Disusun Oleh :
MUHAMMAD CHOIRUL MUSTOFA ( 021910093 )
IMAM SAKRONI ( 021910084 )
SYA'I RAMADHAN ( 021910066 )
M. MUZAYIN ( 021910057 )
MOH. ARDA FARID ( 021910059 )
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2019
KATA PENGANTAR
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. Amin.
Kelompok 3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………….i
Daftar Isi……………………………………………………...........................................................ii
Hadis Mutawatir ……………………………………………………………………………………..1
Hadis Sahih………………………………………………………………………………………...…4
Hadis Hasan…………………………………………………………………………………..……..7
Hadis Dhaif …………………………………………………………………………………………10
Ingkar Sunnah………………………………………………………………………….…………...16
Ilmu Dirayah…………………………………………………………………………….…………….19
Hadis Mutawatir
Oleh: Sholeha Nurapriani
A. Pendahuluan
Hadis dilihat dari segi kuantitas periwayatan dibagi menjadi dua, yakni mutawatir dan
ahad. Hadis mutawatir adalah hberita besar hadis yang bersifat indrawi (didengar dan dilihat)
yang diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal diseluruh tingkatan sanad dan
akal menghukumi mustahi menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk
kebohongan.
Keberadaan hadis mutawatr memiliki syarat-syarat begitu ketat untuk dipenuhi, yakni
diriwayatkan oleh banyak perawi adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqah pertama
dengan thabaqah berikutnya mustahil bersepakat bohong berdasarkan tanggapan pancaindera.
Mutawatir menurut bahasa berarti mutabi yakni yang datang berikut kita atau yang beriringan
antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak.1Sedangkan pengertina hadis mutawatir terdapat
beberapa formulasi definisi, antara lain sebagai berikut: “Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”
2
Berdasarkan definisi ada 4 kriteria hadis mutawatir yaitu sebagai berikut: (1) diriwayatkan
sejumlah orang banyak, (2) adanya jumlah banyak periwayat pada tingkatan seluruh sanad, (3)
mustahil bersepakat bohong, (4) sandaran berita itu pada pancaindera. 3
Mengenai syarat-syarat hadis mutawatir ini, antara ulama mutaqaddimin dan mutakhirin terdapat
perbedaan pendapat. Ulama mutaqaddimin tidak memberikan syarat bagi hadis mutawatir.
Menurut mereka, khabar mutawatir yang sedemikian sifatnya, tidak termasuk ke dalam
pembahasan ilmu isnad al-hadits, sebab ilmu ini membicarakan tentng sahih atau tidaknya suatu
hadis, diamalkan atau tidak, dan juga membicarakan adil dan tidaknya rawi, sementara dalam
hadis tidak dibicarakan masalah-masalah tersebu. Bila sudah diketahui status hadis sebagai hadis
mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya dan sekalipun diantara
perawinya adalah orang kafir. Sedangkan menurut ulama mutakhirin, ahli usul yang mengatakan
suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis mutawatir bila memenuhi syarat-syarat.
1Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,1993), h. 81
2
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits,h. 82
3
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 146-147
D. Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua yaitu mutawatir lafdzi
dan mutawatir maknawi, namun menurut sebagian yang lai membaginya menjadi tiga yakitu
hadis mutawatir lafdzi, maknawi dan amali. 4
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzi adalah hadis mutawatir periwayatnya
dalam satu lafadz.5Sedangkan yang dimaksud dengan hadis mutawatir maknawi adalah hadis
yang maknanya mutawatir tetapi lafadznya tidak. 6 Adapun yang dimaksud degan hadis
mutawatir amali adalah suatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama
dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya, menyuruhnya atau
selain dari itu. Beberapa pengertian ini merupakan ijma ulama.7
E. Kesimpulan
Penjelasan di atas menunjukan bahwa yang dimaksud dengan hadis mutawatir adalah yang
datang bereriringan atau berurutan. Syarat-syaratnya ada 3: (1) diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi, (2) adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqah pertama dan berikutnya, (3)
berdasarkan tanggapan pancaindera.
4
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits,h. 86
5
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits,h. 87
6
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits,h. 89
7
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, h. 90-91
Daftar Pustaka
Suparta, Mundzir dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993
Hadis Shahih
Oleh : Isma
A. Pendahuluan
Hadis dalam kajian keislaman menduduki posisi yang startegis sehingga hadis
menjadi rujukan utama dalam hukum Islam setelah al - Qur’an, namun antara hadis dan
al- Qur’amn mempunyai perbedaan, kalau al - Qur’an sudah diyakini kebenarannya,
tetapi tidak dengan hadis, karena dalam hadis ada hadis mutawaitir yang sudah disekapati
bahwa periwayat hadis tidak mungkiun berbohong karena diriwayatkan oleh banyak
orang dalam setiap tingkatan, serta ada hadis ahad yang hanya diriwayatkan oleh
beberapa orang dan kemungkinan berdusta dan menyebarkan sesuatu yang tidak
disabdakan oleh Nabi Muhammad bisa terjadi.
Hadis ahad inilah yang menyebabkan terjadinya perawi yang berdusta, kurang
sempurna ingatannya, karena hanya diriwayatkan oleh beberapa orang saja dan tidak
menjadi ijma’ dalam satu tempat, sehingga setelah lahirnya istilah ahad lahir pula istilah
lain untuk menunjukan kualitas dari hadis ahad tersebut, maka lahirlah istilah hadis
shahih, hasan dan dhaif. Makalah ini akan menguraikan dan menjelaskan hadis sahih
saja.
Kata shahih berasal dari bahasa Arab yang berantonim saqim artinya sakit dan menjadi
bahasa Indonesia dengan arti sah bernar, sempurna dan sehat. Sedangkan menurut istilah ada
beberapa pendapat ulama yang penulis kutip dari buku karya KH. M. Maksum Zein yang
berjudul memahami ilmu Hadis Nabi, antara lain pendapat.
1. Imam As-Syuyuti yang mendifisikan hadis shahhi yaitu hadis yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak ditemukan kejanggalan
dan tidak berillat.
2. Ibn Shalah mendifinisikan hadis shahih adalah hadis musnad yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari awal sampai akhir, serta tidak ada
kejangalan dan cacat. 8
Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa hadis shahih adalah hadis yang
bersambung sanadnya, dirwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit serta tidak ada ilat
dalam hadis.
Hadis shahih terbagi menjadi dua macam yaitu sahih li dzatihi dan sahih li gharihi yang akan
diuraikan dalam pembahasan berikut ini:
8
Ma’sum Zein, Ilmu Memahami Hais Nabi (Cara Praktis Mengusai Ilmu Hadis & Mustholah
Hadis), (Yogjakarta: Pustaka Pesantren, 2014), h. 112
Shahih li dhatihi adahlah hadis sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir,
diceritakan oleh orang adil, dhabit yang sempurna serat tidak ada syuduz dan illat. Definisi
menujukan bahwa hadis tersbut menuhi kriteria hadis shahih dengan sempurna. 9
Shahih li ghairih adalah hadis yang tidak memenuhi sifat-ifat hadis yang diterima secara
sempurna, yang awalnya bukan hadis shahih tetapi karena ada hadis shahih dari jalur lain, maka
naik derajatnya.10
D. Tingkatan Kitab-kitab hadis shahih
1. Hadis yang diriwayakta Imam Bukhari dan Muslim.
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari saja.
3. Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim saja.
4. Hadis yang diriwayatkan oleh selain Bukhari dan Muslim tetapi memenuhi sayarat
Bukhrai dan Muslim.11
E. Kesimpulan
Penulis dapat meyimpulkan bahwa yang disebut hadis shahih adalah hadis yang
bersambung sanadnya, dirwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit serta tidak ada ilat
dalam hadis.
9
A Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung : CV Diponogoro, 1983 ), h. 29
10
A Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, h. 29
11
Ma’sum Zein, Ilmu Memahami Hais Nabi (Cara Praktis Mengusai Ilmu Hadis & Mustholah
Hadis, h. 113
Daftar Pustaka
Zein, Ma’sum, Ilmu Memahami Hais Nabi (Cara Praktis Mengusai Ilmu Hadis & Mustholah
Hadis), Yogjakarta: Pustaka Pesantren, 2014
Hadis Hasan
Oleh : Seli Nursyarifah
A. Pendahuluan
Sebagai sumber ajaran yang kedua setelah al-Qur’an, hadis menempati posisi
yang sangat strategis di dalam kajian-kajian keislaman. Keberadaan dan kedudukannya
tidak diragukan. Dalam hadis ada yang periwayatnnya memenuhi syarat tertentu untuk
diterima sebagai hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima). Namun, disisi
lain terdapat hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria tertentu atau
dikenal dengan hadis mardud (tidak diterima) atau bahkan ada yang palsu (maudhu)
Dilihat dari segi kualitas hadis, maka hadis bisa dikelompokan menjadi tiga
macam: hadis shahih, hadis hasan dan hadis dhaif. Namun, makalah ini hanya akan
membahas mengenai pengertia, klasifikasi dan hukum hadis hasan saja.
Ibn Hajar sebagaiman dikutip Munzier Suparta mendifinisikan hadis hasan adalah
khabar ahad yang dinkil oleh perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung
sanadnya dengan tanpa ber illat dan syat, hal seperti ini disebut dengan hadis shahih,
apabila ingatan perawinya kurang sempurna, maka disebut dengan hadis shahih li
dhatini.12
Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa hadis hasan menurut Ibn Hajar adalah
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi tidak kuat hafalannya, bersambung
sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Dengan demikian,
hadis hasan ini menempati posisi diantara sahih dan daif. Definisi ini sama dengan yang
disampaikan oleh Az-Zarqany dan Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani.13
Adapun Abu Isa al-Turmuzy sebagaimana dikutip oleh Munzier Suparta dan
Utang Ranuwijaya mendifinisikan hadis hasan adalah setiap hadis pada sanadnya tidak
terdapat perawi yang tetuduh dusta, pada matannya tidak ada kejanggalan dan hadis itu
tidak hanya diriwayatkan oleh satu jalan tetai bajak jalan yang sepadan dengannya. 14
Dari definisi-definis tersebut, dapat dikatakan bahwa hadis hasan hamper sama
dengan hadis shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada
hadis shahih ingatan atau hafalannya harus sempurna, sedangkan dalam hadis hasan,
ingatan atau hafalannya kurang sempurna.
12
Mundzir Suparta dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1993), h. 120
13
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits,
h. 120
14
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, h. 120
C. Klasifikasi Hadis Hasan
Para ulama hadis memabagi hadis hasan menjadi dua bagian yaitu hadis hasan li
dzatihi dan hasan li ghairihi. Yang dimaksud dengan hadis hasan li zatihi sama dengan
hadis hasan sebagaimana diuraikan di atas. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis
hasaln li ghairihi yaitu hads hasan yang tidak memenuhi persyaratan hadis hasan secara
sempurna atau pada dasarnya hadis tersebut dhaif , akan tetapi karena sanad atau matan
lain yang menguatkannya (syahid atau mutabi), maka kedudukan hadis dhaif naik
menjadi hasan li ghairihi.15
D. Hukum mengamalkan Hadis Hasan
Hadis hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya di bawah hadis shahih.
Semua ahli fiqih, sebagian ahli hadis dan para ahli usul fiqih mengamalkannya, kecuali
sedikit dari orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadis. Bahkan
sebagian ahli hais mempermudah dalam persyaratan shahih dan memasukannya dalam
kategori hadis shahih, seperti Al-Hakim, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah.16
E. Kesimpulan
Penjelasan di atas menunjukan bahwa yang dimaksud dengan hadis hasan dapat
dikatakan hampir sama dengan hadis shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal
ingatan perawinya. Hadis hasan terbagi menjadi dua yaitu hasan li zatihi dan hasan li
ghairih. Hadis hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya di bawah hadis shahih.
15
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, h. 121
16
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 83
Daftar Pustaka
Suparta, Mundzir dan Utang Ranuwujaya, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993
Hadis Dhaif
Oleh : Ach Baiquni
A. Pendahuluan
Para ulama berbeda dalam mendifinisikan hadis dhaif, namun secara bahasa
mereka menyepakati bahwa dhaif itu lawan dari qawy (kuat)17, jadi hadis dhaif adalah
hadis lemah. Perbedaan tersebut terjadi dalam mengistilahkan hadis daif. Mahmud
Thahan medifinisikan hadis daif sebagai “Hadis yang di dalamnya tidak terkumpul syarat
yang wajid ada dalam hadis hasan, disebabkan tidak adanya satu syarat yang menjadi
syarat hadis hasan”, 18 Nur Din Itr sebagaimana dikutip oleh Mashum Zein
mendifinisikan sebagai “ hadis yang di dalamnya tidak ditemukan satu syarat dari syarat
hadis yang diterima (maqbul)”.19
Definisi lain datang dari Ibn Shalah sebagaimana dikutip oleh Ahmad Dahlan
dalam kumpulan tulisan ilmu sanad hadis sebagai ‘ hadis yang tidak memenuhi syarat
hadis sahih dan hasan”, 20 namun definisi ini dibantah oleh Zain al-Din al-Iraqi yang
mengatakan bahwa cukup menyebutkan hadis hasan tanpa menggunakan hadis sahih,
karena kalau hadis hasan tidak sampai derajat sahih.21 Sedangkan, Muh Zuhri
mendifinisikan hadis yang tidak memenuhi syarat hasan karena sanadnya ada yang
terputus sera periwayatnya tidak dikenal dikalangan ulama hadis.22
17
Ma’sum Zein, Ilmu Memahami hadis Nabi, (Yogjakarta: Pustaka Pesantren, 2014),h. 125
18
Mahmud Thahan, Taisir Musthalah al-Hadith, (Iskadaria: Markaz al-Hadi li Dirasah, 1415), h.
63
19
Ma’sum Zein, Ilmu Memahami hadis Nabi,h.126
20
Muhammad Alfatih Suryadilaga (Ed), Ilmu Sanad Hadis, (Yogjakarta : Idea Press, 2017), h. 66
Para ahli ilmu hadis berbeda dalam mendifinisikan hadis dhaif, namun
perbedaannya hanya terjadi dalam istilah hasan, sahih dan maqbul sehingga penulis
menyimpulkan bahwa hadis dhaif adalah hadis yang tidak sampai derajat hasan karena
kelemahan ataupun keterputusan sanad hadisnya.
21
Muhammad Alfatih Suryadilaga (Ed), Ilmu Sanad Hadis, h. 66
22
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologinya,(Yogjakarta: Tria Wacana,
1997),h. 94
23
Muhammad Alfatih Suryadilaga (Ed), Ilmu Sanad Hadis, h. 67
24
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologinya, h. 96-97
E. Kesimpulan
Penjelasan di atas menunjukan bahwa yang dimaksud dengan hadis dhaif adalah
hadis yang syaratnya belum mencapai hadis hasan. Ulama berbeda dalam menghukumi orang
yang mengamalkan hadis dhaif ada yang tidak membolehkan, ada yang membolehkan
dengan syarat hadisnya tidak terlalu daif dan mengamalkan hanya untuk fadhailul a’mal.
Daftar Pustaka
Suryadilaga, Muhammad Alfatih (Ed), Ilmu Sanad Hadis, Yogjakarta : Idea Press, 2017
Thahan, Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadith, Iskadaria: Markaz al-Hadi li Dirasah, 1415
Zein, Ma’sum , Ilmu Memahami hadis Nabi, Yogjakarta: Pustaka Pesantren, 2014
Zuhri, Muh, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologinya,Yogjakarta: Tria Wacana, 1997
Sanad dan Matan Hadis
Oleh : Ambiya
A. Pendahuluan
Sanad dan matan merupakan dua bagian penting dalam hadis, apabila salah satu
dari keduanya tidak ada, maka hadis tidak bisa disebut hadis karena untuk penyebutan
hadis harus ada rentetan periwayatan yang meceritakan hadis tersebut dan harus ada isi
atau berita yang disampaikan sehingga kedua kajian ini penting dalam kajian hadis.
Kedua kajian ini menjadi fokos para peneliti hadis untuk menemukan apakah
layak hadis tersebut disebut hadis maqbul (diterima), karena untuk menentukan hal
tersebut diperlukan penelitian terhadap keduanya. Makalah ini mecoba akan menjelaskan
tentang sanad dan matan.
Istilah sanad sudah ada pada masa pra-Islam seperti yang tercantum dalam
beberapa puisi pada masa itu, namun urgensinya samar. Seiring dengan munculnya hadis
yang disampaikan Nabi Muhammad SAW, maka sanad sangat penting untuk mengetahui
hadis tersebut apakah benar datang dari Nabi SAW atau dari Shahabat atau bisa buatan
orang yang tidak jelas, sehingga kajian ilmu ini melahirkan kajian Ilmu Jarh wa ta’dil. 26
C. Pengertian Matan dan urgensinya
Matan adalah lafal-lafal hadis yang mengandung makna tertentu. Definisi ini
menunjukan bahwa matan adalah materi atau lafaz hadis itu sendiri yang oleh penulisnya
ditempatkan setelah menyebut sanad sebelum perawi atau mudawwin, baik itu berupa
sabda Nabi Muhammad SAW, sahabat, tabiin yang berisi tentang perbuatan Nabi SAW
ataupun perbuatan sahabat yang tidak disangah oleh Nabi SAW. 27
25
Muhammad Alfatih Suryadilaga (Ed), Ilmu Sanad Hadis, (Yogjakarta : Idea Press, 2017)
26
Muhammad Alfatih Suryadilaga (Ed), Ilmu Sanad Hadis,
27
Ma’sum Zein, Ilmu Memahami hadis Nabi, (Yogjakarta: Pustaka Pesantren, 2014),
D. Contoh Sanad dan Matan
Dari contoh ini dapat didefinisikan bahwa alur dan orang yang menceritakan atau
menyampaikan hadis disebut dengan sanad sedangkan isi atau berita yang terdapat dalam
hadis disebut dengan matan.
E. Kesimpulan
Penjelasan di atas menunjukan bahwa alur dan orang yang menceritakan atau
menyampaikan hadis disebut dengan sanad sedangkan isi atau berita yang terdapat dalam
hadis disebut dengan matan. Dua kajian ini sangat penting.
Ingkar Sunah
Oleh: Arrinar Rahmal Aliya
A. Pendahuluan
Hampir semua ulama menyapakati bahwa hadis sumber hukum kedua setelah al-
Qur’an, namun beberapa kalangan masih banyak yang tidak mau menjadikan hadis
sebagai sumber hukum, ketidak diterimaan ini desebabkan beberapa motif seperti ketidak
percayaan terhadap orang atau perawi yang meriwayatkan hadis atau karena hadis banyak
didominasi oleh hadis ahad.
Orang yang menolak menjadikan hadis sebagai hujjah disebut ahli bidaah yang
mengikuti kemauan hawa nafsunya saja buka kemauan hatinya dan akal pikirannya.
Mereka antara lain: Khawarij, Mu’tazilah dan lain-lain. Gelar diberikan kepada mereka
karena menolak kehujahan hadis, makalah ini akan menjelaskan tentang ingkar sunnah.
Dari beberapa definisi dapat dismpulakan bahwa ingkarsunah adalah orang yang
tidak percaya tentang hadis.
Seiring dengan berkembangnya Islam, pada masa sahabat masih individual orang
yang menolak hadis, namun setelah abad kedua hijriah Ingkar Sunah mulai dilakukan
seperti banyak pengikut Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah, kelompok inilah yang dikenal
dengan kelompok klasik. 31
Sedangkan kelompok modern muncul di beberapa daerah penyebaran Islam
seperti India muncul kelompok al-Qadiyanah dan al-Qur’aniyah, Mesir muncul tokoh
yang ternal Muhammad Abduh, Tawfiq Shidqiy (w. 1920 M), Ahmad Amin (w. 1954
M), Mahmud Abu Rayyah, Ahmad Subhiy Mansur. Ternyata kelompok ini tidak hanya
berkembang di Mesir di Indonesia juga kahir kelompok seperti tokoh-tokohnya,
Muhammad Ircham Sutarto, H.Abdurrahman, H. Sanwani.32
D. Kesimpulan
Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadis atau sunnah
sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an dan kelompok yang seperti bukan
hanya terjadi pada masa klasik, pada masa modern pun masih tetap berkembang di
beberapa Negara antara lain: India, Mesir dan Indonesia.
30
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah, h. 52
31
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 40
32
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah, h. 53
Daftar Pustaka
Khon, Abdul Majid, Pemikiran Modern dalam Sunah,Jakarta:Pranda Media Group, 2011