Ajen Jaenudin
ajen.jaenudinmz@gmail.com
Abstrak
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, keotentikannya
sangatlah diperhatikan oleh para ulama. Untuk mengetahui keotentikan suatu hadis para
ulama membuat istilah-istilah di dalam ilmu hadis guna mengetahui kedudukan suatu hadis,
secara umum terbagi menjadi beberapa kategori yaitu hadits shahih, hasan, dhaif, dan
maudhu’. Tingkatan-tingkatan tersebut disesuaikan dengan metode dalam penelusuran suatu
hadits, dan terbagi-bagi lagi menjadi beberapa cabang atau istilah. Penting bagi seseorang yang
mempelajari ilmu hadits untuk mengetahui istilah-istilah tersebut. Dalam tulisan ini penulis
akan membahas tentang istilah-istilah dalam ilmu hadis yang diberi judul ‘terminologi hadis’ di
dalamnya memuat definisi, pembagian, contoh dan hukumnya.
Abstract
Hadith is the second source of Islamic law after the Qur'an, its authenticity is very much
considered by scholars. To determine the authenticity of a hadith, scholars have created terms
in the science of hadith to determine the position of a hadith, generally divided into several
categories, namely sahih hadith, hasan, dhaif, and maudhu'. These levels are adjusted to the
method of searching for a hadith, and are further divided into several branches or terms. It is
important for someone studying hadith science to know these terms. In this paper, the author
discusses the terms in hadith science under the title 'terminology of hadith' which includes
definitions, divisions, examples and rulings.
Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, digunakan
sebagai rujukan dan tuntunan dalam kehidupan. Sayangnya tidak semua hadits dapat
dijadikan rujukan, karena pada perkembangannya muncul riwayat-riwayat yang lemah
(tidak dapat dipercaya), bahkan ditemukan hadis-hadis palsu. Para Ulama telah
melakukan usaha yang luar biasa dalam rangka menjaga keaslian hadits, mulai dari
kodifikasi hingga verifikasi atas keotentikan riawayatnya. Usaha tersebut melahirkan
terminologi yang kemudian dikenal sebagai Ilmu Musthalah Al-Hadis. Dalam tulisan
ini disusunlah terminologi hadits yang memuat definisi, pembagian, contoh dan
hukumnya. Agar dapat dibedakan mana hadits yang dapat dijadikan rujukan dan
hadits yang tidak boleh dijadikan rujukan.
Metode
Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode kualitatif dengan
pendekatan studi kepustakaan (library research) menggunakan analisis deskripstif.
Pengertian Dasar
1. Ilmu Musthalah
Ilmu dengan dasar-dasar kaidah yang digunakan untuk mengetahui kondisi
sanad dan matan dari sisi diterima atau tidaknya suatu riwayat.
2. Pokok Pembahasan
Diterima atau tidaknya suatu sanad dan matan hadits.
3. Faedah Ilmu Musthalah
Membedakan sehat atau cacatnya suatu matan hadits.
4. Al-Hadis
a. Secara etimologi: sesuatu yang baru, bentuk jamak dari hadits adalah ahadits.
b. Secara terminologi: apa saja yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat.
5. Al-Khabar
a. Secara etimologi: berita, bentuknya adalah akhbar.
b. Secara terminologi, ada tiga pendapat:
1) Sinonim dari Al-Hadits yang berarti keduanya sama dengan satu istilah.
2) Berbeda dengan Al-Hadits: Al-Hadits adalah apa saja yang dinisbatkan
kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan Al-Khabar adalah apa saja
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW dan selain Nabi
Muhammad SAW.
3) Lebih umum dari Al-Hadits: Al-Hadits adalah apa saja yang dinisbatkan
kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan Al-Khabar adalah apa saja
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW dan selain Nabi
Muhammad SAW.
6. Al-Atsar
a. Secara etimologi: sisa atau bekas.
b. Secara terminologi, ada dua pendapat:
1) Sinonim dari Al-Hadits: yang berarti makna keduanya sama dalam satu
istilah.
2) Berbeda dengan Al-Hadits. Al-Atsar yaitu perkataan dan perbuatan yang
dinisbatkan kepada shahabat dan tabi’in.
7. Al-Isnad memiliki dua arti
a. Menisbatkan suatu perkataan kepada orang yang mengatakan secara
bersanad.
b. Rangkaian rawi-rawi yang menghubungkan ke matan hadits, dengan
demikian berarti sinonim dari As-Sanad.
8. As-Sanad
a. Secara etimologi: yang dijadikan sandaran, dinamakan demikian
dikarenakan suatu hadits disandarkan dan digantungkan kepadanya.
b. Secara terminologi: Rangkaian rawi-rawi yang menghubungkan ke matan
hadits.
9. Al-Matan
a. Secara etimologi: tanah yang keras dan tinggi.
b. Secara terminologi: kalimat setelah berakhirnya suatu sanad.
10. Al-Musnad
a. Secara etimologi: isim maf’ul dari asnada yang berarti menyandarkan atau
menasabkan kepadanya.
b. Secara terminologi memiliki tiga arti:
1) Setiap kitab yang terkumpul di dalamnya riwayat para shahabat secara
terpisah.
2) Hadis marfu’ yang tersambung sanadnya.
3) Jika dimaksudkan untuk As-Sanad dia adalah masdar mimi.
11. Al-Musnid
Orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik orang itu mengerti apa
yang dia riwayatkan atau pun hanya sebatas riwayat saja.
12. Al-Muhaddits
Orang yang bergelut dalam ilmu hadits, baik dari sisi riwayah maupun dirayah,
juga mengetahui banyak riwayat hadits beserta kondisi perawinya.
13. Al-Hafidz, ada dua pendapat:
a. Menurut kebanyakan pakar hadits artinya sama dengan Al-Muhaddits.
b. Pendapat yang lain mengatakan dia mempunyai dua derajat lebih tinggi dari
Al-Muhaddits, karena apa yang dia ketahui di setiap tingkatan (thabaqah) lebih
banyak dari apa yang dia tidak ketahui.
14. Al-Hakim
Menurut pendapat sebagian ulama, dia adalah orang yang pengetahuannya
mencakup seluruh hadits-hadits sehingga tidak ada perkara yang tertinggal
olehnya kecuali sedikit.
Dilihat dari sisi sampainya kepada kita, hadits dibagi menjadi dua:
1. Mutawatir, yaitu yang memiliki jalur (riwayat) dengan jumlah yang tidak
terbatas dengan bilangan tertentu.
2. Ahad, yaitu memiliki jalur (riwayat) dengan jumlah yang terbatas dengan
bilangan tertentu.
Keduanya memiliki pembagian dengan perinciannya masing-masing.
Secara etimologi: isim fa’il yang diambil dari kata At-Tawatur yang berarti
berturut-turut, dikatakan tawatara Al-Matar artinya hujan itu turun secara berturut-
turut.
Secara terminologi: hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi, secara akal
ataupun adat mustahil mereka sepakat untuk mendustakan (khabar tersebut).
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan banyak perawi disetiap tingkatan
tingkatan sanadnya, yang secara akal dan adat menganggap mustahil rawi banyak
tersebut sepakat mendustakan khabar tersebut.
Terlihat jelas dari definisinya, bahwa khabar mutawatir tidak akan terjadi
kecuali dengan empat syarat:
Pembagian Mutawatir
Khabar Mutawatir dibagi menjadi dua: mutawatir secara lafal dan mutawatir
secara makna.
1. Mutawatir secara lafal adalah khabar yang mutawatir lafal dan makna hadisnya.
Seperti hadis, “barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka bersiaplah
menempati tempat tinggalnya di neraka.” Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari
tujuh puluh shahabat.
2. Mutawatir secara makna adalah khabar yang mutawatir maknanya saja, tanpa
lafalnya. Seperti hadis mengangkat kedua tangan ketika berdoa, diriwayatkan
dari Rasulullah SAW kurang lebih seratus hadis dalam mengangkat kedua
tangan ketika berdoa, akan tetapi pada perkara yang berbeda-beda. Perkara
yang berbeda ini tidak dikatakan mutawatir, akan tetapi kesatuan makna dari
perkara-perkara ini, yaitu mengangkat kedua tangan ketika berdoa termasuk
mutawatir jika ditinjau dari pengumpulan jalur hadisnya.
Keberadaan Mutawatir
Jumlah hadis mutawatir tidak begitu banyak, di antaranya hadis tentang Al-
Haudh (telaga), hadis mengusap kedua buah khuf, hadits mengangkat kedua tangan
ketika salat, hadis “Allah akan memperindah wajah seseorang”, dan masih banyak
yang lainnya. Akan tetapi jika dibandingkan dengan jumlah hadits ahad, hadits
mutawatir akan terlihat sangat sedikit.
Hadis Ahad
Secara etimolog: Al-Ahad merupakan bentuk jamak dari ahad yang berarti satu,
khabar al-wahid adalah berita yang hanya diriwayatkan oleh satu orang. Secara
terminologi: khabar yang belum terkumpul padanya syarat-syarat mutawatir.
Hadis ahad menunjukan pengetahuan yang bersifat teori, yaitu yang bergantung
pada teori dan kesimpulan (dalil).
Pembagian Hadits Ahad Menurut Jumlah Jalurnya
1. Masyhur
2. Aziz
3. Gharib
Hadis Al-Masyhur
Definisi
Secara etimologi: isim maf’ul dari Syahartu Al-Amra yang berarti aku
mengumumkan dan menampakannya, dikatakan demikian karena nampaknya.
Secara terminologi: hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi di setiap tingkatan
sanadnya dan belum mencapai batas mutawatir.
َّن اَهَّلل اَل َيْقِبُض اْلِع َمْل اْنَزِت اًعا َيْنِزَت ُعُه
ِإ
Al-Mustafidh
Secara etimologi: isim fail dari kata istifadha, bentuk pecahan dari kata fada al-ma’
(air yang meluap), dinamakan demikian karena tersebarnya air tersebut.
Yang dimaksud hadits masyhur di sini adalah hadits yang familiar di telinga
kalangan tertentu, tanpa melihat syarat-syarat yang baku dalam ilmu musthalah, maka
mencakup:
1. Hadits yang hanya memiliki satu jalur (sanad).
2. Hadits yang memiliki lebih dari satu jalur.
3. Hadits yang tidak mempunyai jalur sama sekali.
1. Masyhur di kalangan para hadits saja, contohnya hadis Anas RA, “Rasulullah
SAW pernah melaksanakan qunut selama satu bulan setelah rukuk, untuk
mendoakan (kehancuran) atas suku Ri’la dan Dzakwan.”
2. Masyhur di kalangan pakar hadits, para ulama dan orang awam, contohnya
adalah hadits, “Orang muslim adalah orang lain yang terhindar dari (bahaya)
lidahnya dan tangannya.”
3. Masyhur di kalangan pakar Fikih, contohnya adalah hadits, “perkara halal yang
paling Allah benci adalah perceraian.”
4. Masyhur di kalangan pakar usul fikih, contohnya adalah hadits, “sesungguhnya
Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan
sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” Hadis ini dibenarkan oleh Ibnu Hibban
dan Al-Hakim.
5. Masyhur di kalangan pakar nahwu, contohnya adalah hadits, “sebaik-baik
hamba adalah shuhaib, sendainya dia tidak takut kepada Allah dia tidak akan
bermaksiat kepada-Nya.” Hadis ini tidak ada asal-usulnya.
6. Masyhur di kalangan orang awam, contohnya adalah hadits, “sifat tergesa-gesa
adalah dari setan”, hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan
dihasankan olehnya.
Masyhur yang menurut istilah maupun yang tidak termasuk istilah (ahli hadits)
tidak bisa diklaim sebagai hadits shohih atau tidak shahih, melainkan ada yang shahih,
hasan, dhaif, bahkan palsu. Akan tetapi, jika hadits masyhur yang menurut istilah
shahih maka mempunyai kedudukan lebih kuat dari Al-Aziz dan Al-Gharib.
Yang dimaksud kitab-kitab dalam hadits masyhur adalah hadits masyhur yang
tersebar di kalangan tertentu, bukan masyhur menurut istilah (ahli hadis), diantaranya:
1. Al-Maqasid Al-Hasanah fi Masytahara ‘Alal Alsinah, karya As-Sakhawi.
2. Kasyfu Al-Khafa wa Muzial Ilbas fi Masytahara min Al-Hadits ala Alsinah An-Nas,
karya Al-Ajlawani.
3. Tamyiz At-Tib min Al-Khabits fi Ma Yaduru ala Alsinah An-Nas min Al-Hadits, karya
Ibnu Ad-Daiba’ As-Syaibani.
Hadis Aziz
Definisi
Secara etimologi: Al-Aziz adalah sifah musyabbahah dari kata azza ya’izzu yang
berarti sedikit atau jarang, atau juga dari kata azza ya’azzu yang berarti kuat atau
meningkat. Disebut demikian karena sedikit dan jarang keberadaannya, atau kuatnya
dikarenakan datang dari jalur lain.
Secara terminologi: Hadis yang rawinya tidak kurang dari dua orang pada
setiap tingkatan sanadnya.
Penjelasan Definisi
Maksudnya adalah tidak boleh kurang di setiap tingkatan sanadnya dari dua
orang, akan tetapi jika ada di sebagian tingkatan sanadnya tiga atau lebih maka hal
tersebut tidak merusak (statusnya menjadi aziz), dengan syarat ada satu tingkatan yang
terdapat dua orang rawi, sebab tolak ukur dalam hal ini adalah jumlah minimal rawi di
dalam tingkatan sanad.
Definisi ini adalah yang paling kuat seperti yang telah ditetapkan oleh Al-
Hafizh Ibnu Hajar, sebagian ulama berkata, “Aziz adalah yang diriwayatkan oleh dua
atau tiga orang.” Mereka tidak memisahkannya dengan masyhur pada sebagian
kondisinya.
Diriwayatkan oleh Syaikhain (Al-Bukhori dan Muslim) dari hadis Anas RA, dan
Al-Bukhori dari hadits Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
َال ُيْؤ ِم ُن َأَح ُد ْمُك َح ىَّت َأُكوَن َأَحَّب َلْي ِه ِم ْن َو اِدِل ِه َو َو ِدَل ِه َو الَّناِس َأَمْج ِع َني
ِإ
“Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian hingga ia lebih mencintai
aku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan manusia semuanya.”
Hadits tersebut diriwayatkan dari Anas oleh Qatadah dan Abdul Aziz bin
Shuhaib, dan dari Qatadah oleh Syu’bah dan Sa’id, serta dari Abdul Aziz oleh Isma’il
bin Ulaiyah dan Abdul Warits dan dari masing-masing mereka sekelompok orang.
Para ulama belum menyusun kitab khusus untuk hadits aziz. Hal ini
dikarenakan sedikitnya hadits aziz dan bahkan tidak ada manfaatnya dalam menyusun
kitab tersebut.
Hadits Gharib
Maksudnya adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu rawi, baik
disetiap tingkatan sanadnya atau di sebagian tingkatan sanadnya meskipun hanya satu
tingkatan. Lebih dari satu rawi di tingkatan lainnya tidak merusak (definisi) gharib,
karena tolak ukur dalam hal ini adalah rawi yang paling sedikit.
Para ulama banyak menamakan hadits gharib dengan nama yang lain yaitu Al-
Fard (tunggal), karena keduanya memiliki arti yang sama.
Sebagian ulama yang lain membedakan kedua hadits tersebut dan menjadikan
keduanya macam yang berbeda. Akan tetapi Al-Hafidz Ibnu Hajar menganggap
keduanya sama, secara bahasa maupun istilah, dan dia berkata, “Ulama Musthalah
membedakan antara keduanya dilihat dari sisi banyak dan sedikit penggunaan. Al Fard
banyak digunakan untuk fard yang mutlak, sedangkan gharib banyak yang digunakan
untuk fard yang nisbi.”
Ditinjau dari sisi letak sendirinya seorang rawi hadits, gharib dibagi menjadi
dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
1. Gharib mutlak atau fard mutlak:
a. Gharib mutlak adalah jika kesendirian rawi berada di awal sanad, atau yang
diriwayatkan oleh satu rawi secara sendiri pada awal sanadnya.
b. Contoh hadits, “semua perbuatan tergantung niatnya”, hadits ini
diriwayatkan oleh Umar bin Khattab RA secara sendiri, bisa jadi kesendirian
riwayat ini berlanjut hingga akhir sanad, atau bisa jadi juga diriwayatkan
dari rawi yang sendiri tadi oleh banyak rawi.
2. Gharib nisbi atau fard nisbi:
a. Gharib nisbi adalah jika kesendirian rawi berada di pertengahan sanad, atau
hadits yang diriwayatkan beberapa rawi di awal sanadnya, kemudian
dipertengahan sanad diriwayatkan oleh satu rawi secara sendiri dari
beberapa rawi tadi.
b. Contoh: Hadis Malik dari Az-Zuhri dari Anas, bahwa Nabi Muhammad
SAW masuk kota Mekah dengan mengenakan topi baju besi di kepalanya.
Malik meriwayatkan hadis ini secara sendiri dari Az Zuhri.
c. Mengapa dinamakan gharib nisbi?
Dinamakan gharib nisbi dikarenakan kesendirian riwayat yang terjadi
berkenaan dengan orang tertentu.
Pembagian Lain
Para Ulama membagi gharib ditinjau dari sisi sanad dan matannya menjadi:
1. Gharib matan dan sanad, yaitu hadits yang matannya hanya diriwayatkan oleh
seorang rawi saja.
2. Gharib sanad, tanpa matan, seperti hadits yang matannya diriwayatkan oleh
sekelompok shahabat, namun diriwayatkan secara sendiri oleh seorang shahabat
dari shahabat yang lain. Dalam hal ini Imam Tirmidzi berkata, “Gharib dari sisi
ini”.
Asumsi Gharib
1. Musnad Al-Bazzar
2. Al-Mu’jam Al-Ausath karya Imam At-Tabrani
Khabar ahad: Masyhur, Aziz, Gharib ditinjau dari sisi kuat dan lemahnya dibagi
menjadi dua:
Hadis yang diterima apabila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya dibagi
menjadi dua bagian pokok: Shahih dan Hasan, setiap dari keduanya dibagi menjadi
dua bagian: lidzatihi (karena dzatnya) dan lighairihi (karena yang lainnya). Dengan ini
hadits yang diterima terbagi menjadi empat bagian:
1. Shahih lidzatihi
2. Hasan lidzatihi
3. Shahih lighoirihi
4. Hasan lighoirihi
Hadits Shahih
Secara etimologi: As-Shahih lawan kata dari saqim (sakit). Kata ini digunakan
secara hakikat untuk badan dan secara majaz untuk hadits dan yang lainnya.
Definisi tersebut mencakup beberapa hal yang harus ada di dalam suatu hadits
agar dapat dinilai menjadi shahih, yaitu:
1. Sanadnya bersambung, yang berarti setiap rawi dalam hadits tersebut benar-
benar telah mengambil secara langsung dari gurunya, hal seperti ini diharuskan
mulai mulai dari awal sanad hingga akhirnya.
2. Sifat adil seorang rawi. Maksud adil disini ialah setiap rawi hadits harus
memiliki sifat sebagai muslim, balig, berakal, tidak fasik dan tidak tercela
perilakunya.
3. Sifat dhabith seorang rawi, yaitu setiap rawi hadits tersebut harus benar-benar
sempurna hafalannya, baik hafalan tanpa menggunakan kitab maupun
menggunakan kitab (yang terjaga dari pemalsuan).
4. Tidak Syadz, yaitu benar-benar tidak ada penyimpangan dalam hadits tersebut.
Syadz adalah rawi yang tsiqoh menyelisihi riwayat rawi yang lebih tsiqoh
darinya.
5. Tidak ada cacat (‘illat), yaitu hadits tersebut benar-benar tidak terdapat
kecacatan di dalamnya. Cacat (dalam hadits) adalah sebab perusak hadits yang
bersifat samar dan tersembunyi, walau pun hadits tersebut terlihat selamat dari
sebab-sebab tersebut.
Terlihat jelas dari penjelasan definisi, bahwa ada lima syarat yang harus ada
dalam suatu hadits agar dapat dinilai menjadi hadits shahih, yaitu: sanadnya
bersambung, sifat adil dalam seorang rawi, sifat dhabit dalam seorang rawi, tidak
syadz, tidak ada cacat (‘illat).
Apabila hilang salah satu syarat dari kelima hadits ini, hadits tersebut tidak bisa
dinamakan hadits shahih.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori di dalam kitab shahihnya, dia
berkata,, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin
Muth’im dari Bapaknya yang berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW
dalam salat maghrib membaca surah Ath-Thur.”
Kitab tunggal yang pertama kali ditulis mengenai hadits shahih adalah Shahih
Al-Bukhori kemudian Shahih Muslim, keduanya adalah kitab paling terpercaya setelah
Al-Qur’an, dan umat Islam pun sepakat menerima keduanya dengan lapang dada.
Hadits Hasan
Secara etimologi: Al-Hasan adalah sifah musyabbahah dari kata Al-Husnu yang
berarti keindahan.
Secara terminologi: Hadis Hasan berada di pertengahan antara hadits shahih dan
hadits dhoif, maka dari itu ulama berbeda pendapat mengenai definisi hadits hasan,
bahkan sebagian ulama mendefinisikan salah satu jenis hasan.
Hadits ini adalah hadits hasan dikarenakan keempat rawinya semua tsiqoh
kecuali Ja’far bin Sulaiman Adh-Dhuba’i, dia adalah seorang yang baik haditsnya
(hasan al-hadits), karena itulah hadits ini kedudukannya turun dari hadits shahih
menjadi hadits hasan.
1. Tingkatan paling tinggi: Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya, Amru
bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, juga Ibnu Ishaq dari At-Taimi, dan
yang semisalnya yang dikatakan shahih walau pun di tingkat yang paling
rendah.
2. Tingkatan yang selanjutnya yang diperselisihkan dalam keshahihan atau
kedhaifannya, seperti hadits Al-Harits bin Abdullah, Ashim bin Dhamrah, Hajjaj
bin Artha’ah dan yang semisalnya.
1. Jami’ At-Tirmidzi
2. Sunan Abi Dawud
3. Sunan Ad-Daruquthni.
Shahih Lighairihi
Shahih Lighoirihi adalah hadits hasan lidzatihi jika diriwayatkan dari jalan lain
dengan yang semisalnya atau yang lebih kuat darinya.
Hadits shahih lighoirihi lebih tinggi kedudukannya dari hasan lidzatihi dan lebih
rendah dari shahih lidzatihi.
Hadits Muhammad bin Amru dari Abu Salamah bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
َلْو اَل َأْن َأُش َّق َعىَل ُأَّم يِت َأَلَم ْر ُهُتْم اِب ْلُو ُض وِء ِع ْنَد ِّلُك َص اَل ٍة
Hasan Lighoirihi
Hasan Lighoirihi adalah hadits dhoif yang mempunyai banyak jalur, dengan
catatan lemahnya hadits tersebut tidak disebabkan oleh rawinya yang fasik atau
seorang pembohong.
Dari definisi di atas bisa diambil kesimpulan, bahwa hadits lemah atau dhoif
bisa naik tingkatannya menjadi hasan lighoirihi dengan dua syarat:
1. Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain, satu atau pun lebih, asalkan jalur
lain tersebut semisal atau lebih kuat darinya.
2. Sebab kelemahan hadits tersebut adalah karena lemahnya hafalan rawi,
sanadnya terputus, atau rawi hadits tersebut tidak diketahui (majhul).
Hadits Hasan lighoirihi lebih rendah tingkatannya dari hasan lidzatihi, maka jika
bertentangan antara hasan lidzatihi dan hasan lighoirihi yang dikedepankan adalah
hasan lidzatihi.
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dihasankan olehnya dari jalur
Syu’bah dari Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dari
Bapaknnya, bahwa ada seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar
berupa sepasang sendal, maka Rasulullah SAW bertanya,
“Apakah kamu rela atas diri dan hartamu dengan dua sendal ini?” dia
menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi membolehkannya.
Imam At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits semakna diriwayatkan dari Umar, Abu
Hurairah, Aisyah dan Abu Hadrad.”
Khabar yang ditolak adalah khabar yang tidak kuat kejujuran pembawa
beritanya. Yaitu dengan hilangnya salah satu syarat atau lebih dari syarat hadits shahih.
Para ulama telah membagi khabar yang ditolak menjadi banyak macam, serta
menamai macam-macam tersebut dengan nama khusus, dan sebagian ulama tidak
mengkhususkan nama untuknya, akan tetapi memberi nama umum dengan “Adh-
Dhoif”.
Adapun sebab ditolaknya suatu hadis sangat banyak, akan tetapi bisa
dirangkum ke dalam dua sebab utama, yaitu:
1. Terputus sanad.
2. Perawi yang tercela.
Hadis Dhoif
Secara etimologi: Adh-Dhoif adalah antonim dari kata al-Qowiy (kuat), dhoif
memiliki arti yang bersifat empiris juga maknawi, yang dimaksud disini adalah arti
maknawi.
Sanad-Sanad Terlemah
1. Sanad terlemah yang dinisbarkan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq: Shadaqah bin
Musa Ad-Daqiqi dari Farqod As-Sabakhi dari Murrah At-Thib dari Abu Bakar.
2. Sanad terlemah dari penduduk Syam: Muhammad bin Qois Al-Maslub dari
Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin Zaid dari Al-Qasim dari Abu Umamah.
3. Sanad terlemah dari Ibnu Abbas: As-Suddi As-Shagir Muhammad bin Marwan
dari Al-Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas. Al-Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan, “Ini adalah rangkaian kebohongan, bukan rangkaian emas.”
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari jalur Al-Atsram dari Abi
Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi yang mengatakan:
َمْن َأىَت َح اِئًض ا َأِو اْم َر َأًة ىِف ُد ُبِر َها َأْو اَك ِه ًنا َفَقْد َكَفَر ِبَم ا ُأْنِز َل َعىَل ُم َح َّم ٍد
Menurut pendapat ahli hadits dan yang lainnya, boleh meriwayatkan hadits
dhaif, dan sedikit bertoleran dengan sanad-sanadnya tanpa menerangkan
kelemahannya, berbeda dengan hadits palsu, yang tidak boleh untuk diriwayatkan
kecuali diterangkan kelemahannya dengan dua syarat:
Yang berarti boleh untuk meriwayatkan hadits dhaif dalam hal nasihat, anjuran-
anjuran, ancaman, kisah-kisah, dan yang semisalnya. Pakar hadits yang berpendapat
demikian di antaranya Sufyan At-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal.
Gugurnya sanad dilihat dari sisi jelas dan tersembunyinya terbagi menjadi dua:
Para ulama membagi gugurnya sanad secara jelas menjadi empat (nama),
tergantung pada tempat gugur, dan jumlah rawi yang gugur pada sanad
tersebut, yaitu:
Yang mengetahui hal ini hanya para pakar hadits yang sangat teliti serta
mendalami jalur-jalur hadits dan cacat-cacat (‘ilal) yang terdapat pada sanad.
Al-Maudhu’
Jika cacatnya rawi adalah sengaja berdusta atas Rasulullah SAW maka haditsnya
dinamakan maudhu’ (palsu).
Definisi
Secara etimologi: Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wadha’a yang berarti
meletakkan, dinamakan demikian dikarenakan kedudukannya yang buruk.
Derajatnya
Para ulama sepakat, bahwasanya tidak boleh bagi siapa pun yang mengetahui
kepalsuan hadits tersebut untuk meriwayatkannya.
Hadits yang dibuat Muhammad bin Sa’id As-Syami. Dia mengatakan bahwa
Humaid meriwayatkan hadits dari Anas, kemudian dari Rasulullah yang berkata:
Artinya, “Aku penutup para Nabi. Tidak ada Nabi setelahku, kecuali bila Allah
menghendaki.”
“Apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. dari Allah ‘Azza wa Jalla.”
ما أضيف إىل النيب صىل هللا عليه وسمل من قول أو فعل أو تقرير أو صفة
“Apa yang dinisbahkan kepada Tabi’in dan yang lebih rendah dari
Tabi’in (Tabi’ut Tabi’in). Baik berupa perkataan maupun perbuatan.”
Kesimpulan
Hadis terbagi menjadi empat yaitu hadis shahih, hasan, dhaif dan maudhu’.
Hadits shahih dan hasan merupakan hadis yang diterima (maqbul) terbagi menjadi
empat yaitu Shahih Lidzatihi, Hasan Lidzatihi, Shahih Lighairihi, dan Hasan Lighairihi.
Sedangkan hadis yang ditolak (mardud) ada dua yaitu hadits dhoif dan maudhu’,
kendati pun demikian ada beberapa hadis dhoif yang boleh digunakan untuk fadhailul
amal tergantung dari kadar kedhaifannya, sedangkan hadits maudhu’ para ‘ulama
sepakat tidak boleh diriwayatkan dan dijadikan sebagai dasar untuk beramal.
Daftar Pustaka
Ath-Thahhan, Mahmud. Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Terj. Bahak Asadullah, Judul. Asli
(Musthalah Al-Hadis), Jakarta: Ummul Qura, 2016.