Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ULUMUL HADITS

PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS

Dosen Pembimbing : Inawati Jainie Jarajab, Lc, MA

Mata Kuliah : Ulumul Hadist

Kelompok 4

Syahrullah Azhari: 210102010026

Novia Lestari: 210102010027

Sabina Alya Dinova: 210102010028

Syarifah Maysarah: 210102010029

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS SYARIAH
HUKUM KELUARGA ISLAM
BANJARMASIN
2021


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke
hadirat Allah SWT atas rahmat
dan hidayah-Nya
karena kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Adapun
dalam penulisan makalah
ini, materi yang akan dibahas
adalah “
Pembagian Hadist Ditinjau Dari
Jumlah Perawinya

.
Kami menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam penulisan
makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan adanya
kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan penulisan
makalah ini.
Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada semua
pihak yang telah
membantu penyusunan makalah
ini, khususnya kepada dosen
pembimbing mata kuliah yang
bersangkutan.
Akhir kata semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita
semua dan dapat
menambah wawasan kita dalam
mempelajari “Ulumul Hadist” serta
dapat digunakan
sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke
hadirat Allah SWT atas rahmat
dan hidayah-Nya
karena kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Adapun
dalam penulisan makalah
ini, materi yang akan dibahas
adalah “
Pembagian Hadist Ditinjau Dari
Jumlah Perawinya

.
Kami menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam penulisan
makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan adanya
kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan penulisan
makalah ini.
Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada semua
pihak yang telah
membantu penyusunan makalah
ini, khususnya kepada dosen
pembimbing mata kuliah yang
bersangkutan.
Akhir kata semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita
semua dan dapat
menambah wawasan kita dalam
mempelajari “Ulumul Hadist” serta
dapat digunakan
sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke
hadirat Allah SWT atas rahmat
dan hidayah-Nya
karena kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Adapun
dalam penulisan makalah
ini, materi yang akan dibahas
adalah “
Pembagian Hadist Ditinjau Dari
Jumlah Perawinya

.
Kami menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam penulisan
makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan adanya
kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan penulisan
makalah ini.
Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada semua
pihak yang telah
membantu penyusunan makalah
ini, khususnya kepada dosen
pembimbing mata kuliah yang
bersangkutan.
Akhir kata semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita
semua dan dapat
menambah wawasan kita dalam
mempelajari “Ulumul Hadist” serta
dapat digunakan
sebagaimana mestinya. KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya karena
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Adapun dalam penulisan makalah ini,
materi yang akan dibahas adalah “Pembagian hadits dari segi kualitasnya “.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan penulisan makalah ini. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini, khususnya kepada
kdosen pembimbing mata kuliah yang bersangkutan.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat
menambah wawasan kita dalam mempelajari “Ulumul Hadits” serta dapat digunakan
sebagaimana mestinya.

Banjarmasin, September 2021

Tim Penyusun
BAB 1
Pendahuluan
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an. Dimana
keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.
Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang
mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan
periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Para muhadditsin dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak cukup
hanya dengan memperhatikan terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang
bersangkutan. Hal ini disebabkan hadits itu sampai kepada kita melalui mata rantai rawi yang
teruntai dalam sanad-sanadnya. Oleh karena itu harus terpenuhi syarat-syarat lain yang
memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela mata rantai sanad tersebut. Dan
kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut
dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadist yang dapat diterima dan tidak
Mengenai diterimanya hadits oleh para ulama hadits sendiri dibagi menjadi tiga
yaitu hadits shahih, hasan dan dha’if. Ketiga hadits tersebut memiliki pengertian, macam-
macam dan contohnya masing-masing. Selain itu hadits shahih, hasan dan dha’if juga
memiliki kehujjahan yang menjadikan perdebatan.

BAB 2
Pembahasan
A. Hadist Shahih
1. Pengertian Hadist Shahih
Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit).
Maka hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna
dan yang tidak sakit.
Secara istilah menurut Shubhi al-Shalih, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga bersambung kepada
Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syâdz
(kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).1
1
Subhi al-Shalih, ‘Ulûm al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut, tahun 1988, hal.
145
Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang dikenal juga dengan
Muqaddimah Ibn al-Shalah, mendefinisikan hadits shahih dengan “Hadits yang disandarkan
kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith
hingga sampai akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat
(cacat)”.2
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr lebih ringkas
mendefinisikan hadits shahih yaitu “Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang ‘adil,
sempurna ke- dhâbith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak ber- syâdz”.3
Berangkat dari beberapa defenisi tentang hadits shahih di atas diketahui lima macam
kriteria hadits shahih yaitu pertama, sanadnya bersambung; kedua, para periwayatnya ‘adil;
ketiga, para periwayatnya dhâbith; keempat, terhindar dari syâdz; dan kelima, terhindar dari
‘illat.
2. Syarat – Syarat Hadist Shahih
Syarat – syarat Hadits Shohih Menurut ta‟rif muhadditsin, maka dapat difahami
bahwa suatu hadits dapat dikatakan shahih, apabila telah memenuhi lima syarat :
a. Sanadnya bersambung
Yang dimaksud sanad bersambung adalah tiap tiap periwayatan dalam sanad
hadits menerima periwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan ini
berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.
b. Periwayatan bersifat adil
Adil di sini adalah periwayat seorang muslim yang baligh, berakal sehat, selalu
memelihara perbutan taat dan menjauhkan diri dari perbuatan–perbuatan maksiat.
c. Periwayatan bersifat dhabit
Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan
mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya.
d. Tidak Janggal atau Syadz
Adalah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain yang sudah diketahui
tinggi kualitas ke-shahih-annya.
e. Terhindar dari illat (cacat)
Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan adanya hal hal yang
tidak bak, yang kelihatannya samar-samar.

2
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,‘Ulûm al-Hadits, al-Maktabah al-Islamiyah al-
Madinah al-Munawwarah, tahun 1972, hal. 10.

Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr, Maktabah al-
3

Munawar Semarang, tth., hal. 51.


3. Pembagian Hadits Shahih
Para ulama ahli hadits membagi hadits–hadits menjadi dua macam yaitu :
a. Hadits Shahih Li-Dzatih
Ialah hadits shahih dengan sendiriya, artinya hadits shahih yang memiliki lima
syarat atau kiteria sebagaimana disebutkan pada persyaratan di atas, atau hadits
shahih adalah “hadist yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan
kita menerimanya”.Dengan demikian penyebutan hadist shahih li dzatih dalam
pemakaiannya sehari-hari pada dasarnya cukup memakai sebutan dengan hadist
shahih. Adapun contoh hadist Li-dzatih , yang artinya “Dari Ibnu Umar ra.
Rasulullah SAW bersabda: “Dasar (pokok) Islam itu ada lima perkara: mengakui
tidak ada tuhan selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul
Allah, menegakkan Sholat (sembahyang), membayar zakat, menunaikan puasa
dibulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji” (HR. Bukhari dan Muslim).4
b. Hadist Shahih Li-Ghairihi
Yang dimaksud dengan hadist Li-Ghairih adalah Hadist yang keshahihannya
dibantu adanya keterangan lain. Hadist pada kategori ini pada mulanya memiliki
kelemahan pada aspek kedhabitannya.Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat
untuk dikategorikan sebagai Hadist shahih. Contoh hadist shahih Li-Ghairihi,
artinya : “Dari Abu Hurairah Bahwasahnya Rasulullah SAW bersabda:
“sekiranya aku tidak menyusahkan ummatku tentulah aku menyuruh mereka
bersunggi (menyikat gigi) disetiap mengerjakan Sholat.”(HR. Bukhari dan
Tirmidzi).

4. Kehujjahan Hadist Shahih


Para Ulama‟ sependapat bahwa hadist ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan syariat islam, namun mereka berbeda pendapat, Apabila hadist kategori ini
dijadikan untuk menetapkan soal-soal aqidah. Perbedaan di atas berpangkal pada perbedaan
penilaian mereka tentang faedah yang diperoleh dari hadist ahad yang shahih, yaitu apakah
hadist semacam itu memberi faedah qoth‟sebagaimana hadist mutawatir, Maka hadist hadist
tersebut dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan masalah-masalah aqidah.Akan tetapi yang
menganggaphanya memberi faidah zhanni, berarti hadist-hadist tersebut tidak dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan soal ini. Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat, sebagai berikut
:
Pertama : menurut sebagian ulama bahwa hadist shahih tidak memberi faidah qath’i
sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan soal aqidah.
Kedua : menurut An-Nawawi bahwa hadist-hadist shahih yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim memberikan qaidah qath’i.
Ketiga : Pendapat Ibn Hazm, bahwa semua hadist shahih memberikan faidah qath’i,
tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama di atas atau bukan jika memenuhi
syarat ke shahih-hannya, adalah sama dalam memberikan faidahnya.

4
Zainnudin Hamidy et al, Terjemah Hadist Shahih Bukhari, Widjaya, Jakarta, Jilid I, 1992, Hal.16
B. Hadist Hasan
1. Pengertian Hadist Hasan
Menurut bahasa adalah merupakan sifat musyabbah dari kata al-husn, yang berarti
al-jamal (baik). Sementara menurut istilah, para ulama’ mendefinisikan hadist hasan sebagai
berikut.
Al-Khathabi, hadist hasan adalah hadist yang dikethui tempat keluarnya kuat, para
perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya hadist, diterima oleh banyak ulama, dan
digunakan oleh sebagian besar fuqaha.
At-Tirmidzi, hadist hasan adalah hadist yang diriwayatkan, yang di dalam sanadnya
tidak ada rawi yang berdusta, hadistnya tidak syadz, diriwayatkan pula melalui jalan lain.
Secara singkatnya definisi hadist Hasan adalah seperti yang disimpulkan di bawah
ini:
Definisi hadist Hasan :
Bahasa : Bagus
Istilah :
1. Sanadnya bersambung
2. Perawinya adil
3. Perawinya kurang dhabit
4. Tidak ada syadz
5. Tidak ada illat.

2. Pembagian Hadist Hasan


Hadist Hasan terbagi menjadi dua jenis yaitu, Hadist Hasan Lidzatihi (hasan dengan
sendirinya) dan Hadist Hasan Lighairihi (hasan dengan topangan hadist lain).
a. Hadist Hasan Lidzatihi
Hadist Hasan Lidzatihi adalah hadis yang sanadnya bersambung dengan
periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga
akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (illat) yang merusak hadist.
b. Hadist Hasan Lighairihi
Hadist Hasan Lighairihi adalah Hadist dhoif yang memiliki sanad lebih dari satu.
Sanad-sanad yang ada menguatkan sanad yang dhoif tersebut.

3. Syarat Hadist Hasan


Syarat-syarat hadist disebut Hasan secara semuanya nyaris sama dengan syarat-syarat
hadist Shahih. 5 syarat hadist Hasan yaitu:
1. Periwayat (Sanad) bersambung,
2. Diriwayatkan oleh rawi yang tidak berat sebelah
3. Diriwayatkan oleh rawi yang hafal (dhabith), tapi tingkat kehafalannya sedang
dibawah hadist Shahih,
4. Tidak bertentangan dengan hadist dengan rawi yang tingkat dipercayanya semakin
tinggi atau Al-Qur’an,
5. Tidak Terdapat cacat.
Perbedaan hadist Shahih dan Hasan terletak pada kedhabithannya. Jika hadist Shahih
tingkat dhabitnya harus tinggi, maka hadist Hasan tingkat kedhabithannya berada
dibawahnya. Contoh hadist Hasan adalah seperti hadist yang diriwayatkan oleh Muhammad
bin Amr bin al-Qamah, dari Salamah, dari Debu Hurairah. Dalam hadist ini, hadist
dikategorikan hasan dikarenakan Muhammad bin Amr bin al-Qamah dikenal tingkat
hafalannya yang tidak luar biasa.5

4. Hukum Hadist Hasan


Hukum hadist Hasan adalah bisa dijadikan hujjah (argument), sebagaimana hadist
Shahih meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai
hujjah dan mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar hadist dan ulama’ ushul,
kecuali mereka memiliki sifat keras.

5. Contoh Hadist Hasan


Dikeluarkan oleh Tirmidzi, yang berkata: “Telah bercerita kepada kami Qutaibah,
telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’I, dari Abi Imran al-Juauni, dari
Abu Bakar bin Abi Musa al-Asyari, yang berkata: Aku mendengar bapakku berkata di
hadapan musuh: Rasulullah SAW. Bersabda: Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di
bawah kilatan pedang…” al-Hadist.

C. Hadist Dhaif
Hadits Dhaif, menurut bahasa berarti hadits yang lemah artinya hadis yang tidak
kuat. Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan
hadits dhaif ini akan tetapi pada dasarnya, isi, dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa
definisi, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat syarat hadits shahih dan syarat-
syarat hadits hasan.
2. Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat syarat hadits maqbul(hadits
shahih atau yang hasan)
3.  Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas, bahwa Hadits dhaif adalah 
hadits yang salah satu syaratnya hilang.
Hadis dhoif adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat sifat bagi hadis
yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama; hadis dhoif adalah yang tidak
terkumpul padanya sifat hadis shohih dan hasan.
Adapun pengertian lain yaitu:
‫ث ْال َم ْقبُوْ ِل‬
ِ ‫َمافَقِ َد شَرْ طا ً ِم ْن ُشرُوْ ِط ْال َح ِد ْي‬
Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat
diterima).
Pada saat dibutuhkan, hadits yang bersangkutan menguntungkan (tidak mencelakakan).
Demikian, al-Biqa’i dan al-Suyuthi serta yang lainnya menghitung syarat-syarat diterimanya
hadits tersebut. Akan tetapi sehubungan dengan kriteria yang kedua mereka tidak
menambahkan kata kata “meskipun tidak sempurna”. Ini adalah suatu masalah, sebab bila
seorang rawi tidak sempurna ke-dhabith-annya, maka haditsnya adalah hadits hasan, bukan
dha’if. Oleh karena itu ungkapan untuk kriteria yang kedua ini adalah dengan “menambahkan
kata-kata “meskipun tidak sempurna”.

5
Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadist, Yogyakarta: 2006
Alasan pemberian predikat dha’if kepada hadits yang tidak memenuhi salah satu syarat
diterimanya sebuah hadits adalah apabila pada suatu hadits telah terpenuhi syarat-syarat di
atas, maka hal itu menunjukan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan sesuai dengan
keadaan semula, dan sebaliknya bila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak
ada yang menunjukan demikian.6

BAB 3
Penutup
Hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna
dan yang tidak sakit. Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan
oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad
terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syâdz (kejanggalan) ataupun ‘illat
(cacat).
Hadist hasan adalah hadist yang diriwayatkan, yang di dalam sanadnya tidak ada rawi
yang berdusta, hadistnya tidak syadz, diriwayatkan pula melalui jalan lain.Hadist hasan
adalah hadist yang dikethui tempat keluarnya kuat, para perawinya masyhur, menjadi tempat
beredarnya hadist, diterima oleh banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha.
Hadits Dhaif, menurut bahasa berarti hadits yang lemah artinya hadis yang tidak kuat.
Hadis dhoif adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis yang
diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama; hadis dhoif adalah yang tidak terkumpul
padanya sifat hadis shohih dan hasan

6
Agus Solihin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008
http://rahmadmaulidar1001ilmu.blogspot.co.id/2015/12/makalah-hadits-dhaif.html
DAFTAR PUSAKA
Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,‘Ulûm al-Hadits, al-Maktabah al-
Islamiyah al- Madinah al-Munawwarah, tahun 1972.

Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr,
Maktabah al- Munawar Semarang, tth.

Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadist, Yogyakarta: 2006

Subhi al-Shalih, ‘Ulûm al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut, tahun
1988.

Zainnudin Hamidy et al, Terjemah Hadist Shahih Bukhari, Widjaya, Jakarta, Jilid I, 1992.

Anda mungkin juga menyukai