Segala puji bagi Allah SWT yang maha menguasai seluruh alam semesta beserta isinya.
Lagi maha berkehendak atas segala sesuatu, dan telah menjadikan manusia sebaik-baiknya
ciptaan yang diberikan akal untuk berfikir. Rasa syukur saya ucapkan karena berkat rahmat dan
hidayahnya saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW
kepada keluarganya, para sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya. Semoga limpahan rahmat
yang diberikan Allah kepada beliau sampai kepada kita semua.
Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah “Pengantar Studi
Hadits”. Namun, saya sangat menyadari dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna
dan masih banyak kekurangan baik isi maupun penulisan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan dapat di gunakan sebagaimana mestinya.
BAB I
PENDAHULUAN
Hadits Dhaif
A. LATAR BELAKANG
Ilmu hadits merupakan salah satu pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya dimiliki oleh
setiap kaum muslim. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang yang mengatakan bahwa
ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh para salafus sholeh yang memang benar-benar memilki
kredibilitas dalam ilmu agama sehingga stigma ini membuat sebagian kaum muslim merasa tidak harus
untuk mempelajari ilmu hadits.
Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena dapat membuat masyarakat muslim menjadi kurang
tsaqofah islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah rosul. Terlebih dengan keadaan saat ini
dimana sangat bayak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah kaum
uslim dan tentunya hal ini akan membuat kaum muslimin menjadi pelaku bid’ah. Jika kaum muslim masih
memandang remeh tentang ilmu hadits ini maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi
aqidah kaumm muslimin dalam menjalankah sunnah rosul. Oleh karena itulah, perlunya kita sebagai
umat muslim memilki pengetahuan yang luas tentang ilmu hadits.
Seperti yang telah diketahui bahwa hadits dho’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak memilki
syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dhiof ini tidak
dapat dijadikan sebagai hujjah namun sebagian ulama yang lainnya juga ada yang berpendapat bahwa
hadits dhoif ini dapat digunakan sebagai hujjah. Dengan adanya khilafiah atau perbedaan pendapat
diantara para ulama,maka sangat perlulah kita sebagai umat muslim mengetahui bagaimana cara kita
bersikap dalam menghadapi hadits dhoif tersebut karena hal ini akan langsung berkaitan dengan aqidah
dan ibadah-ibadah kita kepada Allah SWT.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan materi tentang telaah krisis terhadap hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan masalah
yang harus diselesaikan diantaranya:
1. Apa itu hadits dhoif?
2. Apa saja kriteria hadits dhoif?
3. Apa saja Macam-macam hadits dhoif?
4. Bagaimana kehujjahan hadits dhoif?
5. Apa saja kitab-kitab yang memuat tentang hadits dhoif?
C. TUJUAN
Tujuan dari pembahasan materi tentang hadits dhoif ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian hadits dhoif.
2. Mengetahui sebab-sebab hadits dhoif menjadi tertolak termasuk juga kriteria mengapa
disebut sebagai hadits dhoif.
3. Dapat membedakan macam-macam hadits dhoif..
4. Mengetahui kehujjahan hadits dhoif.
5. Mengetahui kitab-kitab yang di dalamnya memuat hadits dhoif.
BAB II
PEMBAHASAN
Hadits Dhaif
Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dhoif ini
akan tetapi pada dasarnya,isi, dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi,diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat
hadits hasan.
2. Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohih
atau yang hasan)
3. Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalah hadits
yang jika satu syaratnya hilang.
Adapun kriteria hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits shohih dan hadits hasan
yang tidak terdaoat padanya,yaitu sebagai berikut sebagai berikut:
1. Sanadnya tidak bersambung
2. Kurang adilnya perawi
3. Kurang dhobithnya perawi
4. Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya
5. Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya
suatu hadits shohih meski secara zohir terlihat bebas dari cacat.
Hadits dlaif sangat banyak macamnya, masing-masing memiliki derajat yang berbeda satu sama lain.
Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 1 syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan lebih baik
daripada Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 2 syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan dan
begitu seterusnya.
Berdasarkan sebab-sebab di atas maka macam-macam hadits dhoif ini digolongkan menjadi beberapa
kelompok di antaranya:
I. Dhoif pada segi sanad,yaitu terbagi lagi menjadi:
i) Hadits munqathi’
Hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih atau pada sanadnyan
disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.
v) Hadits mudallas
Hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits tersebut
tidak bernoda.
Orang yang melakukan tadlis(perbuatannya) disebut mudallis dan haditsnya disebut hadits mudallas.
1) Hadits maudhu’
Hadits maudhu’ adalah hadits yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan
kepada Rasulullah secara paksa dan dusta baik sengaja maupun tidak.
Sedangkan hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dhoif)
yang bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya.
1) Hadits mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan,padahal bukan (bagian dari) hadits.
2) Hadits maqlub
Hadits maqlub yaitu hadits yang lafaz matannya tertukar pada salah seorang perawi pada salah seorang
perawi atau seseorang pada sanasnya. Kemudian didahulukan dalam penyebutannya,yang seharusnya
disebut belakangan atau mengakhirkann penyebutannya,yang seharusnya di dahulukan atau dengan
diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
3) Hadits mudhtharib
Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan periwayatannya yang berbeda-beda padahal
berasal dari satu perawi(yang meriwayatkan),dua atau lebih atau dari dua perawi atau lebih yang
berdekatan(dan tidak bisa ditarjih).
4) Hadits mushahhaf dan hadits muharraf
Hadits mushahhaf adalah hadits yang perbedaannya(dengan hadits riwayat lain) terjadi karena
perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.
Sedangkan hadits muharraf adalah hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan
syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
1) Hadits syaz
Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang maqbul,aka tetapi bertentangan (matannya)
dengan periwayatannya dari orang yang kualitasnya lebih utama.
2) Hadits mu’allal
Hadits mu’allal adalah hadits yang diketahui ‘illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan
meskipun pada lahirnya telah tamoak selamat(dari cacat) coontoh hadits mu’allal:
‘’si penjual dan si pembeli boleh memilih selama belum berpisahan’’
Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dhoif dari sudut penyandarannya ini adalah
hadits mauquf dan hadits maqhthu’.
1) Hadits mauquf
Hadits mauquf adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat baik berupa perkataan,perbuatan,atau
taqrirnya. Periwayatannya baik bersambung atau tidak.
2) Hadits maqthu’
Hadits maqthu’ adalah hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya,baik perkataan
maupun perbuatannya. Dengan kata lain bahwa hadits maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan tabi’in.
Hadits dhoif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhoiffannya misalnya karena kemaudhu’annya, ada juga
yang bisa tertutupi kedhoiffannya(karena ada faktor yang lainnya). Untuk yang pertama tersebut,
berdasarkan kesepakatan para ulama hadits, tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam
penetapan hukum-hukum,akidah maupun fadhail al ‘amal.
Sementara untuk jenis yang kedua dalam hal kehujjahannya hadits dhoif tersebut ,ada yang berpendapat
menolak secara mutlak baik unuk penetapan hukum-hukum,akidah maupun fadhail al ‘amal dengan
alasan karena hadits dhoif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rosulullah SAW. Di antara yang
berpendapat seperti ini adalah imam al Bukhari,imam muslim, dan Abu bakr abnu Al ‘Araby.
Sementara bagi kelompok yang membolehkan beramal dengan hadits dhoif ini secara mutlak adalah
imam Abu Hanifah, An-Nasa’i dan juga Abu dawud. Mereka berpendapat bahwa megamalkan hadits
dhoif ini lebih disukai dibandingkan mendasrkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas. Imam ibnu
Hambal,Abd Al-Rahman ibn Al-Mahdy dan Abdullah ibn Al mubarak menerima pengalaman hadits dhoif
sebatas fadhail al ‘amal saja,tidak termasuk urusan penetapan hukum seperti halal dan haram atau
masalah akidah.
Al-Qasiny memaparkan pendapat-pendpat ulama hadits yang lain tentang penerimaan terhadap hadits
dhoif ini, yang juga tidak jauh berbeda dengan pemaparan di atas. Misalnya, ia mengutip pendapat ibnu
Sholeah bahwa ia sendiri dalam kitabnya yang biasa dikenal ‘’Muqaddimah Ibnu Al-Sholah’’ tidak banyak
mengulas tentang hal ini, selain kata ‘’hendaknya tentang fadhail dan semisalnya’’. Sementara Ibnu Hajar
mengemukakan tiga syarat yang harus ada pada hadits dhoif yang bisa diterima dan diamalkan,yaitu:
pertama, tingkat kelemahannya tidak parah: orang yang meriwayatkan bukan termasuk
pembohong atau tertuduh berbohong atau kesalahannya abanyak.
Kedua, tercakup dalam dasar hadits yang masih dibenarkan atau tidak bertentangan dengan
hadits yang shohih(yang bisa diamalkan), ketiga, ketika mengamalkannya tidak seratus persen meyakini
bahwa hadits tersebut benar-benar datang dari Nabi SAW,tetapi maksud mengamalkannya semata-mata
untuk ikhtiyath
Sementara As-Suyuti sendiri cendrung membolehkan beramal dengan hadits dhoif termasuk dalam
masalah hukum dengan maksud ikhtiyath. Ia mendasarkan pada pendapat Abu Daud, Iama ibn Hambal
yang berpendapat bahwa itu lebih baik dibanding menggunakan akal atau rasio atau pendapat
seseorang.
BAB III
PENUTUP
Hadits Dhaif
A. Kesimpulan
1. Hadits dhoif merupakan hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits
shohih dan syarat-syarat hadits hasan. Hadits dhoif ini memilki penyebeb mengapa bisa tertolak
di antaranya dengan sebab-sebab dari segi sanad dan juga dari segi matan.
2. Kriteria hadits dhoif adalah karena sanadnya ada yang tidak bersambung,kurang adilnya
perawi,kurang dhobiyhnya perawi dan Ada syadz dalam hadits tersebut.
3. Hadits dhoif terbagi menjadi beberapa kelompok baik itu yang didasarkan pada
pembagian berdasarkan sanad hadits atau juga matan hadits.
4. Dalam menyikapi penerimaan dan pengamalan hadits dhoif ini terhadi khilafiah di
kalangan ulama,ada yang membolehkannya dan ada juga yang secara mutlak tidak
membolehkan beramal dengan hadits dhoif tersebut.
5. Kitab yang memuat hadits dhoif adalah Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,Kitab ad-dlu’afa
karya ibnu hibban, Kitab al-Marasil karya Abu Daud, Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni.
Hadits dhaif berarti hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan. Ada banyak
penyebab hadits dhaif, namun dari keseluruhan penyebab itu dapat disimpulkan menjadi dua
sebab. Mahmud Thahan dalam Taisiru Musthalahil Hadits menjelaskan:
لكنها ترجع بالجملة إلى أحد سببين رئيسين هما،أما أسباب رد الحديث فكثيرة: سقط من اإلسناد وطعن في
الراوي
Artinya, “Penyebab hadits ditolak atau tidak bisa diterima ada banyak. Namun
keseluruhannya merujuk pada dua sebab: sanadnya tidak bersambung dan di dalam
rangkaian sanadnya terdapat rawi bermasalah.”
Ada dua penyebab utama hadits dhaif: keterputusan sanad dan perawinya bermasalah.
Masing-masing penyebab itu dirinci lagi oleh para ulama sehingga pembagian hadits
dhaif menjadi semakin banyak.
Mahmud Thahan menjelaskan, dilihat dari keterputusan sanad, hadits dhaif dapat dibagi
menjadi enam macam: muallaq, mursal, mu’dhal, munqati’, mudallas, dan mursal khafi.
Berikut penjelasannya:
Muallaq
Muallaq adalah setiap hadits yang tidak disebutkan rangkaian sanadnya dari awal
sanad, baik satu orang rawi yang tidak disebutkan, dua rawi, maupun lebih. Yang
terpenting, perawi hadits tidak disebutkan dari awal sanad.
Mursal
Mursal berarti:
Maksudnya hadits yang tidak disebutkan nama sahabat dalam rangkaian sanadnya.
Periwayatan hadits pasti melalui sahabat, karena tidak mungkin tabi’in bertemu Rasulullah
langsung. Bila ada hadits yang tidak menyebutkan sahabat dalam rangkaian sanadnya, dari
tabi’in langsung lompat kepada Rasulullah, maka hadits itu bermasalah.
Misalnya, Imam Muslim bin Hajjaj pernah meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Rafi’, dari
Hujain, dari Al-Laits, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin Musayyab, bahwa Rasulullah
pernah melarang jual beli dengan cara muzabanah, yaitu jual beli tanpa takaran. Redaksi
haditsnya sebagai berikut:
عن سعيد ابن المسيب أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم نهى عن بيع المزابنة
Artinya, “Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara
muzabanah.”
Ulama menghukumi hadits di atas dengan mursal karena Sa’id bin Musayyab adalah seorang
tabi‘in yang tidak mungkin bertemu Rasulullah SAW. Pasti Sa’id bin Musayyab mendengar
hadits itu dari sahabat. Tetapi dalam rangkaian sanad hadits di atas tidak disebutkan nama
sahabat yang menjadi perantara antara Sa’id bin Musayyab dan Rasulullah.
Mu’dhal
Mu’dhal berarti:
Maksudnya, dalam rangkaian sanad ada dua perawi yang dihilangkan, syaratnya harus
berturut-turut. Kalau tidak berturut-turut, misalnya di awal sanadnya ada perawi yang hilang,
kemudian satu lagi di akhir sanad, maka ini tidak bisa dinamakan hadits mu’dhal.
Munqathi’
Munqathi’ berarti:
Mudallas
Ulama membagi dua macam hadits mudallas: tadlis isnad dan tadlis syuyukh.
أن يروي الراوي عمن قد سمع منه ما لم يسمع منه من غير أن يذكر أنه سمعه منه
Artinya, “Perawi hadits meriwayatkan hadits dari gurunya, tetapi hadits yang dia sampaikan itu
tidak didengar langsung dari gurunya tanpa menjelaskan bahwa dia mendengar hadits darinya.”
Maksudnya, seorang rawi mendapatkan hadits dari orang lain, tetapi dia meriwayatkan dengan
mengatasnamakan gurunya, di mana sebagian hadits dia terima dari gurunya tersebut. Padahal
untuk kasus hadits itu dia tidak mendengar dari gurunya, tetapi dari orang lain.
فيسميه أو يكنيه أو ينسبه أو يصفه بما ال يعرف به كي ال،أن يروي الراوي عن شيخ حديثا سمعه منه
يعرف
Artinya, “Seorang perawi meriwayatkan hadits yang didengar dari gurunya, tetapi dia menyebut
gurunya tersebut dengan julukan yang tidak populer, tujuannya supaya tidak dikenal orang lain.”
Perawi sengaja menyebut gurunya dengan nama atau gelar yang tidak populer supaya orang
lain tidak tahu siapa guru sebenarnya. Karena kalau disebut nama asli gurunya, bisa jadi guru
perawi itu tidak tsiqah(dipercaya) dan haditsnya nanti menjadi bermasalah. Untuk menutupi
kekurangan itu, dia mengelabui orang dengan menyebut nama yang tidak populer untuk
gurunya.
Mursal Khafi
Mursal khafi berarti:
أن يروي عمن لقيه أو عاصره مالم يسمع منه بلفظ يحتمل السماع وغيره
Artinya, “Perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa dengannya, tetapi sebenarnya
dia tidak mendengar hadits itu darinya, dia sendiri meriwayatkannya dengan redaksi sima’
(seolah-olah dia mendengar langsung).”
Maksudnya, perawi menerima hadits dari orang yang semasa dengannya dan dia bertemu
langsung dengan orang tersebut, namun sebenarnya dia tidak mendengar langsung hadits itu
dari orang yang semasa dengannya. Namun persoalannya, dia meriwayatkan hadits seolah-
olah dia mendengar langsung, padahal tidak seperti itu. Ini disebut dengan hadits mursal khafi,
hukumnya dhaif.
1.Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina
Hadits dhoif (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah
dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam.
Di antara hadits-hadits dhoif (lemah) yang masyhur digunakan oleh para khatib dan da’i dalam
mendorong manusia untuk menuntut ilmu di mana pun tempatnya sekalipun jauhnya sampai ke Negeri
Tirai Bambu, Cina, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. dari Nabi Rasulullaah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam, beliau bersabda,
اطلبوا العلم ولو بالصين
“Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”.
[HR. Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (2/106), Al-Khathib
dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-
Jami’ (1/7-8), dan lainnya, semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Thorif bin
Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu’].
Ini adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits
batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullaah- berkata dalam Al-Maudhu’at (1/215) berkata,
‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –
rahimahullaah- menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi hadits ini,
barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di
atas, bahkan lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-
Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy.
Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi
Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam .
2.Tuntutlah Duniamu
َ ُ َوا ْع َم ْل ِِل ِخ َر ِتكَ كَأَنَّكَ ت َ ُم ْوت,ش أَبَدًا
غدًا ُ اِ ْع َم ْل ِل ُد ْنيَاكَ كَأَنَّكَ ت َ ِع ْي
“Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu
seakan-akan engkau akan mati besok”.
Ini bukanlah sabda Nabi Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam, walaupun masyhur di lisan
kebanyakan mubaligh di zaman ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau. Sangkaan seperti
ini tidaklah muncul dari mereka, kecuali karena kebodohan mereka tentang hadits. Di samping itu,
mereka hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi keabsahannya.
Hadits ini diriwayatkan dua sahabat. Namun, kedua hadits tersebut lemah karena di dalamnya terdapat
inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, cuma
disebutkan oleh Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy men-dhoif-kan
(melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (No. 8).
3.Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an
Banyak hadits-hadits yang tersebar di kalangan masyarakat menjelaskan keutamaan-keutamaan sebagian
surat-surat Al-Qur’an. Namun sayangnya, banyak di antara hadits itu yang lemah, bahkan palsu. Maka
cobalah perhatikan hadits berikut:
من قرأها فكأنما قرأ القرآن عشر مرات, ) وإن قلب القرآن (يس,إن لكل شيء قلبا
“Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin. Barang siapa
yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qua’an sebanyak 10 kali“.
[HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh
dusta, yaitu: Harun Abu Muhammad dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli hadits zaman ini, yaitu
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullaah- menggolongkannya sebagai hadits palsu
dalam kitabnya As-Silsilah Adh-Dho’ifah (No.169).
4.Perselisihan Umatku adalah Rahmat
Sudah menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di dalam Islam dan memang hal tersebut
telah disampaikan oleh Rasulullaah Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam.
Di negara kita sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat yang menyandarkan diri kepada Islam sudah terlalu
banyak. Apabila kita memperingatkan dan membantah kesesatan aliran-aliran tersebut, maka sebagian
kaum muslimin membela aliran-aliran tersebut. Mereka berdalil dengan hadits berikut :
ف أ ُ َّمتِ ْي َرحْ َمة
ُ إِ ْختِ ََل
Padahal hadits ini dhoif (lemah), bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Syaikh Al-Albaniy -
rahimahullaah- berkata, “Hadits ini tak ada asalnya. Para ahli hadits telah mengerahkan tenaga untuk
mendapatkan sanadnya, namun tak mampu”.
Dari segi makna, hadits ini juga batil. Ibnu Hazm -rahimahullaah- dalam Al-Ihkam (5/64) berkata, “Ini
merupakan ucapan yang paling batil, karena andaikan ikhtilaf (perselisihan) itu rahmat, maka kesepakatan
adalah kemurkaan. Karena di sana tak ada sesuatu kecuali kesepakatan dan perselisihan; tak ada sesuatu
kecuali rahmat atau kemurkaan“.
Barang Siapa Mengenal Dirinya, Dia Akan Mengenal Rabb-nya
Di sini ada sebuah hadits yang palsu dan tidak ada asalnya, namun sering digunakan oleh sebagian orang
sufi untuk menguatkan kesesatan mereka. Hadits itu berbunyi,
َ علَ ْي ِه أ َ ْن يَ َخ
ُاف هللاَ تَعَالَى َويَحْ ذَ َره ُ سنَةً يَ ِج
َ ب َ َعلَى ا ْلعَ ْب ِد أ َ ْربَعُ ْون
َ إِذَا أَتَى
“Jika telah datang (lewat) 40 tahun pada diri seorang hamba, maka wajib baginya untuk takut dan
khawatir kepada Allah -Ta’ala- “.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Al-Firdaus (1/89)].
Hadits ini palsu karena ada rawi dalam sanad-nya yang bernama Ahmad bin Nashr bin Abdillah yang
dikenal dengan Adz-Dari’. Dia adalah seorang pemalsu hadits, pendusta, dan dajjal. Karenanya, Al-
Albaniy Al-Atsariy menyatakannya palsu dalam Adh-Dho’ifah (2200)
41.Memulai dengan Hamdalah
Ada sebuah hadits yang masyhur dalam kitab-kitab dan lisan manusia yang menjelaskan harusnya
seseorang memulai segala urusan yang penting dengan membaca Alhamdulillah. Namun, hadits ini lemah
sebagaimana berikut ini perinciannya,
َ ِي بَال َلَ يُ ْب َدأ ُ فِ ْي ِه ِبا ْل َح ْم ِد فَ ُه َو أ َ ْق
ط ُع ْ ُك ُّل أ َ ْمر ذ
“Segala urusan penting yang tidak dimulai di dalamnya dengan alhamdulillah, maka urusan itu akan
terputus“.
[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1894)].
Hadits ini lemah karena ke-mursal-an yang terjadi pada sanad-nya sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu
Dawud dalam Sunan-nya (2/677), dan Syaikh Al-Albaniy. Karenanya, Al-Albaniy melemahkan hadits ini
dalam Al-Irwa’ (2).
42.Tanda Tawadhu’
Tawadhu’ adalah perkara yang dianjurkan karena dia adalah akhlak yang mulia. Saking mulianya sampai
dalam hadits yang palsu pun disebutkan kemuliannya, seperti hadits berikut,
ًس ْبعُ ْونَ د ََر َجة
َ ُسؤْ ِر أ َ ِخ ْي ِه ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه هللاِ تَعَالَى ُرفِعَتْ لَه َ سؤْ ِر أ َ ِخ ْي ِه َو َم ْن ش َِر
ُ ب ِم ْن ُ الر ُج ُل ِم ْن َ ُع أ َ ْن يَش َْر
َّ ب ِ ِمنَ الت َّ َواض
ًس ْبعُ ْونَ َد َر َجة ُ
َ ب لهَ ً َ
َ ِس ْبعُ ْونَ خ ِط ْيئ َة َو ُكتَ ُع ْنه
َ َْو ُم ِحيَت
“Di antara bentuk ketawadhu’an, seorang mau meminum sisa minuman saudaranya. Barang siapa yang
meminum sisa minum saudaranya, karena mencari wajah Allah -Ta’ala-, maka akan diangkat derajatnya
sebanyak 70 derajat, dan akan dihapuskan 70 kesalahan darinya, serta dituliskan baginya 70 derajat.”
[HR.Ad-Dauqutniy sebagaimana dalam Al-Maudhu’at (3/40) karya Ibnul Juaziy].
Hadits ini adalah hadits yang palsu karena ada seorang rawi yang bernama Nuh bin Abi Maryam, dia
adalah seorang yang tertuduh dusta. Selain itu hadits ini semakin lemah karena Ibnu Juraij (seorang rawi
dalam hadits ini) adalah seorang yang mudallis, sedangkan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah
(menggunakan lafadz dari). Demikian penjelasan Syaikh Al-Albaniy secara ringkas dalam kitabnya Adh-
Dho’ifah (79).
43.Orang-orang yang Beruntung
Orang-orang yang beruntung banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan sunah yang shahihah. Bahkan
dalam hadits yang dhoif pun, seperti hadits berikut,
ْ ِارا أ َ ْفلَ َح َم ْن َو َج َد فِ ْي ص َِح ْيفَتِ ِه ا
ً َس ِت ْغف
ارا َكثِ ْي ًرا ُ َأ َ ْفلَ َح َم ْن كَان
ً َسك ُْوتُهُ تَفَك ًُّرا َونَ َظ ُرهُ اِ ْعتِب
“Beruntunglah orang yang diamnya adalah tafakkur, pandangannya adalah ibroh, beruntunglah orang
yang mendapatkan istighfar yang banyak dalam catatan amalannya”.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/123)].
Hadits ini adalah dhoif karena dalam sanad-nya terdapat dua orang yang majhul (tidak dikenal), yaitu
Abul Khushaib Ziyad bin Abdurrahman, dan Husain bin Mansur Al-Asadiy Al-Kufiy dan juga seorang
yang lemah (Hibban ibnu Ali Al-Anaziy). Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dho’if (lemah)
dalam Adh-Dho’ifah (2519).
44.Makanan Dunia dan Akhirat
Banyak sekali hadits dho’if yang tersebar di masyarakat. Utamanya hadits-hadits yang berkaitan dengan
janji-janji dan keutamaan, seperti hadits ini,
َ أ َ ْف
َ ض ُل
طعَ ِام ال ُّد ْنيَا َو ْاِل ِخ َر ِة اللَّحْ ُم
“Seutama-utamanya makanan dunia dan akhirat adalah daging”.
[HR. Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afa’ (1264)].
Hadits ini dihukumi dhoif jiddan oleh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy
dalam Adh-Dho’ifah (2518), karena ada seorang rawi yang bernama Amr bin Bakr As-Saksakiy. Hadits-
haditsnya menyerupai hadits palsu. Sebab itu Al-Hafizh menggelarinya dengan matruk (ditinggalkan
karena biasa berdusta atas nama manusia). Selain itu, anaknya (Ibrahim bin Amr As-Saksakiy) yang
meriwayatkan darinya senasib dengan ayahnya.
45.Berdzikir Setiap Saat
Berdzikir setiap saat merupakan perkara yang dianjurkan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
hadits-hadits shohih, bahkan dalam hadits-hadits dhoif, seperti hadits ini,
َ الى َو ََل أ َ ْن َجى ِلعَ ْبد ِم ْن ُك ِ ّل
ِس ِيّئ َة فِي ال ُّد ْنيَا َو ْاِل ِخ َر ِة ِم ْن ِذك ِْر هللا ُّ ع َمل أ َ َح
َ َب إِلَى هللاِ تَع َ ِأ َ ْكثِ ُر ْوا ِذك َْر هللا
َ علَى ُك ِ ّل َحال فَ ِإنَّهُ لَ ْي
َ س
تَعَالَى
“Perbanyaklah dzikir kepada Allah dalam segala kondisi, karena tak ada suatu amalan yang lebih dicintai
oleh Allah -Ta’ala- , dan lebih menyelamatkan seorang hamba dari segala kejelekan di dunia, dan akhirat
dibandingkan dzikir kepada Allah“.
[HR. Adh-Dhiya’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtaroh (7/112/1)].
Hadits ini palsu, karena Abu Abdir Rahman Asy-Syamiy. Dia adalah seorang pendusta seperti yang
dinyatakan oleh Al-Azdiy -rahimahullah-. Ada penguat bagi hadits ini dari riwayat Al-Baihaqiy,
sayangnya hadits ini juga palsu, karena ada rawi-nya bernama Marwan bin Salim Al-Ghifariy Al-Jazariy;
dia adalah pendusta. Lihat rincian palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2617).
46.Hati-hati dengan Dunia
Seorang manusia di dunia ibaratnya seorang musafir; ia singgah mengambil bekal menuju akhirat berupa
amal sholih. Namun, dunia terkadang memperdaya kebanyakan manusia,
إحذروا الدنيا فإنها أسحر من هاروت وماروت
“Waspadalah terhadap dunia, karena ia lebih memperdaya dibandingkan Harut dan Marut“.
Namun sayang, hadits ini adalah palsu, tak ada asalnya. Hadits ini disebutkan oleh Al-Ghozaliy dalam
Ihya’ Ulumuddin, padahal ia palsu. Al-Iroqiy dalam Takhrij Al-Ihya’ (3/177) menukil dari Adz-Dzahabiy
bahwa hadits ini mungkar, tak ada asalnya. Sebab itu, Al-Albaniy menempatkannya dalam Adh-Dho’ifah
(34) sebagai tempat bagi hadits palsu dan dhoif.
47.Siapa yang Adzan, Dia yang Iqamat
“Barangsiapa yang adzan, maka dialah yang iqamat”.
[HR. Abud Dawud (514), At-Tirmidziy (199), dan lainnya]
Hadits ini lemah karena berasal dari Abdurrahman bin Ziyad Al-Afriqiy. Dia lemah hapalannya. Sebab
itu, Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dha’ifah (no. 35) dan Al-Irwa’ (237).
Syaikh Al-Albaniy berkata dalam Adh-Dha’ifah (1/110), “Di antara dampak negatif hadits ini, dia
merupakan sebab timbul perselisihan di antara orang-orang yang mau shalat, sebagaimana hal itu sering
terjadi. Yaitu ketika tukang adzan terlambat masuk mesjid karena ada udzur, sebagian orang yang hadir
ingin meng-iqamati shalat, maka tak ada seorang pun di antara mereka kecuali ia menghalanginya seraya
berhujjah dengan hadits ini. Orang miskin ini tidaklah tahu kalau haditsnya lemah, tidak boleh
mengasalkannya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam , terlebih lagi melarang orang bersegera
menuju ketaatan kepada Allah, yaitu meng-iqamati shalat”.
48.Barang Siapa yang Tidak Mengenal Imamnya
Ketaatan kepada penguasa merupakan perkara asasi di kalangan Ahlus Sunnah. Sebaliknya, mendurhakai
mereka merupakan perkara yang diharamkan, apalagi jika sampai menghina, merendahkan mereka, dan
mencabut tangan darinya, karena hal ini akan menimbulkan kerusakan di kalangan hamba-hamba Allah.
Banyak sekali dalil-dalil baik dalam Al-Kitab, maupun sunnah yang memerintahkan kita untuk taat
kepada pemerintah muslim, dan mengharamkan durhaka kepada mereka.
Namun, ada satu hal yang kami perlu ingatkan di sini bahwa disana ada sebuah hadits yang dho’if dalam
masalah ini,
ًف ِإ َما َم َز َما ِنـ ِه َماتَ ِميـْتَةً َجا ِه ِليَّة
ْ َم ْن َماتَ َولَ ْم َي ْع ِر
“Barangsiapa yang tidak mengenal imam (penguasa) di zamannya, maka ia mati seperti matinya orang-
orang jahiliyah”.
Ahmad bin Abdul Halim Al-Harraniy berkata, “Demi Allah, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
tidaklah pernah mengatakan demikian . . .”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/525)].
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullaah- berkata setelah menyatakan bahwa hadits ini tidak ada asal-
muasalnya, “Hadits ini pernah aku lihat dalam sebagian kitab-kitab orang-orang Syi’ah dan sebagian kitab
orang-orang Qodiyaniyyah (Ahmadiyyah). Mereka menjadikannya sebagai dalil tentang wajibnya
beriman kepada Nabi Palsu, Mirza Ghulam Ahmad. Andaikan hadits ini shahih, niscaya tidak ada isyarat
sedikit pun tentang sesuatu yang mereka sangka, paling tidak intinya kaum muslimin wajib mengangkat
seorang pemerintah yang akan dibai’at”. [Lihat As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no. 350).
49.Agama adalah Akal
Ada sebuah hadits yang biasa digunakan orang dan masyhur menunjukkan keutamaan akal dan pikiran.
Namun, kebanyakan orang tidak mengenal kepalsuan hadits tersebut. Adapun hadits yang dimaksud,
lafaznya sebagai berikut,
َ َ َو َم ْن َلَ ِد ْينَ لَهُ َل,اَل ِ ّد ْي ُن ه َُو ا ْلعَ ْق ُل
ُع ْق َل لَه
“Agama adalah akal pikiran, Barangsiapa yang tidak ada agamanya, maka tidak ada akal pikirannya”.
[HR. An-Nasa`iy dalam Al-Kuna dari jalurnya Ad-Daulabiy dalam Al-Kuna wa Al-Asma’ (2/104) dari
Abu Malik Bisyr bin Ghalib dan Az-Zuhri dari Majma’ bin Jariyah dari pamannya].
Hadits ini adalah hadits lemah yang batil karena ada rawinya yang majhul, yaitu Bisyr bin Gholib.
Bahkan Ibnu Qayyim -rahimahullah- berkata dalam Al-Manar Al-Munif (hal. 25), “Hadits yang berbicara
tentang akal seluruhnya palsu”.
Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy berkata, “Di antara hal yang perlu diingatkan bahwa semua hadits
yang datang menyebutkan keutamaan akal adalah tidak shahih sedikit pun. Hadits-hadits tersebut berkisar
antara lemah dan palsu. Sungguh aku telah memeriksa, diantaranya hadits yang dibawakan oleh Abu Bakr
Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Al-Aql wa Fadhluh, maka aku menemukannya sebagaimana yang telah
aku utarakan, tidak ada yang shahih sama sekali”. [Lihat Adh-Dhi’ifah (1/54)]
50.Mengusap Tengkuk Ketika Wudhu’
Sebagian kaum muslimin, ketika dia berwudhu’, maka ia mengusap tengkuknya. Benarkah hal ini ada
haditsnya yang bisa dijadikan hujjah?
Jawabannya: hadits ada namun ia merupakan hadits palsu.
بََ ِة أ َ َمان ِمنَ ا ْل ِغ ِ ّل
َ َالرق
َ س ُح
ْ َم
“Mengusap tengkuk merupakan pelindung dari penyakit dengki”.
An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmu’ (1/45), “Ini adalah hadits palsu, bukan sabda Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-”.
Syaikh Al-Albaniy berkata, “Hadits ini palsu”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/167)].
Dari sini, kita mengetahui tentang tidak disyari’atkannya mengusap tengkuk ketika berwudhu’, karena
tidak ada hadits yang shahih menetapkannya. Adapun hadits ini – sebagaimana yang anda lihat-
merupakan hadits palsu. Jadi, tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu
hukum.
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembuatan hadits dha’if supaya kita mengerti bagaimana pengertian
hadits dha’if. Disini diterangkan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah,
disebabkan karna gugurnya rawi, cacat pada rawi dan matannya, dalam pembahasan
ini kita dapat mengetahui bagaimana hadits yang dha’if, maudhu atau hadits yang
shahih.
Hadits dha’if ini banyak macam ragamnya oleh karena itu kita harus lebih
memahami tentang hadits dha’ifnya. Kemudian tentang kehujahan hadits dha’if ini
dapat diamalkan secara mutlak yang berkaitan dengan masalah halal dan haram,
kewajiban dengan syarat tidak ada hadits lain, kemudian dipandang baik
mengamalkan hal-hal yang dianjurkan dan neninggalkan hal-hal yang dilarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Dha’if
Menurut bahasa dha’if berarti ‘Aziz: yang lemah sebagai lawan dari Qawiyyu
yang artinya kuat.
Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح والصفات الحسن
Artinya:
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat
yang seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya:
“yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah
barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.[1]
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح وال صفات
الحديث
Artinya:
“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih
dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.[2]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits
yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits
itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat
hadits hasan.
B. Pembagian Hadits Dha’if
1. Hadits Dha’if karna Gugurnya Rawi
a. Hadits Mursal
Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata “irsal” yang berarti
“Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara terminology ialah
hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi Saw. Artinya, seorang
tabi’in secara langsung mengatakan, “bahwasanya Rasulullah Saw
bersabda…..”
Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik
dalam kitab Al-Muwqaththa’, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar,
bahwasnya Rasulullah Saw bersabda:
ان سدة الحر من فيح جهنم
“sesungguhnya cuaca yang sangat panas itu bagian dari uap neraka
Jahannam”
b. Hadits Munqati
Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus. Menurut sebagian
para ulama hadits, hadits munqati’ ialah hadits yang dimana didalam
sanadnya terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi,
misalnya perkataan seorang rawi, “dari seseorang laki-laki”. Sedang
menurut para ulama lain bahwa hadits muntaqi’ ialah hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang rawi yang gugur (tidak disebutkan) dari rawi-
rawi sebelum sahabat, baik dalam satu atau beberapa tempat, namun rawi
yang gugur itu tetap satu dengan syarat bukan pada permulaan sanad[3]
c. Hadits Mudal
Hadits mudal menurut bahasa, berarti hadits yang sulit
dipahami. Para ulama member batasan hadits mudal adalah hadits yang
gugur dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya,
contohnya: “telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
Saw bersabda:
)للملةك طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك
Artinya:
“Budak itu harus diberi makanan dan pakayan secara baik”. (HR. Malik)
d. Hadits Muallaq
Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari
segi istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih
diawal sanad. Contoh: Bukhari berkata, kala Malik, dari Zuhri,dari Abu
Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
التقاضلوابين األنبياء
Artinya:
“Jangan lah kamu melebihkan sbagian Nabi dan sebagian yang
lain”. (HR. Bukhari)[4]
Menurut kesimpulan diatas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa
hadits dha’if karena gugurnya rawi artinya tidak adanya satu, dua, atau
beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada
permulaan, pertengahan, maupun diakhir sanad hadits ini terbagi
menjadiempat, yaitu: hadits mursal (melepaskan), hadits muqati’(terputus),
hadits mudal (yang sulit dipahami), dan hadits muallaq (tergantung).
2. Hadits Dha’if karna Cacat pada Rawi atau Matan
a. Hadits Maudu’
Hadits maudu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah Saw tapi
disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara
keliru tanpa sengaja, contoh:
اليدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء
Artinya:
“Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.
b. Hadits Matruk atau Hadits Matruh
Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatka oleh seorang rawi, yang
menurut penilayan seluruh ahli hadits terdapat catatang pribadinya sebagai
seorang rawi yang dha’if, contoh: hadits riwayat Amr bin Syamr, dari Jabir
Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr termasuk orang yang
haditsnya ditinggalkan.
c. Hadis Munkar
Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if
yang berbeda dengan riwayat rawi yang tsigah (terpercaya). Contoh:
.من اقام الصالة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة
Artinya:
“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji,
berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
d. Hadits Muallal
Muallal menurut istilah para ahli hadits ialah hadits yang didalamnya
terdapat cacat yang tersembunyi, yang kondosif berakibat cacatnya hadits
itu, namun dari sisi lahirnya cacat tersebut tidak tampak. Contoh:
البيعان بالخيار مالم يتفرفا: قال رسولوهللا صلي هللا عليه وسلم
Artinya:
“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama
mereka masih belum berpisah”
e. Hadits Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang senbenarnya
bukan bagian hadits itu. Contoh:
والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم، انا زعيم:قال رسولوهللا صلي هللا عليه وسلم
)وجاهدفي سبيل هللا يبيت في ريض الجنة (رواه النسائ
Artinya:
“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah
penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat danberjuang di
jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surge.” (HR. Nasai)
f. Hadits Maqlub
Hadits maqlub ialah hadits yang terdapat didalamnya terdapat
perubahan, baik dalam sanad maupun matannya, baik yang disebabkan
pergantian lafaz lain atau disebabkan susunan kata yang terbalik, contoh:
إذا سجد احدكم فال يبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل وكبته
Artinya:
“ Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti
menderumnya seekor unta, melinkan hendaknya meletakkan kedua
tanggannya sebelum meletakan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji, dan
mengatakaknnya hadits ini gharib)
g. Hadits Syaz
Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang
terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi
yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara
keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang
diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata,
Rasulullah bersabda:
ايام التشريق ايام اكل وشرب
Artinya:
“hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”[5]
Jadi, kesimpulan bahwa hadits yang cacat rawi dan matan atau
kedua-duanya digolongkan hadits dha’if yang terbagi menjadi tujuh, yaitu:
hadits maudu’ (palsu), hadits matruk (yang ditinggalkan) atau hadits matruh
(yang dibuang), hadits munkar(yang diingkari), hadits muallal (terkena
illat), hadits mudras (yang dimasuki sisipan), hadits maqlub (yang diputar
balik), dan hadits syaz (yang ganjil).
C. Status Kehujahan
Pendapat pertama; hadits dha’if tersebut dapat diamalkan secara mutlak,
yakni baik yang berkaitan dengan masalah halal, haram, maupun kewajiban,
dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini
disampai kan oleh beberapa imam, seperti: Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud
dan sebagainya.
Pendapat yang kedua; dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam
fadailul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal
yang dilarang.
Pendapat ketiga; hadits dha’if samasekali tidak dapat diamalkan, baik yang
berkaitan dengan fadailul amal maupun halal haram. Pendapat ini dinisbatkan
kepada Qadi Abu Bakar Ibnu Arabi.[6]
D. Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dha’if
1. Al-Maudu’at, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi (579
H)
2. Al-Laali Al- Masnuah fi Al-Hadits Al-Mauduah, Karya Al-Hafiz Jalaludin Al-Suyuti
(911 H)
3. Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al-Mauduah, karya
Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bun Iraq Al-Kannani (963 H)
4. Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi, karya Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
( 751 H )
5. Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudu’ karya Ali Al-Qari ( 1014 H )[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut bahasa dha’if berarti aziz yang artinya yang lemah, dan menurut istilah
adalah yang yidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan dan yang tidak
terkumpul sifat-sifat hadits hasan.
Pembagian hadits dha’if ada dua bagian yaitu: hadits dha’if karena gugurnya rawi dan
cacat pada rawi dan matan.
Status kehujjahan sebuah hadits dha’if dipandang hujjah apabila dapat diamalkan
secara mutlak, dipandang baik mengamalkanya dan hadits dha’if yang sama sekali
tidak dapat di amalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Br. Moh, Ilmu Mustalah Hadits, Surabaya: Al-Iklas, 1981.
As- Shalih. Subtu, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus.1997.
Alwi Al-Maliki. Muhammad, Ilmu Usul Hadits, Yugyakarta; Pustaka pelajar. 2006.
Ahmad. Muhammad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung; CV. Pustaka Setia. 2006.
Definisi Dhaif menurut bahasa adalah Dha’if pada arti lughat, ialah ‘ajiz – yang
lemah, dhiddul qawiy – lawan yang kuat. Jama’nya dhu’afaa, dhi’af, dha’afah dan
dha’faa. Menurut Nuruddin hadits dha’if (lemah) adalah hadits yang kehilangan
salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima.)[1]
Menurut Abdul Majid hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits
hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.[2] Dhaif ada dua
macam yaitu lahiriyah dam maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah
dhaif maknawiyah.
Hadits dhaif menurut istilah adalah hadits yang di dalamnya tidak didapati syarat
hadits dan tidak pula didapati syarah hadits hasan. Karena syarat diterimanya
suatu hadits sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya hadits terletak pada
hilngnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih, maka atas dasar ini hadits
dhaif terbagi menjadi beberapa macam, seperti Syadz, Mudhtlharib, Mu’allal,
Munqathi’Mu’dhal, dll.
Tegasnya, hadits dha’if ialah hadits yang didapati padanya sesuatu yang
menyebabkan ditolaknya. Yang menyebabkan ditolaknya itulah yang menyebabkan
lemah. Alasan memberikan predikat dha’if kepada hadits yang tidak memenuhi
salah satu syarat diterimanya sebuah hadits adalah apabila pada suatu hadits telah
terpenuhi syarat-syarat hadits shahih maupun hasan.
Hadits dha’if berbeda dengan hadits maudhu’ (palsu). Diantara hadits dha’if
yang terdapat kecacatan perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan
yang tidak terlalu kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits maudhu’ perawinya
pendusta. Maka para ulama membolehkan meriwayatkan hadits dha’if sekalipun
tanpa menjelaskan ke-dha’if-annya dengan syarat:
2) Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi
berkaitan masalah mau’izhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman
dan janji), dan kisah-kisah.
Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah dalam meriwayatkan hadits yang
dimaksud, bahkan mungkin sekali ia benar. Akan tetapi karena kekhawatiran yang
cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits
yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolak.[3]
Demikian pula ke-dha’if-an suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. Hadits
yang demikian dihukumi dha’if karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak
diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang tsiqah dan boleh jadi ia adalah
rawi yang dha’if. Seandainya ia adalah rawi yang dha’if, maka boleh jadi ia
melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu para muhadditsin
menjadikan kemungkinan yang timbul sebagai suatu pertimbangan dan
menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini
merupakan puncak kehati-hatian yang sistematis, kritis dan ilmiah.
Hadits dha’if apabila ditinjau dari sebab-sebab ke-dha’if-anya, maka dapat dibagi
kepada dua bagian. Pertama: yang menyebabkan ke-dha’if-an, adalah karena
terdapat keguguran perawi dalam sanadnya. Kedua: yang menyebabkan ke-dha’if-
annya, adalah karena terdapat sesuatu yang menyebabkan cacat perawinya. Gugur
perawi itu adakalanya dipermulaan sanad dari jurusan perawi hadits, adakalanya di
akhirnya, sesudah tabi’in, adakalanya selain dari itu.
Hadits yang tertolak karena gugurnya sanad.
Keguguran dalam sanad ada dua macam yaitu pertama, gugur secara zhahir dan
dapat diketahui oleh ulama hadits karena faktor perawi yang tidak pernah bertemu
dengan guru (syaikhnya) atau tidak hidup di zamannya, yang biasa disebut dengan
istilah: mu’allaq, mursal, mu’dlal dan munqathi’. Kedua, gugur yang tidak jelas dan
tersembunyi. Ini tidak diketahui kecuali para ulama yang ahli dan mendalami jalan
hadits dan illat-illat sanadnya, yaitu ada dua: mudallas dan mursal. Dan berikut ini
penjelasannya.[4]
Yaitu hadits yang gugur perawinya, baik seorang, dua orang, atau semuanya pada
awal sanad secara berurutan. Misalnya: Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari
Abdullah bin Fadl dari Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw bersabda:
Pada hadits ini Bukhari tidak pernah bertemu dengan Al- Majisyun. Diriwayatkan
juga oleh Bukhari pada mukaddimah, Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Rasulullah saw.
menutup kedua pahanya ketika Usman masuk.” Hadits ini adalah mu’allaq karena
Bukhari menghilangkan semua sanadnya kecuali seorang sahabat yaitu Abu Musa
al-Asy’ari.
Hadits mu’allaq adalah hadits yang mardud (ditolak) karena gugur dan hilang salah
satu syarat diterimanya suatu hadits yang bersambungnya sanad, dengan cara
menggugurkan seorang atau lebih dari sanadnya tanpa dapat kita ketahui
keadaannya.
Yaitu hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang
tabi’in mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda begini atau berbuat seperti ini.
Misalnya, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam berkata: telah bercerita kepadaku
Muhammad bin Rafi’, (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami Hujain, (ia
mengatakan) telah bercerita kepada kami Laits dari Aqil dari Ibnu Syihab dari Said
bin al-Musyayyib, “bahwa Rasulullah saw. telah melarang muzabanah (jual beli
dengan cara borongan hingga tidak diketahui kadar timbangannya).”
Said bin al-Musyayyib adalah seorang tabi’in senior, meriwayatkan hadits ini dari
Nabi saw. tanpa menyebutkan perantara antara dia dan Nabi, maka sanad hadits
ini telah gugur pada akhirnya, yaitu setelah tabi’in. setidaknya telah gugur dari
sanad ini sahabat yang meriwayatkannya. Dan sangat mungkin telah gugur pula
bersamanya perawi lain yang selevel dengannya dari kalangan tabi’in.
Jumhur (mayoritas) ahli hadits dan ahli fiqih berpendapat bahwa hadits mursal
adalah dha’if dan menganggapnya sebagai bagian dari hadits yang mardud
(ditolak), karena tidak diketahui kondisi perawinya.
Yaitu hadits yang gugur pada sanadnya dua atau lebih secara berurutan.
Terputusnya rawi di dalam hadits mu’dhal dapat terjadi diawal sanad, di
pertengahan sanad, atau di akhir sanad (yakni tabi’in dan sahabat yang
digunakan).[5]
Misalnya, diriwayatkan dari al-Hakim dalam kitab “ma’rifat ‘ulum al-hadits” dengan
sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasannya dia menyampaikan, kepada
Abu Hurairah r.a, “Rasulullah saw bersabda: “Seorang hamba sahaya berhak
mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadar baik, dan tidak dibebani
pekerjaan melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya.”
Al-Hakim berkata: “hadits ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’.”
Hadits ini kita dapatkan bersambung sanadnya pada kitab selain al-Muwaththa’,
diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari
Abu Hurairah. Letak ke-mu’dhal-annya karena gugurnya dua perawi secara
berurutan dari sanadnya yaitu Muhammad bin Ajlan dan bapaknya.
Para ulama sepakat bahwa hadits mu’dhal adalah dha’if, lebih buruk setatusnya
dari pada mursal dan munqathi’ karena sanadnya banyak yang terbuang.
Yaitu sanadnya yang tidak bersambung dari semua sisi. Ini berarti bahwa sanad
hadits yang tidak terputus, baik dari awal sanad, atau tengah, atau akhirnya, maka
menjadi hadits yang munqhathi’ meliputi mursal, muallaq dan mu’dhal. Ada ulama
yang mendefinisikan hadits munqathi’ adalah hadits yang ditengah sanadnya gugur
seorang perawi atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut. Jadi yang satu
saja di tengah sanadnya atau dua tetapi tidak berturut-turut.
Misalnya: “Diriwayatkan Abu Dawud dari Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab
bahwasannya Umar bin al-Khattab r.a. berkata sedang dia berada di atas mimbar,
“wahai manusia, sesungguhnya ra’yu (pendapat rasio) itu jika berasal dari
Rasulullah saw. maka ia akan benar, karena Allah swt. yang menunjukinya,
sedangkan ra’yu yang berasal dari kita adalah zhan (prasangka) dan berlebih-
lebihan..”
Hadits ini jatuh di tengah sanadnya satu perawi, karena Ibnu Syihab tidak bertemu
dengan Umar bin al-Khattab. Para ulama sepakat bahwasannya hadits munqathi’
itu dha’if, karena tidak diketahui keadaan perawi yang di hapus.
– Tadlis isnad adalah bila seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang dia
temui apa yang dia tidak dengarkan darinya, atau dari orang yang hidup semasa
dengan perawi namun dia tidak menjumpainya, dengan menyamarkan bahwa dia
mendengarnya darinya, seperti dengan mengatakan, “dari fulan…”atau yang
semisal dengan itu dan dia tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengarkan
langsung dari orang tersebut. Adapun bila perawi menyatakan telah mendengar
atau telah bercerita, padahal dia tidak mendengar dari gurunya dan tidak
membacakan kepada syaikhnya, maka dia bukanlah seorang mudallis, tetapi
seorang pendusta yang pasif.
– Tadlis asy-syuyuh yaitu satu hadits yang dalam sanadnya, perawi menyebut
syaikh yang ia dengar daripadanya dengan sebutan yang tidak terkenal dan
masyhur tentangnya. Sebutan di sini maksudnya: nama, gelar, pekerjaan atau
kabilah dari negeri yang disifatkan untuk seorang syaikh, dengan tujuan supaya
keadaan syaikh itu sebenarnya tidak diketahui orang.
Hadits maudhu’
Hadits matruk
Hadits munkar dan ma’ruf
Hadits mu’allal
Hadits mudraj
Hadits maqlub
Hadits mudltharrib
Hadits muharraf
Hadits mushahhaf
Haditsmubham
Hadits majhul
Haditssyadz dan mahfudh (silahkan di klik untuk penjelasanya)
Haditsmukhtalith (silahkan di klik untuk penjelasanya)
Haditd mauquf
Hadits maqthu’
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhaif yang maudhu’ tanpa
menyebutkan kemaudhu’annya. Adapun kalau hadits dhaif itu bukan hadits
maudhu’ maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk
berhujjah.dalam hal ini ada 2 pendapat:
Pertama: Melarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadits dhaif baik
untuk menetapkan hukum maupun untuk member sugesti amalan utama.
Pendapatini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnu Al-‘Araby.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalany termasuk ulama ahli hadits yang membolehkan berhujjah
dengan hadits dhaif, untuk fadla’ilul-‘amal, dengan memberikan 3 syarat:
2. Dasar ‘amal yang ditunjukkan hadits dhaif itu, masih dibawah dasar yang
dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan).
Apabila mengemukaan hadits dhaif hendaknya mengatakan “ini adalah hadits dhaif
sanadnya”,karena ada kemungkinan bahwa hadits yang dhaif sanadnya itu
mempunyai sanad lain yany lebih shahih. Kecuali jika dalam menetapkan kedhaifan
matan suatu hadits itu karena ikut pendapat para hafidz yang telah menelitinya
dengan seksama.
Adapun jika penelitian itu tidak berhasil menemukan sanad lain yang lebih shahih,
tiadalah berhalangan menetapkan kedhaifan suatu hadits secara mutlak.
Di antara kitab-kitab yang tersusun secara khusus tentang hadits dha’if adalah:
3) Kitab-kitab yang banyak mengemukakan perawi yang dha’if adalah seperti Ad-
Dhu’afâ karya Ibnu Hibban, Mîzân Al-I’tidâl karya Adz-Dzahabi.
Catatan Kaki
[1]Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2 (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1997), h. 51
[2]Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadits (Cet. I; Jakarta: PT. AMZAH
Dicetak Oleh Sinar Grafika Offset, 2008), h. 164
[5]Abdul Hakim bin Amir Abdat, Pengantar Ilmu Mushtalahul Hadits (Cet. I;
Jakarta: Pustaka Darul Qolam, 2006), h. 241
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya
yang berjudul “QUANTUM LEARNING”
Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian QUANTUM LEARNING atau yang lebih khususnya
membahas penerapan quantum learning, karakteristik sertas perspektif quantum leraning dalam islam
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang quantum learning.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita. Amin.
Penyusun