Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-
Nya, meminta ampunan dari-Nya dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri
kita serta keburukan amal perbuatan kita. Sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada
junjungan kita nabi Muhammad SAW.
Karena hidayah-Nya pula, Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan dengan judul “Etika
Pergaualan” ini sebagai tugas dari mata pelajaran Fikih. Pada kesempatan ini saya ucapkan
terima kasih kepada Bapak Hudi Ahsan M.Pd ,banyak memberikan bimbingan dan
pengarahan, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Akhirnya penulis mohon kritik dan saran untuk lebih sempurnanya makalah ini.
Selanjutnya penulis berharap makalah yang sederhana ini bermanfaat, terutama bagi yang
membutuhkannnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hadits merupakan sumber ajaran agama Islam, pedoman hidup kaum muslimin yang kedua
setelah Al-quran, Bagi mereka yang telah beriman kepada Al-quran sebagai sumber hukum, maka
secara otomatis harus percaya bahwa hadits sebagai sumber hukum islam juga. Apabila hadits tidak
berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam
hal cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. sebab ayat-ayat Al-quran
dalam hal itu hanya berbicara secara global dan umum, yang menjelaskan secara terperinci justru
Sunnah Rasulullah, selain itu juga akan mendapat kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-
ayat yang musytarak, dan muhtamal, dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan hadits atau
sunnah untuk menafsirkannya atau menjelaskanya.
Pemahaman Umat terhadap Islam harus melalui Al-quran dan Al-hadits. Teks Al-quran yang
global memerlukan penjelasan dari Hadits. Pada masa Nabi, Umat Islam tidak mendapat kendala
dalam memahami Al-quran maupun Hadits. Tetapi setelah Nabi wafat, timbul permasalahan berkaitan
pemahaman terhadap Al-quran ataupun Hadits. Penyelamatan terhadap Al-quran telah lebih dahulu
dilakukan yang kemudian disusul dengan pendewanan hadits sekitar seratus tahun kemudian.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana hukumnya berduaaan dengan lain jenis?
2. Bagaimana etika pergaulan dengan ipar?
3. Apa saja macam macam zina bagi anggota tubuh?
C. Tujuan
Untuk mengetahui etika pergaulan.
PEMBAGIAN HADIST SECARA UMUM
1. Dilihat dari jumlah periwayatannya
Dalam disiplin Ilmu Hadis, para Ulama ahli hadis telah membagi hadis dari segi
jumlah rawi atau kuantitas periwayat menjadi dua macam yaitu Hadis Mutawatir dan
Hadis Ahad. Pembagian keduanya berdasarkan batasan jumlah rawi pada
setiap thobaqoh. Jika jumlah rawi pada setiap thobaqoh tak terbatasi, maka disebut
hadis Mutawwatir. Sedangkan hadis Ahad, yaitu apabila jumlah rawi yang pada
setiap thobaqoh (tingkatan) terbatas.
a. Hadis Mutawatir
Definisi Hadis Mutawwatir menurut bahasa, ialah isim fa’il dari At-Tawatur (dalam
bahasa Arab )التواتر. Sedangkan menurut istilah, ialah Hadis yang diriwayatkan oleh
rowi yang banyak pada setiap tingkatan sanad-nya yang menurut akal tidak mungkin
para perawi tersebut sepakat untuk memalsukan
Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani memberikan syarat untuk Hadis Mutawwatir dengan
beberapa syarat:
Hadis Mutawatir tidak dibatasi dengan jumlah perawi. Oleh sebab itu, wajib mengamalkan
dengannya tanpa menyelusuri para perawinya. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah
minimal perawi.
Menurut Imam Al-Baqilany jumlah perawi tidak cukup empat orang, paling sedikit lima
orang. Sedangkan menurut Imam Al-Isthokhry jumlah perawi paling sedikit sepuluh orang,
pendapat inilah yang dipilih para Ulama, karena jumlah tersebut permulaan jumlah yang
banyak.[5]
2. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol atau bersepakat untuk dusta.
Syaikh Al-Halibi menjelaskan dalam kitabnya Fi Nuktihi ‘alan Nuhjah hal 56 tentang
perbedaan diantara kata At-Tawathuu dan At-Tawafuq. Kata At-Tawathu’ (dalam bahasa
Arab )التواطؤialah, suatu kelompok bersepakat untuk memalsukan hadis setelah musyawarah,
sehingga perkataan seorang dari mereka tidak berbeda dengan lainnya, sedangkan kata At-
Tawafuq (dalam bahasa Arab )التوافقialah terjadinya pemalsuan hadis tanpa musyawarah
disebabkan lupa, dusta atau disengaja untuk memalsukan hadis.[6]
Pengertian dari syarat ini ialah jumlah yang banyak pada semua tingkatan sanad dari awal
sampai akhir sanad kepada seorang yang meriwayatkannya baik
secara qouliyyah ataupun fi’iliyyah. Akan tetapi maksud dari itu bukan semua tingkatan
dengan jumlah yang sama.[7]
4. Sandaran hadis mereka dengan menggunakan panca indera, bukan denga sesuatu yang
dipikirkan .
Syaikh As-Samahi menjelaskan pada kitab Ar-Riwayah hal 51 hadis yang diriwayatkan
dengan panca indera secara yakin bukan dengan akal. Seperti kata: معناOO ( سkami telah
mendengar), ( رأيناkami telah melihat) dan semacamnya dengan menggunkan panca indera.
Jika tidak diriwayatkan dengan panca indera, maka bukan Hadis Mutawatir.[8]
Hadis Mutawatir terbagi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdi dan Mutawatir Ma’nawi .
1. Mutawatir Lafdi : Hadis yang lafad dan maknanya mutawatir. Misalnya hadis من كذب
فليتبوأ مقعده من النارOًعلي متعمدا
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka dia akan mendapatkan tempat
duduknya dari api neraka”.[9]
Hadis di atas diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih sahabat dan jumlah yang perawi yang
banyak bahkan lebih terus berlanjut sampai tingkatan setelahnya.
Hadis Mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia
untuk mempercayainya dengan sepenuh hati, seperti seseorang yang tidak ragu-ragu
menyaksikan dirinya. Oleh karena itu semua Hadis Mutawwatir hukumnya diterima dan tidak
perlu adanya penelitian keadaan perawinya.
Ibn Hiban dan Al-Hazimi berpendapat hadis Mutawatir itu tidak ada sama sekali, dengan
alasan kenapa Ulama Ahli Hadis tidak membahasnya, karena para ulama Ahli Hadis hanya
membahas seputar diterima dan ditolaknya Hadis dari segi sanad dan matan. Dan
Hadis Mutawatir tidak perlu penilitian kepada semua perawi, karena
Hadis Mutawatir mengandung ilmu yang jarus diyakini, pendapat Ibn Hiban dan Al-
Hazimi tidak perlu ditarik kesimpulan tentang Hadis Mutawatir itu tidak ada, padahal Ulama
Ahli Hadis memberikan contoh hadis “man kadzaba ‘alayya muta’amidan fal yatabawwa
maq’adahu minnar” itu benar ada, sedangkan Ibn Sholah mengatakan Hadis Mutawatir itu
sedikit dan jarang.
Akan tetapi Ibn Hajar pada Syarh An-Nukhbah menentang kedua pendapat diatas, tentang
pendapat Ibn Hiban dan Al-Hazimi yang mengatakan tidak ada dan Ibn Sholah yang
mengatakan sedikit. Hal itu timbul karena, sedikitnya penilitian tentang tingkatan-tingkatan
yang banyak, keadaan perawi, dan sifat perawi yang menurut kebiasaan terhindar dari
bersepakat untuk dusta. Kemudian Ibn Hajar juga mengatakan : “sungguh baik orang yang
mengatakan Hadis Mutawatir itu ada dalam kategori Hadis, bahwasannya banyak kitab-kitab
yang terkenal di kalangan Ahli Ilmu dari Barat dan Timur.[10]
b. Hadis Ahad
Pembagian hadis berdasarkan jumlah rowi di tiap thobaqohnya yang kedua ialah
Hadis Ahad (dalam bahasa arab ) اآلحاد.
Secara etimologi kata “ ”اآلحادadalah bentuk jamak dari kata “”أحدyang berarti “satu”. Adapun
pengertian Hadis Ahad menurut istilah ialah hadis yang tidak sampai pada derajat mutawatir.
Sebagaimana yang diapaparkan ulama berikut ini:
ةOا رواه ثالثOان ومOOا رواه اثنO وم،اتOع الطبقOة أو في جميOOد في طبقOا رواه واحOOمل مOواتر فيشOروط المتOما لم تجتمع فيه ش
التواترOفصاعدا ما لم يصل إلى عدد
“Suatu hadis yang tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir di dalamnya, maka setiap hadis
yang di riwayatkan oleh satu rowi di setiap thobaqoh atau di semua thobaqoh. Dan setiap
hadis yang di riwayatkan oleh dua atau tiga rowi atau lebih dan belum sampai pada batas
mutawatir”[12]
Berdasarkan jumlah rowi dalam tiap thobaqoh, ulama membagi hadis Ahad menjadi tiga
macam, diantaranya:
1. Hadis Masyhur: Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh 3 perowi atau lebih di
setiap thobaqohnya dan tidak sampai batas mutawatir. Para ulama fiqih juga menamai
hadis masyhur dengan nama “Al-Mustafidl” yaitu suatu hadis yang mempunyai jalan
terbatas lebih dari dua dan tidak sampai pada batas mutawatir.[13]
Contoh:
Contoh:
) “ال يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين”(رواه البخاري:قوله صلّى هللا عليه وسلّم
3. Hadis Gharib: Yaitu suatu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi sendirian,
atau oleh satu orang rawi saja di setiap thobaqoh.[14]
Contoh:
Para ulama berbeda pendapat di dalam menggunakan hadis Ahad. Apabila berhubungan
dengan masalah hukum maka menurut jumhur ulama, wajib di amalkan. Akan tetapi sebagian
dari golongan Hanafiah menolak hadis ahad dalam masalah Ammu al-Balwa seperti
wudhunya orang yang menyentuh kelamin, begitu juga dalam masalah hukuman had.
Sebagian golongan Malikiyah memenangkan Qiyas dari pada hadis ahad ketika bertentangan,
padahal menurut para ulama hadis yang benar yaitu bahwasanya
hadis ahad yang muttasil (sanadnya bersambung) serta diriwayatkan oleh rowi yang adil itu
di terima dalam semua hukum dan dimenangkan daripada Qiyas. Pendapat ini didukung oleh
Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, serta para imam-imam hadis, fiqih dan ushul fiqih.[15]
Hadits Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan.
Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
“Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW
menyabdakannya.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang
temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
· Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
· Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima,
namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak
semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat
hadits-hadits yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau
ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan) disebut dengan
hadits nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis
mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan
antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal
ini hadits yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan
hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadits maqbul dapat dibagi menjadi 2
(dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma’mulin bihi.
Hadits Maqbul> Hadis maqmulun bihi
Hadits maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis
ini ialah:
·Hadits muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
·Hadits mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin
dikompromikan dengan mudah
·Hadits nasih
·Hadits rajih.
Hadits Maqbul> Hadis gairo makmulinbihi
Hadits gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara
hadis-hadits maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
·Hadits mutawaqaf, yaitu hadits muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat
ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
·Hadits mansuh
·Hadits marjuh.
Hadits Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut
urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :
Artinya:
“Hadits yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki
keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya
bersamaan.”
Ada juga yang menarifkan hadits mardud adalah:
Artinya:
“Hadits yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadits Maqbun.”
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk
menerima hadits-hadits maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh
diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak). Jadi, hadis mardud adalah semua
hadits yang telah dihukumi daif.
Hadits ditinjau dari sisi akhir atau penyandarannya dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadits
marfu’, mauquf dan maqthu’. Pada pelajaran ini kita akan membahas masing-masingnya
dengan singkat.
A. MARFU’
1. definisinya
a. Menurut bahasa
Yaitu bentuk isim maf’ul dari kata : و ٌعFF َ ُه َر ْفعً ا َفهFFُي َء َيرْ َفعFFالش
ْ ُو َمرْ فFFُ َّ فَع
َ َرyang maknanya
mengangkat, lawan katanya meletakkan.
b. Menurut istilah
2. contohnya
Ibnu majah berkata : “Kami diberi cerita oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, kami diberi
cerita oleh Waki’ bin Al Qosim bin Al fadl Al Hamadani dari Abu Ja’far dari Ummu
Salamah bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji adalah
jihad setiap orang yang lemah”. Sanadnya adalah munqothi’ karena Abu Ja’far dan
namanya adalah Muhammad bin Ali bin Husain tidak mendengar dari Ummu
Salamah.
3. hukumnya
4. Hadits Musnad
a. Definisinya
1) menurut bahasa
2) menurut istilah
a) yaitu yang bersambung sanadnya dari rawinya sampai rawi terakhir. Ini adalah
pendapat Al Khothib Al baghdadi dan Al ‘Iraqi membantahnya dengan
perkataannya : “Dan pembicaraan ahli hadits enggan menerimanya”.
b) Yaitu yang diangkat sampi kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
saja. Ini adalah pendapat Ibnu Abdil Barr dan dibantah oleh Al hafidz Ibnu Hajar
dengan berkata : “Tidak ada yang berpendapat seperti itu”.
b. Syaratnya
Tidak mauquf, tidak mursal, tidak munqothi’, tidak mu’adldlol, dan tidak ada tadlis
dalam riwayatnya.
c. Contohnya
Bukhari berkata : “Kami diberi cerita oleh Abdul Warits, dia berkata : “Kami diberi
cerita oleh Yahya, dia berkata : “Saya diberi cerita oleh Abu Salamah, dia berkata :
“Aku diberi cerita oleh Busr bin Sa’ad, dia berkata : “aku diberi cerita oleh Zaid bin
Kholid bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barangsiapa yang
mempersiapkan orang yang berperang di jalan Allah, maka dia telah berperang dan
barangsiapa yang menjadi wakilnya sepeniggalnya ke medan perang di ajlan Allah
dengan baik, maka dia telah berrperang”.
B. MAUQUF
1. Definisinya
a. Menurut Bahasa
b. Menurut istilah
Yaitu yang disandarkan kepada seorang sahabat, baik berupa perkataan atau
perbuatan, baik sanadnya bersambung atau terputus.
2. Contohnya
Bukhari berkata : “Kami diberi cerita oleh Ubaidillah bin Musa dari Makruf bin
Khorbudz dari Abi thufail dari Ali bahwa dia berkata : ” Berbiccaralah kepada
manusia dengan apa yang mereka ketahui. Apakah kalian senang jika Allah dan
rasul-Nya didustakan ?”.
3. Hukumnya
4) Contohnya adalah :
Jabir berkata : “Kami melakukan azl pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Kemudian hal itu sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan kami tidak dilarang”. (Bukhari dan Muslim)
1) sama hukumnya dengan marfu’. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits dan
kebanyakan ulama Ushul Fiqih, diantaranya Al Khothib, An Nawawi, ibnu Sholah,
Asy Syairozi, Ibnu Qudamah. Dan dia menisbatkannya kepada pendapat mayoritas.
Inilah pendapat yang benar
2) dia adalah mauquf. Ini adalah pendapat Isma’ili dan Ash Shoirofi serta Ibnu
hazm.
3) Contohnya :
Azas berkata : “Termsuk sunnah adalah jika jejaka menikah dengan janda, maka dia
mukim disana selama tujuh hari”. (Bukhari dan Muslim)
1. Definisinya
Yaitu yang disandarkan kepada seorang tabi’in, baik berupa perkataan atau
perbuatan.
2. Contohnya
Muhammad bin Sirin berkata : “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka telitilah
dari siapa kalian belajar agama ini”. (Muslim)