sunnah mutawatirah sama dengan kemungkinan yang berlaku untuk al-
Qur`an. Adapun tentang status hadits ahad dilihat dari dalalahnya, ulama berbeda
pendapat. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa dalalah untuk hadits ahad ada
yang berstatus qath`iy, dan ada yang berstatus zhanniy. Pendapat tersebut melihat
hadits ahad dari segi tingkat validitas pengertiannya, tanpa menghubungkan
dengan tingkat validitas wurudnya.
Oleh karena itu, menurut M. Syuhudi Ismail, untuk upaya kompromi dan
ihtiyath, tampaknya masalah akidah harus dibagi dalam dua kategori, yakni pokok
dan cabang. Yang pokok harus berdasarkan yang qath`iy, baik wurud maupun
dalalahnya, sedang untuk yang cabang dapat juga hadits ahad yang sahih
dijadikan hujjah. Selain itu, sebagian ulama hadits, sebagaimana dikatakan al
Nawawiy, memandang bahwa hadis-hadis sahih yang diriwayatkan oleh al-
Bukhariy dam Muslim memberikan faidah qath`iy. Menurut Ibn Hazm
mengatakan bahwa semua hadis sahih memfaidahkan qath`iy, tanpa membedakan
apakah diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan Muslim atau bukan. Menurut Ibn
Hazm, tidak ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini
berdasarkan siapa yang meriwayatkannya. Semua hadis, jika memenuhi syarat
kesahihannya, adalah sama dalam memberikan faedahnya.Oleh karena itu, Ibn
Hazm adalah seorang ulama yang menerima hadis ahad dalam menetapkan
masalah akidah. Menurutnya, tidak ada alasan mengatakan hadits ahad itu zanniy

18
setelah ditetapkan kesahihannya, sebab yang disyaratkan diterimanya hadits ahad
itu adalah menghilangkan segala pengertian zanniy dan memastikan ilmu yaqin.
Selanjutnya, Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa keterkaitan antara sunnah
dan al-Qur`an ada tiga hal, yaitu; pertama, kesesuaiannya terhadap ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam al-Qur`an; kedua, hadits itu merupakan mubayyin
atau penjelas terhadap apa yang dimaksud atau dikehendaki oleh al-Qur`an; dan
ketiga, hadis itu menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
Alternatif ketiga ini, menurutnya, merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh
Rasulullah saw., sendiri yang wajib ditaati, sesuai dengan firmanNya dalam QS.
Al-Nisa` (4): 79. Ketaatan terhadap Rasulullah untuk alternatif yang ketiga ini,
tidak hanya ditunjukkan oleh hadis mutawatir, sebab jumlahnya sangat sedikit.
Padahal sangat banyak masalah yang belum ditentukan ketetapan hukumnya
dalam al-Qur`an, yang hanya bisa diperoleh melalui hadits ahad.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa hadits ahad yang
sahih memfaidahkan qath`iy. Oleh karena itu, penulis sependapat dengan Ibn
Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada alasan mengatakan hadits ahad itu
zanniy setelah ditetapkan kesahihannya, sebab yang disyaratkan diterimanya hadis
ahad itu adalah menghilangkan segala pengertian zanniy dan memastikan ilmu
yaqin. Dengan demikian, hadits ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah dalam
masalah aqidah. Di samping itu, dalam hubungannya dengan kehujjahan tentang
hadis-hadis syafa`at. Oleh karena, hadits-hadits syafa`at telah diteliti secara
cermat, dan hasilnya memiliki kualitas sahih li zatih, maka dapat dinyatakan
bahwa hadits-hadits tentang syafa`at dapat dijadikan hujjah atau dalil agama. Ijma'
para sahabat untuk menerima hadits Ahad, di antara bukti nyata bahwa para
sahabat menerimanya adalah :
1) Abu Bakar yang ketika ada seorang nenek yang meminta warisan beliau
bertanya kepada salah satu sahabat, dan sahabat tersebut (Muhammad bin
Maslamah Al-Mughirah) bahwa nenek berhak mendapatkan 1/6 hak
warisan.
2) Kisah Umar dalam menetapkan hukum janin yang ikut mati karena ibunya
dibunuh, apakah ngwajib qishash?

19
3) Utsman yang pada awalnya berpendapat bahwa tidak wajib mandi bagi
orang yang berjima' tanpa inzal, namun mereka merevisi pendapatnya
setelah mendengar hadits dari 'Aisyah .
4) Ali bin Abi Thalib selalu menerima hadits ahad setelah beliau meminta
dari yang orang yang menyampaikannya bahwa berita tersebut benarbenar
dari Rasulullah. Ini dilakukan bukan karena beliau menuduh mereka
berbohong namun untuk memastikan bahwa mereka menyampaikan lafadz
hadits seperti lafadz asli dari Rasulullah dan tidak disampaikan dengan
maknanya saja.
5) Rasulullah mengutus para gubernur dan qadli (hakim) untuk
menyampaikan dakwah ke berbagai wilayah dalam rangka menyampaikan
hukum-hukum syari'at (Nashr: 11-12).
Dalil hadits ahad bisa dijadikan landasan masalah akidah : Al-Imam Ibnu
Abdil Barr mengatakan mengenai khabar ahad dan sikap para ulama terhadapnya,
“Seluruh ulama dasar mereka berpegang pada khabar ahad yang 'adl dalam
masalah akidah, memusuhi dan loyalitas dengan khabar ahad, keyakinannya
sebagai sumber dalam syariat dan agama”, atas ini jamaah Ahlussunnah
berpegang pada Ibnu Taimiyah mengomentari ijma' dari Ibnu Abdil Barr, Ijma' ini
yang telah disebutkan dalam hal khabar ahad al-'adl adalah argumen dalam
masalah akidah bahwa mereka berkata, “Hadits ini mewajibkan adanya ilmu, jika
tidak maka hadits ahad tidak berfaidah ilmu dan amal. Bagaimana syariat dan
agama, permusuhan dan loyalitas bisa terbentuk”? (Al-Mukaffi, 2018: 74).
1) Pengiriman Da'i ke Berbagai Wilayah Dakwah Rasulullah SAW tidak
terbatas hanya di kota Makkah dan Madinah saja, tetapi juga merambah ke
segala penjuru negeri arab,bahkan sampai ke luar negeri arab. Untuk itu
Rasulullah SAW mengutus satu orang shahabat ke masing-masing wilayah
untuk mengajak penduduknya masuk Islam. Salah satunya adalah Muaz
bin Jabal diutus beliau SAW ke negeri Yaman. Dari wawancara antara
Rasulullah SAW dengan beliau sebelum berangkat, jelas sekali bahwa
misi yang diemban adalah mengajarkan tauhid dan masalah aqidah. Kalau
dilihat dari pengertian hadits ahad, maka dikirimnya Muaz ra. ke Yaman
adalah merupakan fenomena hadits ahad, sebab beliau sendirian saja di

20
tengah wilayah yang dijadikan objek dakwah. Kalau pun disebut-sebut
bahwa Abu Musa Al-Asy'ari juga dikirim ke Yaman, ternyata ke wilayah
yang berbeda. Maka klaim bahwa hadits ahad tida bisa dijadikan dasar
masalah aqidah, gugur dengan sendirinya. Sebab datangnya Muaz ra. ke
Yaman untuk mengajarkan seluruh ajaran Islam adalah sebuah kasus
hadits ahad. Namun tidak pernah ada yang mempermasalahkan kelslaman
penduduk Yaman, meski hanya disampaikan oleh satu orang pembawa
berita (Al-Mukaffi, 2018: 76-77).
2) Surat Nabi kepada Para Raja Dunia. Surat-surat yang dikirim kepada para
raja dunia oleh Rasulullah SAW juga merupakan bagian dari fenomena
hadits ahad. Padahal isinya justru masalah yang paling esensial dalam
Islam. Kalau dikatakan hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah,
maka tidak ada gunanya surat-surat itu dikirimkan (Al-Mukaffi, 2018: 76-
77).
3) Berita tentang Pemindahan Kiblat. Ketika turun ayat tentang pemindahan
kiblat dari Masjid Al-Aqsha di Palestina ke Masjid Al-Haram di Makkah,
para shahabat sedang melakukan shalat shubuh di masjid Quba', tiba-tiba
datang seorang yang membawa berita bahwa telah turun ayat yang
memerintahkan pemindahan kiblat. Maka mereka tidak
mempermasalahkan jumlah yang membawa berita. Sehingga saat itu juga
mereka langsung balik arah. Kalau seandainya hadits ahad tidak bisa
dijadikan landasan aqidah atau syariah, maka para shahabat tidak akan
begitu saja menerima berita turunnya wahyu itu (Al-Mukaffi, 2018: 77-
78).
4) Hadits Nabawi. Juga ada hadits nabawi berikut ini yang menegaskan
bahwa berita yang dibawa hanya oleh satu orang, tetap bisa dijadikan
dasar dan hujjah atas masalah yang penting semacam aqidah dan
sebagainya. Allah SWT telah mencerahkan wajah seseorang yang
mendengar sesuatu dariku, kemudian dia menyampaikannya lagi kepada
orang lain sebagaimana yang dia dengar. (HR Tirmizy) Hadits ini jelas
sekali menegaskan bahwa mendengar hadits yang menyampaikannya
kembali, meski dilakukan hanya oleh satu orang saja, dapat dilakukan dan

21
dibenarkan. Baik terkait dalam masalah aqidah, syariah atau lainnya.
Seandainya pendapat untuk menolak hadits ahad ini kita terima, maka
sangat berbahaya sekali. Karena ada banyak sekali aqidah Islam yang
harus gugur, karena landasannya hanya berdasarkan hadits ahad. Di
antaranya masalah syafaat Nabi SAW di hari akhir, mukjizat Nabi SAW
selain Al-Quran, sifat malaikat dan jin, sifat surga dan neraka, adanya
siksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga) nabi SAW di akhirat,
jembatan (shirath) , berita-berita tentang hari-hari dan ciri-ciri
kedatangannya, seperti munculnya Imam Mahdi, Nabi Isa, Dajjal dan
seterusnya. Karena semua aqidah itu dilandasi dengan dalil-dalil yang
berasal dari hadits ahad, tidak sampai mutawatir. Bahkan sebagian besar
syariat Islam akan terhapus, karena jumlah hadits mutawatir sangat sedikit
dibandingkan dengan jumlah hadits ahad. Yang benar adalah bahwa hadits
ahad itu banyak yang shahih, sehingga tetap bisa dijadikan landasan
aqidah, syariah dan semuanya (Al-Mukaffi, 2018: 78).

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

a. Kata ‫( اآلحاد‬al-Ahad) adalah bentuk jamak dari kata ‫ أحد‬yang berarti


‫( الواحد‬al-wahid) yang artinya satu. ‫ اآلحاد خبر‬khabar ahad adalah berita yang
disampaikan oleh satu orang saja. Adapun pengertian hadits Ahad secara
istilah yaitu Hadits yang tidak terkumpul padanya syarat-syarat mutawatir
atau tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir.
b. Klasifikasi hadist aha dada 3 yaitu hadist masyhur, hadist aziz, dan hadist
gharib. Hadist masyhur merupakan hadits yang diriwayatkan oleh tiga
orang rawi dan juga belum mencapai kategori hadits mutawatir. Hadist
aziz Aziz artinya mulia atau kuat. Menurut bahasa hadits aziz ini adalah
hadits yang mulia, atau hadits yang kuat, atau hadits yang jarang, karena
hadits 'aziz itu jarang adanya. Tetapi para ulama memberi batasan hadits
aziz. Menurut mereka, Hadits 'aziz adalah hadits yang, diriwayatkan oleh
dua orang rawi walaupun dua perawi itu hanya pada satu tingkatan saja,
dan setelah itu diriwayatkan oleh beberapa rawi, sedangkan gharib artinya
asing, terasing atau menyendiri. Hadits gharib menurut bahasa yaitu hadits
yang menyendiri atau terpisah dari yang lain. Sedangkan menurut istilah,
hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi pada
tingkatan maupun sanad.
c. Sebagian ahli kalam berdalil bahwa akidah tidak bisa diambil melainkan
dari dalil yang berfaidah yakin saja. Sehingga masalah ini harus diambil
dari dalil yang qath'i (pasti) baik itu tsubut (eksplisit) dan dalalah
(implisit). Mereka berdalil bahwasanya dalil-dalil zhaniyah tidak berfaidah
melainkan zhan saja, dan zhan tidak boleh dijadikan sebagai argumen
dalam akidah.
d. Contoh hadits ahad Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah
ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau: menjawab, Iman
kepada Allah dan RasulNya.” Kemudian ditanya lagi, Lalu apa lagi?’

23
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, Jihad dl jalan Allah’.
Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, Haji yang
mabrur ‘
Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang iman. Bahwa iman itu masuk
dalam bagian amal, dan amal itu masuk dalam bagian iman. Oleh karena
itu, Imam Bukhari memberikan Bab: Man Qaala Annal Iman Huwal Amal,
bahwa amal itu masuk dalam iman. Sehingga, ketika Nabi ditanya tentang
amal yang paling afdhal, Beliau menjawab iman kepada Allah.
Hadits ini telah diterima oleh semua ulama Ahlus Sunnah untuk
menetapkan, bahwa amal itu masuk dalam bagian iman. Yang tentunya
akan menjelaskan kepada kita, bila iman itu bisa bertambah karena
perbuatan ta’at, dan bisa berkurang karena perbuatan maksiat.
e. Ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadits ahad. Sebagian ulama
menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah karena hadits
ahad berstatus zhanniy al-wurud. Alasannya, yang zhanniy tidak dapat
dijadikan dalil untuk yang berkaitan dengan keyakinan. Soal keyakinan
harus berdasarkan dalil yang qath`iy, baik wurud maupun dalalahnya. Jadi,
menurut mereka, hal-hal yang berkenaan dengan masalah akidah haruslah
berdasarkan petunjuk al-Qur`an dan atau hadis mutawatir. Sebagian
pendapat lagi yang menyatakan bahwa hadis ahad yang sahih dapat
dijadikan hujjah untuk masalah akidah. Jumhur ulama sepakat bahwa
sekalipun hadits ahad statusnya zhanniy al-wurud, akan tetapi wajib
diamalkan sesudah diakui kesahihannya. Imam Syafi`i, Abu Hanifah dan
Imam Ahmad, menerima hadits ahad apabila syarat-syarat periwayatan
terpenuhi. Demikian pula, Muhammad Ajjaj al-Khatib menyatakan bahwa
hukum hadis ahad wajib diamalkan, apabila memenuhi syarat-syarat untuk
diterima. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menurut Imam Muslim
sebagaimana yang dikatakan al-Nawawiy, bahwa beramal dengan hadits
ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul (diterima), hukumnya wajib.
Menurut al-Qasimiy, jumrur ulama, baik dikalangan sahabat maupun
tabi`in, serta para ulama sesudahnya, baik kalangan ahli hadits, ahli fiqh,
maupun ahli usul, berpendapat bahwa hadits ahad yang sahih itu dapat

24
dijadikan hujjah dan wajib diamalkan. Kewajiban beramal dengannya
didasarkan atas kewajiban syar`iy, bukan atas dasar aqliy.
B. Saran

Upayakan untuk memperbanyak referensi yang dapat memperkaya


pengetahuan dan isi dari makalah ini. Sebaiknya gunakan dengan bahasa yang
mudah dipahami oleh pembaca.

Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun mengenai makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat
menambah pengetahuan pembaca kuhususnya kami sebagai penulis.

25
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mukaffi, Abdurrahman. 2018. Koreksi Tuntas Buku 37 Masalah Populer.


Bekasi: PT Darul Falah.

Hady Mufaat Ahmad. 1994. Dirasah Islamiyah tentang Dasar-Dasar Ilmu Hadis
dan Musthalahnya. Semarang: Sarana Aspirasi.
Hamang, M Nasri. 2010. KEHUJAHAN HADIS AHAD MENURUT MAZHAB
SUNI DAN SYI’AH. Parepare: AL-FIKR Volume 14 Nomor 3.

Herdi, Asep. 2014. MEMAHAMI ILMU HADIS. Bandung: Tafakur.


Muhid, dkk. 2013. Metodologi Penelitian Hadits. Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Pres.
Nasrudin, Juhana & Dewi Royani. 2017. Kaidah-kaidah Ilmu Hadits Praktis.
Yogyakarta: Deepublish.
Sahrani, Sohari. 2015. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Shalahudin, Bachtiar Yusuf. 2020. Understanding Syirkah. Bandung.
Soetari, Endang. 2010. Ulum Al-Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia.
Thahhan, Mahmud. Dasar-dasar Ilmu Hadits.
Zuhri, Saifuddin. 2008. PREDIKAT HADIS DARI SEGI JUMLAH RIWAYAT
DAN SIKAP PARA ULAMA TERHADAP HADIS AHAD. Surakarta:
SUHUF, Vol. 20, No. 1

Abdul, Hakim. 2012. CONTOH-CONTOH HADIST AHAD DALAM SHAHIH


BUKHARI tersedia di
https://pemburuberkalungsorban.wordpress.com/2012/08/27/contoh-
contoh-hadits-ahad-dalam-shahih-bukhari/ Diakses pada 10 Oktober
2022
pukul 16:41 WIB.

Anda mungkin juga menyukai