ULUMUL HADITS
“DERAJAT – DERAJAT KESHAHIHAN HADIST”
DISUSUN OLEH
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................2
2.1 Definisi .........................................................................................................2
2.2 Macam-Macam Derajat Hadits ....................................................................3
2.3 Derajat-derajat Hadits Shahih ......................................................................8
2.4 Menyikapi Kederajatan Hadits......……………...........................................9
KESIMPULAN ....................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Tidak perlu diragukan lagi bahwa hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-
Qur’an. Mengingat begitu pentingnnya hadits, maka studi atau kajian terhadap hadits akan
terus dilakukan, bukan saja oleh umat islam, tetapi juga siapapun yang berkepentingan
terhadapnya. Berbeda dengan ayat ayat alqur’an yang semuanya dapat diterima. Hadits tidak
semua dapat dijadikan acuan atau hujjah. Hadits ada yang dipakai ada yang tidak di sinilah
letak perlunya meneliti hadits dan mengetahui keseluruhan pembagiannya.
Keseluruhan pembagian itu, pada hakikatnya di samping bertujuan untuk memudahkan
klasifikasinya, juga untuk memperoleh keyakinan tentang sejauh mana validitas hadits itu
berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.. Jadi, kita tidak hanya
mempersoalkan tentang sabda Nabi sebagai ajaran, tetapi kita mempersoalkan tentang apakah
yang dinyatakan orang sebagai hadits Nabi itu, benar-benar berasal dari Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam. Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa derajat hadits yang dilihat dari
beberapa sebab.
.
1
BAB II
PEMBAHASAN
DERAJAT- DERAJAT KESAHIHAN DALAM HADIS
2.1 Definisi
Definisi Derajat
derajat1/de·ra·jat/ n 1 tingkatan; martabat; pangkat: naik (turun) --; 2 ark gelar yang diberikan
oleh perguruan tinggi (universitas) kepada mahasiswa yang telah lulus dalam ujian yang
diharuskan: ia telah mencapai -- sarjana di Institut Tekonologi Bandung;
Definisi Sahih
sah; benar; sempurna; tiada cela (dusta, palsu); sesuai dengan hukum (peraturan)
contoh: 'kesaksiannya kurang sahih karena tidak dikuatkan oleh sumpah'
Definisi Hadist
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perilaku dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama
Islam.
Secara umum pengertian Hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah catatan tentang:
1. Segala sesuatu yang dikatakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
2. Segala sesutu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
3. Perkataan atau perilaku Sahabat yang disetujui atau didiamkan saja oleh Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
4. Perkataan atau perilaku Sahabat yang dilarang atau dikomentari negatif oleh Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam
Keterangan:
Ada juga catatan khusus mengenai perkataan atau perilaku beberapa Sahabat (secara pribadi
dan independen tanpa melibatkan unsur Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam) yang juga dicatat
didalam kitab-kitab hadits. Hal tersebut boleh dimanfaatkan sebagai petunjuk atau bimbingan,
namun tidak bisa dikategorikan sebagai Hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an, Ijma Sahabat dan Qiyas
Ulama, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Dari para Imam periwayat hadits HANYA Imam Bukhari dan Imam Muslim yang secara khusus
hanya meriwayatkan hadits-hadits berderajat shohih saja. Sedangkan selain beliau berdua, para
Imam periwayat hadits juga mencatat hadits-hadits yang derajatnya dibawah kriteria shohih, namun
biasanya para Imam tersebut selalu menyebutkan derajat hadits yang ditulis dalam kitab sunannya
apakah derajatnya shohih, atau dhoif, bahkan hadits palsu, dsb. Bahkan ada imam ahli hadits yang
secara khusus menulis kitab yang hanya mengumpulkan dan membahas hadits-hadits palsu
2
saja (dengan tujuan sebagai ‘peringatan’ bagi pembaca agar berhati-hati jangan sampai
menggunakan hadits-hadits palsu tersebut).
SELAIN Hadits Qudsi (yang sengaja tidak dibahas secara khusus disini, – yaitu salah satu jenis
hadits dimana perkataan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam disandarkan langsung
kepada Allah atau dengan kata lain Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam meriwayatkan
perkataan Allah)
Mutawatir menurut bahasa, berarti mutatabi, yaitu: Yang datang berturut-turut, dengan tidak ada
jaraknya.1 Menurut istilah: Hadits Mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang,
berdasarkan panca indera, yang menurut adat (logika) mustahil mereka terlebih dahulu sepakat untuk
berdusta.2
2. Syarat-Syarat Hadis Mutawatir
Dengan melihat kepada pengertian istilah, maka dikatakan hadits mutawatir jika telah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
Khobar yang disampaikan oleh rowi-rowi tersebut harus berdasarkan tangkapan panca
indera (yakni khobar yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran
atau penglihatan sendiri ).
Jumlah rowinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat
berbohong
Adanya keseimbangan jumlah antara rowi-rowi dalam thobaqoh (tingkatan)
berikutnya.3
1 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: GAYA MEDIA PRATAMA, 1996), hlm123
2 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung, OFFSET ANGKASA), hlm 135
3 Translation journal, Modul Musthalah Hadits, diakses 18 november 2016
3
Dengan demikian, bila jumlah perawi pada thabaqqah pertama sekitar 10 orang, maka
pada thabaqah-thabaqah lainnya juga harus sekitar 10 orang. Tetapi bila di thabqah
pertama misalnya 10 orang, lalu di thabaqah kedua 12 orang, kemudian di thabaqah
lainnya sekitar 2 orang saja, atau pun sebaliknya. Maka, hadis yang demikian ini
tidaklah termasuk mutawatir.4
Yakni, hadis mutawatir yang diriwayatkan dengan lafadz dan makna yang sama, serta
kandungan hukum yang sama pula.
“Barangsiapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati neraka”.
Menurut Al-Bazzar, hadis ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. An-Nawawy menyatakan,
diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
4
Adapun kitab-kitab hadis yang memuat khusus hadis-hadis Mutawatir, anatar lain:
- Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah, susunan Imam Suyuthy. Kitab
ini menurut Dr. Muhammad Ajjaj Al- Khatib, mamuat 1513 hadits.
- Nadzmu al-Mutanatsirah min al-Hadits al-Mutawatir, susunan Muhammad bin Ja’far
Al-Kattany, 1345 hadis.5
B. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat
mutawatir. Sebelumnya para ulama ahli hadits membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni
hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At Tarmidzi kemudian membagi hadits Ahad ini
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Hadits Shahih
Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung
sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak
syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi
hadits Shahih itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
a. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
b. Harus bersambung sanadnya
c. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
d. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
e.Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
f. Tidak cacat walaupun tersembunyi.
2. Hadits Hasan
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama
mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan:
“Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil
(bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang
tidak cacat dan tidak punya keganjilan”.
At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:
“Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti
itu dalam banyak jalan”.
Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:
“Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya”.
5 Ibid, 138-139
5
Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti
Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi
penduduk kalangan Makkah.
Jumhur ulama: “Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya,
bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.”
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang
yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak
dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih
Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat
keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang
terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang
lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain
3. Hadits Dha’if
Ialah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil
dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
6
Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas. Apabila BERTENTANGAN dengan
ciri-ciri hadits Shahih maka bisa dikategorikan termasuk hadits-hadits dha’if.
7
yang terpercaya pula. Demikian menurut mayoritas ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang
dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz
Sebelum datang Imam Bukhari, ulama mencampurkan hadits shahih, dhaif, sampai perkataan
sahabat, dsb. Maka setelah beliau datang, dibukukan lah buku yang mengumpulkan hadits yang
didalamnya shahih saja. Al Muwatta’ juga mengandung hadits shahih saja, tetapi juga tercampur
dengan perkataan sahabat, sehingga tidak seperti shahih bukhari.
Jangan mengira hadits shahih itu hanya ada di Bukhari Muslim saja. Karena tidak semua hadits
shahih dimasukkan.
Kebanyakan hadits shahih itu ada pada Kutubus Sittah, yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah. Kitab lain yang mengandung hadits shahih juga masih banyak.
Selain ulama-ulama / kitab di atas, tidak diperbolehkan kita langsung memastikan keshahihan
hadits yang diriwayatkan tanpa kita mempelajari lebih lanjut.
8
2.4. Menyikapi Kederajatan Hadits
1. Jika suatu hadits tidak disebutkan info pen-takhrijnya (yaitu: tidak ada keterangan hadits
riwayat…) maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya
kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.
2. Jika suatu hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari atau Imam Muslim, atau keduanya,
maka yakinilah itu adalah hadits yang shahih.
3. Jika suatu hadits bukan diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari juga bukan Imam Muslim,
maka lihatlah:
* Apakah ada keterangan penilaian shahih-dha’if dari ulama hadits? Jika tidak ada, maka jangan
sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya kepada ahli ilmu mengenai
status haditsnya.
* Jika ada keterangan shahih-dha’if dari ulama hadits semisal: Ibnu Hajar Al Asqalani, An Nawawi,
Al Haitsami, Al Mundziri, Ad Daruquthni, Ibnu Taimiyah, Adz Dzahabi, Ibnu Katsir, Syu’aib Al
Arnauth, Ahmad Syakir, Muqbil bin Hadi, Al Albani, Ibnu Baz, dll, maka peganglah penilaian
mereka.
4. Jika yang suatu hadits tidak disebutkan info pentakhrij-nya atau disebutkan info pentakhrij-
nya namun tidak disebutkan info shahih-dhaif-nya, namun yang membawakan atau
menyebutkan hadits adalah seorang ulama atau da’i atau ustadz yang dikenal selektif dalam
berhujjah hanya dengan hadits yang shahih, maka peganglah hadits tersebut.
5. Lanjutan poin 4, jika yang membawakan hadits adalah orang yang bermudah-mudah dalam
membawakan hadits, atau sering menggunakan hadits dhaif bahkan palsu, maka jangan
sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya kepada ahli ilmu
mengenai status haditsnya.
9
KESIMPULAN
2. Dari pembahasan diatas dapat kita simipulkain bahwa derajat-derajat dari kesahihan sebuah hadis
tergambarkan dari syarat-syarat dan ketentuan yang telah di tetapkan ,yakni :
I. HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI
II. MENURUT KUALITAS PERIWAYATANNYA
III. HADITS-HADITS DHA’IF DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI
3. Dengan tererut dan di telaah nya sebuah hadis maka dapat ditentukan hadis yang sahih, karena
hadis mempunyai derajat-derajat atau tingkatan sehingga menjadi hadis sahih yang dapat digunakan.
Dan kita dapat menyikapi hadits sesuai derajatnya.
10
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, H. Muhammad dan M. Mudzakir, 2000, Ulumul Hadis, Bandung : CV Pustaka Setia.
Ismail, M. Syuhudi ,1988, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang.
Nuruddin ‘Itr, 1994, Manhaj an-Naqd fi ‘ulum al-Hadis atau Ulumul Hadis, Terj. Drs. Mujiyo,
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Thahhan, Mahmud, 1999, Taisir Musthalah Hadis atau Ulumul Hadis, Studi Kompleksitas Hadis
Nabi, Terj. Drs. Zainul Muttaqin, Yogyakarta : Titian Ilahi Press & LPPKI.
11