HADITS MUTAWATTIR
Oleh :
Dosen Pengampu:
Dr. Mukhtar, Lc, M.A
i
KATA PENGANTAR
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER.........................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang ....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 3
A. Pengertian............................................................................................................3
A. Kesimpulan.......................................................................................................14
B. Saran.................................................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-
Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda
dengan proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami
berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-
Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari
sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat
dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad kedua
Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan pada sekitar tahun 22 Hijriyah.
Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an telah
tersusun dengan baik. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan
perkembangan selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa
penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist dari berbagai
thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara otomatis
selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum
Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang
tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu
hadist. Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam
berbagai bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat
itu yang struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash
bahwa pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi hadist.
Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi
bilangan sanad yang menghasilkan hadist mutawatir dengan berbagai
pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan
tentang Hadist Mutawatir,
1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Hadits Mutawatir?
2. Apakah syarat-syarat Hadits Mutawatir ,
3. Bagaimana Pembagian dan contoh hadits mutawatir?
4. Bagaimanakah Hukum Hadist Mutawatir?
5. Bagaimanakah Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Hadits Mutawatir
2. Mengetahui syarat-syarat Hadits Mutawatir
3. Mengetahui Pembagian dan contoh hadits mutawatir
4. Mengetahui Hukum Hadist Mutawatir
5. Mengetahui Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar
”al- tawatur´ semakna dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut
atauberiring- iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang berarti hujan turun
berturut-turut.
Menurut istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh
sejumlah perawi pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat
kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta1.
Dalam ilmu Hadist maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan dengan
banyak sanad yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat
berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan hadist itu.
Adapun hadits mutawatir menurut istilah ulama hadits adalah :
أو ﺣﺼﻮل اﻟﻜﺬب,ﻣﺎ رواه ﺟﻤﻊ ﯾﺤﯿﻞ اﻟﻌﻘﻞ ﺗﻮاطﺌﮭﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺬب ﻋﺎدة ﻣﻦ أﻣﺮ ﺣﺴﻲ
وﯾﻌﺘﺒﺮ ذاﻟﻚ ﻓﻲ ﺟﻤﯿﻊ اﻟﻄﺒﻘﺎت ان ﺗﻌﺪدت,ﻣﻨﮭﻢ إﺗﻔﺎﻗﺎ
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya,
yang menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk berdusta, dan
dalam periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra2
1
Dr. Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007). H. 31-32
2
kitab Al-Minhal al-Lathif fi Ushulil Hadits asy-Syarif
B. Syarat-syarat Hadist Mutawatir
3
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau
tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang
memenuhi syarat- syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu
Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak
mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan
Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi
jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di
atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang
menelaah jalan- jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat
memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab
yang khusus menghimpun hadits- hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-
Mutanatsirah fi al-Akhabri al- Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911
H), Nadmu al-Mutasir Mina al- Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad
Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
4. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata
yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadits, seperti kata: (kami
telah mendengar), Ui .J (kami telah melihat), (kami telah menyentuh) dan
lain sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata,
seperti: pendapat tentang alam semesta yang bersifat huduuts (baru), maka
hadits tersebut tidak dinamakan mutawatir.
4
C. Pembagian dan contoh hadits mutawatir
Contoh :
5
Maknanya semua sama. Perbedaan lafadz itu timbulnya boleh
jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali.
c. Dari ketiga contoh itu, tahulah kita bahwa yang dinamakan Mutawatir
Lafdzi tidak mesti lafadznya semua sama betul-betul.
d. Hadist tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist,
diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah,
Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan Hakim.
e. Selain dari hadits tersebut, ada banyak lagi yang temasuk dalam
mutawatir lafdzi, sebagaimana kata imam Sayuti, berikut ini
disebutkan enam hadist :
6
(يJ. )واه اﻟﺒﺨJ. ﻛﻞ ﻣﯿﺴﺮ ﻟﻤﺎ ﺧﻠﻖ ﻟﮫ
Contoh:
Sembahyang maghrib tiga rakaat. Keterangan :
a. Satu riwayat menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri
sendiri) nabi sembahyang tiga rakaat.
b. Satu riwayat menunjukkan, bahwa dalam safar nabi sembahyang
maghrib tiga rakaat.
c. Satu riwayat membayangkan bahwa di Mekkah nabi
sembahyang maghrib tiga rakaat.
d. Satu riwayat mengatakan nabi sembahyang maghrib di Madinah
tiga rakaat.
e. Satu riwayat mengabarkan, bahwa sahabat sembahyang maghrib
tiga rakaat., diketahui oleh nabi.
f. Dan lain-lain lagi.
7
Semua cerita tersebut ceritanya berlainan, tetapi maksudnya satu
yakni menunjukkan dan menetapkan bahwa sembahyang maghrib itu
tiga rakaat3.
Menurut para ulama, sebuah hadist mutawatir diriwayatkan oleh
sejumlah besar perawi di setiap generasi sudah cukup bukti sebagai
riwayat yang terpercaya atau shahih. Jadi, tawatur bukanlah bagian “ilm
al-isnad” yang menguji watak perawi dan cara periwayatan hadist, dan
mendiskusikan keshahihan hadist atau kelemahannya untuk diterima atau
ditolak. Sebuah hadist mutawatir, menurut para ulama, hanya untuk
dipraktikkan, sedang historisasinya tidak perlu didiskusikan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah perawi pada
setiap tingkatan yang harus dipenuhi oleh sebuah hadist mutawatir.
Beberapa ulama menentukan jumlah sampai tujuh puluh, ada yang empat
puluh, ada yang dua belas, dan bahkan ada ulama yang mengatakan
cukup empat.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana muslim
tentang kehujahan (otoritas argumentasi) hadist mutawatir, karena
dianggap meghasilkan ilmu dan keyakinan dan bukan praduga (zhanni)4.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik
dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’at
thabi’un). Dengan demikian penyebutan hadist dengan jenis ini akan sangat
dipengaruhi oleh kualitas perawi dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan serta
mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan hadist
itu
Dilihat dari cara periwayatannya, hadist mutawatir dapat dibagi menjadi
dua bagian yakni:
a. Hadist mutawatir lafdzi yaitu hadist yang apabila dilihat dari sisi
susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu
periwayatan dengan periwayatan lainnya.
b. Hadist mutawatir ma’nawi adalah hadist yang rawi-rawinya berlainan
dalam susunan redaksinya, tetapi di antara perbedaan itu, masih
menyisakan persamaan dan persesuaian yakni pada prinsipnya. Dengan
kata lain hadist yang dalam susunan redaksi kalimatnya menggunakan
kata-kata yang berasal dari perawi itu sendiri.
Dari segi jumah rawi hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang
jumlahnya begitu banyak pada setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan,
mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta.
11
Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan
informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut, dengan demikian dapat
dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir tidak membutuhkan proses seperti
hadist yang lainnya.
B. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
Saefullah, Yusuf, dan Cecep Sumarna. Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004).
Smeer, Zeid B. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang,
UIN- Malang Press).
13