DISUSUN OLEH :
1. YUNINGSIH KOMALASARI
2. FERDIA ARDIANTI
3. DEKRI AFITRA
NAMA DOSEN :
Amir Abdullah, Lc,MA.
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Islam sebagai agama yang
sempurna. Kemudian selawat beserta salam keharibaan Rasulullah yang telah
membimbing dan menuntun umat manusia ke jalan yang lurus dan benar. Demikian
juga kepada sahabat dan keluarga serta orang yang mengikuti jejak Beliau hingga hari
kiamat nantinya.
Dengan taufik dan hidayah Allah, penulis telah dapat menyusun sebuah Makalah
untuk menyelesaikan Mata Kuliah pada UNIVERSITAS ISLAM NEGERI BENGKULU
Jurusan Hukum Tata Negara (HTN) Kota Bengkulu. Dalam hal ini penulis memilih judul:
“Pembagian Hadist dari Segi Kuantitas, Sanad, Mutawatir, Masyhur dan Ahad”
Dan ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Dosen Pengasuh Mata
Kuliah yang telah membimbing penulis dari awal sampai akhir penulisan Makalah ini,
semoga mereka mendapat pahala dari Allah Swt. Begitupun Makalah ini telah penulis
susun dengan sebaik mungkin, namun sebagai seorang hamba yang lemah sangat
menyadari bahwa masih banyak terjadi kekeliruan dan kesalahan serta banyak
kekurangan. Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan Makalah ini dapat diterima.
Kelompok 5
2
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
C. MACAM-MACAMHADITS MUTAWATIR......................................................................................... 9
BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................................................14
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam setelah
kitab suci Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang
berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia.
Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-
Qur'an.
Hadist juga dibutuhkan manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran.
Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa
saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi Muhammad
SAW. atau bukan.
BAB 2
4
PEMBAHASAN
MUTAWATIR secara kebahasaan adalah isim fa’il dari kata al-tawatur, yang
berarti al-tatabu’ yaitu berturut-turut.turut. Adapun secara terminologi,ahli hadis
mendefenisikannya sebagai berikut:
ًعمى
ٓ وايDDDDDونت لDDDDDاى ندDDDDDالش هً أ ون ويDDDDDوجم عن ذبDDDDDالك م
ٓ ع اطؤهيDDDDDٌ ت ا ّدDDDDDع حتَن العDDDDDهٌ وارًاي مج
1
228 أن ال خيتن هذا اجلىع يف أِ طب ْق ون طبقات الشن
“(Hadis) al-mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang
tidak mungkin sepakat berdusta dalam periwayatannya walaupun tidak sengaja
secara bersambung dari awal hingga akhir sanadnya serta didasarkaan pada
penglihatan atau pendengaran atau seumpamanya. "2292
Menurut Imam Nawawi mengemukakan defenisi yang hampir senada dengan al-
Shalah, yaitu:
Mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menghasilkan
ilmu dengan kebenaran mereka secara pasti dari orang yang sama keadaannya
dengan mereka mulai dari awal (sanad) sampai ke akhirnya.
1
228 Ibn al-Shalah, Ulum al-Hadits, Ed. Nuruddin Atar, Madinah, alMaktabat al-‘Ilmiyyah, Cet. II, 1972, hlm.
241.
2
229 Hasan Muhammad Maqbuli al-Ahadali, Mushthalah al-Hadits wa Rijaluhu, Muassat al-Rayyan, Beirut,
1990, hlm. 95. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadist „Ulumah wa Mushthalahah, Dar al-Fikr, Beirut,
1989, hlm. 301.
5
Paraulama mensyaratkan ḥadīṡ mutawātir sebagai berikut:
2. Adanya kesinambungan jumlah perawi yang banyak dalam setiap ṭabaqah sanadnya.
3. Mesti ada pertimbangan menurut adat dan akal yang mengindikasikan kemustahilan
mereka untuk berdusta dengan jumlah yang banyak tersebut.
6
C. MACAM-MACAM HADITS MUTAWATIR
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi
dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya, yaitu :
Artinya : Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-
siap menduduki tempat duduknya di neraka. (H.R Bukhari)
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.
Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan dari 62 orang
sahabat dengan lafazh dan arti yang sama. Hadits ini juga terdapat dalam kitab-
kitab, yaitu : Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darmini, Abu Dawud, Ibn Majah, At-
Tarmidzi, At- Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.
Hadits ini adalah sebuah hadits yang lafazh dan artinya berlainan antara satu
riwayat dan riwayat lainnya, tapi terdapat penyesuaian makna secara umum. Dalam
makna lain dapat diartikan sebagai hadits yang berbeda bunyi lafalnya oleh masing-
masing jalur periwayatannya, tetapi memiliki sebuah kesamaan dalam maknanya,
daam isinya juga mengandung satu hal, satu sifat, dan satu perbuatan. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah ilmu hadits, yaitu :
Artinya : Hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna
umunya.
Contoh dari hadis Ma’nawi sendiri ialah, “Nabi Muhammad SAW, tidak
mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam sholat istisqa,
dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya.”
(H.R Bukhari)
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut banyak sekali, atau bahkan lebih
dari 100 hadits.
7
Hadits Mutawatir sendiri memberi sebuah faedah ilmu dharuri, yaitu sebuah
keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan apa yang
diberitakan dari hadits mutawatir tersebut, sehingga membawa pada sebuah
keyakinan yang pasti (qath’i).
Kata ahad atau wahid menurut bahasa ialah satu, maka dapat disimpulkan ahad atau
khabar wahid itu berarti hanya satu orang yang menyampaikan.
Hadits ahad adalah hadits yang riwayatnya secara bahasa berarti , maka ahad khabar
ahad ataupun khabar wahid berarti sebuah berita yang disampaikan oleh satu orang
saja.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadits Ahad adalah suatu hal yang disandarkan
kepada Rosulullah, yaitu berupa sebuah perkataan, sifat fizikal, pengakuan,
perbuatan, akhlak ataupun perilaku Nabi setelah diangkat menjadi Rosul atau
sebelumnya.
Adapapun sebagian ulama yang berpendapat bahwa Hadits Ahad adalah sebuah
hadits yang dimana para periwayatnya tidak mencapai pada jumlah periwayat hadits
mutawatir, juga tidak memenuhi persyaratan Mutawatir dan tidak juga sampai pada
derajat Mutawatir, dan telah dinyatakan dalam ilmu hadits:
اإلثنَا ِن فَأ َ ْكثَر ِم َّما لَ ْم تَتَ َوا فَرْ فِ ْي ِه ُشرُوْ طُ ْال َم ْشهُور اومتواتر
ْ َما َر َواهُ ْال َوا ِح ُد أَو
“Merupakan Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang atau lebih, yang
jumlah perawinya tidak memenuhi syarat-syarat hadits masyhur dan hadits
mutawatir”
8
Mahmud al-Thahhan berpendapat, hadits ahad yang dilihat dari segi jumlah
sanadnya, dubagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:[22]
1. Hadits Masyhur
ُ ْ َشهَر (aku
Hadits masyhur secara bahasa ialah isim maf’ul dari kata syahara ت االَ ْم َر
memasyurjan sesuatu) yang mempunyai arti bawa aku menjelaskan dan
mengumumkan sesuatu hal. Menurut ulama hadits adalah:
“hadits ini yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau bahkan lebih pada setiap
thabaqahnya (lapisan), tetapi tidak sampai pada tingkatan mutawatirnya.”
اَ ْل ُم ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ ِم ْن لِ َسا نِ ِه َويَ ِد ِه: صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو ِسلّ ْم
َ ِ قَا َل َر سُوْ ُل اهللا.
“Rasulullah SAW. bersabda, “Seorang Muslim adalah kaum muslimin yang tidak
terganggu oleh lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmizi).
Sebuah hadis bisa dikatakan masyhur ketika sudah tersebar dengan luas dikalangan
masyarakat.[25] Hadis masyhur yang ditetapkan statusnya kadang bukan
dikarenakankriteria hadis, akan tetapi diterapkan pula untuk untuk memberikan sifat
suatu hadis yang dianggap populer menurut ahli ilmu tertentu atau dikalangan
masyarakat tertentu.[26]
1. Hadits Aziz
Artinya : “Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari
kiamat“ ( H.R . Ahmad dan An-Nasa’i )
Hadits ini diriwayatkan dua orang sahabat, Hudzaifah dan Abu Hurairah di
Thabaqah pertama. Sedangkan pada thabaqah kedua menjadi masyhur karena
melalui periwayatan Abu Hurairah, hadist diriwayatkan tujuh orang,yakni Abu
Salamah, Abu Hazim, Thawus, Al’Araj, Abu Shalih, Humam, serta ‘Abd Ar-
Rahman.
9
2. Hadits Gharib
Contoh Hadits Gharib yang hanya diriwayatkan oleh satu rawi saja,
أَ ِأل ي َما نُ بِضْ ٌع َو ِس ُّتو نَ ٌش ْعبَةً َول َحيَا ٌء: ص َّل هللاٌ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا ل ِ ع َْن أَ بِي هُ َر ْي َر ةَ َر
َ ض َي اهللاُ َع ْنهُ َع ِن النَّبِ ِّي
ُش ْعبَةٌ ِمنَ ااْل ِ يْما َ ِن
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW terlah bersabda, “Iman itu bercabang-cabang
menjadi 60 cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman” (H.R. Bukhari)
Hal ini dipahami karena ketika ada orang banyak yang meriwayatkan sesuatu, maka
secara otomatis tingkat verifikasi kebenarannya pun semakin bisa
dipertanggungjawabkan. Sementara bila sebuah hadits hanya diriwayatkan oleh satu
atau segelintir orang saja, maka kevalidannya tidak bisa teruji karena proses
verifikasi kebenarannya dipertanyakan. Tidak berarti kita hendak menyangka
perawi bersangkutan itu berbohong atau mengada-ada, hanya saja riwayatnya tidak
memiliki penguat argumen secara kuantitas.
Bisakah hadis ahad sebagai landasan hukum Islam? Para ulama berbeda pendapat
terkait hal ini. Kelompok Mu’tazilah dan Khawarij menolak sepenuhnya
penggunaan hadis ahad, baik dalam persoalan akidah maupun fikih. Mereka
berargumen kalau hadis ahad memungkinkan adanya kekeliruan akibat sebuah
dugaan yang tidak terlalu kuat karena adanya potensi kebohongan sehingga
10
keabsahannya kurang diyakini. Jika tidak ada hal lain yang memperkuat kehujjahan
hadits ahad ini, maka pengamalannya pun ditangguhkan. Mereka berdalil
menggunakan firman Allah QS. Al-Isra:36,
ٓ
َ ِص َر َو ْٱلفُؤَ ا َد ُكلُّ أُ ۟و ٰلَئ
واًلDُُٔك َكانَ َع ْنهُ َم ْسٔـ َ َك بِِۦه ِع ْل ٌم ۚ إِ َّن ٱل َّس ْم َع َو ْٱلب َ َواَل تَ ْقفُ َما لَي
َ َْس ل
Wa lā taqfu mā laisa laka bihī ‘ilm, innas-sam’a wal-baṣara wal-fu`āda kullu ulā`ika
kāna ‘an-hu mas`ụlā
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.”
Pendapat kedua, yakni pendapat yang menerima sepenuhnya terhadap hadits ahad
sebagai sumber hukum Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud Az-
Zhahiri yang menyatakan bahwa bagaimanapun, dalam hadis ahad, terdapat
keyakinan bahwa hal tersebut datang dari Rasulullah SAW sehingga wajib untuk
diamalkan. Beliau berargumen menggunakan dalil QS. At-Taubah [9]: 122,
َُوا قَوْ َمهُ ْم إِ َذا َر َجع ُٓو ۟ا إِلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّهُ ْم يَحْ َذرُون
۟ ُوا فِى ٱلدِّين َولِيُن ِذر
ِ
۟ فَلَوْ اَل نَفَ َر ِمن ُك ِّل فِرْ قَ ٍة ِّم ْنهُ ْم طَٓائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّه
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya.”
11
Pendapat ketiga merupakan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa hadits
ahad bisa dijadikan sebagai alternatif sumber hukum Islam. Ada lima argumen
mengapa Imam Syafi’i berpendapat demikian, yakni:
Kita bisa mengqiyaskan hadis ahad dengan persoalan yang sudah ditetapkan dalam
Alquran dan hadits mutawatir, seperti penerimaan terhadap persaksian wanita pada
persoalan yang tidak diketahui oleh para lelaki.Rasulullah SAW seringkali
menyerukan untuk menjaga dan menghafalkan hadits, baik dilakukan secara
individu maupun kelompok.Para sahabat seringkali merumuskan hukum
berdasarkan informasi dari satu orang saja kalangan sahabat.Nabi pernah mengutus
12 orang sahabat untuk menemui 12 orang raja dengan membawa risalah dari Nabi.
Dengan demikian, hanya satu orang utusan untuk satu kerajaan, dan itu sudah
dianggap cukup.Hadis ahad menjadi alternatif bagi para Sahabat apabila mereka
tidak menemukan suatu dalil apapun dalam Alquran maupun hadits mutawatir.
Dengan pendapat ini, Imam Syafi’i ini tetap mendudukkan hadits ahad dibawah
kualitasnya hadits mutawatir, namun juga tidak berarti bahwa hadits ahad ini tidak
bisa diterima sebagai sebuah argumen hukum Islam.
12
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu:
mutawatir ma’nawi dan mutawatir lafzhi . Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu
hadist aziz, hadist gharib dan hadist mansyur
13
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri, Muh. 2003. Hadits Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana
Yogya.
Alawi Al-Maliki, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sulaiman PL, M. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta. Gaung Persada Press.
http://nurulhusnayusuf-makalahku.blogspot.co.id/2011/04/Haditst-mutawatir-dan-ahad.html
diakses pada 19 Nov 2017
14