Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH STUDI HADITS

HADITS MUTAWATTIR

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Hadits


Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris
Samarinda

Oleh :

Abustan Nim : 2220200029


Muhammad Zulkifli Nim : 2220200014

Dosen Pengampu:
Dr. Mukhtar, Lc, M.A

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2022

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Berkat limpahan


rahmat, karunia dan kuasa-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas pembuatan
makalah tentang hadits mutawatir. Shalawat beserta salam juga disanjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat dari alam kebodohan
kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Makalah ini di susun agar pembaca dapat menambah wawasan dan
pengetahuan tentang hadits mutawatir, penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
serta pengertian dan ketentuannya
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis melakukan metode penelaahan
melalui studi pustaka dan dari bahan bacaan media lainnya yang bertujuan untuk
melengkapi materi atau data-data dalam penyusunan makalah ini.
Penulisan makalah ini telah diupayakan semaksimal mungkin, namun
disadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan yang disebabkan oleh
keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Karena itu, diharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun guna kesempurnaannya dan semoga makalah ini
dapat memberi manfaat bagi semua pihak. AamiinYa Rabbal ’Alamin.

Samarinda, 10 september 2022

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER.........................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang ....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 3

A. Pengertian............................................................................................................3

B. Syarat-syarat Hadist Mutawatir..........................................................................3

C. Pembagian dan contoh hadits mutawatir.............................................................5

D. Hukum Hadist Mutawatir.................................................................................12

E. Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir.............................................................13

BAB III PENUTUP.....................................................................................................14

A. Kesimpulan.......................................................................................................14

B. Saran.................................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-
Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda
dengan proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami
berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-
Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari
sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat
dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad kedua
Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan pada sekitar tahun 22 Hijriyah.
Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an telah
tersusun dengan baik. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan
perkembangan selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa
penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist dari berbagai
thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara otomatis
selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum
Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang
tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu
hadist. Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam
berbagai bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat
itu yang struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash
bahwa pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi hadist.
Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi
bilangan sanad yang menghasilkan hadist mutawatir dengan berbagai
pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan
tentang Hadist Mutawatir,

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Hadits Mutawatir?
2. Apakah syarat-syarat Hadits Mutawatir ,
3. Bagaimana Pembagian dan contoh hadits mutawatir?
4. Bagaimanakah Hukum Hadist Mutawatir?
5. Bagaimanakah Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Hadits Mutawatir
2. Mengetahui syarat-syarat Hadits Mutawatir
3. Mengetahui Pembagian dan contoh hadits mutawatir
4. Mengetahui Hukum Hadist Mutawatir
5. Mengetahui Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Menurut bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar
”al- tawatur´ semakna dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut
atauberiring- iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang berarti hujan turun
berturut-turut.
Menurut istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh
sejumlah perawi pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat
kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta1.
Dalam ilmu Hadist maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan dengan
banyak sanad yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat
berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan hadist itu.
Adapun hadits mutawatir menurut istilah ulama hadits adalah :

Artinya: “Khabar yang di dasarkan pada pancaindera yang dikabarkan oleh


sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk
mengkabarkan berita itu dengan dusta.”

Muhammad ‘Alawy juga menjelaskan tentang hadits mutawatir secara istilah,


yaitu;

‫ أو ﺣﺼﻮل اﻟﻜﺬب‬,‫ﻣﺎ رواه ﺟﻤﻊ ﯾﺤﯿﻞ اﻟﻌﻘﻞ ﺗﻮاطﺌﮭﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺬب ﻋﺎدة ﻣﻦ أﻣﺮ ﺣﺴﻲ‬
‫ وﯾﻌﺘﺒﺮ ذاﻟﻚ ﻓﻲ ﺟﻤﯿﻊ اﻟﻄﺒﻘﺎت ان ﺗﻌﺪدت‬,‫ﻣﻨﮭﻢ إﺗﻔﺎﻗﺎ‬
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya,
yang menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk berdusta, dan
dalam periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra2

1
Dr. Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007). H. 31-32
2
kitab Al-Minhal al-Lathif fi Ushulil Hadits asy-Syarif
B. Syarat-syarat Hadist Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi


persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus
berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita
yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau
rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya,
dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar
atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits
mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang
banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil
mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat
tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b) Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut
diqiyaskan
dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c) Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal
tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang
orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-
orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d) Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40
orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai Nabi
cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).

3
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau
tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang
memenuhi syarat- syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu
Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak
mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan
Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi
jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di
atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang
menelaah jalan- jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat
memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab
yang khusus menghimpun hadits- hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-
Mutanatsirah fi al-Akhabri al- Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911
H), Nadmu al-Mutasir Mina al- Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad
Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
4. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata
yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadits, seperti kata: (kami
telah mendengar), Ui .J (kami telah melihat), (kami telah menyentuh) dan
lain sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata,
seperti: pendapat tentang alam semesta yang bersifat huduuts (baru), maka
hadits tersebut tidak dinamakan mutawatir.

4
C. Pembagian dan contoh hadits mutawatir

Hadist mutawatir terdiri dari 2 macam, yakni :


1. Mutawatir Lafdzi
Lafdzi artinya secara lafadz. Jadi Mutawatir Lafdzi itu ialah Mutawatir
yang lafadz hadistnya sama atau hampir bersamaan atau hadist mutawatir
yang berkaitan dengan lafal perkataan Nabi. Artinya perkataan Nabi yang
diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak.

Contoh :

‫ﻣﻦ ﻛﺬب ﻋﻠﻲ ﻣﺘﻌﻤﺪاﻓﻠﯿﺘﺒﻮ ﻣﻘﻌﺪه ﻣﻦ اﻟ‬


Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.
Keterangan :
a. Hadist ini diriwayatkan orang dari jalan seratus sahabat Nabi SAW.
b. Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh
tersebut tersebut, diantaranya ada yang berbunyi begini :

‫ﻣﻦ ﺗﻘﻮل ﻋﻠﻲ ﻣ ﻟﻢ اﻗﻞ ﻓﻠﯿﺘﺒﻮ ﻣﻘﻌﺪه ﻣﻦ اﻟ )اﺑﻦ‬


(‫ﻣﺟﮫ‬
Barang siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang
aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat
duduknya dari neraka (Ibnu Majah).
Dan ada versi yang lain :

‫وﻣﻦ ﻗ ل ﻋﻠﻲ ﻣ ﻟﻢ اﻗﻞ ﻓ ﻟﯿﺘﺒﻮ ﻣﻘﻌﺪه ﻣﻦ ا)اﻟﺤ‬


(‫ﻛﻢ‬
Dan barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak
pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari
neraka (Hakim).

5
Maknanya semua sama. Perbedaan lafadz itu timbulnya boleh
jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali.
c. Dari ketiga contoh itu, tahulah kita bahwa yang dinamakan Mutawatir
Lafdzi tidak mesti lafadznya semua sama betul-betul.
d. Hadist tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist,
diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah,
Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan Hakim.
e. Selain dari hadits tersebut, ada banyak lagi yang temasuk dalam
mutawatir lafdzi, sebagaimana kata imam Sayuti, berikut ini
disebutkan enam hadist :

(‫)واه اﻟﺘﺮﻣﯿﺬي‬J. ‫ﻧﻀﺮ ﷲ اﻣﺮء ﺳﻤﻊ ﻣﻘ ﻟﺘﻲ ﻓﻮﻋ ھ وﺣﻔﻈﮭ وﺑﻠﻐﮭ‬


Artinya : Mudah-mudahan Allah akan berbuat baik kepada orang yang
mendengar sabdaku, lalu ia peliharanya dan menjaganya serta
menyampaikannya (kepada manusia). (HR. Turmudzi)

(‫)واه اﻟﺘﺒﺮاﻧﻲ‬J. ‫ﺔ‬U‫ﻲ ﷲ ﻟﮫ ﺑﯿﺘ ﻓﻲ اﻟﺠ‬U‫ﻣﺴﺠﺪا ﺑ‬ ‫ﻲ‬U‫ﻣﻦ ﺑ‬


Artinya : Barang siapa mendirikan sebuah mesjid karena Allah, maka
Allah akan mendirikan baginya sebuah rumah di surga (HR. Thabarani)

(‫ي‬. ‫)واه اﻟﺒﺨ‬J. ‫ﻛﻞ ﺷﺮاب اﺳﻜﺮ ﻓﮭﻮ ﺣﺮام‬


Artinya : Tiap-tiap minuman yang memabukkan , maka dia itu haram (HR.
Bukhari)

(‫)واه اﻟﺪاﻣﻲ‬. ‫ﺒ‬i‫ﺒ وﺳﯿﻌﻮده ﻏﺮ‬i‫إن اﻻﺳﻼم ﻏﺮ‬


Artinya : Sesungguhnya agama Islam itu timbul dengan keadaan asing dan
akan kembali dengan asing (juga) (HR. Darimi)

6
(‫ي‬J. ‫)واه اﻟﺒﺨ‬J. ‫ﻛﻞ ﻣﯿﺴﺮ ﻟﻤﺎ ﺧﻠﻖ ﻟﮫ‬

Artinya : Tiap-tiap orang dimudahkan kepada apa yang sudah


ditakdirkan baginya (HR. Bukhari)
f. Mutawatir Lafdzi ini sebenarnya tidak termasuk dalam
pembelajaran ilmu Hadist, karena rawi-rawi yang menceritakan
Hadist itu tidak perlu diperiksa dan dibahas lagi, sebab tida syarat
Mutawatir 37 sudah memadai untuk menetapkan keyakinan kita
akan benarnya dari Nabi SAW.
2. Mutawatir Ma’nawi
Ma’nawi artinya secara ma’na. mutawatir ma’nawi ialah
mutawatir pada ma’na, yaitu beberapa riwayat yang berlainan,
mengandung satu hal atau satu sifat atau satu perbuatan. Ringkasnya,
beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu ma’na atau tujuan atau
hadist mutawatir ialah hadist yang menyangkut amal perbuatan nabi,
artinya perbuatan nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada
orang banyak lagi.

Contoh:
Sembahyang maghrib tiga rakaat. Keterangan :
a. Satu riwayat menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri
sendiri) nabi sembahyang tiga rakaat.
b. Satu riwayat menunjukkan, bahwa dalam safar nabi sembahyang
maghrib tiga rakaat.
c. Satu riwayat membayangkan bahwa di Mekkah nabi
sembahyang maghrib tiga rakaat.
d. Satu riwayat mengatakan nabi sembahyang maghrib di Madinah
tiga rakaat.
e. Satu riwayat mengabarkan, bahwa sahabat sembahyang maghrib
tiga rakaat., diketahui oleh nabi.
f. Dan lain-lain lagi.

7
Semua cerita tersebut ceritanya berlainan, tetapi maksudnya satu
yakni menunjukkan dan menetapkan bahwa sembahyang maghrib itu
tiga rakaat3.
Menurut para ulama, sebuah hadist mutawatir diriwayatkan oleh
sejumlah besar perawi di setiap generasi sudah cukup bukti sebagai
riwayat yang terpercaya atau shahih. Jadi, tawatur bukanlah bagian “ilm
al-isnad” yang menguji watak perawi dan cara periwayatan hadist, dan
mendiskusikan keshahihan hadist atau kelemahannya untuk diterima atau
ditolak. Sebuah hadist mutawatir, menurut para ulama, hanya untuk
dipraktikkan, sedang historisasinya tidak perlu didiskusikan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah perawi pada
setiap tingkatan yang harus dipenuhi oleh sebuah hadist mutawatir.
Beberapa ulama menentukan jumlah sampai tujuh puluh, ada yang empat
puluh, ada yang dua belas, dan bahkan ada ulama yang mengatakan
cukup empat.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana muslim
tentang kehujahan (otoritas argumentasi) hadist mutawatir, karena
dianggap meghasilkan ilmu dan keyakinan dan bukan praduga (zhanni)4.

D. Hukum Hadist Mutawatir

Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan


informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak
dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama
menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir.
Mengingkari hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas
dan pasti bersumber dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir
tidak membutuhkan proses seperti hadist yang lainnya. Cukup dengan
bersandar pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran
khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa ada
sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah
melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar. 9
3
A. Qadir Hassan. Loc.cit. H. 37-42
4
Dr. phil. H. Kamaruddin Amin, MA. Metode Kritik Hadist.(Jakarta:Hikmah, 2009). H. 44-46
E. Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir

sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam


sebuah buku tersendiri. Diantara buku-buku tersebut adalah :

a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil-Akhbaar Al-Mutawattirah, karya As-


Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
b. Qathful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
c. Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fil-Ahaadits Al-Mutawatirah, karya Abu
Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqy.
d. Nadhmul Mutanatsirah minal-Hadiits Al-Mutawatirah, karya
Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik
dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’at
thabi’un). Dengan demikian penyebutan hadist dengan jenis ini akan sangat
dipengaruhi oleh kualitas perawi dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan serta
mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan hadist
itu
Dilihat dari cara periwayatannya, hadist mutawatir dapat dibagi menjadi
dua bagian yakni:
a. Hadist mutawatir lafdzi yaitu hadist yang apabila dilihat dari sisi
susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu
periwayatan dengan periwayatan lainnya.
b. Hadist mutawatir ma’nawi adalah hadist yang rawi-rawinya berlainan
dalam susunan redaksinya, tetapi di antara perbedaan itu, masih
menyisakan persamaan dan persesuaian yakni pada prinsipnya. Dengan
kata lain hadist yang dalam susunan redaksi kalimatnya menggunakan
kata-kata yang berasal dari perawi itu sendiri.

Dari segi jumah rawi hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang
jumlahnya begitu banyak pada setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan,
mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta.

Hadist mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang pasti) atau


ilmu dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu
sungguh- sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya.
Dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil
bertentangan dengan keterangan ayat dalam al-Qur’an.

11
Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan
informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut, dengan demikian dapat
dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir tidak membutuhkan proses seperti
hadist yang lainnya.

B. Saran

Kami menyadari tentu masih banyak terdapat kekurangan dan


kesalahan baik dari penulisan serta penyajian dalam Makalah ini, oleh sebab itu
kami mengharapkan masukan-masukan dari Dosen Pembimbing Serta teman-
teman guna kesempurnaan makalah yang akan datang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Nawawi, Imam. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).

Amin, Kamaruddin. Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009).

Hassan, A. Qadir. Penerangan Ilmu Hadiest Juz 1-2. (Bangil:Al-Muslimun, 1966).

Ismail, M. Syuhudi. Ulumul Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993).

Saefullah, Yusuf, dan Cecep Sumarna. Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004).
Smeer, Zeid B. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang,
UIN- Malang Press).

Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007).

13

Anda mungkin juga menyukai