Fiqh al-Hadits
Oleh :
F A K H R I N A (201006011)
Dosen Pembimbing:
Dr. Tarmizi M. Jakfar, M. Ag
2021 M / 1442 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Hadis merupakan salah satu disiplin ilmu yang sangat penting dalam
Islam untuk mempelajari dan memahami hadis dengan baik dan benar sebagai
salah satu sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu pemahaman
terhadap hadis sangatlah penting agar tidak terjadi kesalahan dalam merujuk
sebuah dasar hukum dalam menentukan perbuatan yang dibenarkan dalam
Islam1. Klasifikasi hadis didasarkan pada kualitas dan kuantitasnya, hadis
berdasarkan kualitasnya adalah hadis Shahih, Hasan, dan Dhaif. Sedangkan hadis
berdasarkan kuantitasnya adalah hadis Mutawatir dan hadis Ahad2. Pengertian
dari hadis ahad ialah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah
mutawatir, tidak memenuhi syarat hadis mutawatir, dan tidak mencapai derajat
mutawatir3.
Hadis ahad juga dibagi lagi menjadi tiga yaitu hadis masyhur, hadis aziz,
dan hadis gharib, pembagian ini tidak bertentangan dengan pembagiah hadis ahad
kepada kategori Shahih, Hasan, dan Dhaif. Karena klasifikasi hadis ahad kepada
tiga macam kategori tersebut, bukan bertujuan langsung untuk menentukan
diterima atau ditolaknya suatu hadis, melainkan bertujuan untuk mengetahui
banyak atau sedikitnya sanad dan secara tidak langsung pembagian hadis ahad
kepada Shahih, Hasan, dan Dhaif bertujuan untuk menentukan maqbul atau
mardudnya suatu hadis. Dengan demikian, hadis Masyhur dan Aziz masing-
masing ada yang Shahih, Hasan, dan Dhaif. Dan belum tentu juga setiap hadis
Gharib itu Dhaif, adakalanya Shahih jika memenuhi syarat yang dapat diterima
1
Zainul Arifin, Ilmu Hadis Historis dan Metodologis (Surabaya: Pustaka al-Muna, 2014), 44.
2
Ibid., 138.
3
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 133.
2
dan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih rajih. Pada umumnya memang
hadis gharib itu dhaif, kalaupun ada yang shahih, hanya sedikit sekali 4.
Menurut Jumhur Ulama Muhaddithin, bahwa suatu hadis dikatakan
Shahih, tidak tergantung pada banyaknya sanad, melainkan suatu hadis dinilai
Shahih cukup melihat pada sanadnya atau matannya shahih, meskipun rawinya
hanya satu orang saja pada tiap-tiap tabaqat. Sebagian ahli hadis yakni, Abi, Ali
Al-Jubbaiy dan Abu Bakar Ibn Araby, mensyaratkan untuk Hadis Shahih
sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh dua orang perawi dalam setiap tabaqat5.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa hadis ahad yang sudah diteliti dari segi sanad
dan matannya terbukti shahih, maka wajib diamalkan, kecuali jika terdapat
kecacatan dalam hadis ahad tersebut6.
Mengenai kehujjahan hadis ahad, menurut pendapat Jumhur Ulama baik
dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para ulama setelah mereka dari kalangan ahli
hadis, ahli fiqih, serta ahli ushul, mereka berpendapat hadis ahad yang shahih
dapat dijadikan hujjah yang wajib diamalkan. Dasar dari pendapat tentang
kewajiban mengamalkan hadis ahad adalah kewajban syar"i bukan kewajiban
aqli7.
Selain itu terdapat pula ulama yang berbeda pendapat tentang kewajiban
mengamalkan hadis ahad yang shahih, mereka berasal dari kalangan Qadariyah,
Rafidhah, dan sebagian kelompok Zahiriyah. Menurut pendapat mereka beramal
dengan hadis ahad hukumya tidak wajib, dan kalaupun wajib, maka kewajiban
beramal dengan hadis kategori ini berdasarkan dalil akli bukan dalil syar’i8.
Pendapat dari Imam Syafi’i mengenai kehujjahan hadis ahad ialah menerima
hadis ahad dengan dua syarat, yakni kesahihan sanad dan muttasil. Menurut
Ulama Syafi’iyah hadis ahad tidak dapat menghapus hukum dalam al- Qur’an
4
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Bandung, PT Al-Ma"arif, 1974), 111.
5
Ibid., 119.
6
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2016), 155.
7
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), 153.
8
Ibid., 154
3
karena bersifat relatif (zanni al-wurud) sedangkan al-Qur"an bersifat pasti (qat’i
al-wurud). Sedangkan pendapat dari Imam Ahmad bin Hambal menerima hadis
ahad dengan syarat keabsahan sanad. Hadis shahih yang sah dan maqbul
sanadnya tidak boleh ditolak selagi diriwayatkan oleh orang yang thiqah9.
Kemudian pendapat dari jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad yang
berfaidah yang wajib diamalkan setelah diakui keshahihannya.
B. Rumusan Masalah
Apa pengertian kehujjahan hadits ahad
Bagaimana Melihat pandangan jumhur para ulama mengenai hadits ahad
Bagaimana penolakan hadis ahad pada masa lampau dan masa kini
9
Abdul Majid Khon, Takhrij Dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), 58.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hadis ahad menurut ulama hadis adalah hadis yang tidak mencapai derajat
mutawatir.10
2. Hadis ahad secara etimologi: Al-Ahad merupakan kata jamak dari ahad
yang berarti satu, khabar al-wahid adalah berita yang hanya diriwayatkan
oleh satu orang perawi. Sedangkan pengertian hadis ahad secara
terminology yaitu khabar yang belum memenuhi syarat hadis mutawatir11
3. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan definisi hadis ahad adalah setiap
khabar yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih yang
diterima dari Rasulullah SAW dan tidak memenuhi syarat hadis masyhur.12
4. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa hadis ahad merupakan hadis
yang diriwayatkan oleh satu, dua orang, atau sejumlah orang, namun
jumlahnya tidak memenuhi jumlah perawi hadis mutawatir13
5. Hadis ahad ialah hadis yang para perawinya tidak mencapai jumlah rawi
Hadis mutawatir, tidak memenuhi syarat hadis mutawatir, dan juga tidak
sampai pada derajat mutawatir sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah
ilmu hadis14
Demikian uraian diatas menjelaskan definisi hadis ahad dari berbagai versi
dikalangan para ulama hadis.
10
Muhid dkk., Metodologi Penelitian Hadits (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres, 20130), 52.
11
Mahmud Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, 32.
12
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), 92.
13
Ibid., 93.
14
Endang Soetari, Ulum Al-Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), 99.
5
2. Pengertian Hadits Ahad.
Kata ahad sebagai jamak untuk kata wahid, yang arti harfiahnya satu.
Dengan demikian kata ahad berarti satuan dari satu suku dari sesuatu. Menurut
istilah, hadis ahad berarti hadis yang diriwayatkan oleh orang-seorang atau dua
orang, atau lebih, akan tetapi belum cukup syarat padanya untuk dimasukkan
sebagai mutawatir. Dr.M. Ajjaj al-Khatibi mengemukakan bahwa:
رفوتت مﻼمم زثكأف نانثﻼاوا دحاوﻻ هاور امﻼوأ روهشمﻼ طورش هيفرتاوتم ﻻو
.كلد دعب هيف ددعلل ةربع
Hadis ahad ialah hadis yang diriwayatkan satu atau dua periwayat ataupun
lebih, yang tidak memenuhi syarat-syarat masyhur ataupun mutawatir, dan tidak
diperhitungkan lagi jumlah periwayatnya setelah itu.
15
Menurut sebagian ulama, pembagian hadis di dari jumlah periwayatnya ada dua macam, yakni mutawatir dan ahad.
Sebagian ulama lainnya, ada yang membaginya menjadi tiga macam, yakni; mutawatir, masyhur, dan ahad. Muhammad
Ajjaj al-Khatib, “Usul ”, op.cit., h. 303; Mahmud al-Tahhan, “Taysir”, op.cit., h. 18. Adapun arti harfiah mutawatir adalah
tatabu`, yakni berturut. Sedang pengertian istilah menurut ilmu hadis ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak pada
setiap tingkat periwayat, mulai tingkat sahabat sampai dengan mukharrij, yang menurut ukuran rasio dan kebiasaan,
mustahil para periwaayat yang jumlahnya banyak itu bersepakah terlebih dahulu untuk berdusta. Kata ahad sebagai jamak
untuk kata wahid, yang arti harfiahnya satu. Sedangkan pengertian istilah menurut ilmu hadis ialah hadis yang diriwayatkan
oleh orang seorang yang tidak mencapai tingkat mutawatir. ; Syihab al-Din Abi Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajar TAHDIS Volume
7 Nomor 1 Tahun 2016al-Asqalaniy, Nuzhat al-Nazhar Syarh Nukhbat al-Fikr (Semarang: Maktabah
alMunawwar,t.th),h.9;Subhial-Salih, op.cit.,h.146-147
16
Mahmud al-Tahhan, “Taysir”, op.cit., h. 19; Syihab al-Din Abi Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalaniy, op.cit., h. 6;
Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyah, Majmu` Fatawa Ibn Taimiyah, jilid XVIII (T.tp: Mathabi` Dar al-`Arabiyyah, 1398), h.
16-17.
6
pada itu, mereka juga berpendapat bahwa status zhanniy dalam hal ini
mengakibatkan adanya kewajiban untuk mengamalkannya17.
Jumhur ulama sepakat bahwa sekalipun hadis ahad statusnya zhanniy al-
wurud, akan tetapi wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya18Imam Syafi`i,
Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menerima hadis ahad apabila syarat-syarat
periwayatan terpenuhi19. Demikian pula, Muhammad Ajjaj al-Khatib menyatakan
bahwa hukum hadis ahad wajib diamalkan, apabila memenuhi syarat-syarat untuk
diterima20. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menurut Imam Muslim
sebagaimana yang dikatakan al-Nawawiy, bahwa beramal dengan hadis ahad
yang telah memenuhi ketentuan maqbul (diterima), hukumnya wajib. Menurut al-
Qasimiy, jumrur ulama, baik dikalangan sahabat maupun tabi`in, serta para ulama
sesudahnya, baik kalangan ahli hadis, ahli fiqh, maupun ahli usul, berpendapat
bahwa hadis ahad yang sahih itu dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
Kewajiban beramal dengannya didasarkan atas kewajiban syar`iy, bukan atas
dasar aqliy21, Golongan Mu`tazilah berpendapat bahwa, tidak wajib beramal
dengan hadis hadis ahad, kecuali jika hadis itu diriwayatkan oleh dua orang yang
diterimanya dari dua orang pula. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa
hadis semacam itu wajib di amalkan jika diriwayatkan oleh empat orang dan
diterimanya dari empat orang pula22.
Oleh karena itu, walaupun hadis ahad tidak memenuhi kriteria hadis
mutawatir, oleh sebahagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad boleh
diamalkan dalam segala bidang. Sedangkan sebagian ulama lainnya menetapkan
17
. Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawiy, Sahih Muslim bi Syarh alNawawiy, juz I (Mesir: Al-Mathba`at al
Misriyyah, 1924 M), h. 20; Salim `Aliy alBahnasawiy, op. cit.,h.100,108
18
M. Syuhudi Ismail, “Pengantar”, op.cit., h. 158; T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, “Pokok-Pokok”, op.cit., h. 100.
19
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh ( T.tp: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1958), h. 109.
20
Muhammad Ajjaj al-Khatib, “usul”, op.cit., h. 302
21
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy, Qawa`id al-Tahdis min Funun Mustalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiya, 1399 H/1979 M), h. 147-148.
22
ibid., h. 148; pula Abu Lubab Husayn, Mauqif al-Mu`tazilah min al-Sunnah al-Nabawiyah ( Riyad: Dar al-Liwa`, 1399
H/1979 M), h. 92-93.
7
bahwa hadis ahad wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu`) ibadat,
kaffarat, dan hudud, tetapi tidak boleh dipakai dalam menetapkan urusan akidah23
Oleh karena itu, untuk yang berkenaan dengan akidah, ulama berbeda
pendapat tentang kehujjahan hadis ahad. Sebagian ulama menyatakan bahwa
hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah karena hadis ahad berstatus zhanniy al-
wurud. Alasannya, yang zhanniy tidak dapat dijadikan dalil untuk yang berkaitan
dengan keyakinan. Soal keyakinan harus berdasarkan dalil yang qath`iy 24, baik
wurud maupun dalalahnya.
Jadi, menurut mereka, hal-hal yang berkenaan dengan masalah akidah
haruslah berdasarkan petunjuk al-Qur`an dan atau hadis mutawatir. mereka
menyatakan bahwa hadis ahad yang sahih berstatus qath`iy al-wurud. Alasannya
antara lain:
1. Sesuatu yang berstatus zhanniy mempunyai kemungkinan mengandung
kesalahan. Hadis yang diteliti dengan cermat dan ternyata berkualitas sahih
terhindar dari kesalahan. Karenanya, hadis yang berkualitas sahih,
walaupun berkategori ahad, memiliki status qath`iy al-wurud25.
23
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok”, loc.cit.
24
Muhammad Abu Zahrah, loc.cit.; Mahmud Syaltut, al-Islam `Aqidah wa Syari`ah (kairo: Dar al-Qalam, 1966), h. 513.
25
Ibn al-Salah, op.cit., h. 24; Subhi al-Saleh, op.cit., h. 146; Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyah, jilid XVIII, op.cit., h. 40-41.
26
Salim `Aliy al-Bahnasawiy, Al-Sunnah al-Muftara `Alayha ( T.tp: Dar alBuhusal-`Ilmiyah,1979M),h.103
8
3. Umar bin al-Khattab pernah membatalkan hasil ijtihadnya ketika dia
mendengar hadis Nabi yang disampaikan al-Dhahhak bin Sufyan secara
ahad27.
27
Muhammad Adib Shalih, Lamahat fi Ushul al-Hadis ( Beirut: al-Maktab alIslamiy,1399 H),h.99-100
28
Mustafa al-Siba`iy, al-Sunnah wa Makanatuha fiy al-Tasyri` al-Islamiy (T.tp: Dar al-Qaumiyyah, 1966 M), h. 344
29
ibid.; Salah al-Din bin Ahmad al-Adlabiy, op.cit., h. 239-240.
30
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya ( Cet. I; Jakarta: Gema InsaniPress, 1995
M), h. 88
9
Muslim memberikan faidah qath`iy. Menurut Ibn Hazm mengatakan bahwa
semua hadis sahih memfaidahkan qath`iy, tanpa membedakan apakah
diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan Muslim atau bukan. Menurut Ibn Hazm, tidak
ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan siapa
yang meriwayatkannya. Semua hadis, jika memenuhi syarat kesahihannya,
adalah sama dalam memberikan faedahnya31
Oleh karena itu, Ibn Hazm adalah seorang ulama yang menerima hadis
ahad dalam menetapkan masalah akidah. Menurutnya, tidak ada alasan
mengatakan hadis hadis ahad itu zanniy setelah ditetapkan kesahihannya, sebab
yang disyaratkan diterimanya hadis ahad itu adalah menghilangkan segala
pengertian zanniy dan memastikan ilmu yaqin.
Selanjutnya, Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa keterkaitan antara sunnah
dan al-Qur`an ada tiga hal, yaitu; pertama, kesesuaiannya terhadap ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam al-Qur`an; kedua, hadis itu merupakan mubayyin
atau penjelas terhadap apa yang dimaksud atau dikehendaki oleh al-Qur`an; dan
ketiga, hadis itu menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam alQur`an.
Alternatif ketiga ini, menurutnya, merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh
Rasulullah saw., sendiri yang wajib ditaati, sesuai dengan firmanNya dalam QS.
Al-Nisa` (4): 79. Ketaatan terhadap Rasulullah untuk alternatif yang ketiga ini,
tidak hanya ditunjukkan oleh hadis mutawatir, sebab jumlahnya sangat sedikit.
Padahal sangat banyak masalah yang belum ditentukan ketetapan hukumnya
dalam al-Qur`an, yang hanya bisa diperoleh melalui hadis ahad32.Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa hadis ahad yang sahih
memfaidahkan qath`iy. Oleh karena itu, penulis sependapat dengan Ibn Hazm
yang mengatakan bahwa tidak ada alasan mengatakan hadis ahad itu zanniy
setelah ditetapka kesahihannya, sebab yang disyaratkan diterimanya hadis ahad
31
Abu Muhammad `Aliy bin Ahmad bin Sa`id bin Hazm, Al-Ihkam fi Ushul alAhkam,jilidI (Kairo: al-Ashimah,t.th.),h. 119-
137.
32
al-Qasimiy, op.cit., h. 149
10
itu adalah menghilangkan segala pengertian zanniy dan memastikan ilmu yaqin.
Dengan demikian, hadis ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah dalam masalah
aqidah. Di samping itu, dalam hubungannya dengan kehujjahan tentang hadis-
hadis syafa`at. Oleh karena, hadis-hadis syafa`at telah diteliti secara cermat, dan
hasilnya memiliki kualitas sahih li zatih, maka dapat dinyatakan bahwa hadis-
hadis tentang syafa`at dapat dijadikan hujjah atau dalil agama.
33
Syahidin, Syahidin. "Kehujjahan Hadis Ahad Menurut Muhammad Al-Ghazali (Suatu Kajian terhadap Otoritas Hadis Ahad
sebagai Sumber Ajaran Islam)." ElAfkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis 6.1 (2017): 61-70.
34
Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah Fi ‘Ulum alHadith (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 241.
11
hadis yang lain seperti Ibn Hajar al-Asqalani tidak sependapat dengan pernyataan
tersebut, menurutnya pendapat itu muncul akibat dari sedikitnya perhatian
terhadap sanad sanad hadis. Lebih lanjut Ibn Hajar menuturkan bahwa
menetapkan banyaknya hadis mutawatir sebenarnya caranya cukup mudah dan
jelas, suatu cara untuk menetapkan bahwa hadis mutawatir itu ada dan jumlahnya
banyak adalah dengan melihat ketika mereka sepakat mengeluarkan suatu hadis
dengan sanad yang banyak sehingga menurut adat mustahil mereka bersepakat
untuk berdusta, maka hadis itu dapat diyakini keasliannya dari pembicaranya.
Hadis yang seperti ini banyak terdapat dalam kitab-kitab hadis yang masyhur dan
keberadaanya sudah beredar di seluruh penjuru dunia35.
35
Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhah al-Nazar fi Taudhih Nukhbat al-Fikr fi Musthalahi Ahl al-Atsar (Damshiq: Matba’ah al-Syabah,
cetakan ke 3, 2000), 45-46
36
l-Nashir, al-‘Asraniyyun bayn Maza’im al-Tajdid,23. Litah juga Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq, (Bairut:
Maktabah al-‘Asriyyah, 1995), 127-142.
12
yang mengingkari dan tidak menerima hadis ahad baik dalam masalah akidah
maupun
hukum syar‘i adalah Abu Hasan al-Khayyath. Begitu juga Abu Huzail Ali
alJubbai sebagaimana dikatakan al-Maziri dan lainnya, disebut sebagai orang
yang tidak mau menerima hadis, jika hanya diriwayatkan oleh satu perawi adil.
Menurutnya hadis seperti ini baru dapat diterima dengan syarat, apabila hadis
tersebut diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh rawi ’adil lainnya, teks
hadis tersebut dikuatkan oleh teks hadis lainnya atau teksnya tidak bertentangan
dengan teks Al-Qur’an, kemudian hadis tersebut paling tidak diamalkan oleh
sebagian sahabat37. Sebagian dari kalangan Mu’tazilah tidak hanya mengingkari
keberadaan hadis ahad, tetapi juga terhadap hadis mutawatir, seperti yang
dilakukan oleh alNazzam yang berpendapat bahwa boleh saja terjadi kebohongan
dalam hadis mutawatir sekalipun tidak terbilang jumlah para periwayatnya,
karena lain tujuan dan motivasi. Oleh karena itu, ia menolak hadis mutawatir dan
ijmak, karena boleh jadi umat berkonsensus dalam membuat kesalahan.
Demikian juga terhadap hadis ahad yang tidak memberi pengertian ilmu secara
pasti38.Sementara itu, Abu Huzail berpendapat bahwa kehujjahan khabar tentang
berita yang non indrawi (seperti tanda-tanda kenabian dan lain-lain) jumlah
perawinya tidak boleh kurang dari 20 orang dan di dalamnya terdapat sebagian
ahli surga sekalipun terdapat orang kafir dan fasik. Jika di dalamnya tidak
terdapat satu atau sebagian ahli surga sekalipun jumlahnya mutawatir dan tidak
mungkin sepakat berbohong, tidak dapat dijadikan hujjah. Jumlah periwayat yang
kurang dari empat orang tidak dapat memberi hukum apaapa, dan jika perwainya
4-20 orang periwayat, ada kalanya memberi faedah kepastian (ilmu) dan
adakalanya tidak39. Selain Mu’tazilah, kaum Syi‘ah Rafidhah, manyoritas
37
Abu Lubabah Husain, Mauqif al-Mu’tazilah min al-Sunnah al-Nabawiyah, terj. Usman Sy’roni (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003),
77-78
38
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah; Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Prenada Media Grop, 2011), 51. Lihat
juga Abd al-Qa>hir al-Baghdadi, alFarq bayn al-Firaq, (Bairut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1995), 158-159.
39
Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah,
13
kelompok Qadariyah dan juga tentang al-Qasani serta ibn Dawud mereka juga
disebut sebut sebagai yang mengingkari kehujjahan hadis perorangan (hadis
ahad). Lebih lanjut al-Qasani mengatakan bahwa hadis ahad tidak menghasilkan
sesuatu kecuali yang hanya bersifat zann, dan sesuatu yang zann tidak dapat
memberikan kepastian kepada kebenaran sedikitpun40.Masalah utama yang
membuat mereka menolak hadis ahad adalah karena hadis ahad dari segi wurud-
nya hanyalah bersifat zanni al-wurud, dalam arti kebenaran berita tersebut dari
Rasulullah saw. tidak dapat diyakini secara pasti sebagaimana hadis mutawatir.
Menurut mereka, urusan agama haruslah didasarkan kepada dalil-dalil qath‘i
yang tingkat kebenaranya dapat diyakini dan dipastikan. Oleh karena itu hanya
AlQur’an dan hadis mutawatir saja yang dapat dijadikan hujjah dalam masalah
agama41. Penolakan sebagian kelompok terhadap kehujjahan hadis ahad
sebagaimana yang diprakarsai oleh sebagian kelompok Mu’tazilah, Rafidah, dan
Qadariyah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sangat erat kaitannya
dengan gerakan ingkar sunnah yang muncul pada masa klasik, yakni pada masa
imam al-Shafi‘i. Imam alShafi‘I42menyebut adanya kelompok munkir al-sunnah
atau inkar sunnah. Namun demikian al-Syafi‘i tidak menjelaskan secara eksplisit
siapa saja orang yang menolak sunnah itu. Secara garis besar ada tiga kelompok
pengingkar sunnah yang berhadapan dengan al-Shafi‘i, yaitu; Pertama kelompok
yang menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Al-
Qur’an saja yang dapat dijadikan hujjah. Kedua kelompok yang tidak menerima
sunnah kecuali yang semakna dengan Al-Qur’an. Ketiga kelompok yang
menerima hadis mutawatir saja dan menolak hadis ahad. Menurut Muahammad
al-Khudari Bik, kelompok yang mengingkari Sunnah yang dimaksud imam al-
Syafi‘i adalah kelompok ahli kalam Mu’tazilah. Pendapat ini berdasarkan
40
Muhammad bin Ali al-Shaukani, Irshad alFuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul (Riyad}: Dar al- Fadilah, 2000), 39.
41
Rif’at Fauzi Abd al-Mutalib, Tauthiq al-Sunnah fi Qarn al-Tsani al-Hijr; Asasuhu wa Ijtijahatuhu (Kairo: Maktabah al-Khanaji,
1983), 90.
42
Muhammad bin Idris al-Shafi’i, al-Risalah (t.tp: Must}afa al-Halabi, t.th.), 369-387.
14
adanya diskusi antara imam al-Syafi‘i dengan kelompokyang mengingkari
sunnah. Sementara kelompok atau aliran yang ada pada waktu itu di Basrah Iraq
(tempat imam alSyafi‘I berada) adalah Mu’tazilah. Dengan ini al-Khudari Bik
berkesimpulan bahwa kelompok yang ingkar sunnah yang dimaksud al-Syafi‘i
adalah kelompok Mu’tazilah43. Sedangkan Mustafa al-Siba’i juga sependapat
dengan pendapat al-Khudari Bik tersebut. Lalu pertanyaannya adalah
apakah Mu’tazilah menolak Sunnah secara keseluruhan, atau hanya menolak
sebagiannya saja? Ada sementara ulama Mu’tazilah yang tampaknya menolak
sunnah secara keseluruhan, yaitu Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar, yang popular
dengan sebutan al-Nazzam. Ia tidak hanya mengingkari hadis ahad, tetapi juga
mengingkari hadis yang mutawatir. Menurutnya ada kemugkinan sekelompok
orang untuk bersepakat berdusta meskipun diriwayatkan oleh sejumlah perawi
yang tidak terhingga bilangannya. Namun demikain, menurut Mushthafa
al‘Azami, pendapat al-Nazzam tersebut tidaklah mencerminkan sikap kelompok
Mu’tazilah secara keseluruhan. Menurutnya, apabila pendapat al-Nazzam ini
dapat diartikan sebagai penolakan hadis, maka tampaknya hal itu hanyalah
pendapat pribadinya saja dan bukan merupakan pendapat resmi Mazhab
Mu’tazilah. Alasannya, ada ulama Mu’tazilah yang lain yang ternyata menerima
hadis sebagai sumber shari’ah Islam, misalnya Abu al-Hasan al-Bashri dalam
kitabnya al-Mu’tamad. Bahkan ada beberapa ulama Mu’tazilah yang lain, seperti
Abu Huzail, Muhammad bin Abd al-Wahhab al-Jubba’i, justru menilai bahwa al-
Nazzam telah keluar dari Islam44.
Oleh Karena itu, Mazhab Mu’tazilah tidak dapat disebut pengingkar sunnah,
tetapi sebaliknya, mereka menerima Sunnah seperti halnya mayoritas umat Islam.
Hanya saja, mungkin ada beberapa hadis yang mereka kritik apabila hal itu
43
Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Pustaka Firdaus, cetakan ke-5, 2008), 43
44
Mustfa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha fi Tashri’i al-Islami (t.tp: Dar al-Waraq, 2000), 169-174.
15
berlawanan dengan pemikiran mazhab mereka. Namun demikian hal itu tidak
berarti mereka menolak hadis secara keseluruhan.
45
Ali Musthafa Yaqub, Kritik Hadis (Pustaka Firdaus, cetakan ke-5, 2008), 46-47.
46
Ahmad Amin, Fajr al-Islam cet. Ke-2 (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1975), 218.
47
Muhammad Musthafa al-Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yuqub (Jakarta:Pustaka Pirdaus, cet. 3,
2006), 46.
16
menilainya sebagai orang yang sedikit perbendaharaan hadisnya. Menurut
alSiba‘I Muhammad Abduh memilik prinsip bahwa senjata yang paling ampuh
membela Islam adalah logika dan argumen yang rasional. Berangkat dari prinsip
ini Abduh kemudian mempunyai penilaian lain terhadap kedudukan Sunnah.
Pendapat Abduh ini akhirnya dijadikan argumen kuat oleh Abu Rayyah dalam
mengingkari Sunnah48.
Menurut Ali Mustafa Yaqub, sebenarnya keterangan Muhammad Abduh
sebagaimna yang dinukil Abu Rayyah itu masih perlu ditinjau kembali.
Masalahnya, boleh jadi Abduh Ketika mengatakan hal itu didorong oleh
semangat yang menggebu-gebu untuk membumikan ajaran Al-Qur’an, sehingga
ia sampai berpendapat bahwa selain AlQur’an tidak ada gunanya sama sekali.
Namun bagaimanapun Abduh telah dituduh sebagai pengingkar Sunnah. Lebih
lanjut Mustafa Yaqub menuturkan bahwa ada suatu hal yang kongkrit tentang
Muhammad Abduh dalam kaitannya dengan hadis, yaitu Abduh menolak hadis
ahad untuk dijadikan dalil dalam masalah akidah49. Senada dengan Abduh,
Mahmud Shaltut berkali-kali menegaskan bahwa hadis ahad tidak dapat dipakai
dalam masalah-masalah akidah, dengan alasan hadis ahad tidak menghasilkan
keyakinan. Masalah akidah adalah masalah yang harus diimani dan diyakini, oleh
karena itu akidah harus didasarkan kepada keterangan yang pasti yang tidak ada
keraguan di dalamnya. Ini berarti Riwayat mutawatir saja yang dapat diterima
untuk menetapkan masalah akidah, sedangkan hadis ahad tidak dapat dijadikan
dasar dalam menetapkan akidah, karena ia tidak dapat memberikan pengertian
yang pasti, ia hanya mengasilkan zann semata. Begitu juga Muhammad al-
Ghazali, ia menegaskan bahwa sesungguhnya akidah itu dasarnya adalah
keyakinan yang bersih yang tidak ternodai oleh keraguraguan.
48
Musthafa al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuha fi Tashri’i al-Islami (t.tp: Dar al-Waraq, 2000), 122.
49
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Pustaka Firdaus, cetakan ke-5, 2008), 48.
17
Bagaimanpun juga, Islam dibangun di atas dalil-dalil yang akurat dan dalil logika
yang kuat. Tidak ada istilah akidah bagi kami yang hanya dibangun di atas dasar
hadis ahad dan tebak-tebakan pikiran semata50.
50
Muhammad al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith (Kairo: Dar alShuruq,2005), 66.
18
orang dari mereka yang membolehkan berargumentasi dan berhujjah dengan
hadis-hadis ahad untuk masalah hukum, tapi melarangnya untuk masalah-
masalah akidah51. Senada dengan Ibn al-Qayyim, Nasiruddin al-Albani
menegaskan, sesungguhnya pendapat yang menyatakan bahwa hadis-hadis ahad
itu tidak bisa dijadikan hujjah dalam akidah adalah pendapat bid’ah, tidak ada
dasarnya dalam syari’at Islam yang penuh dengan kebajikan. Itu adalah pendapat
aneh menurut petunjuk Al-Qur’an dan bimbingan Sunnah bahkan belum dikenal
oleh para al-salaf al-shalih. Pendapat itu hanya dilontarkan oleh segolongan
ulama kalam dan sebagian ulama usul yang kemudian mempengaruhi pemikiran
sebagian ulama kontemporer. Lalu pendapat itu diambil begitu saja oleh kaum
modernis dengan pasrah, tanpa penyangkalan atau argumetasi yang jelas.
Kemudian lebih lanjut al-Albani menuturkan, kalau pendapat itu diambil, berarti
ada ratusan hadis sahih yang harus ditolak karena berkaitan dengan akidah.
51
Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Thabit alKhatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1988), 72
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadis-hadis ahad,
khususnya, dalam masalah aqidah. Menurut sebagian ulama walaupun hadis ahad
tidak memenuhi kriteria mutawatir, tetapi boleh dijadikan hujjah dalam segala
bidang. Sedangkan Sebagian ulama lainnya menetapkan bahwa hadis ahad wajib
diamalkan dalam urusan amaliyah, ibadah, kaffarat, dan hudud, tetapi tidak boleh
dijadikan hujjah dalam urusan aqidah. Alasannya, bahwa hadis ahad adalah
berstatus zanniy al-wurud, dan yang zanniy al-wurud tidak dapat dijadikan dalil
untuk yang berkaitan dengan keyakinan. Soal keyakinan harus berdasarkan dalil
yang qath`iy, baik wurudnya maupun dalalahnya. Sebagian pendapat lagi
menyatakan bahwa hadis ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah dalam masalah
aqidah. Mereka menyatakan bahwa hadis ahad yang sahih berstatus qath`iy al-
wurud. Oleh karena itu, Ibn Hazm menyatakan bahwa tidak ada alasan
mengatakan bahwa hadis ahad itu zanniy setelah ditetapkan kesahihannya, sebab
yang disyaratkan diterimanya hadis ahad itu adalah menghilangkan segala
pengertian zanniy dan memastikan ilmu yaqin. Itu berarti, hadis ahad yang sahih
dapat dijadikan hujjah dalam masalah aqidah.
20
DAFTAR PUSTAKA
21