Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“DEFINISI DAN SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH ”

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


ULUMUL HADIST

Dosen Pengampu/Pengajar : Dinda Izzati, M.Ag

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6:

1. DEBI
2. GIAN RAVEL
3. MAULANA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat tuhan yang maha esa berkat
rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pada
kesempatan ini tidak lupa kami berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak terutama kepada dosen pengajar mata kuliah ULUMUL HADITS
oleh IBU DINDA IZZATI yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sebagai penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa didalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari apa
yang diharapkan.

Untuk itu, kami berharap kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini
dimasa yang akan datang. Karena tidak ada sesuatu yang sempurna. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi sispapun yang membacanya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................1

1.3 Tujuan.....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Pengertian Hadist shahih........................................................................3
2.2 Kriteria Hadist Shahih............................................................................3
2.3 Syarat – syarat Hadist Shahih................................................................3
2.4 Bagian – bagian Hadist Shahih..............................................................3
2.5 Contoh Hadist Shahih............................................................................3
BAB III PENUTUP................................................................................................4
3.1 Kesimpulan............................................................................................4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hadis bukanlah teks suci sebagaimana Alquran namun hadis selalu


menjadi rujukan kedua setelah Alquran dan menempati posisi yang sangat penting
dalam kajian keislaman dalam kurung sumber ajaran Islam Dengan adanya hadits
maka ajaran Islam menjadi jelas rinci dan Begitu banyak kitab-kitab hadis yang
beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan sumber ajaran oleh umat Islam
misalnya kitab shahih Muslim karya abu Al Husein muslim Ibnu Al Hajjah Al
Husairi Yang begitu terkenal dan merupakan kitab hadis yang paling shahih
setelah kitab hadis shahih al-bukhari yakni karya abu Abdillah Muhammad Ibnu
Ismail Al Bukhari w256 hijriah bahkan dianggap memiliki otoritas mutlak dalam
dunia ilmu pengetahuan Islam

karena kita ini telah terbukti selalu dapat diterima oleh setiap generasi
dengan lapang dada dan tangan terbuka oleh umat Islam Setiap kitab hadis yang
sudah tergolong memuat hadis-hadis sahih tentunya akan tetap memerlukan kitab-
kitab penjelas syar'i yang merupakan acuan guna memahami maksud dan tujuan
sebuah hadis tanpa adanya kitab syarrika khawatirkan ketika memahami sebuah
hadis akan keliru atau tidak sesuai dengan maksud dan tujuan hadis tersebut

Imam Al Nawawi pun dengan gamblang memaparkan berbagai persoalan


saat menulis hadis.. Beliau menjelaskan beberapa jenis dalil yang berkaitan erat
dengan hal ini, kecuali jika tidak mungkin membahas dalil-dalil tersebut secara
panjang lebar, namun di samping itu Imam Al Nawawi berusaha sekuat tenaga
menyajikan penjelasan-Nya dalam bentuk ekspresif.. Sederhana, singkat namun
jelas sebelum segala usaha Imam Al Nawawi, tentunya dalam hal ini beliau hanya
mengandalkan pertolongan lemah lembut dan baik hati dari Allah subhanahu wa
ta'ala.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hadits shahih?


2. Apa saja kriteria yang termasuk hadits shahih?
3. Hadist shahih terbagi menjadi berapa?
4. Sebutkan contoh hadits shahih?

1.3. Tujuan

1.Untuk mengetahui definisi hadist shahih.


2.Untuk mengetahui kriteria hadist shahih.
3.Untuk mengetahui syarat-syarat hadist shahih.
4.Untuk mengetahui berbagai macam hadist shahih.
5.Untuk mengetahui contoh hadist shahih.
BAB II
PEMBAHASAN
1.3 Pengertian Hadis Shahih

Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata
saqim (sakit). Maka hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat,
selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak sakit.
Secara istilah menurut Shubhi al-Shalih, hadits shahih adalah hadits yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith
hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari
kalangan sahabat tanpa mengandung syadz (kejanggalan) ataupun ‘illat
(cacat).
Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang dikenal juga
dengan Muqaddimah Ibn al-Shalah, mendefinisikan hadits shahih dengan
“Hadits yang disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhâbith hingga sampai akhir
sanad, tidak ada syadz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat)”.
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikar
lebih ringkas mendefinisikan hadits shahih yaitu “Hadits yang diriwayatkan
oleh orang yang adil, sempurna ke- dhabith-annya, bersambung sanadnya,
tidak ber-‘illat dan tidak bersyadz

1.4 Kriteria Hadis Shahih


1. Sanad Bersambung (Ittishâl al-Sanad)
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat
dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat
sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadits
itu. Persambungan sanad itu terjadi semenjak (penghimpun riwayat hadits
dalam kitabnya) sampai pada periwayat pertama dari kalangan sahabat yang
menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi Saw. Dengan kata lain, sanad
hadits bersambung sejak sanad pertama sampai sanad terakhir dari kalangan
sahabat hingga Nabi Muhammad saw, atau persambungan itu terjadi mulai
dari Nabi Saw pada periwayat pertama sampai periwayat terakhir (mukharrij
hadits). Hadits yang sanadnya bersambung, dikalangan ulama hadits dinamai
dengansebutan yang beragam. Al-Khathib al-Baghdadi (wafat 463 H/1072
M) menamainyadengan hadits musnad. Hadits musnad menurut Ibn ‘Abd al-
Barr, adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Saw (sebagai hadits
marfu’), sanad hadits musnad ada yang bersambung (muttashil) dan ada pula
yang terputus (munqathi’). Pendapat ini, menurut al-Sakhawi (wafat 902 H/
1497 M), merupakan pendapat yang diikuti oleh mayoritas ulama hadits.
Dengan demkian, menurut kebanyakan ulama hadits, hadits musnad pasti
marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadits marfu’ belum tentu
hadis musnad. Hadist marfu’ dapat disebut musnad apabila seluruh rangkaian
sanadnya bersambung, tiada yang terputus dari awal sampai akhir.

2. Periwayat Bersifat Adil

Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat hadits


disebut Adil. Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut adil
apabila beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat.
Ibn al-Shalah menetapkan lima kriteria seorang periwayat disebut adil,
yaitu beragama Islam, baligh, berakal, memelihara maru’ahdan tidak
berbuat fasik. Berdasarkan peryataan para ulama di atas diketahui berbagai
kriteria periwayat hadits dinyatakan adil. Secara akumulatif, kriteria-
kriteria itu adalah:
(1) beragama Islam
(2) mukalaf
(3) melaksanakan ketentuan agama
(4) memelihara maru’ah (Martabat)
Untuk mengetahui adil tidaknya periwayat hadits ulama telah menetapkan
beberapa cara, yaitu pertama, melalui popularitas keutamaan periwayat di
kalangan ulama hadits. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya
misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri tidak diragukan keadilannya.
Kedua, penilaian dari para kritikus periwayat hadits. Penilaian ini berisi
pengungkapan kelebihan (al-Ta’dil) dan kekurangan (al-Tarjih) yang ada
pada diri periwayat hadits. Ketiga, penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil.
Cara ini ditempuh apabila para kritikus periwayat hadits tidak sepakat
tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. Ketiga cara di atas diprioritaskan
dari urutan yang pertama kemudian yang
berikutnya. Jelasnya, keadilan seorang periwayat hadits dapat diketahui
melalui
popularitas keutamaannya dikalangan para ulama. Jika seorang periwayat
hadits
terkenal dengan keutamaannya seperti Malik ibn Anas dan Sufyan al-
Tsawri, maka dipastikan mereka bersifat adil. Jika periwayat tidak terkenal
bersifat adil, namun berdasarkan penilaian para kritikus periwayat hadits
diketahui bahwa ia bersifat adil, maka ditetapkan pula sifat adil baginya.
Akan tetapi, bila terjadi perbedaan pendapat tentang adil tidaknya seseorang
periwayat hadits, maka digunakanlah kaidah-kaidah al-jarh wa al-ta’dil.
Ketiga cara tersebut tidak dapat dibalik penggunaannya, dalam arti seorang
periwayat hadits yang terkenal adil tidak dapat dinilai dengan penilaian
yang berlawanan baik berdasar pendapat salah seorang kritikus periwayat
hadits maupun berdasar penetapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Popularitas
keadilan seseorang didahulukan sebab kualitas seorang periwayat yang
dinilai demikian tidak diragukan mengingat saksi yang menyatakan
keadilannya sangat banyak, berbeda dengan cara yang kedua yang hanya
dinyatakan (disaksikan) oleh satu atau beberapa orang saja. Demikian pula,
seorang periwayat hadits yang dinilai adil oleh seorang atau beberapa
kritikus periwayat dan tidak ada kritikus lain yang menentangnya, maka
penilaian tersebut yang digunakan, bukan dengan menetapkan kaidah al-jarh
wa alta’dil. Sebab, para kritikus periwayat itulah yang mengetahui kualitas
periwayat hadits yang mereka nilai. kaidah al-jarh wa al-ta’dil baru
digunakan bila ternyata terjadi perbedaan pendapat di kalangan kritikus
periwayat tentang kualitas seorang periwayat hadist.

3. Periwayat Hadist Bersifat Dhabith


maka kata dhâbith terkait dengan kualitas intelektual. Dhâbithbukan hanya
hafalan para periwayat saja tapi juga catatannya. Antara sifat ‘adil dan
dhâbith terdapat hubungan yang sangat erat. Seseorang yang ‘adil dengan
kualitas pribadinya bagus misalnya, jujur, amanah dan objektif tidak dapat
diterima informasinya apabila ia tidak mampu memelihara informasi itu.
Sebaliknya, orang yang mampu memelihara, hafal dan paham terhadap
informasi yang diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu,
maka informasi yang disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh
para ulama hadits keadilan dan kuat hafalan dan terjaganya catatan periwayat
hadits kemudian dijadikan satu dengan istilah tsiqah. Jadi, periwayat yang
tsiqah adalah periwayat yang ‘adil dan dhâbith. Dikalangan ulama, pengertian
dhâbith dinyatakan dengan redaksi yang beragam. Ibn Hajar al-Asqalani dan
al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang disebut dhâbith orang yang
kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu menyampaikan
hafalan itu kapan saja ia kehendaki. Muhammad Ajaj al-Khatib sesorang
disebut dhabith yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan
memahaminya ketika mendengar serta menghafalnya sejak menerima sampai
menyampaikannya kepada orang lain. Sementara itu, Shubhi al-Shalih
menyatakan bahwa orang yang dhabith adalah orang yang mendengarkan
riwayat hadits sebagaimana seharusnya, memahami dengan pemahaman
mendetail kemudian hafal secara sempurna dan memiliki kemampuan yang
demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai
menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.

4. Terhindar Dari Syadz


Secara bahasa, Syadz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang berarti
menyendiri. Menurut istilah ulama hadits, Syadz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat
periwayat yang lebih tsiqah. Pendapat ini dikemukan oleh al-Syafi’i dan
diikuti oleh kebanyakan ulama hadits. Menurut Al-syafi’i, suatu hadis
dinyatakan mengandung syadz apabila diriwayatkan oleh seorang periwayat
yang tsiqah dan bertentangan dengan riwayat banyak periwayat yang lebih
tsiqah. Suatu hadis tidak dinyatakan mengadung syadz bila hanya
diriwayatkan oleh seorang periwayat lain yang tsiqah tidak meriwayatkanya.
Jadi, bagi as-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syadz apabila:
(1)hadits itu memiliki lebih dari satu sanad
(2) para periwayat hadits seluruhnya tsiqah
(3) matan dan/atau sanad hadits itu mengandung pertentangan
Bagi al-Hakim, suatu hadits dinyatakan mengandung Syadz apabila:
(1) hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat
(2) periwayat yang sendirian itu bersifat tsiqah.
Sebaliknya, menurut al-Syafi’i, suatu hadits tidak mengandung Syadz
apabila:
(1) hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat
(2) periwayat yang tidak tsiqah

5. Terhindar Dari I’llat


Jika dalam sebuah hadits terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah
tampak shahih, maka hadits itu dinamakan hadits mu’allal, yaitu hadits yang
mengandung illat. Kata al-Mu’allal merupakan isim maf’ul dari kata a’allah
(iamencacatkannya).Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat, kesalahan baca,
penyakit, dan keburukan. Menurut istilah ahli hadits, ‘illat berarti sebab
yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadits. Ibn al-Shalah, al-
Nawawi, dan Nur alDin‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang
tersembunyi yang merusak kualitas hadits, yang menyebabkan hadits yang
pada lahirnya tampak berkualits shahih menjadi tidak shahih. Sebagai sebab
kecacatan hadits, pengertian ‘illat di sini berbeda dengan pengertian ‘illat
secara umum, misalnya karena periwayat pendusta atau tidak kuat hafalan.
Cacat umum seperti ini dalam ilmu hadits disebut dengan istilah al-tha’n
atau al-jarh dan terkadang diistilahkan juga dengan ‘illat dalam arti umum.
Cacat umum ini dapat mengakibatkan pula lemahnya sanad, tetapi hadits
yang mengandung cacat itu tidak disebut sebagai hadits mu’allal. Menurut
Shalah al-Din al-Adhabi, yang dimaksud dengan hadits mu’allal adalah
hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah, yang berdasarkan
telaah seorang kritikus ternyata mengandung ‘illat yang merusak
keshahihannya, meski secara lahiriah tampak terhindar dari ‘illat tersebut.
Atau hadits yang secara lahiriah terhindar dari ‘illat tetapi setelah diteliti
ternyata mengandung ‘illat yang merusakkan keshahihannya. Dilihat dari
segi periwayat, hadits mu’allal sama dengan hadits syadz, yaitu keduanya
sama-sama diriwayatkan oleh periwayat tsiqah. Bedanya, dalam hadits
mu’allal, ‘illatnya dapat ditemukan sedangkan dalam hadits syadz tidak
karena dalam hadits syadz memang tidak terdapat ‘illat. Sebagimana telah
dijelaskan, tidak adanya ‘illat merupakan salah satu syarat keshahihan suatu
hadits. Jika sesuatu hadits mengandung ‘illat, maka hadits dinyatakan tidak
shahih. mrnurut istilah ahli hadits, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi
yang dapat merusak keshahihan hadits.

1.5 Pembagian Hadist Shahih dan Contoh Hadist Shahih

Secara umum, hadis shahih terbagi menjadi dua macam, yakni hadist
lidzahatihi dan hadist shahih lighairihi. Berikut pengertian dari masing –
masing hadist.

1. Hadist shahih Lidzatihi

Hadist shahih lidzatihi adalah hadis yang memenuhi syarat – syarat hadist shahih,
yaitu tersambungnya sanad, kualitas moral perawi yang baik, kualitas intelektual
perawi yang baik, serta ketidaan syadz dan illat. Dengan kata lain, yang dimaksud
dengan hadist shahih lidzatihi adalah hadist shahih itu sendiri. Salah satu contoh
hadist shahih adalah hadist yang diriwayatkan imam bukhari tentang Nabi
Muhammad SAW membaca surah Ath Thur saat shalat magrib, berikut hadisnya.
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata: Telah
mengabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari muhammad jubair bin
muth’him dari ayahnya ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah dalam
shalat magrib membaca surat Ath-Thur.” (HR. Bukhari).

2. Hadist Shahih Lighairihi


Hadist shahih lighairihi adalah hadist hasan yang memiliki riwayat lain dari jalur
sanad yang berbeda, baik jalur sanad yang lain memiliki kualitas yang sama
dengan hadist hasan tersebut. Hadist shahih lighairihi memiliki kualitas diatas
kualitas hadist hasan itu sendiri. Akan tetapi kualitas hadist shahih lighairihi
dibawah kualitas hadist shahih lidzatihi. Diantara beberapa hadist yang terkategori
dalam hadist shahih lighairihi adalah hadist yang diriwayatkan Ath Tirmidzi
perihal siwak, yang berbunyi:

Artinya: “( Telah menceritakan kepada kami abu kuraib berkata, telah


menceritakan kepada kami abdah bin sulaiman dari Muhammad bin Amru dari
Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah shalallahu’ alaihi wa
sallam bersabda:

Sekiranya tidak memberikan umatku sungguh akan aku perintahkan untuk


bersiwak setiap kali akan shalat. “ Abu Isa berkata: Hadist ini diriwayatkan oleh
Muhammad bin Ishaq dari Muhamad bin Ibrahim, dari Abu Salamah, dari Zaid
bin Khalid, dari Nabi Shallahu’alaihi wasallam.

Dan hadist Abu salamah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Zaid bin
Khalid dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam, menurutku keduanya shahih. Karena
hadist itu tidak hanya diriwayatkan oleh satu jalur, yaitu dari abu hurairah dari
nabi shalullahu ‘alaihi wasallam, tetapi dari jalur lainnya, sehingga hadist riwayat
Abu Hurairah menjadi shahih.

Sedangkan Muhammad bin Ismail mengklaim bahwa hadist Abu salamah yang
diriwayatkan dari Zaid bin Khalid derajatnya lebih shahih. Abu Isa berkata:
Dalam bab ini juga terdapat dari abu bakar as- shidiq, ali, aisyah, ibnu abbas,
hudzaifah, zaid bin khalid, anas, abdullah bin amru, ibnu umar, ummu habibah,
abu ayyub, tamman bin abbas, abdullah bin handlallah, ummu salamah, wastilah
al- asqa dan abu musa.”(HARI.Tirmidzi)

DAFTAR PUSTAKA

https://kumparan.com/kabar-harian/pengertian-dan-macam-macam-hadits-shahih-
1xpkaxDf2wo#:~:text=Mahmud%20Thahhan%20An,zahirnya%20tampak
%20shahih
https://sg.docworkspace.com/d/sIAqgqNfjAb7bt6sG
https://www.wps.com/d/?from=t

Anda mungkin juga menyukai