Anda di halaman 1dari 26

Terminologi Hadits

Ajen Jaenudin

Universitas PTIQ Jakarta

ajen.jaenudinmz@gmail.com

Abstrak

Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, keotentikannya
sangatlah diperhatikan oleh para ulama. Untuk mengetahui keotentikan suatu hadis para
ulama membuat istilah-istilah di dalam ilmu hadis guna mengetahui kedudukan suatu hadis,
secara umum terbagi menjadi beberapa kategori yaitu hadits shahih, hasan, dhaif, dan
maudhu’. Tingkatan-tingkatan tersebut disesuaikan dengan metode dalam penelusuran suatu
hadits, dan terbagi-bagi lagi menjadi beberapa cabang atau istilah. Penting bagi seseorang yang
mempelajari ilmu hadits untuk mengetahui istilah-istilah tersebut. Dalam tulisan ini penulis
akan membahas tentang istilah-istilah dalam ilmu hadis yang diberi judul ‘terminologi hadis’ di
dalamnya memuat definisi, pembagian, contoh dan hukumnya.

Kata Kunci: Term, Hadis, Pembagian, Hukum.

Abstract

Hadith is the second source of Islamic law after the Qur'an, its authenticity is very much
considered by scholars. To determine the authenticity of a hadith, scholars have created terms
in the science of hadith to determine the position of a hadith, generally divided into several
categories, namely sahih hadith, hasan, dhaif, and maudhu'. These levels are adjusted to the
method of searching for a hadith, and are further divided into several branches or terms. It is
important for someone studying hadith science to know these terms. In this paper, the author
discusses the terms in hadith science under the title 'terminology of hadith' which includes
definitions, divisions, examples and rulings.

Keywords: Term, Hadith, Division, Ruling.


Pendahuluan

Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, digunakan
sebagai rujukan dan tuntunan dalam kehidupan. Sayangnya tidak semua hadits dapat
dijadikan rujukan, karena pada perkembangannya muncul riwayat-riwayat yang lemah
(tidak dapat dipercaya), bahkan ditemukan hadis-hadis palsu. Para Ulama telah
melakukan usaha yang luar biasa dalam rangka menjaga keaslian hadits, mulai dari
kodifikasi hingga verifikasi atas keotentikan riawayatnya. Usaha tersebut melahirkan
terminologi yang kemudian dikenal sebagai Ilmu Musthalah Al-Hadis. Dalam tulisan
ini disusunlah terminologi hadits yang memuat definisi, pembagian, contoh dan
hukumnya. Agar dapat dibedakan mana hadits yang dapat dijadikan rujukan dan
hadits yang tidak boleh dijadikan rujukan.

Metode

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode kualitatif dengan
pendekatan studi kepustakaan (library research) menggunakan analisis deskripstif.

Hasil dan Pembahasan

Pengertian Dasar

1. Ilmu Musthalah
Ilmu dengan dasar-dasar kaidah yang digunakan untuk mengetahui kondisi
sanad dan matan dari sisi diterima atau tidaknya suatu riwayat.
2. Pokok Pembahasan
Diterima atau tidaknya suatu sanad dan matan hadits.
3. Faedah Ilmu Musthalah
Membedakan sehat atau cacatnya suatu matan hadits.
4. Al-Hadis
a. Secara etimologi: sesuatu yang baru, bentuk jamak dari hadits adalah ahadits.
b. Secara terminologi: apa saja yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat.
5. Al-Khabar
a. Secara etimologi: berita, bentuknya adalah akhbar.
b. Secara terminologi, ada tiga pendapat:
1) Sinonim dari Al-Hadits yang berarti keduanya sama dengan satu istilah.
2) Berbeda dengan Al-Hadits: Al-Hadits adalah apa saja yang dinisbatkan
kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan Al-Khabar adalah apa saja
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW dan selain Nabi
Muhammad SAW.
3) Lebih umum dari Al-Hadits: Al-Hadits adalah apa saja yang dinisbatkan
kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan Al-Khabar adalah apa saja
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW dan selain Nabi
Muhammad SAW.
6. Al-Atsar
a. Secara etimologi: sisa atau bekas.
b. Secara terminologi, ada dua pendapat:
1) Sinonim dari Al-Hadits: yang berarti makna keduanya sama dalam satu
istilah.
2) Berbeda dengan Al-Hadits. Al-Atsar yaitu perkataan dan perbuatan yang
dinisbatkan kepada shahabat dan tabi’in.
7. Al-Isnad memiliki dua arti
a. Menisbatkan suatu perkataan kepada orang yang mengatakan secara
bersanad.
b. Rangkaian rawi-rawi yang menghubungkan ke matan hadits, dengan
demikian berarti sinonim dari As-Sanad.
8. As-Sanad
a. Secara etimologi: yang dijadikan sandaran, dinamakan demikian
dikarenakan suatu hadits disandarkan dan digantungkan kepadanya.
b. Secara terminologi: Rangkaian rawi-rawi yang menghubungkan ke matan
hadits.
9. Al-Matan
a. Secara etimologi: tanah yang keras dan tinggi.
b. Secara terminologi: kalimat setelah berakhirnya suatu sanad.
10. Al-Musnad
a. Secara etimologi: isim maf’ul dari asnada yang berarti menyandarkan atau
menasabkan kepadanya.
b. Secara terminologi memiliki tiga arti:
1) Setiap kitab yang terkumpul di dalamnya riwayat para shahabat secara
terpisah.
2) Hadis marfu’ yang tersambung sanadnya.
3) Jika dimaksudkan untuk As-Sanad dia adalah masdar mimi.
11. Al-Musnid
Orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik orang itu mengerti apa
yang dia riwayatkan atau pun hanya sebatas riwayat saja.
12. Al-Muhaddits
Orang yang bergelut dalam ilmu hadits, baik dari sisi riwayah maupun dirayah,
juga mengetahui banyak riwayat hadits beserta kondisi perawinya.
13. Al-Hafidz, ada dua pendapat:
a. Menurut kebanyakan pakar hadits artinya sama dengan Al-Muhaddits.
b. Pendapat yang lain mengatakan dia mempunyai dua derajat lebih tinggi dari
Al-Muhaddits, karena apa yang dia ketahui di setiap tingkatan (thabaqah) lebih
banyak dari apa yang dia tidak ketahui.
14. Al-Hakim
Menurut pendapat sebagian ulama, dia adalah orang yang pengetahuannya
mencakup seluruh hadits-hadits sehingga tidak ada perkara yang tertinggal
olehnya kecuali sedikit.

Pembagian Hadits dari Segi Sampainya Kepada Kita

Dilihat dari sisi sampainya kepada kita, hadits dibagi menjadi dua:

1. Mutawatir, yaitu yang memiliki jalur (riwayat) dengan jumlah yang tidak
terbatas dengan bilangan tertentu.
2. Ahad, yaitu memiliki jalur (riwayat) dengan jumlah yang terbatas dengan
bilangan tertentu.
Keduanya memiliki pembagian dengan perinciannya masing-masing.

Hadits yang Mutawatir

Secara etimologi: isim fa’il yang diambil dari kata At-Tawatur yang berarti
berturut-turut, dikatakan tawatara Al-Matar artinya hujan itu turun secara berturut-
turut.

Secara terminologi: hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi, secara akal
ataupun adat mustahil mereka sepakat untuk mendustakan (khabar tersebut).
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan banyak perawi disetiap tingkatan
tingkatan sanadnya, yang secara akal dan adat menganggap mustahil rawi banyak
tersebut sepakat mendustakan khabar tersebut.

Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Terlihat jelas dari definisinya, bahwa khabar mutawatir tidak akan terjadi
kecuali dengan empat syarat:

1. Diriwayatkan oleh banyak rawi. Terdapat perselisihan mengenai jumlah


minimal banyaknya rawi, menurut pendapat yang terpilih, paling sedikit adalah
sepuluh orang.
2. Adanya rawi yang banyak tersebut di setiap tingkatan (tabaqah) sanadnya.
3. Menurut adat, mustahil bagi mereka sepakat untuk berdusta.
4. Khabar mereka disandarkan dengan panca indra, seperti perkataan mereka:
kami telah mendengar, kami telah melihat, kami telah merasakan, dan
seterusnya. Apabila khabar mereka disandarkan dengan akal maka tidak
dinamakan mutawatir, misalnya pernyataan tentang terjadinya alam.

Hukum Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir menunjukan pengetahuan yang bersifat pasti, atau


meyakinkan. Dengan kata lain, manusia dipaksa untuk percaya secara mutlak, seakan
menyaksikan perkataan tersebut dengan mata kepala sendiri, sehingga tidak mungkin
dia meragukan apa yang dia saksikan sendiri, seperti itu juga khabar mutawatir. Oleh
karena itulah, seluruh khabar mutawatir diterima dan tidak diperlukan untuk mencari
keberadaan rawi-rawinya.

Pembagian Mutawatir

Khabar Mutawatir dibagi menjadi dua: mutawatir secara lafal dan mutawatir
secara makna.

1. Mutawatir secara lafal adalah khabar yang mutawatir lafal dan makna hadisnya.
Seperti hadis, “barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka bersiaplah
menempati tempat tinggalnya di neraka.” Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari
tujuh puluh shahabat.
2. Mutawatir secara makna adalah khabar yang mutawatir maknanya saja, tanpa
lafalnya. Seperti hadis mengangkat kedua tangan ketika berdoa, diriwayatkan
dari Rasulullah SAW kurang lebih seratus hadis dalam mengangkat kedua
tangan ketika berdoa, akan tetapi pada perkara yang berbeda-beda. Perkara
yang berbeda ini tidak dikatakan mutawatir, akan tetapi kesatuan makna dari
perkara-perkara ini, yaitu mengangkat kedua tangan ketika berdoa termasuk
mutawatir jika ditinjau dari pengumpulan jalur hadisnya.

Keberadaan Mutawatir

Jumlah hadis mutawatir tidak begitu banyak, di antaranya hadis tentang Al-
Haudh (telaga), hadis mengusap kedua buah khuf, hadits mengangkat kedua tangan
ketika salat, hadis “Allah akan memperindah wajah seseorang”, dan masih banyak
yang lainnya. Akan tetapi jika dibandingkan dengan jumlah hadits ahad, hadits
mutawatir akan terlihat sangat sedikit.

Kitab-Kitab Populer tentang Hadits Mutawatir

Para ulama telah memberikan perhatian mereka dalam mengumpulkan hadits-


hadits mutawatir di dalam satu kitab yang terpisah, sehingga memudahkan para
pencari ilmu untuk merujuk kepadanya, diantaranya:

1. Al-Azhar Al-Mutanasirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya Imam Suyuthi, kitab


ini tersusun per bab.
2. Qatful Azhar, juga karya Imam Suyuthi. Merupakan ringkasan dari kitab yang
pertama.
3. Nazmu Al-Mutanatsir min Al-Ahadits Al-Mutawatir, karya Muhammad bin Ja’far
Al-Kattani.

Hadis Ahad

Secara etimolog: Al-Ahad merupakan bentuk jamak dari ahad yang berarti satu,
khabar al-wahid adalah berita yang hanya diriwayatkan oleh satu orang. Secara
terminologi: khabar yang belum terkumpul padanya syarat-syarat mutawatir.

Hukum Hadis Ahad

Hadis ahad menunjukan pengetahuan yang bersifat teori, yaitu yang bergantung
pada teori dan kesimpulan (dalil).
Pembagian Hadits Ahad Menurut Jumlah Jalurnya

Khabar Ahad menurut jumlah jalurnya (riwayat) dibagi menjadi tiga:

1. Masyhur
2. Aziz
3. Gharib

Hadis Al-Masyhur

Definisi

Secara etimologi: isim maf’ul dari Syahartu Al-Amra yang berarti aku
mengumumkan dan menampakannya, dikatakan demikian karena nampaknya.

Secara terminologi: hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi di setiap tingkatan
sanadnya dan belum mencapai batas mutawatir.

Contoh hadits masyhur:

‫َّن اَهَّلل اَل َيْقِبُض اْلِع َمْل اْنَزِت اًعا َيْنِزَت ُعُه‬
‫ِإ‬
Al-Mustafidh

Secara etimologi: isim fail dari kata istifadha, bentuk pecahan dari kata fada al-ma’
(air yang meluap), dinamakan demikian karena tersebarnya air tersebut.

Secara terminologi terdapat tiga pendapat:

1. Sinonim dari masyhur


2. Lebih khusus dari masyhur, karena disyaratkan dalam mustafidh kesamaan
jumlah rawi pada akhir sanadnya, sedangkan hal ini tidak disyaratkan pada
hadits masyhur.
3. Lebih umum dari masyhur.

Masyhur Selain Istilah Pakar Hadits

Yang dimaksud hadits masyhur di sini adalah hadits yang familiar di telinga
kalangan tertentu, tanpa melihat syarat-syarat yang baku dalam ilmu musthalah, maka
mencakup:
1. Hadits yang hanya memiliki satu jalur (sanad).
2. Hadits yang memiliki lebih dari satu jalur.
3. Hadits yang tidak mempunyai jalur sama sekali.

Macam-Macam Masyhur Selain dari Istilah Pakar Hadits

Masyhur ini memiliki banyak macam, di antara yang populer adalah:

1. Masyhur di kalangan para hadits saja, contohnya hadis Anas RA, “Rasulullah
SAW pernah melaksanakan qunut selama satu bulan setelah rukuk, untuk
mendoakan (kehancuran) atas suku Ri’la dan Dzakwan.”
2. Masyhur di kalangan pakar hadits, para ulama dan orang awam, contohnya
adalah hadits, “Orang muslim adalah orang lain yang terhindar dari (bahaya)
lidahnya dan tangannya.”
3. Masyhur di kalangan pakar Fikih, contohnya adalah hadits, “perkara halal yang
paling Allah benci adalah perceraian.”
4. Masyhur di kalangan pakar usul fikih, contohnya adalah hadits, “sesungguhnya
Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan
sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” Hadis ini dibenarkan oleh Ibnu Hibban
dan Al-Hakim.
5. Masyhur di kalangan pakar nahwu, contohnya adalah hadits, “sebaik-baik
hamba adalah shuhaib, sendainya dia tidak takut kepada Allah dia tidak akan
bermaksiat kepada-Nya.” Hadis ini tidak ada asal-usulnya.
6. Masyhur di kalangan orang awam, contohnya adalah hadits, “sifat tergesa-gesa
adalah dari setan”, hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan
dihasankan olehnya.

Hukum Hadits Masyhur

Masyhur yang menurut istilah maupun yang tidak termasuk istilah (ahli hadits)
tidak bisa diklaim sebagai hadits shohih atau tidak shahih, melainkan ada yang shahih,
hasan, dhaif, bahkan palsu. Akan tetapi, jika hadits masyhur yang menurut istilah
shahih maka mempunyai kedudukan lebih kuat dari Al-Aziz dan Al-Gharib.

Kitab-Kitab Hadits Masyhur yang Populer

Yang dimaksud kitab-kitab dalam hadits masyhur adalah hadits masyhur yang
tersebar di kalangan tertentu, bukan masyhur menurut istilah (ahli hadis), diantaranya:
1. Al-Maqasid Al-Hasanah fi Masytahara ‘Alal Alsinah, karya As-Sakhawi.
2. Kasyfu Al-Khafa wa Muzial Ilbas fi Masytahara min Al-Hadits ala Alsinah An-Nas,
karya Al-Ajlawani.
3. Tamyiz At-Tib min Al-Khabits fi Ma Yaduru ala Alsinah An-Nas min Al-Hadits, karya
Ibnu Ad-Daiba’ As-Syaibani.

Hadis Aziz

Definisi

Secara etimologi: Al-Aziz adalah sifah musyabbahah dari kata azza ya’izzu yang
berarti sedikit atau jarang, atau juga dari kata azza ya’azzu yang berarti kuat atau
meningkat. Disebut demikian karena sedikit dan jarang keberadaannya, atau kuatnya
dikarenakan datang dari jalur lain.

Secara terminologi: Hadis yang rawinya tidak kurang dari dua orang pada
setiap tingkatan sanadnya.

Penjelasan Definisi

Maksudnya adalah tidak boleh kurang di setiap tingkatan sanadnya dari dua
orang, akan tetapi jika ada di sebagian tingkatan sanadnya tiga atau lebih maka hal
tersebut tidak merusak (statusnya menjadi aziz), dengan syarat ada satu tingkatan yang
terdapat dua orang rawi, sebab tolak ukur dalam hal ini adalah jumlah minimal rawi di
dalam tingkatan sanad.

Definisi ini adalah yang paling kuat seperti yang telah ditetapkan oleh Al-
Hafizh Ibnu Hajar, sebagian ulama berkata, “Aziz adalah yang diriwayatkan oleh dua
atau tiga orang.” Mereka tidak memisahkannya dengan masyhur pada sebagian
kondisinya.

Contoh Hadits Aziz

Diriwayatkan oleh Syaikhain (Al-Bukhori dan Muslim) dari hadis Anas RA, dan
Al-Bukhori dari hadits Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫َال ُيْؤ ِم ُن َأَح ُد ْمُك َح ىَّت َأُكوَن َأَحَّب َلْي ِه ِم ْن َو اِدِل ِه َو َو ِدَل ِه َو الَّناِس َأَمْج ِع َني‬
‫ِإ‬
“Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian hingga ia lebih mencintai
aku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan manusia semuanya.”

Hadits tersebut diriwayatkan dari Anas oleh Qatadah dan Abdul Aziz bin
Shuhaib, dan dari Qatadah oleh Syu’bah dan Sa’id, serta dari Abdul Aziz oleh Isma’il
bin Ulaiyah dan Abdul Warits dan dari masing-masing mereka sekelompok orang.

Kitab-Kitab Hadits Aziz yang Populer

Para ulama belum menyusun kitab khusus untuk hadits aziz. Hal ini
dikarenakan sedikitnya hadits aziz dan bahkan tidak ada manfaatnya dalam menyusun
kitab tersebut.

Hadits Gharib

Secara etimologi: Al-Gharib merupakan sifah musyabbahah yang bermakna yang


sendiri atau yang jauh dari kerabat-kerabatnya. Secara terminologi: Al-Gharib adalah
hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu rawi.

Maksudnya adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu rawi, baik
disetiap tingkatan sanadnya atau di sebagian tingkatan sanadnya meskipun hanya satu
tingkatan. Lebih dari satu rawi di tingkatan lainnya tidak merusak (definisi) gharib,
karena tolak ukur dalam hal ini adalah rawi yang paling sedikit.

Nama Lain Hadits Gharib

Para ulama banyak menamakan hadits gharib dengan nama yang lain yaitu Al-
Fard (tunggal), karena keduanya memiliki arti yang sama.

Sebagian ulama yang lain membedakan kedua hadits tersebut dan menjadikan
keduanya macam yang berbeda. Akan tetapi Al-Hafidz Ibnu Hajar menganggap
keduanya sama, secara bahasa maupun istilah, dan dia berkata, “Ulama Musthalah
membedakan antara keduanya dilihat dari sisi banyak dan sedikit penggunaan. Al Fard
banyak digunakan untuk fard yang mutlak, sedangkan gharib banyak yang digunakan
untuk fard yang nisbi.”

Pembagian Hadis Gharib

Ditinjau dari sisi letak sendirinya seorang rawi hadits, gharib dibagi menjadi
dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
1. Gharib mutlak atau fard mutlak:
a. Gharib mutlak adalah jika kesendirian rawi berada di awal sanad, atau yang
diriwayatkan oleh satu rawi secara sendiri pada awal sanadnya.
b. Contoh hadits, “semua perbuatan tergantung niatnya”, hadits ini
diriwayatkan oleh Umar bin Khattab RA secara sendiri, bisa jadi kesendirian
riwayat ini berlanjut hingga akhir sanad, atau bisa jadi juga diriwayatkan
dari rawi yang sendiri tadi oleh banyak rawi.
2. Gharib nisbi atau fard nisbi:
a. Gharib nisbi adalah jika kesendirian rawi berada di pertengahan sanad, atau
hadits yang diriwayatkan beberapa rawi di awal sanadnya, kemudian
dipertengahan sanad diriwayatkan oleh satu rawi secara sendiri dari
beberapa rawi tadi.
b. Contoh: Hadis Malik dari Az-Zuhri dari Anas, bahwa Nabi Muhammad
SAW masuk kota Mekah dengan mengenakan topi baju besi di kepalanya.
Malik meriwayatkan hadis ini secara sendiri dari Az Zuhri.
c. Mengapa dinamakan gharib nisbi?
Dinamakan gharib nisbi dikarenakan kesendirian riwayat yang terjadi
berkenaan dengan orang tertentu.

Macam-Macam Gharib Nisbi

Terdapat beberapa macam kesendirian (tafarrud) yang mungkin bisa diaggap


sebagai gharib nisbi, dikarenakan kesendiriannya dalam meriwayatkan hadits tidak
mutlak, akan tetapi berkenaan dengan hal tertentu, diantara lain:

1. Kesendirian tsiqoh (rawi yang terpercaya) dalam meriwayatkan hadis, seperti


pernyataan mereka, “Tidak diriwayatkan tsiqoh kecuali fulan.”
2. Kesendirian rawi tertentu dari rawi tertentu, seperti pernyataan mereka, “Fulan
meriwayatkannya secara sendiri dari si fulan,” walaupun diriwayatkan dengan
jalur lain dari selain dia.
3. Kesendirian riwayat penduduk negeri atau daerah tertentu, seperti pernyataan
mereka, “Diriwayatkan secara sendiri oleh penduduk Mekah, atau penduduk
Syam.”
4. Kesendirian riwayat penduduk negara atau daerah tertentu dari penduduk
negara atau daerah tertentu, seperti pernyataan mereka, “Diriwayatkan secara
sendiri oleh penduduk Bashrah dari Penduduk Madinah, atau diriwayatkan
secara sendiri oleh Penduduk Syam dari Penduduk Hijaz.”

Pembagian Lain

Para Ulama membagi gharib ditinjau dari sisi sanad dan matannya menjadi:

1. Gharib matan dan sanad, yaitu hadits yang matannya hanya diriwayatkan oleh
seorang rawi saja.
2. Gharib sanad, tanpa matan, seperti hadits yang matannya diriwayatkan oleh
sekelompok shahabat, namun diriwayatkan secara sendiri oleh seorang shahabat
dari shahabat yang lain. Dalam hal ini Imam Tirmidzi berkata, “Gharib dari sisi
ini”.

Asumsi Gharib

Yaitu kitab-kitab yang di dalamnya terdapat banyak contoh hadits gharib:

1. Musnad Al-Bazzar
2. Al-Mu’jam Al-Ausath karya Imam At-Tabrani

Kitab-Kitab Populer Tentang Gharib

1. Gharaib Malik karya Ad-Dharuquthni


2. Al-Afrad juga karya Ad-Dharuquthni
3. As-Sunan Al-Lati Tafarrada Bikulli Sunnatin minha Ahlu Baldah, karya Abu Dawud
As-Sajistani.

Pembagian Khabar Ahad Ditinjau dari Sisi Kuat dan Lemahnya

Khabar ahad: Masyhur, Aziz, Gharib ditinjau dari sisi kuat dan lemahnya dibagi
menjadi dua:

1. Maqbul (diterima), yaitu hadis yang unggul pembenaran kejujuran pembawa


beritanya.
Hukumnya: wajib dijadikan landasan dan diamalkan.
2. Mardud (ditolak), yaitu yang tidak unggul pembenaran kejujuran pembawa
beritanya.
Hukumnya: tidak bisa dijadikan landasan, dan tidak wajib untuk diamalkan.
Hadis yang Diterima (Al-Maqbul)

Hadis yang diterima apabila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya dibagi
menjadi dua bagian pokok: Shahih dan Hasan, setiap dari keduanya dibagi menjadi
dua bagian: lidzatihi (karena dzatnya) dan lighairihi (karena yang lainnya). Dengan ini
hadits yang diterima terbagi menjadi empat bagian:

1. Shahih lidzatihi
2. Hasan lidzatihi
3. Shahih lighoirihi
4. Hasan lighoirihi

Hadits Shahih

Secara etimologi: As-Shahih lawan kata dari saqim (sakit). Kata ini digunakan
secara hakikat untuk badan dan secara majaz untuk hadits dan yang lainnya.

Secara terminologi: As-Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya,


diriwayatkan oleh orang yang adil serta kuat ingatannya (dhabith), dari yang semisalnya
hingga akhir (sanad), tanpa ada penyimpangan (syudzudz) dan cacat (‘illat).

Definisi tersebut mencakup beberapa hal yang harus ada di dalam suatu hadits
agar dapat dinilai menjadi shahih, yaitu:

1. Sanadnya bersambung, yang berarti setiap rawi dalam hadits tersebut benar-
benar telah mengambil secara langsung dari gurunya, hal seperti ini diharuskan
mulai mulai dari awal sanad hingga akhirnya.
2. Sifat adil seorang rawi. Maksud adil disini ialah setiap rawi hadits harus
memiliki sifat sebagai muslim, balig, berakal, tidak fasik dan tidak tercela
perilakunya.
3. Sifat dhabith seorang rawi, yaitu setiap rawi hadits tersebut harus benar-benar
sempurna hafalannya, baik hafalan tanpa menggunakan kitab maupun
menggunakan kitab (yang terjaga dari pemalsuan).
4. Tidak Syadz, yaitu benar-benar tidak ada penyimpangan dalam hadits tersebut.
Syadz adalah rawi yang tsiqoh menyelisihi riwayat rawi yang lebih tsiqoh
darinya.
5. Tidak ada cacat (‘illat), yaitu hadits tersebut benar-benar tidak terdapat
kecacatan di dalamnya. Cacat (dalam hadits) adalah sebab perusak hadits yang
bersifat samar dan tersembunyi, walau pun hadits tersebut terlihat selamat dari
sebab-sebab tersebut.

Syarat-Syarat Hadits Shahih

Terlihat jelas dari penjelasan definisi, bahwa ada lima syarat yang harus ada
dalam suatu hadits agar dapat dinilai menjadi hadits shahih, yaitu: sanadnya
bersambung, sifat adil dalam seorang rawi, sifat dhabit dalam seorang rawi, tidak
syadz, tidak ada cacat (‘illat).

Apabila hilang salah satu syarat dari kelima hadits ini, hadits tersebut tidak bisa
dinamakan hadits shahih.

Contoh Hadits Shahih

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori di dalam kitab shahihnya, dia
berkata,, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin
Muth’im dari Bapaknya yang berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW
dalam salat maghrib membaca surah Ath-Thur.”

Hadits ini dikatakan shahih dikarenakan:

1. Sanadnya bersambung, setiap rawi dari hadits tersebut benar-benar telah


mendengar dari gurunya, adapun ‘an’anah (meriwayatkan dari gurunya dengan
kata ‘an (dari)) Malik, Ibnu Shihab, Ibnu Jubair dianggap bersambung karena
mereka bukan orang yang mudallis (penipu).
2. Semua rawi hadits tersebut bersifat adil dan mempunyai hafalan yang kuat
(dhabit). Berikut perincian sifat-sifat rawi hadits di atas menurut perkataan pakar
ilmu Jarh wa Ta’dil:
a) Abdullah bin Yusuf: tsiqoh mutqin.
b) Malik bin Anas: seorang imam dan hafizh (hadits)
c) Ibnu Shihab: pakar fikih (faqih), semua orang sepakat akan kehormatan dan
keulungannya.
d) Muhammad bin Jubair: tqisoh.
e) Jubair bin Muth’im: seorang sahabat Rasulullah SAW.
3. Hadits ini tidak syadz, dikarenakan hadits tersebut tidak bertentangan dengan
hadits yang lebih kuat darinya.
4. Tidak ada kecacatan sama sekali di dalamnya.

Hukum Hadits Shahih

Hadits shahih wajib untuk dijadikan landasan beramal menurut kesepakatan


ulama hadits, dan menurut orang yang perkataannya diterima dari pakar ushul fikih
dan pakar fikih. Hadits Shahih termasuk landasan hukum dalam syariat, dan seorang
muslim tidak boleh secara leluasa untuk tidak mengamalkannya.

Kitab yang Pertama Kali Ditulis Mengenai Hadits Shahih

Kitab tunggal yang pertama kali ditulis mengenai hadits shahih adalah Shahih
Al-Bukhori kemudian Shahih Muslim, keduanya adalah kitab paling terpercaya setelah
Al-Qur’an, dan umat Islam pun sepakat menerima keduanya dengan lapang dada.

Hadits Hasan

Secara etimologi: Al-Hasan adalah sifah musyabbahah dari kata Al-Husnu yang
berarti keindahan.

Secara terminologi: Hadis Hasan berada di pertengahan antara hadits shahih dan
hadits dhoif, maka dari itu ulama berbeda pendapat mengenai definisi hadits hasan,
bahkan sebagian ulama mendefinisikan salah satu jenis hasan.

a. Definisi Al-Khattabi: Hadits Hasan adalah hadits yang diketahui jalurnya,


populer rawi-rawinya, dan hal tersebut merupakan sifat kebanyakan hadits, juga
yang diterima oleh mayoritas ulama, dan dipakai oleh kebanyakan pakar fikih.
b. Definisi Imam At-Tirmidzi: Hadits yang tidak ada di dalamnya rawi yang
dituduh berdusta, tidak menyelisihi hadits yang lain (syadz), dan diriwayatkan
dari jalur lain dengan semisalnya.
c. Definisi Ibnu Hajar: Hadits ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil,
sempurna hafalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat juga tidak syadz maka
itu adalah shahih lidzatihi, jika sedikit lemah tingkat hafalannya (kedhobitannya)
maka dia adalah hasan lidzatihi.

Hukum Hadits Hasan


Hukum hadits hasan seperti hadis shahih dalam landasan hukum, walau pun
sedikit rendah kekuatannya dibandingkan hadits shohih, oleh karenanya hadits hasan
dijadikan landasan hukum oleh mayoritas pakar fikih dan mereka amalkan.

Menjadikan hadits hasan sebagai landasan hukum juga merupakan pendapat


mayoritas pakar hadits dan pakar usul fikih, kecuali pendapat menyimpang dari
golongan yang keras. Sebagian lain yang terlalu toleran memasukkannya ke dalam jenis
hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Huzaimah, meskipun demikian
mereka mengatakan hadits hasan lebih rendah tingkatannya dari hadits shahih, seperti
yang sudah diterangkan.

Contoh Hadits Hasan

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dia mengatakan, telah menceritakan


kepada kami Qutaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman
Adh-Dhuba’i dari Abu Imran Al-Jauni dari Abu Bakar bin Abu Musa Al-Asy’ari dia
berkata, “Aku mendengar Bapakku berkata di hadapan musuh, Rasulullah SAW
bersabda:

‫َّن َأْبَو اَب اْلَجَّنِة ْحَت َت ِظ اَل ِل الُّس ُيوِف‬


‫ِإ‬
“Sesungguhnya pintu-pintu surga berada di bawah naungan pedang ...”

Hadits ini adalah hadits hasan dikarenakan keempat rawinya semua tsiqoh
kecuali Ja’far bin Sulaiman Adh-Dhuba’i, dia adalah seorang yang baik haditsnya
(hasan al-hadits), karena itulah hadits ini kedudukannya turun dari hadits shahih
menjadi hadits hasan.

Tingkatan Hadits Hasan

Hadits hasan mempunyai tingkatan seperti hadits shahih, yang membedakan


yang satu dengan yang lainnya, Imam Adz-Dzahabi membaginya menjadi dua
tingkatan:

1. Tingkatan paling tinggi: Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya, Amru
bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, juga Ibnu Ishaq dari At-Taimi, dan
yang semisalnya yang dikatakan shahih walau pun di tingkat yang paling
rendah.
2. Tingkatan yang selanjutnya yang diperselisihkan dalam keshahihan atau
kedhaifannya, seperti hadits Al-Harits bin Abdullah, Ashim bin Dhamrah, Hajjaj
bin Artha’ah dan yang semisalnya.

Kitab-Kitab yang Banyak Mengandung Hadits Hasan

1. Jami’ At-Tirmidzi
2. Sunan Abi Dawud
3. Sunan Ad-Daruquthni.

Shahih Lighairihi

Shahih Lighoirihi adalah hadits hasan lidzatihi jika diriwayatkan dari jalan lain
dengan yang semisalnya atau yang lebih kuat darinya.

Dinamakan shahih lighoirihi dikarenakan hadits tersebut shahih bukan murni


dari sanadnya, akan tetapi dikarenakan bergabungnya jalur lain dengannya.

Kedudukan Hadits Shahih Lighoirihi

Hadits shahih lighoirihi lebih tinggi kedudukannya dari hasan lidzatihi dan lebih
rendah dari shahih lidzatihi.

Contoh Hadits Shahih Lighoirihi

Hadits Muhammad bin Amru dari Abu Salamah bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

‫َلْو اَل َأْن َأُش َّق َعىَل ُأَّم يِت َأَلَم ْر ُهُتْم اِب ْلُو ُض وِء ِع ْنَد ِّلُك َص اَل ٍة‬

“Kalau saja tidak memberatkan umat ku, niscaya aku benar-benar


memerintahkan kepada mereka untuk bersiwak di setiap kali salat.”

Ibnu Shalah mengatakan, “Muhammad bin Amru bin Al-Qamah terkenal


dengan kejujuran dan penjagaan (hadis), akan tetapi dia tidak tergolong sempurna
hafalannya (mutqin), bahkan sebagian ulama melemahkan kedudukannya dari segi
hafalannya yang buruk, dan sebagian lain menguatkannya dikarenakan kejujurannya
dan kehormatannya. Dilihat dari sisi tersebut hadits ini adalah hasan.
Ketika bergabung jalur lain karena diriwayatkan dari beberapa jalur hilang apa
yang kita takutkan, yaitu hafalannya yang buruk, maka tertutup kekurangan yang
sedikit tersebut, sanad hadits tersebut menjadi shahih dan hadits tersebut terangkat
menjadi shahih.

Hasan Lighoirihi

Hasan Lighoirihi adalah hadits dhoif yang mempunyai banyak jalur, dengan
catatan lemahnya hadits tersebut tidak disebabkan oleh rawinya yang fasik atau
seorang pembohong.

Dari definisi di atas bisa diambil kesimpulan, bahwa hadits lemah atau dhoif
bisa naik tingkatannya menjadi hasan lighoirihi dengan dua syarat:

1. Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain, satu atau pun lebih, asalkan jalur
lain tersebut semisal atau lebih kuat darinya.
2. Sebab kelemahan hadits tersebut adalah karena lemahnya hafalan rawi,
sanadnya terputus, atau rawi hadits tersebut tidak diketahui (majhul).

Kedudukan Hadits Hasan Lighoirihi

Hadits Hasan lighoirihi lebih rendah tingkatannya dari hasan lidzatihi, maka jika
bertentangan antara hasan lidzatihi dan hasan lighoirihi yang dikedepankan adalah
hasan lidzatihi.

Hukum Hadits Hasan Lighoirihi

Termasuk hadits maqbul (yang diterima) yang dijadikan sebagai landasan.

Contoh Hadits Hasan Lighoirihi

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dihasankan olehnya dari jalur
Syu’bah dari Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah dari
Bapaknnya, bahwa ada seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar
berupa sepasang sendal, maka Rasulullah SAW bertanya,

‫َأَر ِض يِت ِم ْن َنْف ِس ِك َو َم اِكِل ِبَنْع َلِنْي‬

“Apakah kamu rela atas diri dan hartamu dengan dua sendal ini?” dia
menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi membolehkannya.
Imam At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits semakna diriwayatkan dari Umar, Abu
Hurairah, Aisyah dan Abu Hadrad.”

Hadits di atas dikatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi karena datangnya


(penguat) dari jalur lain, pedahal Ashim lemah (dhaif) dikarenakan hafalannya yang
buruk.

Hadits yang Tertolak (Al-Mardud)

Khabar yang ditolak adalah khabar yang tidak kuat kejujuran pembawa
beritanya. Yaitu dengan hilangnya salah satu syarat atau lebih dari syarat hadits shahih.

Macam-Macam dan Sebab-Sebab Ditolaknya Suatu Hadits

Para ulama telah membagi khabar yang ditolak menjadi banyak macam, serta
menamai macam-macam tersebut dengan nama khusus, dan sebagian ulama tidak
mengkhususkan nama untuknya, akan tetapi memberi nama umum dengan “Adh-
Dhoif”.

Adapun sebab ditolaknya suatu hadis sangat banyak, akan tetapi bisa
dirangkum ke dalam dua sebab utama, yaitu:

1. Terputus sanad.
2. Perawi yang tercela.

Hadis Dhoif

Secara etimologi: Adh-Dhoif adalah antonim dari kata al-Qowiy (kuat), dhoif
memiliki arti yang bersifat empiris juga maknawi, yang dimaksud disini adalah arti
maknawi.

Secara terminologi: Adh-Dhaif adalah hadits yang tidak terkumpul di dalamnya


sifat-sifat hadits hasan, dikarenakan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat
hadits hasan.

Al-Baiquni mengatakan dalam nadzamnya:


“Setiap yang lebih rendah tingkatannya dari hasan adalah dhaif yang terbagi
menjadi bermacam-macam.”

Tingkatan Hadis Dhaif

Tingkatan hadis dhoif berbeda-beda sesuai dengan berat ringannya kadar


kelemahan perawinya, sama seperti perbedaan tingkatan hadis shahih. Ada yang hanya
dhoif, ada juga yang sangat dhoif, ada yang wahi (tidak kokoh), ada yang munkar, dan
yang paling buruk adalah hadis palsu (maudhu’).

Sanad-Sanad Terlemah

Al-Hakim An-Naisaburi menyebutkan banyak sanad terlemah yang berkaitan


dengan sebagian shahabat, sebagian sisi dan negeri. Berikut sebagian contoh dari kitab
Al-Hakim dan yang lainnya:

1. Sanad terlemah yang dinisbarkan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq: Shadaqah bin
Musa Ad-Daqiqi dari Farqod As-Sabakhi dari Murrah At-Thib dari Abu Bakar.
2. Sanad terlemah dari penduduk Syam: Muhammad bin Qois Al-Maslub dari
Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin Zaid dari Al-Qasim dari Abu Umamah.
3. Sanad terlemah dari Ibnu Abbas: As-Suddi As-Shagir Muhammad bin Marwan
dari Al-Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas. Al-Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan, “Ini adalah rangkaian kebohongan, bukan rangkaian emas.”

Contoh Hadits Dhaif

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari jalur Al-Atsram dari Abi
Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi yang mengatakan:

‫َمْن َأىَت َح اِئًض ا َأِو اْم َر َأًة ىِف ُد ُبِر َها َأْو اَك ِه ًنا َفَقْد َكَفَر ِبَم ا ُأْنِز َل َعىَل ُم َح َّم ٍد‬

“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di


duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada
Muhammad.”

Imam At-Tirmidzi kemudian mengatakan setelah ini, “kami tidak mengetahui


hadits ini kecuali dari hadits Hakim Al-Atsram dari Abi Tamimah Al-Hujaimi dari Abu
Hurairah, Muhammad melemahkan hadits ini dari sisi sanadnya.
Hadits ini lemah, karena di dalam sanadnya terdapat Hakim Al-Atsram, dia
dilemahkan oleh para ulama, Ibnu Hajar dalam kitab Taqrib At-Tahdzib menyatakan,
“Fihi lin (ada kelemahan pada dirinya).”

Hukum Meriwayatkan Hadits Dhaif

Menurut pendapat ahli hadits dan yang lainnya, boleh meriwayatkan hadits
dhaif, dan sedikit bertoleran dengan sanad-sanadnya tanpa menerangkan
kelemahannya, berbeda dengan hadits palsu, yang tidak boleh untuk diriwayatkan
kecuali diterangkan kelemahannya dengan dua syarat:

1. Hadits tersebut tidak menyangkut perkara akidah, seperti sifat-sifat Allah.


2. Hadits tersebut tidak untuk menerangkan hukum syariat yang berkaitan dengan
halal dan haram.

Yang berarti boleh untuk meriwayatkan hadits dhaif dalam hal nasihat, anjuran-
anjuran, ancaman, kisah-kisah, dan yang semisalnya. Pakar hadits yang berpendapat
demikian di antaranya Sufyan At-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal.

Perlu diperhatikan jika meriwayatkan hadits tanpa sanad maka jangan


mengatakan, “Rasulullah SAW bersabda .......”, akan tetapi katakanlah, “Diriwayatkan
dari Rasulullah ...”, atau “Telah sampai kepada kami”, atau yang semisalnya, agar tidak
menisbatkan secara pasti hal tersebut kepada Rasulullah SAW, sedangkan Anda
mengetahui hadits tersebut lemah.

Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif

Para ulama berselisih mengenai pengamalan hadits dhaif, menurut mayoritas


ulama, hadis dhaif mustahab (disukai) untuk diamalkan dalam fadhail Amal, akan tetapi
dengan tiga syarat. Dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebagai berikut:

1. Kelemahan hadits tersebut tidak sangat.


2. Hadits tersebut mencakup hadits shahih yang diamalkan.
3. Tidak meyakini benarnya hadits tersebut ketika mengamalkannya, akan tetapi
sekedar hati-hati.

Kitab-Kitab Populer yang Menjelaskan Hadits Dhaif


1. Kitab-kitab yang ditulis untuk menerangkan hadits-hadits dhaif, seperti kitab
Adh-Dhuafa’ karya Ibnu Hibban, Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi, mereka
menyebutkan contoh-contoh hadits dhaif yang disebabkan riwayat rawi-rawi
yang lemah.
2. Kitab-kitab yang ditulis secara khusus untuk macam hadits dhaif, seperti kitab-
kitab Al-Marasil, Al-‘Ilal, Al-Mudraj dan yang lainnya seperti kitab Al-Marasil li
Abi Dawud dan kitab Al-‘Ilal Lid Daruquthni.

Hadits yang Ditolak Sebab Gugurnya Sanad

Yang dimaksud dengan gugurnya sanad adalah terputusnya rangkaian sanad


dengan gugurnya satu rawi atau lebih, baik dengan kesengajaan sebagian rawi atau
tidak, baik (gugur) di awal sanad, akhir, maupun pertengahan sanad, baik gugur secara
jelas maupun tersembunyi.

Macam-Macam Gugurnya Sanad

Gugurnya sanad dilihat dari sisi jelas dan tersembunyinya terbagi menjadi dua:

1. Gugur secara jelas/terang

Para ulama maupun yang bergelut dalam ilmu hadits umumnya


mengetahui macam ini, keguguran dalam hal ini diketahui dengan tidak
bertemunya seorang rawi dengan gurunya, baik karena rawi tersebut tidak
hidup satu zaman dengan gurunya, atau hidup dalam satu zaman akan tetapi
belum pernah bertemu dengannya (kecuali hanya riwayat melalui ijazah atau
wijadah), maka dari itu peneliti hadits harus mengetahui sejarah para rawi,
karena di dalamnya menerangkan kelahiran, kematian, kapan seorang rawi
mulai mencari hadits, juga perjalanan rawi tersebut (dalam mencari hadits) dan
lain-lain.

Para ulama membagi gugurnya sanad secara jelas menjadi empat (nama),
tergantung pada tempat gugur, dan jumlah rawi yang gugur pada sanad
tersebut, yaitu:

a. Al-Mu’allaq: hadis yang terputus sanadnya di awal, baik terputus satu


rawi atau lebih secara berurutan.
b. Al-Mursal: hadis yang terputus sanadnya di akhir setelah tabi’in.
c. Al-Mu’dhal: hadis yang terputus sanadnya dua rawi atau lebih secara
berurutan.
d. Al-Munqothi’: hadis yang sanadnya tidak sambung dengan cara
terputusnya sanad di manapun posisinya.

2. Gugur secara tersembunyi

Yang mengetahui hal ini hanya para pakar hadits yang sangat teliti serta
mendalami jalur-jalur hadits dan cacat-cacat (‘ilal) yang terdapat pada sanad.

Hal ini mempunyai dua bagian:

a. Al-Mudallas: Hadis yang aib perawinya (sanadnya) disembunyikan


dengan beberapa cara, antara lain: menghilangkan mata rantai sanad
yang dhaif diantara dua rawi yang tsiqah. Ini disebut tadlis taswiyah.
Atau dengan cara menyebutkan gurunya dengan sebutan atau
julukan yang tidak dikenal. Ini disebut tadlis syuyukh.
b. Al-Mursal Khafi: meriwayatkan hadis dari orang yang pernah ia temui
atau sezaman, akan tetapi riwayat (hadis) tersebut tidak pernah ia
dengar darinya.

Al-Maudhu’

Jika cacatnya rawi adalah sengaja berdusta atas Rasulullah SAW maka haditsnya
dinamakan maudhu’ (palsu).

Definisi

Secara etimologi: Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wadha’a yang berarti
meletakkan, dinamakan demikian dikarenakan kedudukannya yang buruk.

Secara terminologi: Al-Maudhu’ adalah kedustaan yang direkayasa dan dibuat-


buat serta dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.

Derajatnya

Derajat hadis Maudhu’ adalah seburuk-buruknya hadits dhaif dan sejelek-


jeleknya, bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai bagian tersendiri, dan bukan
termasuk bagian-bagian dari hadits dhaif.
Hukum Meriwayatkannya

Para ulama sepakat, bahwasanya tidak boleh bagi siapa pun yang mengetahui
kepalsuan hadits tersebut untuk meriwayatkannya.

Contoh Hadits Maudhu’

Hadits yang dibuat Muhammad bin Sa’id As-Syami. Dia mengatakan bahwa
Humaid meriwayatkan hadits dari Anas, kemudian dari Rasulullah yang berkata:

‫أان خامت النبيني ال نيب بعدي إال أن يشأ هللا‬

Artinya, “Aku penutup para Nabi. Tidak ada Nabi setelahku, kecuali bila Allah
menghendaki.”

Pernyataan di atas bukanlah perkataan Rasulullah, tetapi perkataan yang dibuat


Muhammad bin Sa’id. Ini termasuk contoh hadits maudhu’ dan tidak boleh
disebarluaskan kecuali dibarengi dengan penjelasan status haditsnya.

Hadis yang Mungkin Diterima dan Ditolak

1. Pengertian Hadits Qudsi


Secara bahasa qudsi artinya suci. Mengisyaratkan pada Dzat Allah Yang
Maha Suci. Para ulama mendefinisikan hadits qudsi sebagai berikut:

‫ما رواه النيب عليه الصالة والسالم عن هللا عّز وجل‬

“Apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. dari Allah ‘Azza wa Jalla.”

2. Pengertian Hadits Marfu’


Secara bahasa marfu’ artinya diangkat. Maksudnya diangkat kepada Nabi
Muhammad Saw. Para ulama mendefinisikan hadits marfu’ sebagai berikut:

‫ما أضيف إىل النيب صىل هللا عليه وسمل من قول أو فعل أو تقرير أو صفة‬

“Apa yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Baik berupa


perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat.”

3. Pengertian Hadits Mauquf


Secara bahasa mauquf artinya: terhenti. Maksudnya terhenti pada
shahabat. Tidak sampai pada Nabi Muhammad Saw. Para ulama mendefinisikan
hadits mauquf sebagai berikut:

‫ما أضيف إىل الصحايب من قول أو فعل أو تقرير‬

“Apa yang dinisbahkan kepada seorang shahabat. Baik berupa perkataan,


perbuatan maupun persetujuan.”

4. Pengertian Hadits Maqthu’


Secara bahasa maqthu’ artinya: terputus. Maksudnya terputus pada
Tabi’in atau Tabi’ut Tabi’in. Hadits maqthu’ adalah:

‫ما أضيف إىل التابعي أو من دونه من قول أو فعل‬

“Apa yang dinisbahkan kepada Tabi’in dan yang lebih rendah dari
Tabi’in (Tabi’ut Tabi’in). Baik berupa perkataan maupun perbuatan.”

Kesimpulan

Hadis terbagi menjadi empat yaitu hadis shahih, hasan, dhaif dan maudhu’.
Hadits shahih dan hasan merupakan hadis yang diterima (maqbul) terbagi menjadi
empat yaitu Shahih Lidzatihi, Hasan Lidzatihi, Shahih Lighairihi, dan Hasan Lighairihi.
Sedangkan hadis yang ditolak (mardud) ada dua yaitu hadits dhoif dan maudhu’,
kendati pun demikian ada beberapa hadis dhoif yang boleh digunakan untuk fadhailul
amal tergantung dari kadar kedhaifannya, sedangkan hadits maudhu’ para ‘ulama
sepakat tidak boleh diriwayatkan dan dijadikan sebagai dasar untuk beramal.
Daftar Pustaka

Ath-Thahhan, Mahmud. Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Terj. Bahak Asadullah, Judul. Asli
(Musthalah Al-Hadis), Jakarta: Ummul Qura, 2016.

Thahhan, Mahmud, Musthalah Al-Hadis, Singapur: al-Haramain, t.th.

Anda mungkin juga menyukai