Anda di halaman 1dari 14

PENGERTIAN, KLASIFKASI HADITS DHAIF DAN

SEJARAH HADITS MAUDHU’

MAKALAH

OLEH
M. Firjatullah (210102010034)
Muhammad Sofwan (210102010035)
Najibatunnisa (210102010036)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


BANJARMASIN
2021 M/1443 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW
baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya. Namun
pada kasus ini, tidak semua yang disandarkan kepada Nabi adalah benar.
Kadang adanya sebuah penambahan pada matan, kecacatan pada rawi,
terputusnya sanad dan berbagai bentuk ketidakbenaran lainnya. Dari kasus
seperti ini, maka diadakanlah kodifikasi hadits atau pembukuan hadits secara
rinci yang membagi tingkatan-tingkatan hadits dari keshahihannya sampai
kedhaifannya.
Sedangkan ditinjau dari segi perawinya, hadits terbagi menjadi dua,
yaitu hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadits
Mardud (hadits yang tetolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua
yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits Mardud
salah satunya adalah hadits Dha’if yang di dalamnya terdapat hadits Maudhu’.
Semuanya memiliki kriteria dan ciri yang berbeda.
Supaya tidak salah untuk memilih hadits yang akan menjadi hujjah
dalam keagamaan maka harus mengetahui kualitas hadits tersebut agar tidak
ada perselisihan tentang sesuatu atau saling menyalahkan satu sama lainnya.
Dengan demikianlah, kami merumuskan suatu makalah berjudul,
“PENGERTIAN, KLASIFKASI HADITS DHAIF DAN SEJARAH
HADITS MAUDHU’”

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadits Dhaif?
2. Apa saja klasifikasi dari Hadits Dhaif?
3. Apakah boleh berhujjah dengan Hadits Dhaif?
4. Bagaimana proses munculnya Hadits Maudhu’?
5. Apa saja faktor munculny Hadits Maudhu’?
C. Tujuan
Adapun tujuan kami adalah, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian Hadits Dhaif.
2. Untuk mengetahui klasifikasi Hadits Dhaif.
3. Untuk mengetahui berhujjah dengan Hadits Dhaif.
4. Untuk mengetahui bolehnya berhujjah dengan Hadits Dhoif.
5. Untuk mengetahui faktor munculnya Hadits Maudhu’.

D. Manfaat
Adapun manfaat yang kami harapkan adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan Memahami pengertian Hadits Dhaif.
2. Mengetahui dan Memahami klasifikasi Hadits Dhaif.
3. Mengetahui dan Memahami berhujjah dengan Hadits Dhaif.
4. Mengetahui dan Memahami bolehnya berhujjah dengan Hadits Dhoif.
5. Mengetahui dan Memahami faktor munculnya Hadits Maudhu’.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HADITS DHAIF
1. Pengertian Hadits Dhaif
Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari
Qawiy (yang kuat). Sebagai lawan dari kata Shahih. Kata Dhaif secara bahasa
berarti Hadist yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.1
Secara Terminologis, para ulama memiliki definisi yang beragam.
Akan tetapi, pada hakikatnya mengandung makna yang sama, Menurut Imam
Nawawi2 : “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih
dan Hadist Hasan.”

a) Pembagian Hadits Dhaif


1) Hadits Dhaif berdasarkan sandaran sudut matannya
Adapaun Hadits Dhaif berdasarkan matan terbagi menjadi 2:
(a) Hadits Mauquf, ialah Hadits yang diriwayatkan dari para
sahabat, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya.3
Contoh :
Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu ‘anhu (semoga Allah
SWT meridhoinya), doa berkata : “Sederhana dalam sunnah itu
lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam kebid’ahan.”
(H.R Imam Al Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro)
(b) Hadits Maqhtu, ialah Hadits yang diriwayatkan dari Tabi’in,
beruoa perkataan, perbuatan atau taqrirnya.
Contoh :
Perkata Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang shalat
di belakang Ahli Bid’ah : “Shalatlah (di belakang mereka) dan
bid’ah mereka atas mereka.” (H.R. Al-Bukhari)

1 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Penerbit: Media Pratama. Jakarta. h. 176


2
An-Nawaawi, At-Taqrib Li An-Nawawi Fann Ushul Al-Hadist, Penerbit: Abd Rahman Muhammad,
Kairo, h. 19
3 Subhi ash-shahih, Ulumul al-Hadits wa Musthalahuh, Penerbit: Dar al-ilm al madayin, Beirut, h. 208
2) Hadits Dhaif berdasarkan dari sudut matannya
Hadits Syadz ialah Hadits yang diriwayatkan oleh para
perawi yang tsiqah atau terpercaya, akan tetapi kandungan
haditsnya bertentangan dengan (kandungan Hadits) yang
diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat ke tsiqahannya.4
Contoh :
“Seseorang meninggal di zaman Nabi Muhammad SAW dan ia
tidak meninggalkan sesuatu pun kecuali seorang budak yang ia
merdekakan, lalu Nabi Muhammad SAW memberikan warisan
orang itu tersebut kepada si budak.” (H.R AT-Tirmidzi No. 2032,
H.R. Ibnu Majah No. 2731, H.R. Abu Dawud No.2518).

3) Hadits Dhaif dari salah satu sudutnya, baik sanad ataupun


matan secara bergantian
Yang dimaksud bergantian disini adalah ke-Dhaifan tersebut
kadang-kadang terjadi pada sanad dan kadang-kadang pada matan,
yang temasuk hadits yaitu:
(a) Hadits Maqlub, ialah Hadits yang terjadi mukhalafah
(menyalahkan hadits lain), disebabkan mendahulukan dan
mengakhirkan.
Tukar menukar yang dikarenakan mendahulukan
sesuatu pada satu dan mengakhirkan pada tempat lain,
adakalanya terjadi pada matan hadits dan adakalanya pada sanad
hadits.
Contoh:
Tukar menukar yang terjadi pada matan, Hadits Muslim dari
Abu Hurairah R.A yang berbunyi, ”… dan seseorang yang
bersedekah dengan sesuatu yang sedekah yang disembunyikan,
hingga tangan kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah
dibelanjakan oleh tangan kirinya.” Hadits ini terjadi

4 Ranuwijaya, Op. Cit, h. 18


pemutarbalikan dengan Hadits Riwayat Bukhari atau Muslim
sendiri, pada tempat lain yang berbunyi
(b) Hadits Mudraf
Kata Mudraf menurut bahasa artinya yang disisipkan.
Secara terminology hadits mudraf ialah hadits yang didalamnya
terdapat sisipan atau tambahan.
(c) Hadits Muhahhaf
Hadits Muhahhaf ialah Hadits yang terdapat perbedaan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena
didalamnya terdapat beberapa huruf yang diubah. Perubahan ini
jua biasanya terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga
maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna, dan maksud
semula.

4) Hadits Dhaif dari sudut sanad dan matannya secara bersama-


sama
(a) Hadits Maudhu
Hadits yang disanadkan dari Rasulullah SAW secara
dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan,
melakukan, dan menetapkan.5
(b) Hadits Munkar
Ialah hadits yang hanyar diriwayatkan oleh seorang
perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.6

5) Hadits Dhaif dari segi persambungan sanadnya


(a) Hadits Mursal
Hadits Mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah
tabi’in. Yang dimaksud gugur disini ialah nama sanad terakhir,

5
Ibnu Hajar Al-Kanani Al-Agalni, Subul Al-Salam Juz I, Penerbit: Dahlan. Bandung, h. 3
6 Ibnu Ash-Shaleh, Op.Cit., hal. 212
yakni nama sahabat yang tidak disebutkan, padahal sahabat
adalah orang pertama meneriima Hadits dari Rasulullah SAW.
(b) Hadits Mungqathi’
Ialah Hadits yang gugur pada sanadnya. Seorang perawi
atau pada sanad tersebut disebutkan seorang yang tidak dikenal
namanya.7
(c) Hadits Mu’dhal
Hadits yang gugur dua sanadnya atau lebih, secara
berturut- turut, baik (gugurnya itu) antara sahabat dengan tabi’in,
atau antara tabi’in dengan tabi’in.8

2. Berhujjah dengan Hadits Dhoif


Para Ulama’ sepakat melarang meriwayatkan Hadits Dhaif bukan
Maudhu. Maka dipeselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan
untuk berhujjah.
Dalam hal ini ulama mempunyai beberapa ikhtilaf :
a) Melarang secara mutlak
b) Membolehkan
Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Ulama’ Hadits yang
memperbolehkan berhujjah dengan hadits dhaif untuk
keutamaan amal, memberikan 3 syarat :
1) Hadits Dhoif itu tidak keterlaluan.
2) Dasar Amal yang ditunjukan oleh Hadits Dhaif tersebut,
masih dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh Hadits
yang dapat diamalkan (Shahih atau Hasan).
3) Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadits
tersebut benar-benar bersumber dari Nabi. Tetapi tujuan
ikhtiyath (hati-hati) belaka.

7
Utang Ranuwijaya, Op.Cit., h. 185
8 Hasbi Ash-Shiddiqie, Dirayah Hadits, Bulan Bintang Jakarta, h. 257
B. HADITS MAUDHU’
1. Sejarah Perkembangan Hadits Maudhu’
Pada dasarny hadits maudhu’ (hadis palsu) bukanlah hadis karen
tidak berasal dari Rasulullah SAW, tetapi ia sengaja dibuat oleh seorang
atau sekelompok orang dengan maksud-maksud tertentu dan kemudian
disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dusta. Sisi matan palsu
sanadnya mereka buat sedemikian rupa, sehingga Nampak seolah-olah
berasal dari Nabi Muhammad SAW. Pada zaman Rasulullah SAW dan
sahabat besar belum pernah terjadi pemalsuan hadits meskipun pada saat itu
hadits Nabi Muhammad SAW belum dibukukan dalam kitab-kitab hadits
tersendiri dan periwayatan hadits masih disandarkan kepada ingatan para
sahabat. Para sahabat adalah orang-orang yang masih dapat dipercaya
(tsiqah) dan tidak mendustakan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW yang
mereka akui sebagai ajaran yang benar.9 Disamping itu, mereka sangat hati-
hati dalam menerima dan menyampaikan hadits kepada orang lain.
Pembuatan hadits palsu mulai kelihatan gejalanya pada zaman
tabi’in besar, yaitu para tabi’in yang pada zaman sahabat mereka sudah
berusia dewasa. Pemalsuan hadits pada saat itu masih jarang sekali karena
mereka masih menghayati wibawa Rasulullah SAW. Mereka masih lebih
taat dan taqwa, sehingga dengan mudah mereka dapat memisahkan mana
yang benar dan mana yang palsu, dan disamping itu perpecahan dan
perbedaan politik belum tajam. 1011 Pada akhirnya pemerintahan khalifah
Utsman bin Affan dan permulaan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul lah
pertentangan yang sifatnnya politis antara kaum Muslimin. Disatu pihak ada
segolongan kaum Muslimin yang menentang kebijakan khalifah Utsman
yang mengangkat keluarga dekatnya untuk menduduki jabatan penting
dalam pemerintahan meskipun tidak ahlinya, dipihak lain ada segolongan
kaum Muslimin yang tetap setia pada kepemimpinan Utsman. Pertentangan

9 Mustafa al-Siba’iy, al-Sunnah Wa Makanatuha Fi al-Tasyri al-Islami, Penerbit: Dar al-Qaumiyyah li

al-Tiba’ah wa al-Nasyr, Kairo, h. 46


10 Yusuf Souyb, Sejarah aulat Khulafaur Rasyidin, Penerbit: Bulan Bintang, Jakarta, h. 501
11
Muhammad Khudri Beyk, Tarikh al-Umam al-Islamiyyah, Jilid I, Penerbit: Maktabah Tijariyah al-
Kubra, Kairo, h. 66
ini akhirnya menyebabkan huru-hara yang mengakibatkan khalifah Utsman
bin Affan terbunuh. Di tengah-tengah situasi yang kacau seperti itulah Ali
dipilih rakyat menjadi khalifah keempat pada tahun 35 H/656 M. Atas
terbunuhnya Usman itu, Aisyah menuntut agar Ali cepat mengambil
tindakan tegas terhadap orang-orang yang terlibat dalam aksi huru-hara.
Bahkan Mu'awiyyah, yang saat itu menjadi gubernur di Damaskus,
mengajukan tuntutan keras kepada Ali, agar perang yang membunuh Usman
harus segera ditangkap dan dipidana mati. Namun demikian, kerana Ali
dianggap terlalu lamban, maka akhimya mereka mengangkat senjata
menentang Ali. Pertama, meletuslah perang jamal, yakni perang antara
Aisyah dengan Ali, yang berakhir dengan kemenangan Mu'awiyyah setelah
terjadi Tahkim,
Peristiwa Tahkim tersebut menimbulkan ketidak puasan dikalangan
sebahagian pengikut Ali yang militan dengan kemarahan dan melakukan
perampokan dan pembunuhan diberbagai daerah. Akhimya, Ali berusaha
menumpas mereka dan pernah terjadi perang Nahrawan, yakni perang
antara golongan ini, yang kemudian dikenal dengan Khawarij melawan Ali.
Setelah terjadi berbagai peperangan seperti tersebut di atas, maka
terpecahlah pengikut Ali menjadi tiga golongan, pertama, golongan yang
semakin fanatik mengkultuskan Ali. Golongan ini berpendapat bahwa
segala kebijaksanaan Ali dalam mengendalikan pemerintahan, termasuk
menerima tahkim, semuanya benar. Golongan ini disebut golongan syi'ah.
Kedua golongan yang ikut berbai'at kepada Ali ketika Ali diangkat
menjadi khalifah keempat. Tetapi golongan ini tidak mau melibatkan diri
dalam urusan politik, termasuk dalam persengketaan senjata, mereka ingin
netral. Golongan ini kemudian dikenal dengan golongan Murjiah. Ketiga.
golongan yang sudah kehilangan kepercayaan baik kepada Ali maupun
kepada Mu'awiyyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu mereka akhirnya
memusuhi dan melawan Ali maupun Mu'awyyah.12 Perpecahan pasca
perang Siffin yang dari bidang politik sudah merebut kedalam bidang
keagamaan, teologi dan hukum, mendorong sebagian. dari umat Islam

12 TM. Hasbi al-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Penerbit: Bulan Bintang, Jakarta, h. 44
untuk membuat hadis-hadis palsu. Lahirnya pembuatan hadis-hadis palsu,
menurut sejarah, terjadi pada tahun 41 H.13

1. Sebab-sebab timbulnya Hadits Maudhu’


a) Faktor Politik
Peristiwa terbunuhnya Utsman, yang penyelesaiannya
dipandang berlarut-larut oleh sementara pihak, menimbulkan beberapa
kali perang antara Ali melawan Mu'awiyyah, Ali melawan Aisyah dan
Ali melawan golongan khawarij. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya firqah-firqah politik yang kemudian menimbulkan
pertentangan dalam masalah keagamaan, baik dalam bidang hukum
Islam maupun teologi Islam. Demi kepentingan golongan, kehebatan
pimpinan firqah atau justifikasi, bagi pendapat-pendapat tertentu
mereka membuat hadis palsu. Menurut al-Zuhri dan Imam Malik, kaum
Syi'ah adalah golongan yang pertama kali melakukan pemalsuan hadis.
al-Zuhri mengatakan ;"kami meriwayatkan hadis sejengkal, dan setelah
masuk Irak hadis itu bertambah sehingga menjadi sehasta". Imam
Malik juga menyebutkan bahwa "Irak adalah tempat mencetak hadis
palsu, kemudian hadis-hadis itu disebarluaskan kepada masyarakat".
Dan menurut beliau politiklah yang menyebabkan lahirnya hadis palsu.
Ketiga ditanya tentang golongan Rafidah, beliau menerangkan :
"Janganlah kalian mengajak mereka berbicara dan janganlah kalian
menerima hadis yang mereka riwayatkan, karena mereka adalah
pendusta.14 Beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa golongan
Syi'ah Rafidah yang sangat fanatik kepada Ali merupakan salah satu
golongan Syi'ah yang pertama membuat hadis palsu. Dalam setiap
pertentangan polotik yang menimbulkan kekacauan dalam masyarakat
selalu ada pihak tertentu yang menggunakan kesempatan untuk
kepentingan dirinya, Demikian pula pada waktu terjadinya kekacauan
politik pada zaman Ali, juga ada pihak tertentu yang dalam hal ini

13 Subhi al-Shaleh, Ulum al-Hadis wa Mustaluhuh, Penerbit: Dar Ilm al-Malayin, Beirut, h. 266
14
Al-Siba’iy, Op. Cit., h. 80
adalah orang Yahudi dengan tokohnya, Abdullah bin Saba', yang selalu
meniupkan fitnah diantara pihak yang bertentangan. Usahanya berhasil
dengan meletusnya perang saudara dan perpecahan yang
berkepanjangan, dimana salah satu dampak negatifnya ialah terjadinya
pemalsuan hadis. Jika pemalsuan hadis pertama kalinya dilakukan oleh
kelompok Syi'ah Rafidah, itu pada hakekatnya tidaklah mengherankan
karena sebagian kaum Rafidah adalah orang Persia yang dalam
kehidupan sehari-hari masih melestarikan kepercayaan keberhalaaan
meskipun disembunyikan di balik baju Syi'ah. Mereka lebih senang
melihat keadaan kaum Muslimin lemah dan kacau balau. Pertentangan
politik yang menimbulkan perang saudara itu tidak hanya berakhir pada
zaman Ali Khulafa' al-Rasyidin yang keempat, tetapi berlanjut sampai
pada Dinasti Ummayyah dan Abbasiyah. Mengenai apakah golongan
khawarij juga membuat hadis palsu atau tidak, masih diperselisihkan
dikalangan ulama. Ulama yang menyetujui bahwa golongan khawarij
terlibat dalam pembuatan hadis palsu, mendasarkaan pendapat mereka
pada riwayat Ibn Lahi'ah, Imam as Suyuthi dan Abd al-Karim. Ibn
Lahi'ah pernah berkata : "Dia mendengar seorang guru (syaikh) dan
golongan khawarij telah bertaubat mengatakan, Sesungguhnya hadis-
hadis Nabi merupakan perkataan agama, maka lihatlah kepada siapa
kamu mengikuti suatu perkataan secara hawa nafsu, maka kamu
menjadikan hal itu sebagai suatu hadis”.15 Riwayat Imam Suyuthi dan
Ubaidillah bin Amir dan Abd al-Karim isinya juga senada dengan yang
diriwayatkan oleh Ibnu Lahi'ah. 16 Menanggapi riwayat di atas al-
Khatib al-Bagdadi meriwayatkan dari Hammad bin Salamah bahwa
syaikh yang disebut oleh Ibnu Lahi'ah itu tidak diketahui orangnya,
tetapi yang jelas dia adalah seorang syaikh dari golongan Syi'ah
Rafidah, bukan seorang dari golongan Khawarij, karena kaum
Khawarij itu termasuk kelompok-kelompok yang pengikutnya
tergolong orang-orang yang jujur, di samping mereka berpendirian

15
Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Penerbit: Dar al-Fikr, Beirut., h. 204.
16 Ibid.
bahwa melakukan pemalsuan terhadap hadis merupakan dosa besar
yang dapat mengakibatkan kekufuran. Jadi hadis yang dibawakan oleh
Ibnu Lahi'ah itu tidak benar (dha'if).17
Lebih tegas lagi Muhammad Ajjaj al-Khatib membantah
anggapan golongan Khawarij terlibat dalam pembuatan hadis maudu'
meskipun ada tiga riwayat yang di kemukakan oleh Ibnu Lahi'ah,
Ubaidillah bin Amir dari riwayat Abd al Karim dan Imam al-Suyuthi.
Sebab, menurut beliau, tidak ada satu dalilpun yang kuat yang
menetapkan bahwa mereka terlibat dalam pembuatan hadis maudhu',
karena mereka mempunyai pendirian bahwa melakukan dosa besar itu
kafir, padahal pendapat Mustafa al-Siba'i bahwa hadis yang
diriwayatkan 3 Imam tersebut diatas sebenarnya dibuat oleh golongan
Zindik. 181920 Demikian pula Prof. Hasbi al-Shiedigy berpendapat
bahwa golongan Khawarij tidak terlibat dalam pembuatan hadis
maudhu'. Beliau mengataakan bahwa kita tidak boleh terpedaya dengan
pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa golongan
Khawarij itu membuat hadis palsu”.

17
Ibid, h. 204 dan 206.
18
Ibid., h. 205.
19
Musthafa al-Siba’I, Op. Cit., h. 84. TM. Hasbi al-Shiedieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis, Op. Cit., h. 248.
20
TM. Hasbi al-Shiedieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Op. Cit., h. 248.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits Dhaif merupakan hadits yang lemah walaupun lemah masih bisa
untuk diamalkan dengan beberapa syarat walaupun ada beberapa ulama’ yang
tidak sependapat dengan hal itu.
Hadits Maudhu’ adalah Hadits Palsu yang sangat bertolak belakang
dengan Hadits yang berasal dari Rasulullah, Hadits ini tidak boleh disebarkan
atau diamalkan akan tetapi, boleh dijadikan pelajaran apabila ingin mengetahui
perbedaan hadits palsu dan hadits yang shohih, hasan maupun dhaif.

B. Saran
Mohon maaf jika penulisan masih jauh dari batas kesempurnaan karena
manusia tempat khilaf dari semua urusan, Namun, apabila ada kesalahan
mohon dibenarkan, karena masukan dari kalian salah satu evaluasi paling
berpengaruh dalam penulisan ini dan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

An-Nawawi, At-Taqrib An-nawawi Fann Ushul Hadits, Abdul ar-rasman


Muhammad : Kairo
At-Tarmudzi (1980), Sunan At-Turmudzi, Dar al-Fikr : Bairut
Hasbi Ash-Shidiqi (1986), Diroyah Hadits, Bulan Bintang : Jakarta
Muhammad Ajjaj al- Khatib (1975). Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Mushthalahuhu,
Dar al-Fikr : Beirut
Mustafa al-Syiba’I (1368 H/1949 M), al-Sunnah Wa Makanatuha Fi al-Tasyri’ al-
Islami, Dar al-Qaumiyyah li al-Tiba‟ah wa al-Nasyr : Kairo,.
Subhi Ahsh-Shahih (1977), Ulum Al-Hadits wa Musthalahuh, Dar Al-Ilm Al-
Malayi : Bairut

TM. Hasbi al-Shiddiqiy (1988). Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis, Bulan
Bintang : Jakarta
Utang Ranuwijaya (1996), Ilmu Hadis, Media Pratama : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai