Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ULUMUL HADITS
“DERAJAT – DERAJAT KESHAHIHAN HADIST”

DISUSUN OLEH

NAMA : ADRIAN WAHYUDI


KELOMPOK :1
NIM : 1941000024
KELAS : ES A PAGI Semester 1
MATA KULIAH : ULUMUL HADITS
DOSEN : RISWAN RAMBE , S.SOS I, M.E

UNIVERSITAS POTENSI UTAMA


T.A 2019/2020
DAFTAR ISI

Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................2
2.1 Definisi .........................................................................................................2
2.2 Macam-Macam Derajat Hadits ....................................................................3
2.3 Derajat-derajat Hadits Shahih ......................................................................8
2.4 Menyikapi Kederajatan Hadits......……………...........................................9

KESIMPULAN ....................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Tidak perlu diragukan lagi bahwa hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-
Qur’an. Mengingat begitu pentingnnya hadits, maka studi atau kajian terhadap hadits akan
terus dilakukan, bukan saja oleh umat islam, tetapi juga siapapun yang berkepentingan
terhadapnya. Berbeda dengan ayat ayat alqur’an yang semuanya dapat diterima. Hadits tidak
semua dapat dijadikan acuan atau hujjah. Hadits ada yang dipakai ada yang tidak di sinilah
letak perlunya meneliti hadits dan mengetahui keseluruhan pembagiannya.
Keseluruhan pembagian itu, pada hakikatnya di samping bertujuan untuk memudahkan
klasifikasinya, juga untuk memperoleh keyakinan tentang sejauh mana validitas hadits itu
berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.. Jadi, kita tidak hanya
mempersoalkan tentang sabda Nabi sebagai ajaran, tetapi kita mempersoalkan tentang apakah
yang dinyatakan orang sebagai hadits Nabi itu, benar-benar berasal dari Nabi Shallallahu Alaihi
Wasallam. Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa derajat hadits yang dilihat dari
beberapa sebab.
.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari derajat ke Shahih-an hadits?
2. Apa saja derajat shahih hadits?
3. Bagaimana menyikapi derajat ke shahih-an hadits ?

1
BAB II
PEMBAHASAN
DERAJAT- DERAJAT KESAHIHAN DALAM HADIS

2.1 Definisi

Definisi Derajat
derajat1/de·ra·jat/ n 1 tingkatan; martabat; pangkat: naik (turun) --; 2 ark gelar yang diberikan
oleh perguruan tinggi (universitas) kepada mahasiswa yang telah lulus dalam ujian yang
diharuskan: ia telah mencapai -- sarjana di Institut Tekonologi Bandung;

Definisi Sahih
sah; benar; sempurna; tiada cela (dusta, palsu); sesuai dengan hukum (peraturan)
contoh: 'kesaksiannya kurang sahih karena tidak dikuatkan oleh sumpah'

Definisi Hadist
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perilaku dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama
Islam.
Secara umum pengertian Hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah catatan tentang:
1. Segala sesuatu yang dikatakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
2. Segala sesutu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
3. Perkataan atau perilaku Sahabat yang disetujui atau didiamkan saja oleh Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
4. Perkataan atau perilaku Sahabat yang dilarang atau dikomentari negatif oleh Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam

Keterangan:
Ada juga catatan khusus mengenai perkataan atau perilaku beberapa Sahabat (secara pribadi
dan independen tanpa melibatkan unsur Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam) yang juga dicatat
didalam kitab-kitab hadits. Hal tersebut boleh dimanfaatkan sebagai petunjuk atau bimbingan,
namun tidak bisa dikategorikan sebagai Hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an, Ijma Sahabat dan Qiyas
Ulama, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Dari para Imam periwayat hadits HANYA Imam Bukhari dan Imam Muslim yang secara khusus
hanya meriwayatkan hadits-hadits berderajat shohih saja. Sedangkan selain beliau berdua, para
Imam periwayat hadits juga mencatat hadits-hadits yang derajatnya dibawah kriteria shohih, namun
biasanya para Imam tersebut selalu menyebutkan derajat hadits yang ditulis dalam kitab sunannya
apakah derajatnya shohih, atau dhoif, bahkan hadits palsu, dsb. Bahkan ada imam ahli hadits yang
secara khusus menulis kitab yang hanya mengumpulkan dan membahas hadits-hadits palsu

2
saja (dengan tujuan sebagai ‘peringatan’ bagi pembaca agar berhati-hati jangan sampai
menggunakan hadits-hadits palsu tersebut).
SELAIN Hadits Qudsi (yang sengaja tidak dibahas secara khusus disini, – yaitu salah satu jenis
hadits dimana perkataan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam disandarkan langsung
kepada Allah atau dengan kata lain Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam meriwayatkan
perkataan Allah)

2.2.Macam-Macam Derajat Hadist


Maka ada bermacam-macam derajat hadits seperti yang diuraikan secara singkat di bawah ini.

2.2.1 Hadist yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi


A . Hadits Mutawatir
1. Pengertian Hadits Mutawatir

Mutawatir menurut bahasa, berarti mutatabi, yaitu: Yang datang berturut-turut, dengan tidak ada
jaraknya.1 Menurut istilah: Hadits Mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang,
berdasarkan panca indera, yang menurut adat (logika) mustahil mereka terlebih dahulu sepakat untuk
berdusta.2
2. Syarat-Syarat Hadis Mutawatir

Dengan melihat kepada pengertian istilah, maka dikatakan hadits mutawatir jika telah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
 Khobar yang disampaikan oleh rowi-rowi tersebut harus berdasarkan tangkapan panca
indera (yakni khobar yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran
atau penglihatan sendiri ).
 Jumlah rowinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat
berbohong
 Adanya keseimbangan jumlah antara rowi-rowi dalam thobaqoh (tingkatan)
berikutnya.3

1 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: GAYA MEDIA PRATAMA, 1996), hlm123
2 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung, OFFSET ANGKASA), hlm 135
3 Translation journal, Modul Musthalah Hadits, diakses 18 november 2016

3
Dengan demikian, bila jumlah perawi pada thabaqqah pertama sekitar 10 orang, maka
pada thabaqah-thabaqah lainnya juga harus sekitar 10 orang. Tetapi bila di thabqah
pertama misalnya 10 orang, lalu di thabaqah kedua 12 orang, kemudian di thabaqah
lainnya sekitar 2 orang saja, atau pun sebaliknya. Maka, hadis yang demikian ini
tidaklah termasuk mutawatir.4

3. Macam-macam Hadis Mutawatir

Hadis mutawatir ada tiga macam, yakni:


a. Hadis Mutawatir Lafdzy

Yakni, hadis mutawatir yang diriwayatkan dengan lafadz dan makna yang sama, serta
kandungan hukum yang sama pula.
“Barangsiapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati neraka”.
Menurut Al-Bazzar, hadis ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. An-Nawawy menyatakan,
diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.

b. Hadis Mutawatir Ma’nawy


Yakni, hadis mutawatir yang berasal dari berbagai hadis yang diriwayatkan dengan lafadz
yang berbeda-beda, tetapi apabila dikumpulkan mempunyai makna umum yang sama.
Artinya:
Rasulullah tidak mengangkat kedua tangan beliau sampai nampak putih putih kedua ketiak
beliau dalam doa-doa beliau, kecuali doa shalat istisqa’ (HR. Bukhari Muslim).
Ada sekitar 100 hadis yang bila dikumpulkan dapat disimpulkan, bahwa nabi bila berdoa diluar
sholat, beliau selalu mengangkat tangan.

c. Hadis Mutawatir Amaly


Mutawatir `Amali, yaitu sesuatu yang dapat diketahui dengan mudah dan telah mutawatir
di kalangan umat islam bahwa Nabi melakukannya atau menyuruhnya. Contohnya adalah
hadis-hadis nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat Id,
adanya shalat jenazah dan sebagainya.

4Syuhudi ismail, op. cit, hlm 136-137

4
Adapun kitab-kitab hadis yang memuat khusus hadis-hadis Mutawatir, anatar lain:
- Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah, susunan Imam Suyuthy. Kitab
ini menurut Dr. Muhammad Ajjaj Al- Khatib, mamuat 1513 hadits.
- Nadzmu al-Mutanatsirah min al-Hadits al-Mutawatir, susunan Muhammad bin Ja’far
Al-Kattany, 1345 hadis.5

B. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat
mutawatir. Sebelumnya para ulama ahli hadits membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni
hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At Tarmidzi kemudian membagi hadits Ahad ini
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Hadits Shahih
Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung
sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak
syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi
hadits Shahih itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
a. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
b. Harus bersambung sanadnya
c. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
d. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
e.Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
f. Tidak cacat walaupun tersembunyi.

2. Hadits Hasan
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama
mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan:
“Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil
(bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang
tidak cacat dan tidak punya keganjilan”.
At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:
“Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti
itu dalam banyak jalan”.
Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:
“Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya”.

5 Ibid, 138-139

5
Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti
Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi
penduduk kalangan Makkah.
Jumhur ulama: “Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya,
bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.”
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang
yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak
dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih
Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat
keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang
terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang
lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain

3. Hadits Dha’if
Ialah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil
dan tidak dhobit, syadz dan cacat.

2.2.2 Hadist menurut kualitas periwayatannya


A. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini
disebut hadits Marfu’ atau Maushul.
B. Hadits yang terputus sanadnya
1. Hadits Mu’allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang “tergantung”, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang
oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha’if.
2. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang ”dikirim”, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dari Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tanpa menyebutkan Sahabat yang menerima hadits itu.
3. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang ‘disembunyikan’ cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang
memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad
ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
4. Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi
selain Sahabat dan Tabi’in.
5. Hadits Mu’dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dan
Tabi’ut-Tabi’in dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam atau dari Sahabat tanpa
menyebutkan Tabi’in yang menjadi sanadnya.

6
Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas. Apabila BERTENTANGAN dengan
ciri-ciri hadits Shahih maka bisa dikategorikan termasuk hadits-hadits dha’if.

2.2.3 Hadist-hadist dha’if (lemah) disebabkan oleh cacat perawi


A. Hadits Maudhu’
Yang berarti ‘yang dilarang’, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang pernah
ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri
bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.
B. Hadits Matruk
Yang berarti ‘hadits yang ditinggalkan / diabaikan’, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan hanya
oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta.
Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.
C. Hadits Munkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits lain
yang diriwayatkan oleh perawi yang dikenal terpercaya / jujur. Maka hadits semacam ini tidak boleh
digunakan, dan sebagai gantinya harus menggunakan hadits dengan topik yang sama namun yang
diriwayatkan oleh perawi lain yang dikenal terpercaya / jujur.
D. Hadits Mu’allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat, yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang
tersembunyi. Menurut Al-Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang
nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan
hadits Ma’lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad
dengan matan (isi) yang kacau atau tidak sama dan berkontradiksi dengan yang dikompromikan.
F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang ‘terbalik’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang didalamnya tertukar
dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan
(isi).
G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan
hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya, sehingga mengurangi kualitas
keaslian hadits tersebut, atau bahkan merubah pengertian dari hadits tersebut.
I. Hadits Syadz
Hadits yang ‘jarang’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya), namun
isinya bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa)

7
yang terpercaya pula. Demikian menurut mayoritas ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang
dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz

2.3.Derajat-derajat Hadist Sahih

Hadits shahih itu dilihat dari sisi kekuatannya, berderajat-derajat:


1. Sanadnya disifati para ulama sebagai sanad paling shahih. Sanad ini lebih
diunggulkan dan diistimewakan. Contoh : Periwayatan Az Zukhri dari salim bin abdillah.
Hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim (semua ulama bersepakat akan
keagungan buku ini).
2. Tingkatan sebagai berikut:
1. Bukhari - Muslim
2. Bukhari saja
3. Muslim saja
4. Sesuai syarat Bukhari Muslim
5. Sesuai syarat Bukhari saja
6. Sesuai syarat Muslim saja
7. Sesuai syarat imam-iman lain

Sebelum datang Imam Bukhari, ulama mencampurkan hadits shahih, dhaif, sampai perkataan
sahabat, dsb. Maka setelah beliau datang, dibukukan lah buku yang mengumpulkan hadits yang
didalamnya shahih saja. Al Muwatta’ juga mengandung hadits shahih saja, tetapi juga tercampur
dengan perkataan sahabat, sehingga tidak seperti shahih bukhari.

Jangan mengira hadits shahih itu hanya ada di Bukhari Muslim saja. Karena tidak semua hadits
shahih dimasukkan.
Kebanyakan hadits shahih itu ada pada Kutubus Sittah, yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah. Kitab lain yang mengandung hadits shahih juga masih banyak.

Bukhari lebih piawai daripada Imam Muslim:


 Kalau bukan Imam Bukhari, Imam Muslim tidak akan ada
 Imam Muslim pun mengakui Imam Bukhari
 Imam Bukhari : harus bertemu dengan gurunya
 Imam Muslim lebih rapi di dalam pemberian bab dan lebih kuat lafadznya (ia
mengharamkan meriwayatkan hadist berdasar makna, harus sama persis)

Selain ulama-ulama / kitab di atas, tidak diperbolehkan kita langsung memastikan keshahihan
hadits yang diriwayatkan tanpa kita mempelajari lebih lanjut.

8
2.4. Menyikapi Kederajatan Hadits

1. Jika suatu hadits tidak disebutkan info pen-takhrijnya (yaitu: tidak ada keterangan hadits
riwayat…) maka jangan sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya
kepada ahli ilmu mengenai status haditsnya.
2. Jika suatu hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari atau Imam Muslim, atau keduanya,
maka yakinilah itu adalah hadits yang shahih.
3. Jika suatu hadits bukan diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari juga bukan Imam Muslim,
maka lihatlah:

* Apakah ada keterangan penilaian shahih-dha’if dari ulama hadits? Jika tidak ada, maka jangan
sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya kepada ahli ilmu mengenai
status haditsnya.

* Jika ada keterangan shahih-dha’if dari ulama hadits semisal: Ibnu Hajar Al Asqalani, An Nawawi,
Al Haitsami, Al Mundziri, Ad Daruquthni, Ibnu Taimiyah, Adz Dzahabi, Ibnu Katsir, Syu’aib Al
Arnauth, Ahmad Syakir, Muqbil bin Hadi, Al Albani, Ibnu Baz, dll, maka peganglah penilaian
mereka.

4. Jika yang suatu hadits tidak disebutkan info pentakhrij-nya atau disebutkan info pentakhrij-
nya namun tidak disebutkan info shahih-dhaif-nya, namun yang membawakan atau
menyebutkan hadits adalah seorang ulama atau da’i atau ustadz yang dikenal selektif dalam
berhujjah hanya dengan hadits yang shahih, maka peganglah hadits tersebut.
5. Lanjutan poin 4, jika yang membawakan hadits adalah orang yang bermudah-mudah dalam
membawakan hadits, atau sering menggunakan hadits dhaif bahkan palsu, maka jangan
sebarkan, jangan amalkan dan jangan yakini dulu. Kemudian tanya kepada ahli ilmu
mengenai status haditsnya.

9
KESIMPULAN

1. Derajat keshahihan hadits adalah derajat untuk mencari kesempurnaan hadits.

2. Dari pembahasan diatas dapat kita simipulkain bahwa derajat-derajat dari kesahihan sebuah hadis
tergambarkan dari syarat-syarat dan ketentuan yang telah di tetapkan ,yakni :
I. HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI
II. MENURUT KUALITAS PERIWAYATANNYA
III. HADITS-HADITS DHA’IF DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI

3. Dengan tererut dan di telaah nya sebuah hadis maka dapat ditentukan hadis yang sahih, karena
hadis mempunyai derajat-derajat atau tingkatan sehingga menjadi hadis sahih yang dapat digunakan.
Dan kita dapat menyikapi hadits sesuai derajatnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, H. Muhammad dan M. Mudzakir, 2000, Ulumul Hadis, Bandung : CV Pustaka Setia.

Echols, John M., Hassan Shadily,1992, Kamus Indonesia-Inggris, Jakarta: Gramedia.

Ilyas, Yunahar dan M. Mas’udi (Eds),1996, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis,


Yogyakarta:LPPI.

Ismail, M. Syuhudi ,1988, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang.

Nuruddin ‘Itr, 1994, Manhaj an-Naqd fi ‘ulum al-Hadis atau Ulumul Hadis, Terj. Drs. Mujiyo,
Bandung: Remaja Rosda Karya.

Rahman, Fatchur, 1974, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung: Al Ma’arif.

Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung, OFFSET ANGKASA

Translation journal, Modul Musthalah Hadits, diakses 18 november 2016

Thahhan, Mahmud, 1999, Taisir Musthalah Hadis atau Ulumul Hadis, Studi Kompleksitas Hadis
Nabi, Terj. Drs. Zainul Muttaqin, Yogyakarta : Titian Ilahi Press & LPPKI.

Utang Ranuwijaya,1996, Ilmu Hadis, Jakarta: GAYA MEDIA PRATAMA

Yunus, H. Mahmud, 1990, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung

11

Anda mungkin juga menyukai