Anda di halaman 1dari 39

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang maha menguasai seluruh alam semesta beserta isinya.
Lagi maha berkehendak atas segala sesuatu, dan telah menjadikan manusia sebaik-baiknya
ciptaan yang diberikan akal untuk berfikir. Rasa syukur saya ucapkan karena berkat rahmat dan
hidayahnya saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW
kepada keluarganya, para sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya. Semoga limpahan rahmat
yang diberikan Allah kepada beliau sampai kepada kita semua.
Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah “Pengantar Studi
Hadits”. Namun, saya sangat menyadari dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna
dan masih banyak kekurangan baik isi maupun penulisan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan dapat di gunakan sebagaimana mestinya.

BAB I

PENDAHULUAN
Hadits Dhaif
A. LATAR BELAKANG

Ilmu hadits merupakan salah satu pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya dimiliki oleh
setiap kaum muslim. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang yang mengatakan bahwa
ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh para salafus sholeh yang memang benar-benar memilki
kredibilitas dalam ilmu agama sehingga stigma ini membuat sebagian kaum muslim merasa tidak harus
untuk mempelajari ilmu hadits.

Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena dapat membuat masyarakat muslim menjadi kurang
tsaqofah islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah rosul. Terlebih dengan keadaan saat ini
dimana sangat bayak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah kaum
uslim dan tentunya hal ini akan membuat kaum muslimin menjadi pelaku bid’ah. Jika kaum muslim masih
memandang remeh tentang ilmu hadits ini maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi
aqidah kaumm muslimin dalam menjalankah sunnah rosul. Oleh karena itulah, perlunya kita sebagai
umat muslim memilki pengetahuan yang luas tentang ilmu hadits.

Seperti yang telah diketahui bahwa hadits dho’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak memilki
syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dhiof ini tidak
dapat dijadikan sebagai hujjah namun sebagian ulama yang lainnya juga ada yang berpendapat bahwa
hadits dhoif ini dapat digunakan sebagai hujjah. Dengan adanya khilafiah atau perbedaan pendapat
diantara para ulama,maka sangat perlulah kita sebagai umat muslim mengetahui bagaimana cara kita
bersikap dalam menghadapi hadits dhoif tersebut karena hal ini akan langsung berkaitan dengan aqidah
dan ibadah-ibadah kita kepada Allah SWT.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan materi tentang telaah krisis terhadap hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan masalah
yang harus diselesaikan diantaranya:
1. Apa itu hadits dhoif?
2. Apa saja kriteria hadits dhoif?
3. Apa saja Macam-macam hadits dhoif?
4. Bagaimana kehujjahan hadits dhoif?
5. Apa saja kitab-kitab yang memuat tentang hadits dhoif?

C. TUJUAN
Tujuan dari pembahasan materi tentang hadits dhoif ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian hadits dhoif.
2. Mengetahui sebab-sebab hadits dhoif menjadi tertolak termasuk juga kriteria mengapa
disebut sebagai hadits dhoif.
3. Dapat membedakan macam-macam hadits dhoif..
4. Mengetahui kehujjahan hadits dhoif.
5. Mengetahui kitab-kitab yang di dalamnya memuat hadits dhoif.

BAB II
PEMBAHASAN
Hadits Dhaif

A. Pengertian hadits dhoif


 Hadits dhoif secara bahasa berarti lemah artinya bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits
yang tidak kuat.

Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dhoif ini
akan tetapi pada dasarnya,isi, dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi,diantaranya adalah
sebagai berikut:

1. Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat
hadits hasan.
2. Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohih
atau yang hasan)
3. Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalah hadits
yang jika satu syaratnya hilang.

B. Kriteria hadits dhoif

Adapun kriteria hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits shohih dan hadits hasan
yang tidak terdaoat padanya,yaitu sebagai berikut sebagai berikut:
1. Sanadnya tidak bersambung
2. Kurang adilnya perawi
3. Kurang dhobithnya perawi
4. Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya
5. Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya
suatu hadits shohih meski secara zohir terlihat bebas dari cacat.

C. Macam-macam hadits dhoif

Hadits dlaif sangat banyak macamnya, masing-masing memiliki derajat yang berbeda satu sama lain.
Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 1 syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan lebih baik
daripada Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 2 syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan dan
begitu seterusnya.
Berdasarkan sebab-sebab di atas maka macam-macam hadits dhoif ini digolongkan menjadi beberapa
kelompok di antaranya:
I. Dhoif pada segi sanad,yaitu terbagi lagi menjadi:

a) Dhoif karena tidak bersambung sanadnya,misalnya:

i) Hadits munqathi’
Hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih atau pada sanadnyan
disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.

ii) Hadits muallaq


Hadits muallaq adalah hadits yangg rawinya digugurkan seorang atau lebih di awal sanadnya secara
berturut-turut.

iii) Hadits mursal


Hadits mursal adalah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur disisn
adalah nama sanad terakhirnya tidak disebutkan.

iv) Hadits mu’dhal


Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.

v) Hadits mudallas
Hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits tersebut
tidak bernoda.
Orang yang melakukan tadlis(perbuatannya) disebut mudallis dan haditsnya disebut hadits mudallas.

b) Dhoif karena tidak ada syarat adil

1) Hadits maudhu’
Hadits maudhu’ adalah hadits yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan
kepada Rasulullah secara paksa dan dusta baik sengaja maupun tidak.

2) Hadits matruk dan hadits munkar


Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta(terhadap hadits-
hadits yang diriwayatkannya) atau tampak kefasikannya baik pada perbuatan atau pada
perkataanya,atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu.

Sedangkan hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dhoif)
yang bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya.

c) Dhoif karena tidak ada dhobit

1) Hadits mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan,padahal bukan (bagian dari) hadits.
2) Hadits maqlub
Hadits maqlub yaitu hadits yang lafaz matannya tertukar pada salah seorang perawi pada salah seorang
perawi atau seseorang pada sanasnya. Kemudian didahulukan dalam penyebutannya,yang seharusnya
disebut belakangan atau mengakhirkann penyebutannya,yang seharusnya di dahulukan atau dengan
diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
3) Hadits mudhtharib
Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan periwayatannya yang berbeda-beda padahal
berasal dari satu perawi(yang meriwayatkan),dua atau lebih atau dari dua perawi atau lebih yang
berdekatan(dan tidak bisa ditarjih).
4) Hadits mushahhaf dan hadits muharraf
Hadits mushahhaf adalah hadits yang perbedaannya(dengan hadits riwayat lain) terjadi karena
perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.

Sedangkan hadits muharraf adalah hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan
syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.

d) Dhoif karena kejanggalan dan kecacatan

1) Hadits syaz
Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang maqbul,aka tetapi bertentangan (matannya)
dengan periwayatannya dari orang yang kualitasnya lebih utama.
2) Hadits mu’allal
Hadits mu’allal adalah hadits yang diketahui ‘illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan
meskipun pada lahirnya telah tamoak selamat(dari cacat) coontoh hadits mu’allal:
‘’si penjual dan si pembeli boleh memilih selama belum berpisahan’’

II. Dhoif pada segi matan

Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dhoif dari sudut penyandarannya ini adalah
hadits mauquf dan hadits maqhthu’.

1) Hadits mauquf
Hadits mauquf adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat baik berupa perkataan,perbuatan,atau
taqrirnya. Periwayatannya baik bersambung atau tidak.
2) Hadits maqthu’
Hadits maqthu’ adalah hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya,baik perkataan
maupun perbuatannya. Dengan kata lain bahwa hadits maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan tabi’in.

D. Kehujjahan hadits dhoif

Hadits dhoif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhoiffannya misalnya karena kemaudhu’annya, ada juga
yang bisa tertutupi kedhoiffannya(karena ada faktor yang lainnya). Untuk yang pertama tersebut,
berdasarkan kesepakatan para ulama hadits, tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam
penetapan hukum-hukum,akidah maupun fadhail al ‘amal.

Sementara untuk jenis yang kedua dalam hal kehujjahannya hadits dhoif tersebut ,ada yang berpendapat
menolak secara mutlak baik unuk penetapan hukum-hukum,akidah maupun fadhail al ‘amal dengan
alasan karena hadits dhoif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rosulullah SAW. Di antara yang
berpendapat seperti ini adalah imam al Bukhari,imam muslim, dan Abu bakr abnu Al ‘Araby.

Sementara bagi kelompok yang membolehkan beramal dengan hadits dhoif ini secara mutlak adalah
imam Abu Hanifah, An-Nasa’i dan juga Abu dawud. Mereka berpendapat bahwa megamalkan hadits
dhoif ini lebih disukai dibandingkan mendasrkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas. Imam ibnu
Hambal,Abd Al-Rahman ibn Al-Mahdy dan Abdullah ibn Al mubarak menerima pengalaman hadits dhoif
sebatas fadhail al ‘amal saja,tidak termasuk urusan penetapan hukum seperti halal dan haram atau
masalah akidah.

Al-Qasiny memaparkan pendapat-pendpat ulama hadits yang lain tentang penerimaan terhadap hadits
dhoif ini, yang juga tidak jauh berbeda dengan pemaparan di atas. Misalnya, ia mengutip pendapat ibnu
Sholeah bahwa ia sendiri dalam kitabnya yang biasa dikenal ‘’Muqaddimah Ibnu Al-Sholah’’ tidak banyak
mengulas tentang hal ini, selain kata ‘’hendaknya tentang fadhail dan semisalnya’’. Sementara Ibnu Hajar
mengemukakan tiga syarat yang harus ada pada hadits dhoif yang bisa diterima dan diamalkan,yaitu:
 pertama, tingkat kelemahannya tidak parah: orang yang meriwayatkan bukan termasuk
pembohong atau tertuduh berbohong atau kesalahannya abanyak.
 Kedua, tercakup dalam dasar hadits yang masih dibenarkan atau tidak bertentangan dengan
hadits yang shohih(yang bisa diamalkan), ketiga, ketika mengamalkannya tidak seratus persen meyakini
bahwa hadits tersebut benar-benar datang dari Nabi SAW,tetapi maksud mengamalkannya semata-mata
untuk ikhtiyath

Sementara As-Suyuti sendiri cendrung membolehkan beramal dengan hadits dhoif termasuk dalam
masalah hukum dengan maksud ikhtiyath. Ia mendasarkan pada pendapat Abu Daud, Iama ibn Hambal
yang berpendapat bahwa itu lebih baik dibanding menggunakan akal atau rasio atau pendapat
seseorang.

E. Kitab-kitab yang memuat hadits dhoif


Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranya adalah sebagai berikut:
 Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban,kitab ini memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena
perawinya yang dhoif.
 Kitab Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,karya ini juga memaparkan hadits yang menjadi dhoif
karena perawinya yang dhoif
 Kitab al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits dhoif.
 Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni,juga secara khusus memaparkan hadits yang menjadi dhoif
karena perawinya yang dhoif.

BAB III
PENUTUP
Hadits Dhaif

A. Kesimpulan

1. Hadits dhoif merupakan hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits
shohih dan syarat-syarat hadits hasan. Hadits dhoif ini memilki penyebeb mengapa bisa tertolak
di antaranya dengan sebab-sebab dari segi sanad dan juga dari segi matan.
2. Kriteria hadits dhoif adalah karena sanadnya ada yang tidak bersambung,kurang adilnya
perawi,kurang dhobiyhnya perawi dan Ada syadz dalam hadits tersebut.
3. Hadits dhoif terbagi menjadi beberapa kelompok baik itu yang didasarkan pada
pembagian berdasarkan sanad hadits atau juga matan hadits.
4. Dalam menyikapi penerimaan dan pengamalan hadits dhoif ini terhadi khilafiah di
kalangan ulama,ada yang membolehkannya dan ada juga yang secara mutlak tidak
membolehkan beramal dengan hadits dhoif tersebut.
5. Kitab yang memuat hadits dhoif adalah Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,Kitab ad-dlu’afa
karya ibnu hibban, Kitab al-Marasil karya Abu Daud, Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni.
Hadits dhaif berarti hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan. Ada banyak
penyebab hadits dhaif, namun dari keseluruhan penyebab itu dapat disimpulkan menjadi dua
sebab. Mahmud Thahan dalam Taisiru Musthalahil Hadits menjelaskan:

‫ لكنها ترجع بالجملة إلى أحد سببين رئيسين هما‬،‫أما أسباب رد الحديث فكثيرة‬: ‫سقط من اإلسناد وطعن في‬
‫الراوي‬

Artinya, “Penyebab hadits ditolak atau tidak bisa diterima ada banyak. Namun
keseluruhannya merujuk pada dua sebab: sanadnya tidak bersambung dan di dalam
rangkaian sanadnya terdapat rawi bermasalah.”

Ada dua penyebab utama hadits dhaif: keterputusan sanad dan perawinya bermasalah.
Masing-masing penyebab itu dirinci lagi oleh para ulama sehingga pembagian hadits
dhaif menjadi semakin banyak.

Mahmud Thahan menjelaskan, dilihat dari keterputusan sanad, hadits dhaif dapat dibagi
menjadi enam macam: muallaq, mursal, mu’dhal, munqati’, mudallas, dan mursal khafi.
Berikut penjelasannya:

Muallaq
Muallaq adalah setiap hadits yang tidak disebutkan rangkaian sanadnya dari awal
sanad, baik satu orang rawi yang tidak disebutkan, dua rawi, maupun lebih. Yang
terpenting, perawi hadits tidak disebutkan dari awal sanad.

‫المعلق هو ما حذف من مبدأ إسناده راو فأكثر على التوالي‬


Artinya, “Muallaq ialah hadits yang dihilangkan perawinya dari awal sanad, baik satu orang
ataupun lebih secara berturut-turut.”
Misalnya, bila seseorang mengatakan “Rasulullah berkata” atau “Dari Sahabat Abu Hurairah
bahwa Rasulullah berkata” tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya dari awal, maka hadits
tersebut dinamakan hadits mu’allaq.

Mursal
Mursal berarti:

‫ما سقط من آخر اسناده من بعد التابعي‬


Artinya, “Hadits yang dihilangkan perawi setelah thabi’in (sahabat) dari akhir sanadnya.”

Maksudnya hadits yang tidak disebutkan nama sahabat dalam rangkaian sanadnya.
Periwayatan hadits pasti melalui sahabat, karena tidak mungkin tabi’in bertemu Rasulullah
langsung. Bila ada hadits yang tidak menyebutkan sahabat dalam rangkaian sanadnya, dari
tabi’in langsung lompat kepada Rasulullah, maka hadits itu bermasalah.

Misalnya, Imam Muslim bin Hajjaj pernah meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Rafi’, dari
Hujain, dari Al-Laits, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin Musayyab, bahwa Rasulullah
pernah melarang jual beli dengan cara muzabanah, yaitu jual beli tanpa takaran. Redaksi
haditsnya sebagai berikut:

‫عن سعيد ابن المسيب أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم نهى عن بيع المزابنة‬
Artinya, “Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara
muzabanah.”

Ulama menghukumi hadits di atas dengan mursal karena Sa’id bin Musayyab adalah seorang
tabi‘in yang tidak mungkin bertemu Rasulullah SAW. Pasti Sa’id bin Musayyab mendengar
hadits itu dari sahabat. Tetapi dalam rangkaian sanad hadits di atas tidak disebutkan nama
sahabat yang menjadi perantara antara Sa’id bin Musayyab dan Rasulullah.

Mu’dhal
Mu’dhal berarti:

‫اثنان فأكثر على التوالي ما سقط من إسناده‬


Artinya, “Hadits yang dalam rangkaian sanadnya terdapat dua perawi yang dihilangkan secara
berturut-turut.”

Maksudnya, dalam rangkaian sanad ada dua perawi yang dihilangkan, syaratnya harus
berturut-turut. Kalau tidak berturut-turut, misalnya di awal sanadnya ada perawi yang hilang,
kemudian satu lagi di akhir sanad, maka ini tidak bisa dinamakan hadits mu’dhal.

Munqathi’
Munqathi’ berarti:

‫ما لم يتصل إسناده على أي وجه كان انقطاعه‬


Artinya, “Hadits yang rangkaian sanadnya terputus di manapun terputusnya.”
Persyaratan hadits munqathi’ lebih longgar daripada sebelumnya. Hadits munqathi’ tidak
mensyaratkan harus berturut-turut atau jumlah perawi yang hilang ditentukan, selama ada
dalam rangkaian sanad itu rawi yang hilang atau tidak disebutkan, baik di awal, pertengahan,
maupun akhir sanad, maka hadits itu disebut munqathi’.

Mudallas
Ulama membagi dua macam hadits mudallas: tadlis isnad dan tadlis syuyukh.

Tadlis Isnad adalah:

‫أن يروي الراوي عمن قد سمع منه ما لم يسمع منه من غير أن يذكر أنه سمعه منه‬
Artinya, “Perawi hadits meriwayatkan hadits dari gurunya, tetapi hadits yang dia sampaikan itu
tidak didengar langsung dari gurunya tanpa menjelaskan bahwa dia mendengar hadits darinya.”

Maksudnya, seorang rawi mendapatkan hadits dari orang lain, tetapi dia meriwayatkan dengan
mengatasnamakan gurunya, di mana sebagian hadits dia terima dari gurunya tersebut. Padahal
untuk kasus hadits itu dia tidak mendengar dari gurunya, tetapi dari orang lain.

Tadlis Syuyukh adalah:

‫ فيسميه أو يكنيه أو ينسبه أو يصفه بما ال يعرف به كي ال‬،‫أن يروي الراوي عن شيخ حديثا سمعه منه‬
‫يعرف‬
Artinya, “Seorang perawi meriwayatkan hadits yang didengar dari gurunya, tetapi dia menyebut
gurunya tersebut dengan julukan yang tidak populer, tujuannya supaya tidak dikenal orang lain.”

Perawi sengaja menyebut gurunya dengan nama atau gelar yang tidak populer supaya orang
lain tidak tahu siapa guru sebenarnya. Karena kalau disebut nama asli gurunya, bisa jadi guru
perawi itu tidak tsiqah(dipercaya) dan haditsnya nanti menjadi bermasalah. Untuk menutupi
kekurangan itu, dia mengelabui orang dengan menyebut nama yang tidak populer untuk
gurunya.

Mursal Khafi
Mursal khafi berarti:

‫أن يروي عمن لقيه أو عاصره مالم يسمع منه بلفظ يحتمل السماع وغيره‬
Artinya, “Perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa dengannya, tetapi sebenarnya
dia tidak mendengar hadits itu darinya, dia sendiri meriwayatkannya dengan redaksi sima’
(seolah-olah dia mendengar langsung).”

Maksudnya, perawi menerima hadits dari orang yang semasa dengannya dan dia bertemu
langsung dengan orang tersebut, namun sebenarnya dia tidak mendengar langsung hadits itu
dari orang yang semasa dengannya. Namun persoalannya, dia meriwayatkan hadits seolah-
olah dia mendengar langsung, padahal tidak seperti itu. Ini disebut dengan hadits mursal khafi,
hukumnya dhaif.
1.Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina
Hadits dhoif (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah
dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam.
Di antara hadits-hadits dhoif (lemah) yang masyhur digunakan oleh para khatib dan da’i dalam
mendorong manusia untuk menuntut ilmu di mana pun tempatnya sekalipun jauhnya sampai ke Negeri
Tirai Bambu, Cina, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. dari Nabi Rasulullaah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam, beliau bersabda,
‫اطلبوا العلم ولو بالصين‬
“Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”.
[HR. Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (2/106), Al-Khathib
dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhol (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-
Jami’ (1/7-8), dan lainnya, semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Thorif bin
Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu’].
Ini adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits
batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullaah- berkata dalam Al-Maudhu’at (1/215) berkata,
‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada asalnya’’. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –
rahimahullaah- menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi hadits ini,
barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di
atas, bahkan lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-
Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy.
Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi
Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam .
2.Tuntutlah Duniamu
َ ُ‫ َوا ْع َم ْل ِِل ِخ َر ِتكَ كَأَنَّكَ ت َ ُم ْوت‬,‫ش أَبَدًا‬
‫غدًا‬ ُ ‫اِ ْع َم ْل ِل ُد ْنيَاكَ كَأَنَّكَ ت َ ِع ْي‬
“Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu
seakan-akan engkau akan mati besok”.
Ini bukanlah sabda Nabi Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam, walaupun masyhur di lisan
kebanyakan mubaligh di zaman ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau. Sangkaan seperti
ini tidaklah muncul dari mereka, kecuali karena kebodohan mereka tentang hadits. Di samping itu,
mereka hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi keabsahannya.
Hadits ini diriwayatkan dua sahabat. Namun, kedua hadits tersebut lemah karena di dalamnya terdapat
inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, cuma
disebutkan oleh Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy men-dhoif-kan
(melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (No. 8).
3.Surat Yasin Hatinya Al-Qur’an
Banyak hadits-hadits yang tersebar di kalangan masyarakat menjelaskan keutamaan-keutamaan sebagian
surat-surat Al-Qur’an. Namun sayangnya, banyak di antara hadits itu yang lemah, bahkan palsu. Maka
cobalah perhatikan hadits berikut:
‫ من قرأها فكأنما قرأ القرآن عشر مرات‬, )‫ وإن قلب القرآن (يس‬,‫إن لكل شيء قلبا‬
“Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin. Barang siapa
yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qua’an sebanyak 10 kali“.
[HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh
dusta, yaitu: Harun Abu Muhammad dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli hadits zaman ini, yaitu
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullaah- menggolongkannya sebagai hadits palsu
dalam kitabnya As-Silsilah Adh-Dho’ifah (No.169).
4.Perselisihan Umatku adalah Rahmat
Sudah menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di dalam Islam dan memang hal tersebut
telah disampaikan oleh Rasulullaah Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam.
Di negara kita sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat yang menyandarkan diri kepada Islam sudah terlalu
banyak. Apabila kita memperingatkan dan membantah kesesatan aliran-aliran tersebut, maka sebagian
kaum muslimin membela aliran-aliran tersebut. Mereka berdalil dengan hadits berikut :
‫ف أ ُ َّمتِ ْي َرحْ َمة‬
ُ ‫إِ ْختِ ََل‬
Padahal hadits ini dhoif (lemah), bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Syaikh Al-Albaniy -
rahimahullaah- berkata, “Hadits ini tak ada asalnya. Para ahli hadits telah mengerahkan tenaga untuk
mendapatkan sanadnya, namun tak mampu”.
Dari segi makna, hadits ini juga batil. Ibnu Hazm -rahimahullaah- dalam Al-Ihkam (5/64) berkata, “Ini
merupakan ucapan yang paling batil, karena andaikan ikhtilaf (perselisihan) itu rahmat, maka kesepakatan
adalah kemurkaan. Karena di sana tak ada sesuatu kecuali kesepakatan dan perselisihan; tak ada sesuatu
kecuali rahmat atau kemurkaan“.
Barang Siapa Mengenal Dirinya, Dia Akan Mengenal Rabb-nya
Di sini ada sebuah hadits yang palsu dan tidak ada asalnya, namun sering digunakan oleh sebagian orang
sufi untuk menguatkan kesesatan mereka. Hadits itu berbunyi,

َ ‫سهُ فَقَ ْد ع ََر‬


ُ‫ف َربّـَه‬ َ ‫ف نَ ْف‬
َ ‫َم ْن ع ََر‬
“Barang Siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia akan mengenal Rabb (Tuhan)-nya”.
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullaah- dalam Adh-Dha’ifah (1/165) berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya”
[Adh-Dha’ifah (1/165)]. An-Nawawiy berkata, “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)” [Al-Maqashid
(198) oleh As-Sakhowiy].
As-Suyuthiy berkata, “Hadits ini tidak shahih” [Lihat Al-Qoul Asybah (2/351 Al-Hawi)].
Ringkasnya, hadits ini merupakan hadits palsu yang tidak ada asalnya. Oleh karena itu, seorang muslim
tidak boleh mengamalkannya, dan meyakininya sebagai sabda Nabi Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallaam.
5.Keutamaan Menamatkan Al-Qur’an
Membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya merupakan keutamaan besar bagi seorang hamba, karena
setiap hurufnya diberi pahala oleh Allah -Ta’ala-. Keutamaan tersebut telah dijelaskan dalam beberapa
hadits, tetapi bukan hadits berikut karena haditsnya palsu. Bunyi hadits palsu ini:

َ ‫ست ُّ ْونَ أ َ ْل‬


‫ف َملَك‬ ِ ‫علَ ْي ِه ِع ْن َد َختْ ِم ِه‬ َ َ‫إِذَا َخت َ َم ا ْلعَ ْب ُد ا ْلقُ ْرآن‬
َ ‫صلَّى‬
”Jika seorang hamba telah menamatkan Al Qur’an, maka akan bershalawat kepadanya 60.000 malaikat
ketika ia menamatkannya”.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/112)].
Hadits ini palsu disebabkan oleh rawi yang bernama Al-Hasan bin Ali bin Zakariyya, dan Abdullah bin
Sam’an, kedua orang ini, adalah pendusta, biasa memalsukan hadits. Syaikh Al-Albaniy rahimahullaahu
menyatakan kepalsuan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2550).
6. Macam-macam Wanita
Di dunia ini wanita ini bermacam-macam jenisnya. Ada yang seperti kantong plastik, setelah
dimanfaatkan dibuang. Ada juga yang sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan merusak yang lain.
Namun, yang terbaik adalah wanita yang banyak memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain, terutama
suami. Dia membantu diri dan suaminya di atas ketaatan. Konon kabarnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallaam bersabda,
ُ ‫ض ُع َو ِص ْنف كَا ْلعَ ِ ّر َوه َُو ا ْل َج َر‬
ُ‫ب َو ِص ْنف َود ُْود َولُ ْود ت ُ ِع ْين‬ ِ ‫صنَاف ِص ْنف كا َ ْل ِوع‬
َ َ‫َاء تَحْ ِم ُل َوت‬ ْ َ ‫ثََ ََ ََ ََ ََلث َ ِة أ‬ َ ‫علَى‬ َ ‫سا ُء‬ َ ّ‫ال ِن‬
‫علَى إِ ْي َما ِن ِه فَ ِه َي َخ ْير لَهُ ِمنَ ا ْل َك ْن ِز‬َ ‫َز ْو َج َها‬
“Wanita-wanita itu ada tiga macam: kelompok wanita seperti bejana, ia hamil dan melahirkan; kelompok
wanita seperti koreng – yaitu kudis-; kelompok wanita yang amat penyayang dan banyak melahirkan,
serta membantu suaminya di atas keimanannya. Wanita ini lebih baik bagi suaminya dibandingkan harta
simpanan“.
[HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (206/2)].
Namun sayangnya, hadits ini adalah hadits dhoif munkar, karena ada seorang rawi yang bernama
Abdullah bin Dinar. Dia adalah seorang rawi yang munkar haditsnya sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Abi Hatim dalam Al-Ilal (2/310). Jadi, hadits ini tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi
Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy rahimahullaahu memasukkan
hadits ini dalam silsilah hadits dhoif dalam Adh-Dho’ifah (714).
7. Memandang Wanita Cantik
Memiliki pandangan yang tajam dan penglihatan yang jernih merupakan nikmat yang besar dari Allah
Subhaanahu wa Ta’ala, sehingga terkadang seseorang menempuh berbagai cara untuk memperoleh
penglihatan yang tajam.
Dan mungkin juga ada di antara kaum muslimin yang sering sekali memandang setiap wanita yang cantik
dengan tujuan mempertajam penglihatannya, beramal dengan hadits berikut;
‫َان فِ ْي البَص َِر‬ ْ ‫اء َوال ُخ‬
ِ ‫ض َر ِة يَ ِز ْيد‬ ْ ‫لى َوجْ ِه ال َم ْرأ َ ِة ال َح‬
ِ َ‫سن‬ َ ََ َّ‫الن‬
َ ‫ظ ُر ِإ‬
“Memandang wajah wanita cantik dan yang hijau-hijau menambah ketajaman penglihatan”.
[HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/201-202), dan Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus
(4/106)]
Hadits ini maudhu’ (palsu), karena dalamnya ada rawi yang dhoif dan tidak ditemukan ada seorang ahli
hadits yang menyebutkan biografinya. Rawi itu ialah Ibrahim bin Habib bin Sallam Al-Makkiy.
Karenanya, Adz-Dzahabiy berkata, “Hadits ini batil”. Ibnul Qoyyim dalam Al-Manar Al-Munif berkata,
“Hadits ini dan semisalnya adalah buatan orang-orang zindiq (munafik)” [Lihat Adh-Dho’ifah (133)].
8. Menjaga Mata ketika Jima’ (Bersetubuh).
Melihat kemaluan istri ketika berhubungan adalah boleh berdasarkan hadits-hadits shahih. Adapun hadits
yang berbunyi:
ُ ‫إِذَا َجا َم َع أ َ َح ُد ُك ْم َز ْو َجتَهُ أ َ ْو َجاِريَتَهُ فَ ََل يَ ْن‬
ُ ‫ظ ْر إِلَى فَ ْر ِج َها فَ ِإنَّ ذَ ِلكَ يُ ْو ِر‬
‫ث ا ْلعَ َمى‬
“Apabila seorang di antara kalian berhubungan dengan istrinya atau budaknya, maka janganlah ia melihat
kepada kemaluannya, karena hal itu akan mewariskan kebutaan“.
[HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/75)].
Maka hadits ini adalah palsu karena dalam sanadnya terdapat Baqiyah ibnul Walid. Dia adalah seorang
mudallis yang biasa meriwayatkan dari orang-orang pendusta sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu
Hibban. Lihat Adh-Dho’ifah (195)
9.Merayu Istri
Bercumbu dan merayu istri adalah perkara yang dianjurkan oleh Nabi Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallaam. Namun, jangan kalian tertipu dengan hadits palsu berikut ini:
‫زينوا مجالس نسائكم بالمغزل‬
“Hiasilah majelis istri-istri kalian dengan rayuan“. [HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu’afaa’
(6/130), dan Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (5/280)].
Hadits ini palsu karena dalam rawi hadits ini terdapat Muhammad bin Ziyad Al-Yasykuriy. Dia seorang
pendusta lagi suka memalsukan hadits. Lihat Adh-Dho’ifah (1/72/no.19) karya Al-Albaniy -
rahimahullaah-.
10.Perbanyak Dzikir Sampai Dianggap Gila
Di antara kebiasaan orang-orang sufi, mereka berdzikir dengan cara melampaui batas syariat Islam, yaitu
berdzikir dengan bilangan yang memberatkan diri seperti berdzikir sebanyak 70 ribu kali, 100 ribu kali.
Padahal, maksimal dari Nabi Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam sebanyak 100 kali dalam dzikir-
dzikir tertentu, bukan pada semua jenis dzikir.
Mereka membebani diri seperti ini, karena mendengar hadits berikut:
‫أ َ ْكثِ ُر ْوا ِم ْن ِذك ِْرهللاِ َحتى يَقُ ْولُ ْوا َمجْ نُ ْون‬
“Perbanyaklah dzikir, sehingga orang-orang berkata, engkau gila”.
[HR. Ahmad (3/68), Al-Hakim (1/499), dan Ibnu Asakir (6/29/2)]
Hadits ini lemah karena diriwayatkan oleh Darraj Abu Samhi. Dia lemah riwayatnya yang berasal dari
Abul Haitsam. Di-dhoif-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (no. 517) (2/9).
11.Barang Siapa Dunia adalah Cita-Citanya
Banyak hadits lemah dan palsu yang tersebar di masyarakat melalui lisan para khatib yang memiliki ilmu
agama (khususnya ilmu hadits), sehingga banyak di antara masyarakat tertipu dan menyangkanya sebagai
sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam.
Di antara hadits tersebut:
ً‫س ِل ِم ْينَ عَا َّمة‬
ْ ‫هللا ِف ْي ش َْيء َو َم ْن لَ ْم يَ ْهت َ َّم ِل ْل ُم‬ َ ‫ق هللاَ فَلَ ْي‬
ِ َ‫س ِمن‬ ِ َّ‫هللا فَ ْي ش َْيء َو َم ْن لَ ْم َيت‬ َ ‫صبَ َح َوال ُّد ْن ِيا أ َ ْكث َ ُر َه ِ ّم ِه فَلَ ْي‬
ِ َ‫س ِمن‬ ْ َ ‫َم ْن أ‬
‫س ِم ْن ُه ْم‬َ ‫فَلَ ْي‬
“Barang siapa yang berada di waktu pagi, sedang dunia adalah cita-citanya yang terbesar, maka ia tidak
akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang siapa yang tidak bertakwa kepada
Allah, maka ia tidak akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang siapa yang tidak
memperhatikan urusan kaum muslimin seluruhnya, maka ia bukan termasuk di antara mereka“.
[HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/317) Al-Khatib dengan penggalan pertama dari hadits ini dalam
Tarikh Bagdad (9/373)].
Hadits ini palsu karena di dalam sanad-nya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu Ishaq bin Bisya.
Hadits ini memiliki jalur periwayatan lain, namun ia tidak bisa menguatkan hadits di atas, karena
kelemahannya tidak jauh beda dengannya. Oleh karenanya, Al-Albany menyatakan hadits ini palsu dalam
Adh-Dha’ifah (309)
12.Sebab Kacaunya Bacaan Imam
Seorang imam terkadang salah dalam bacaannya. Jika ia salah, maka muncullah beberapa persangkaan
yang buruk. Ada di antara mereka berpendapat bahwa kacaunya bacaan imam disebabkan adanya di
antara jama’ah yang tak beres melaksanakan wudhu’ atau mandi junub. Ini didasari oleh hadits palsu yang
bukan hujjah, seperti hadits yang berbunyi:
ُ‫ص ِلّي َخ ْلفَه‬ ُ ‫س ْو ِء‬
َ ‫طه ِْر ا ْل ُم‬ َ ‫ط ُه ْو َر ُك ْم فَ ِإنَّ َما يَ ْرت َ ُّج‬
ِ ‫علَى ا ْلقَ ِار‬
ُ ‫ىء ِق َرا َءتُهُ ِب‬ ِ ْ‫ف أ َ ِئ َّم ِت ُك ْم فَأَح‬
ُ ‫سنُ ْوا‬ َ ‫ِإذَا‬
َ ‫صلَّ ْيت ُ ْم َخ ْل‬
“Jika kalian sholat di belakang imam kalian, perbaikilah wudhu’ kalian, karena kacaunya bacaan imam
bagi imam disebabkan oleh jeleknya wudhu’ orang yang ada di belakang imam“.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/63)].
Hadits ini palsu sebab di dalamnya terdapat rawi yang majhul, seperti Abdullah bin Aun bin Mihroz,
Abdullah bin Maimun. Rawi lain, Muhammad bin Al-Furrukhon, ia seorang yang tak tsiqah. Dari sisi
lain, sudah dimaklumi bahwa jika Ad-Dailamiy bersendirian dalam meriwayatkan hadits dalam kitabnya
Musnad Al-Firdaus, maka hadits itu palsu. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy menyatakan palsunya hadits ini
dalam Adh-Dho’ifah (2629).
Mengusap Kedua Kelopak Mata dengan Kedua Ibu Jari
Ada di antara kaum muslimin yang biasa melakukan amalan yang terkadang tidak diketahui dasarnya.
Setelah mengadakan pemeriksaan terhadap kitab-kitab hadits, ternyata berdasarkan hadits lemah, palsu,
bahkan terkadang tidak ada dalilnya.
Di antara amalan mereka ini yang tidak berdasar, yaitu mengusap kedua kelopak mata dengan kedua ibu
jari. Mereka hanya berdasarkan hadits palsu yang dinisbahkan kepada Nabi Khidir.
Konon kabarnya Nabi Khidir ‘Alaihissalam berkata, “Barang siapa yang mengucapkan selamat datang
kekasihku dan penyejuk mataku, Muhammad bin Abdullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam , kemudian ia
mencium kedua ibu jarinya dan meletakkannya pada kedua matanya, ketika ia mendengar muadzdzin
berkata,
‫هللا‬ ُ ‫ش َه ُد أَنَّ ُم َح َّم ًد َر‬
ِ ‫س ْو ُل‬ ْ َ‫أ‬
Maka ia tidak sakit mata selamanya.”
[HR. Abul Abbas Ahmad bin Abu Bakr Ar-Raddad Al-Yamaniy dalam Mujibat Ar-Rahmah wa ‘Aza’im
Al-Maghfirah dengan sanad yang terdapat di dalamnya beberapa orang majhul (tidak dikenal), di samping
terputus sanad-nya. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Adh-Dha’ifah (1/173)
dari riwayat Ad-Dailamy dan Syaikh Masyhur Alu Salman dalam Al-Qoul Al-Mubin (hal.182)]
13.Keutamaan Memakai Sorban Ketika Shalat
Memakai sorban adalah sunah dan ciri khas kaum muslimin baik dalam sholat maupun di luar sholat,
sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits. Namun, tak ada satu hadits pun yang menjelaskan
keutamaan tertentu memakai sorban saat sholat, kecuali hadits-nya lemah atau palsu, seperti hadits
berikut:
‫س ْب ِع ْينَ َر ْكعَةً بَ ََل ِع َما َمة‬
َ ‫ان َِ ِب ِع َما َمة َخ ْير ِم ْن‬
ِ َ‫َر ْكعَت‬
“Shalat dua rakaat dengan memakai sorban lebih baik dibandingkan sholat 70 rakaat tanpa sorban“. [HR.
Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam Al-Jami’
Ash-Shoghir]
Hadits ini maudhu’ (palsu) sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah
(128), “Hadits ini palsu”. Selanjutnya beliau juga mengomentari ulang hadits ini dalam Adh-Dho’ifah
(5699).
14.Sujud Menyentuh Tanah
Seorang ketika sujud dalam sholat boleh ia memakai alas. Menyentuhkan telapak tangan, dahi, dan
anggota sujud lainnya ke tanah, ini tak ada keutamaan tertentu baginya. Adapun hadits berikut:
َ َّ‫سى هللاُ أ َ ْن يَفُك‬
‫ع ْنهُ ا ْلغُ َّل يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة‬ َ ‫ع‬ َ ‫ش ْر ِب َكفَّ ْي ِه ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض‬ ِ ‫س َج َد أ َ َح ُد ُك ْم فَ ْليُبَا‬
َ ‫ِإذَا‬
“Jika seorang di antara kalian bersujud, maka hendaknya ia menyentuhkan kedua telapak tangannya ke
tanah, semoga Allah melepaskan belenggu darinya pada hari kiamat“.
[HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (6/58), cet. Dar Al-Haramain].
Hadits ini adalah dho’if (lemah), tak bisa dijadikan hujjah karena di dalamnya ada rawi bermasalah:
Ubaid bin Muhammad, seorang rawi yang memiliki hadits-hadits mungkar [Lihat Al-Majma’
(2/311/no.2764)]. Sebab inilah, Syaikh Al-Albaniy menggolongkan hadits ini lemah dalam Adh-Dho’ifah
(2624)
15.Jangan Shalat, Jangan Bicara
Jika khatib telah berada di atas mimbar dan muadzin berkumandang, maka seorang yang melaksanakan
sholat tahiyatul masjid atau shalat sunat mutlak, ia terus dalam sholatnya, tanpa harus membatalkan
sholatnya berdasarkan hadits-hadits yang shahih.
Bahkan ia boleh berbicara dengan temannya dalam kondisi itu, jika ada hajat mendesak. Adapun hadits di
bawah ini yang menjelaskan tentang tidak bolehnya sholat dan bicara dalam kondisi tersebut maka hadits
ini batil. Berikut perinciannya:
‫ب ا ْل ِم ْنبَ َر ؛ فََلَ ص َََلةَ َو ََل َكَلَ َم‬ َ ‫إِذَا‬
ُ ‫ص ِع َد ا ْل َخ ِط ْي‬
“Apabila khatib sudah naik mimbar, maka tidak ada lagi shalat dan tidak ada lagi ucapan.”
Hadits ini batil karena tidak ada asalnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Adh-Dho’ifah (87).
Namun, perlu diketahui bahwa jika adzan sudah selesai ketika khatib berada di atas mimbar siap untuk
berkhutbah, maka seorang tidak boleh lagi berbicara dan melakukan aktivitas apapun selain shalat
tahiyatul masjid agar seluruh jamaah memfokuskan diri untuk mendengarkan khutbah.
16.Berzikir dengan Tasbih
Berzikir adalah ibadah yang harus didasari dengan keikhlasan dan mutaba’ah (keteladanan) kepada Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam. Karenanya seorang tidak dianjurkan menggunakan alat tasbih ketika ia
berzikir sebab tidak ada contohnya dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam berdzikir dengannya, tetapi
beliau hanya berzikir dengan jari-jemarinya. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits palsu, tidak
boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunahnya berzikir dengan alat tasbih,
ُ ‫ض َو َما أ َ ْنبَتَتْهُ ْاْل َ ْر‬
‫ض‬ ُ ‫علَ ْي ِه ْاْل َ ْر‬
َ ‫س َج ُد‬ َ ‫س ْب َحةُ َوإِنَّ أ َ ْف‬
ْ ُ‫ض َل َما ي‬ ُّ ‫نِ ْع َم ا ْل ُمذَ ِ ّك ُر ال‬
“Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih. Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol untuk ditempati
bersujud adalah tanah dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh tanah“.
[HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam Mukhtashar-nya)].
Hadits ini adalah hadits yang palsu sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-
Dho’ifah (83), karena adanya rawi-rawi yang majhul. Selain itu hadits ini secara makna adalah batil,
sebab tasbih tidak ada di zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam.
17.Menuntut Ilmu di Masa Muda
Keutamaan menuntut ilmu sangat banyak disebutkan dalam ayat-ayat maupun hadits-hadits shahih.
Bahkan sampai di dalam hadits yang dho’if dan palsu, seperti berikut,
َ ‫اب اثْنَ ْي ِن َو‬
‫س ْب ِع ْينَ ِص ِ ّد ْيقًا‬ َ ‫علَى ذَ ِلكَ أ َ ْع‬
َ ‫طاهُ هللاُ يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة ث َ َو‬ ِ َ‫شئ نَشَأ َ فِ ْي َطل‬
َ ‫ب ا ْل ِع ْل ِم َوا ْل ِعبَا َد ِة َحتَّى يَ ْكبُ َر َوه َُو‬ ِ ‫أَيُّ َما نَا‬
“Anak muda mana pun yang tumbuh dalam menuntut ilmu dan ibadah sampai ia menjadi tua, sedangkan
dia masih tetap di atas hal itu, maka Allah akan memberikannya pada hari kiamat pahala 72 orang
shiddiqin“.
[HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2428), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Ilm (1/82)].
Namun, hadits ini derajatnya adalah dhoif jiddan (lemah sekali), bahkan boleh jadi hadits ini palsu, karena
di dalamnya ada rawi yang bernama Yusuf bin Athiyyah. Dia adalah seorang yang mungkarul hadits.
Bahkan An-Nasa’iy menilainya matruk (ditinggalkan karena biasa berdusta atas nama manusia).
Karenanya Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dhoif jiddan dalam Adh-Dho’ifah (700).
18.Bersedihlah ketika Membaca Al-Qur’an
Ketika membaca Al-Qur’an memang kita dianjurkan untuk bersedih sebagai hasil renungan dan tadabbur
makna-makna ayat sebagaimana yang dijelaskan dalam sunah. Adapun hadits di bawah ini, sekalipun
sebagian maknanya benar, namun ia bukan hujjah dalam hal ini karena kelemahan hadits ini. Nash
haditsnya:
‫اِ ْق َرؤ ُْوا ا ْلقُ ْرآنَ ِب ُح ْزن فَ ِإنَّهُ نَ َز َل ِبا ْل ُح ْز ِن‬
“Bacalah Al-Qur’an dengan perasaan sedih, karena dia turun dengan kesedihan“.
[HR. Al-Khollal dalam Al-Amr Bil Ma’ruf (20/2) dan Abu Sa’id Al-A’robiy dalam Mu’jam-nya (124/1)].
Dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Uwain bin Amr Al-Qoisiy, dia adalah seorang yang
mungkarul hadits lagi majhul menurut Al-Bukhariy. Selain itu juga ada rawi yang bernama Ismail bin
Saif. Dia adalah seorang yang biasa mencuri hadits dan meriwatkan hadits yang lemah dari orang-orang
yang tsiqah. Tak heran jika Al-Albaniy menyatakan hadits ini dhoif jiddan (lemah sekali) dalam kitabnya
Adh-Dho’ifah (2523).
19.Kekasih Allah
Orang yang bertaubat dari dosa-dosanya adalah orang yang terpuji di sisi Allah berdasarkan dalil-dalil
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun hadits berikut ini, maka dia adalah hadits yang palsu, tidak ada
asalnya:
‫هللا‬
ِ ‫ب‬ ُ ‫التَّا ِئ‬
ُ ‫ب َح ِب ْي‬
“Orang yang bertaubat adalah kekasih Allah.”
Hadits ini adalah hadits yang bukan berasal dari Nabi Shallallaau ‘alaihi wa sallaam. Tidak ada seorang
imam ahlul hadits yang meriwayatkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka. Hadits ini hanyalah disebutkan
oleh Al-Ghazaliy dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin (4/434) dengan menyandarkannya kepada Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam, padahal hadits ini adalah hadits palsu, tidak ada asalnya. Lihat penjelasan
palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (95) karya Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy
20.Ikhlas 40 Hari
Ikhlas adalah sifat orang mukmin. Keutamaan ikhlas telah dimaklumi baik dalam hadits yang shohih,
maupun hadits yang lemah. Namun, kita tidak butuh kepada hadits dho’if seperti di bawah ini, karena itu
bukan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam. Konon kabarnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam
bersabda,
‫من أخلص هلل أريعين يوما ظهرت ينابيع الحكمة على لسانه‬
“Barang siapa yang ikhlas karena Allah selama 40 hari, niscaya akan muncul mata air hikmah pada
lisannya“.
[HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/189)].
Hadits ini dhoif (lemah) karena terdapat inqitho’ (keterputusan) antara Makhul dengan Abu Ayyub Al-
Anshoriy. Selain itu, Hajjaj bin Arthoh, rawi dari Makhul adalah seorang mudallis, dan ia
meriwayatkannya secara mu’an’anah. Sedang seorang mudallis jika meriwayatkan hadits secara
mu’an’anah (dengan memakai kata “dari”), maka haditsnya dhoif (lemah). Tak heran jika Syaikh Al-
Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (38)
21.Dunia dan Hakikatnya
Banyak sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Ada yang keliru maknanya, dan ada yang
bagus maknanya, seperti hadits ini:
‫اخد ِِم ْي َم ْن َخ َد َمنِ ْي َوأَتْ ِع ِب ْي َم ْن َخ َد َم ِك‬
ْ ‫أَََ ََ ََ ْو َحى هللاُ إِلَى ال ُّد ْنيَا أ َ ِن‬
“Allah wahyukan kepada dunia, ‘Layanilah orang yang melayani-Ku, dan capaikanlah orang yang
melayanimu’ “.
[HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (8/44), dan Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits
(hal.101)].
Hadits ini palsu, karena Al-Husain bin Dawud Al-Balkhiy yang banyak meriwayatkan naskah hadits palsu
dari Yazid bin Harun. Karena itu, Al-Albaniy menyebutkan hadits ini dalam deretan hadits-hadits palsu
dalam Adh-Dho’ifah.
22.Hak Anak atas Orang Tua
Seyogyanya orang tua memilihkan nama yang baik untuk anaknya dan mendidik akhlaknya sebagaimana
yang dicontohkan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaih wa sallaam dan para sahabatnya. Adapun hadits yang
berbunyi:
ُ‫سنَ أ َ َدبَه‬
ّ ِ ‫س َمهَ َويُ َح‬ ّ ِ ‫علَى ا ْل َوا ِل ِد أ َ ْن يُ َح‬
ْ ‫سنَ ا‬ َ ‫ق ا ْل َولَ ِد‬
ُّ ‫َح‬
“Hak seorang anak atas orang tuanya, orang tua memperbaiki nama anaknya, dan akhlaknya“.
[HR. Abu Muhammad As-Siroj Al-Qoriy dalam Al-Fawaid (5/32/1-kumpulan 98), dan lainnya].
Maka hadits ini palsu karena ada dua orang rawi: Muhammad Al-Fadhl, adalah seorang pendusta, dan
Muhammad bin Isa adalah orangnya matruk (ditinggalkan). Karenanya Al-Albaniy mencantumkan hadits
ini dalam Adh-Dho’ifah (199)
23.Jum’at Hajinya Orang Fakir
Ibadah haji adalah ibadah yang dicita-citakan oleh setiap orang, sehingga setiap orang berusaha
mengumpulkan harta demi ibadah itu. Namun, sebagian di antara manusia ada yang tidak sempat
melaksanakannya, sehingga ia bersedih, tetapi kesedihan itu hilang karena ia mendengarkan sebuah hadits
berikut,
‫اء أ ُ َّمتِ ْي َواْل ُج ُمعَةُ َح ُّج فُقَ َرائِ َها‬ َ ‫ج‬
ِ ‫غنَ ُم فقَ َر‬ ُ ‫ال َّد َجا‬
“Ayam adalah kambingnya orang fakir dari kalangan umatku, dan shalat jum’at hajinya orang fakir
mereka”.
[HR. Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin (3/90)]
Namun ternyata sayangnya, hadits ini palsu, sehingga seorang muslim tidak boleh meyakini dan
mengamalkannya. Dia palsu karena ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Zaid An-Naisaburiy.
Dia adalah seorang pendusta yang suka memalsukan hadits. Lihat Adh-Dho’ifah (192)
24.Nabi Ilyas dan Khidir Bersaudara Kandung
Ketika seseorang membaca kisah para nabi di luar Al-Qur’an, maka seorang harus berhati-hati, karena di
sana banyak hadits-hadits yang lemah, bahkan palsu yang berbicara tentang kehidupan para nabi. Oleh
karena itu, seorang harus yakin betul bahwa hadits ini shahih berdasarkan keterangan para ulama, baru
setelah itu dia yakini. Di antara hadits lemah yang menyebutkan kisah para nabi di antaranya adalah
hadits berikut ini,

ُّ َ‫ان أَبُ ْو ُه َما ِمنَ الفُ ْر ِس َوأ ُ ُّم ُه َما ِمن‬


‫الر ْو َم‬ ِ ‫اس َوال َخ ِض ُر أَ َخ َو‬
ُ َ‫ِإ ْلي‬
“Nabi Ilyas dan Khidir adalah dua orang bersaudara. Bapak mereka dari Persia, dan ibunya dari
Romawi“.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/124)]
Hadits ini palsu karena ada dua orang rawi bermasalah dalam memalsukan hadits, yaitu Ahmad bin
Ghalib dan Abdur Rahman bin Muhammad Al-Yahmadiy. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy
menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (2257).
25.Penduduk Surga
Banyak sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Terkadang maknanya lurus, namun
terkadang juga menggelitik orang seperti hadits palsu berikut,

ُ ‫سى ْبنَ ِع ْم َرانَ فَ ِإنَّ لَهُ لِحْ يَةً إِلَى‬


‫س َّرتِ ِه‬ َ ‫أ َ ْه ُل ا ْل َجنَّ ِة َج َرد إِ ََّل ُم ْو‬
“Penduduk surga adalah belalang, kecuali Musa bin Imran, karena dia memiliki jenggot sampai ke
pusarnya“.
[HR.Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afaa’ (185), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (4/48), dan Ar-Raziy dalam Al-
Fawa’id (6/111/1)].
Hadits ini adalah hadits batil yang palsu. Dalam sanad-nya terdapat seorang rawi yang suka memalsukan
hadits, yaitu Syaikh-nya Ibnu Abi Kholid Al-Bashriy. Maka tak heran apabila Syaikh Al-Albaniy
mencantumkan hadits ini dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (704).
26. Amalan Sedikit, tetapi Bermanfaat
Bermalas-malasan dalam beribadah sudah menjadi kebiasaan sebagian kaum muslimin. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan hal tersebut di antaranya rasa takutnya kepada Allah masih kurang, keimanan
terhadap Hari Pembalasan masih minim, dan ada juga yang malas karena mungkin beramal dengan hadits
di bawah ini,
‫ َوكَثي ِ َْ ُر العَ َم ِل ََليَ ْنفَ ُع َم َع ال َج ْه ِل‬،‫قَ ِل ْي ُل العَ َم ِل ينَ َْفَ ُع َم َع ال ِع ْل ِم‬
“Amalan yang sedikit akan bermanfaat, jika disertai oleh ilmu; dan amalan yang banyak tidak akan
bermanfaat, jika disertai kejahilan“.
[HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-’Ilm wa Fadhlih (1/145)].
Hadits ini dhoif, bahkan palsu, disebabkan adanya tiga rawi:
[1] Muhammad bin Rauh bin ‘Imran Al-Qutairiy (orangnya lemah),
[2] Mu’ammal bin Abdur Rahman Ats-Tsaqofiy (orang dho’if). Ibnu Adi berkata,”Dominan haditsnya
tidak terpelihara”;
[3] Abbad bin Abdush Shamad. Ibnu Hibban berkata :
“…Abbad bin Abdush Shomad menceritakan kami dari Anas tentang suatu naskah hadits, seluruhnya
maudhu’ (palsu)”. Al-Albaniy berkata, “Hadits ini Palsu” [lihat Adh-Dho’ifah (369)].
27.Kencing di Lubang
Kencing di lubang adalah perkara yang boleh, kecuali jika di dalamnya ada makhluk seperti semut, maka
hendaknya kita jangan kencing di tempat itu demi menyayangi makhluk Allah yang kecil ini. Adapun
hadits yang berikut, maka haditsnya dho’if:
Abdullah bin Sarjis radhiyallaahu ‘anhu. berkata,
‫سلَّ َم نَ َهى أ َ ْن يُبَا َل فِ ْي ا ْلجُحْ ِر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫أَنَّ النَّبِ َّي‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
“Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam melarang kencing di lubang.”
[HR. Abu Dawud (29), dan An-Nasa’iy (34)].
Hadits ini adalah hadits yang lemah karena adanya keterputusan antara Qotadah dan Abdullah bin Sarjis
radhiyallaahu ‘anhu.. Selain itu, Qotadah juga adalah seorang yang mudallis. Tak heran jika Syaikh Al-
Albaniy men-dhoifkan hadits ini dalam Al-Irwa’ (55).
28.Solusi Terakhir
Talak adalah solusi terakhir ketika terjadi cekcok yang parah antara suami-istri setelah melalui proses
yang panjang berupa nasihat dan usaha perbaikan lainnya. Jadi, talak adalah perkara yang halal yang tidak
dibenci oleh Allah, jika dilakukan pada tempatnya. Adapun hadits yang menjelaskan bahwa talak adalah
perkara yang dibenci dalam segala hal, maka haditsnya dhoif sebagaimana perinciannya berikut ini,
َّ ‫هللا ع ََّز َو َج َّل ال‬
ُ ‫ط ََل‬
‫ق‬ ُ َ‫أ َ ْبغ‬
ِ ‫ض ا ْل َح ََل ِل ِإلَى‬
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah -Azza wa Jalla- adalah talak“.
[HR. Abu Dawud (2178) dan Ibnu Majah (2018)].
Hadits ini adalah hadits yang mudhtharib (goncang) sanad-nya sebagaimana yang kita bisa lihat
penjelasannya dalam Al-Irwa’ (2040) karya Syaikh Al-Albaniy.
29.Doa Keluar WC
Ada sebuah hadits yang menyebutkan doa keluar WC. Doa ini banyak disebarkan dan dimasyhurkan di
TPA dan TQA. Ternyata haditsnya lemah sebagaimana dalam penjelasan berikut ini,
‫ع ِنّ َي ْاْلَذَى َوعَافَا ِن ْي‬ َ ‫ِي أ َ ْذ َه‬
َ ‫ب‬ ِ َّ ِ ‫ا ْل َح ْم ُد‬
ْ ‫ّلِل الَّذ‬
”Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku gangguan (kotoran) ini dan telah menyehatkan
aku”.
[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (301)].
Hadits ini adalah hadits yang dhoif karena dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Ismail bin
Muslim Al-Makkiy. Dia adalah seorang yang lemah haditsnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-
Hafizh dalam At-Taqrib. Hadits ini memiliki syahid dari riwayat Ibnu Sunniy dalam Amal Al-Yaum wal
Lailah (29). Namun hadits ini juga lemah, karena ada seorang yang majhul dalam sanadnya, yaitu Al-
Faidh. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (53).
30..Ketentuan dan Takdir Allah
Ketentuan dan takdir Allah adalah perkara gaib yang tidak boleh ditetapkan dengan hadits lemah, apalagi
palsu, seperti hadits ini,
ُ‫عقُ ْولَ ُه ْم َحتَّى يُ ْن ِفذَ فِ ْي ِه ْم قَضَا َءهُ َوقَد ََره‬
ُ ‫ب ذَ َو ْي ا ْلعُقُ ْو ِل‬ َ ‫إِذَا أ َ َرا َد هللاُ إِ ْنفَاذَ قَضَائِ ِه َوقَد َِر ِه ؛‬
َ َ‫سل‬
“Apabila Allah ingin melaksanakan ketentuan dan takdir-Nya, maka Allah akan menarik
(menghilangkan) akalnya orang-orang yang memiliki pikiran, sehingga Allah melaksanakan ketentuan
dan takdir-Nya pada mereka“.
[HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/100), dari
jalur Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbihan (2/332)]
Hadits ini lemah bahkan boleh jadi palsu karena rawi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul
hadits menuduhnya pendusta dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy
memasukkannya dalam kitabnya, Adh-Dho’ifah (2215).
31.Taubat yang Benar
Seorang ketika telah bertaubat dari suatu dosa hendaknya ia berusaha dengan sekuat tenaga meninggalkan
dosa itu sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama kita. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits
dhoif (lemah),

ِ ‫الت َّ ْوبَةُ ِمنَ الذَّ ْن‬


‫ب أ َ ْن ََل تَعُ ْو َد إِلَ ْي ِه أَبَدًا‬
“Taubat dari dosa, engkau tidak kembali kepadanya selama-lamanya“.
[HR. Abul Qosim Al-Hurfiy dalam Asyr Majalis min Al-Amali (230), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul
Iman (7036)].
Hadits ini lemah karena dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Ibrahim bin Muslim Al-Hijriy; dia
adalah seorang yang layyinul hadits (lembek haditsnya). Selain itu, juga ada Bakr bin Khunais, seorang
yang shoduq (jujur), tetapi memiliki beberapa kesalahan. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkannya
dalam Adh-Dho’ifah (2233).
32.Adam Turun di India
Dalam kisah-kisah para nabi dan rasul disebutkan kisah masyhur bahwa Adam turun di negeri India,
berdasarkan hadits yang lemah berikut ini,
‫ش َه ُد أَنَّ ُم َح َّمدًا‬
ْ َ ‫ش َه ُد أ َ ْن ََل إِلَهَ إِ ََّل هللاُ َم َّرت َ ْي ِن أ‬
ْ َ ‫ان هللاُ أ َ ْكبَ ُر هللاُ أ َ ْكبَ ُر أ‬ ِ َ‫ش فَنَ َز َل ِج ْب ِر ْي ُل فَنَادَى ِب ْاْلَذ‬ ْ ‫نَ َز َل آ َد ُم ِبا ْل ِه ْن ِد َوا‬
َ ‫ست َ ْو َح‬
ْ َ ْ َ
ِ َ‫آخ ُر َولدِكَ ِمنَ اْلنبِي‬
‫اء‬ ِ ‫س ْو ُل هللاِ َم َّرت َ ْي ِن قَا َل آ َد ُم َم ْن ُم َح َّمد قا َل‬
َ ُ ‫َر‬
“Nabi Adam turun di India dan beliau merasa asing. Maka turunlah Jibril seraya mengumandangkan
adzan, “Allahu Akbar, Asyhadu Ala Ilaaha illallaah (dua kali), Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullaah
(dua kali) “. Adam bertanya, “Siapakah Muhammad itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang paling terakhir
dari kalangan terakhir “.
[HR.Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (2/323/2)].
Hadits ini dhoif (lemah) atau palsu karena ada seorang rawi dalam sanad-nya yang bernama Muhammad
bin Abdillah bin Sulaiman. Orang yang bernama seperti ini ada dua; yang pertama dipanggil Al-Kufiy,
orangnya majhul (tidak dikenal), sedang orang yang seperti ini haditsnya lemah. Yang satunya lagi,
dikenal dengan Al-Khurasaniy. Orang ini tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat dalam sanad ini, maka
hadits ini palsu. Hadits ini di-dhoif-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (403).
33.Bagi-bagi Keburukan
Mengangkat dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari Al-Qur’an dan sunah.
Adapun hadits di bawah, maka tidak boleh dijadikan dalil dalam merendahkan Suku Barbar, karena
kelemahan hadits ini,
‫ست ُّ ْونَ ِف ْي ا ْلبَ ْربَ ِر‬ ِ ْ ‫س ْبعُ ْونَ ُج ْز ًءا فَ ُج ْز ُءَ ِف ْي ا ْل ِج ِنّ َو‬
ْ ‫اْل ْن ِس َو ِت‬
ِ ‫سع َو‬ ُ ‫ا ْل ُخ ْب‬
َ ‫ث‬
“Keburukan ada 70 bagian; satu bagian pada jin dan manusia, dan 69 bagian pada orang-orang Barbar”.
[HR. Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/489), Ath-Thobraniy dalam Al-
Ausath (8672), dan Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah].
Mengangkat dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari Al-Qur’an dan hadits.
Hadits ini adalah hadits yang lemah menurut penilaian Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam As-Silsilah
Adh-Dho’ifah (2535), karena dalam hadits ini terdapat dua penyakit: Inqitho’ (keterputusan) antara Yazid
bin Abi Habib dengan Abu Qois, dan terjadinya idhthirob (kesimpangsiuran) dari sisi sanad akibat
kelemahan seorang rawi yang bernama Abu Sholih (dikenal dengan Katib Al-Laits).
34.Kisah Nabi Idris bersama Malaikat Maut
Di sana ada sebuah kisah palsu yang dinisbahkan secara dusta kepada Nabi Idris. Saking masyhurnya
kisah ini, banyak penulis dan majalah yang menukilnya, seperti kami pernah temukan dalam Majalah
“Anak Shaleh”. Bunyi hadits itu,
َ ‫ار فَفَ ِز‬
‫ع‬ َ َّ‫س فَأ َ َراهُ الن‬ ُ ‫صعَ َد ِإد ِْر ْي‬َ َ‫ ف‬,‫ار‬ َ َّ‫سأَلَهُ أَن يُ ِريَهُ ا ْل َجنَّةَ َو الن‬
َ َ‫ ف‬.ِ‫ص ِد ْيقًا ِل َملَ ِك ا ْل َم ْوت‬ َ َ‫سلَّ َم كَان‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬َ ‫س‬ َ ‫ِإنَّ ِإد ِْر ْي‬
ُّ.‫ َولَ ْم أ َ َر كَا ْليَ ْو ِم قَط‬,‫لى‬ َ َ
َ َ‫ ب‬:َ‫س ق ْد َرأ ْيت َ َها؟ قال‬ َ َ َ ْ َ َ َ
َ ‫ أل ْي‬:ِ‫ فقا َل َملكُ ال َم ْوت‬,‫اح ِه‬ َ
ِ ‫ت بِ َجن‬ ْ َ
ِ ‫عل ْي ِه َملكُ ال َم ْو‬ َ َ ‫ف‬ ْ َ َ
َّ َ ‫ فالت‬,‫عل ْي ِه‬َ ‫ِم ْن َها َوكَا َد يُغشَى‬
ْ
‫ قَا َل‬. َ‫ث ُك ْنت‬ ُ ‫ َح ْي‬:ِ‫ قَا َل ِإلَى أ َ ْينَ ؟ قَا َل َملَكُ ا ْل َم ْوت‬.‫طلِقْ قَ ْد َرأ َ ْيت َ َها‬ َ ‫ ا ْن‬:ِ‫ فَقَا َل َملَكُ ا ْل َم ْوت‬,‫ فَ َد َخلَ َها‬,َ‫ق ِب ِه َحتَّى أ َ َرا ُه ا ْل َجنَّة‬ َ َ‫طل‬َ ‫ث ُ َّم ا ْن‬
َ‫س ِْل َ َحد َد َخلَ َها أ ْن‬ َ َ َ
َ ‫س أ ْنتَ ق ْد أ ْد َخ ْلتَهُ إِيَّا َها؟ َوإِنَّهُ لَ ْي‬ َ َ َ
َ ‫ ألَ ْي‬:ِ‫ ف ِق ْي َل ِل َملَ ِك ا ْل َم ْوت‬.‫ج ِم ْن َها بَ ْع َد أ ْن َد َخ ْلت ُ َها‬ َ
ُ ‫ ََل َوهللاِ ! ََل أ ْخ ُر‬:‫س‬ ُ ‫إِد ِْر ْي‬
ْ
‫ج ِمن َها‬ َ ‫يَ ْخ ُر‬
“Sesungguhnya Nabi Idris dulu berteman dengan Malaikat Maut. Lalu ia pun meminta kepadanya agar
diperlihatkan surga dan neraka. Maka idris pun naik (ke langit), lalu Malaikat Maut memperlihatkan
neraka kepadanya. Lalu Idris kaget sehingga hampir pinsang. Maka Malaikat Maut mengelilingkan
sayapnya pada Idris seraya berkata, “Bukankah engkau telah melihatnya?” Idris berkata, “Ya, sama sekali
aku belum pernah melihatnya seperti hari ini”. Kemudian, Malaikat Maut membawanya sampai ia
memperlihatkan surga kepada Nabi Idris seraya masuk ke dalamnya. Malaikat Maut berkata, “Pergilah,
sesungguhnya engkau telah melihatnya”. “Kemana?”, tanya Idris. “Ke tempatmu semula”, jawab
Malaikat Maut. “Tidak ! Demi Allah, aku tak akan keluar setelah aku memasukinya”, tukas Idris. Lalu
dikatakanlah kepada Malaikat Maut, “Bukankah engkau yang telah memasukkannya? Sesungguhnya
seorang yang telah memasukinya tidak boleh keluar darinya“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-
Ausath (2/177/1/7406)].
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu
Ibrahim bin Abdullah bin Khalid Al-Mishshishiy. Sebab itu, hadits ini dicantumkan oleh Syaikh Al-
Albaniy dalam kumpulan hadits-hadits palsu di dalam kitabnyaAdh-Dho’ifah (339).
35.Empat Berkah dari Langit
Di antara hadits palsu yang beredar di masyarakat adalah berikut ini. Konon kabarnya Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallaam bersabda,

َ َّ‫ض فَأ َ ْن َز َل ا ْل َح ِد ْي َد َوالن‬


‫ار َوا ْل َما َء َوا ْل ِم ْل َح‬ ِ ‫اء ِإلَى اْْل َ ْر‬ َ ‫ِإنَّ هللاَ أ َ ْن َز َل أ َ ْربَ َع بَ َركَات ِمنَ ال‬
ِ ‫س َم‬
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan empat berkah dari langit ke bumi; maka Allah menurunkan besi,
api, air, dan garam“.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/221)].
Hadits ini palsu , tak benar datangnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Dalam sanadnya terdapat
Saif bin Muhammad, seorang pendusta !! Karenanya, Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy -rahimahullaah-
menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (3053).
36.Fadhilah Mendatangi Shalat Jamaah
Fadhilah sholat berjamaah banyak disebutkan dalam hadits-hadits shohih. Adapun hadits berikut adalah
hadits lemah, tak boleh diamalkan, dan diyakini sebagai sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam,
‫ظلَ ِم أ ُ ْولَئِكَ ا ْل َخ َّواض ُْونَ فِ ْي َرحْ َم ِة هللاِ ع ََّز َو َج َّل‬
ُّ ‫اج ِد فِي ال‬
ِ ‫س‬َ ‫ا َ ْل َمشَّاؤ ُْونَ إِلَى ا ْل َم‬
“Orang yang sering berjalan menuju masjid dalam kondisi gelap, mereka itu adalah orang yang berada
dalam rahmat Allah –Azza wa Jalla-”.
[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (779), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (1/281), dan Ibnu Asakir dalam
Tarikh Dimasyqo (17/456) & (52/18)].
Hadits ini adalah dhoif (lemah), karena ada dua rawi yang bermasalah dalam sanad-nya: Muhammad bin
Rofi’, dan Isma’il bin Iyasy. Walau Isma’il tsiqah, namun jika ia meriwayatkan hadits dari selain orang-
orang Syam, maka haditsnya lemah!! Hadits ini ia riwayatkan dari Muhammad bin Rofi’, seorang
penduduk Madinah. Ke-dho’if-an hadits ini telah ditegaskan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam
Adh-Dho’ifah (3059)
37.Padamkan Neraka dengan Shalat
Jika kita mau mengoleksi hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan sholat, maka terlalu banyak. Namun,
di sini ada hadits lemah dalam hal ini, yaitu hadits yang berbunyi,
َّ ‫س ُك ْم فَأ َ ْط ِفئ ُْو َها ِبال‬
‫صَلَ ِة‬ ِ ُ‫علَى أ َ ْنف‬
َ ‫ يَا َب ِن ْي آ َد َم قُ ْو ُم ْوا ِإلَى ِن ْي َرا ِن ُك ْم الَّ ِت ْي أ َ ْوقَ ْدت ُ ُم ْو َها‬: ‫صَلَة‬ ْ ‫ّلِل ت َ َعالَى َملَكًا يُنَاد‬
َ ‫ِي ِع ْن َد ُك ِ ّل‬ ِ ّ ِ َّ‫ِإن‬
“Sesungguhnya Allah -Ta’ala- memiliki seorang malaikat yang memanggil setiap kali sholat, “Wahai
anak Adam, bangkitlah menuju api (neraka) kalian yang telah kalian nyalakan bagi diri kalian, maka
padamkanlah api itu dengan shalat“.
[HR. Ath-Thabraniy dalam Al-Ausath (9452) dan Ash-Shoghir (1135), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah
(3/42-43), dan lainnya].
Hadits ini lemah karena ada seorang rawi bernama Yahya bin Zuhair Al-Qurosyiy. Dia adalah seorang
majhul (tak dikenal). Olehnya, Syaikh Al-Albaniy -rahimahullaah- melemahkan hadits ini dalam Adh-
Dho’ifah (3057)
38.Orang Baik Dibutuhkan Orang
Di antara hadits palsu yang biasa diucapkan oleh sebagian dai-dai adalah hadits berikut,
‫اس إِلَ ْي ِه‬ َ ‫إِذَا أ َ َرا َد هللاُ بِعَ ْبد َخ ْي ًرا ؛‬
ِ َّ‫صيَّ َر َح َوائِ َج الن‬
“Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Allah akan menjadikan kebutuhan-
kebutuhan manusia kepadanya“.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/95)].
Hadits ini palsu disebabkan oleh adanya rawi dalam sanad-nya yang bernama Yahya bin Syabib; dia
seorang pemalsu hadits. Karenanya Syaikh Al-Albaniy meletakkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2224)
39.Manusia yang Terburuk Kedudukannya
Banyak sekali hadits-hadits lemah yang tersebar di kalangan kaum muslimin, namun mereka tak sadar
bahwa itu bukanlah sabda Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam, seperti hadits,
َ ‫آخ َرتَهُ ِب ُد ْنيَا‬
‫غ ْي ِر ِه‬ ِ ‫ب‬َ ‫اس َم ْن ِزلَةً َم ْن أ َ ْذ َه‬ ْ َ ‫ِإنَّ ِم ْن أ‬
ِ َّ‫س َوأِ الن‬
“Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya, orang yang menghilangkan (menghancurkan)
akhiratnya dengan dunia orang lain“.
[HR. Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2398), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (6938)].
Hadits ini adalah hadits dhoif (lemah), karena rawi yang bernama Syahr bin Hausyab, seorang jelek
hapalannya dan banyak me-mursal-kan hadits, dan Al-Hakam bin Dzakwan, seorang yang maqbul.
Intinya, hadits ini lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah
(2229)
40.Bertakwa di Masa Tua
Bertakwa kepada Allah bukan hanya di masa tua, bahkan juga harus di masa muda. Namun, tentunya
ketakwaan lebih ditingkatkan lagi di masa tua berdasarkan hadits-hadits shohih bukan berdasarkan hadits
palsu ini,

َ ‫علَ ْي ِه أ َ ْن يَ َخ‬
ُ‫اف هللاَ تَعَالَى َويَحْ ذَ َره‬ ُ ‫سنَةً يَ ِج‬
َ ‫ب‬ َ َ‫علَى ا ْلعَ ْب ِد أ َ ْربَعُ ْون‬
َ ‫إِذَا أَتَى‬
“Jika telah datang (lewat) 40 tahun pada diri seorang hamba, maka wajib baginya untuk takut dan
khawatir kepada Allah -Ta’ala- “.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Al-Firdaus (1/89)].
Hadits ini palsu karena ada rawi dalam sanad-nya yang bernama Ahmad bin Nashr bin Abdillah yang
dikenal dengan Adz-Dari’. Dia adalah seorang pemalsu hadits, pendusta, dan dajjal. Karenanya, Al-
Albaniy Al-Atsariy menyatakannya palsu dalam Adh-Dho’ifah (2200)
41.Memulai dengan Hamdalah
Ada sebuah hadits yang masyhur dalam kitab-kitab dan lisan manusia yang menjelaskan harusnya
seseorang memulai segala urusan yang penting dengan membaca Alhamdulillah. Namun, hadits ini lemah
sebagaimana berikut ini perinciannya,
َ ‫ِي بَال َلَ يُ ْب َدأ ُ فِ ْي ِه ِبا ْل َح ْم ِد فَ ُه َو أ َ ْق‬
‫ط ُع‬ ْ ‫ُك ُّل أ َ ْمر ذ‬
“Segala urusan penting yang tidak dimulai di dalamnya dengan alhamdulillah, maka urusan itu akan
terputus“.
[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1894)].
Hadits ini lemah karena ke-mursal-an yang terjadi pada sanad-nya sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu
Dawud dalam Sunan-nya (2/677), dan Syaikh Al-Albaniy. Karenanya, Al-Albaniy melemahkan hadits ini
dalam Al-Irwa’ (2).
42.Tanda Tawadhu’
Tawadhu’ adalah perkara yang dianjurkan karena dia adalah akhlak yang mulia. Saking mulianya sampai
dalam hadits yang palsu pun disebutkan kemuliannya, seperti hadits berikut,
ً‫س ْبعُ ْونَ د ََر َجة‬
َ ُ‫سؤْ ِر أ َ ِخ ْي ِه ا ْبتِغَا َء َوجْ ِه هللاِ تَعَالَى ُرفِعَتْ لَه‬ َ ‫سؤْ ِر أ َ ِخ ْي ِه َو َم ْن ش َِر‬
ُ ‫ب ِم ْن‬ ُ ‫الر ُج ُل ِم ْن‬ َ ‫ُع أ َ ْن يَش َْر‬
َّ ‫ب‬ ِ ‫ِمنَ الت َّ َواض‬
ً‫س ْبعُ ْونَ َد َر َجة‬ ُ
َ ‫ب له‬َ ً َ
َ ِ‫س ْبعُ ْونَ خ ِط ْيئ َة َو ُكت‬َ ُ‫ع ْنه‬
َ ْ‫َو ُم ِحيَت‬
“Di antara bentuk ketawadhu’an, seorang mau meminum sisa minuman saudaranya. Barang siapa yang
meminum sisa minum saudaranya, karena mencari wajah Allah -Ta’ala-, maka akan diangkat derajatnya
sebanyak 70 derajat, dan akan dihapuskan 70 kesalahan darinya, serta dituliskan baginya 70 derajat.”
[HR.Ad-Dauqutniy sebagaimana dalam Al-Maudhu’at (3/40) karya Ibnul Juaziy].
Hadits ini adalah hadits yang palsu karena ada seorang rawi yang bernama Nuh bin Abi Maryam, dia
adalah seorang yang tertuduh dusta. Selain itu hadits ini semakin lemah karena Ibnu Juraij (seorang rawi
dalam hadits ini) adalah seorang yang mudallis, sedangkan ia meriwayatkannya secara mu’an’anah
(menggunakan lafadz dari). Demikian penjelasan Syaikh Al-Albaniy secara ringkas dalam kitabnya Adh-
Dho’ifah (79).
43.Orang-orang yang Beruntung
Orang-orang yang beruntung banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan sunah yang shahihah. Bahkan
dalam hadits yang dhoif pun, seperti hadits berikut,
ْ ِ‫ارا أ َ ْفلَ َح َم ْن َو َج َد فِ ْي ص َِح ْيفَتِ ِه ا‬
ً َ‫س ِت ْغف‬
‫ارا َكثِ ْي ًرا‬ ُ َ‫أ َ ْفلَ َح َم ْن كَان‬
ً َ‫سك ُْوتُهُ تَفَك ًُّرا َونَ َظ ُرهُ اِ ْعتِب‬
“Beruntunglah orang yang diamnya adalah tafakkur, pandangannya adalah ibroh, beruntunglah orang
yang mendapatkan istighfar yang banyak dalam catatan amalannya”.
[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/123)].
Hadits ini adalah dhoif karena dalam sanad-nya terdapat dua orang yang majhul (tidak dikenal), yaitu
Abul Khushaib Ziyad bin Abdurrahman, dan Husain bin Mansur Al-Asadiy Al-Kufiy dan juga seorang
yang lemah (Hibban ibnu Ali Al-Anaziy). Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini dho’if (lemah)
dalam Adh-Dho’ifah (2519).
44.Makanan Dunia dan Akhirat
Banyak sekali hadits dho’if yang tersebar di masyarakat. Utamanya hadits-hadits yang berkaitan dengan
janji-janji dan keutamaan, seperti hadits ini,
َ ‫أ َ ْف‬
َ ‫ض ُل‬
‫طعَ ِام ال ُّد ْنيَا َو ْاِل ِخ َر ِة اللَّحْ ُم‬
“Seutama-utamanya makanan dunia dan akhirat adalah daging”.
[HR. Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afa’ (1264)].
Hadits ini dihukumi dhoif jiddan oleh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy
dalam Adh-Dho’ifah (2518), karena ada seorang rawi yang bernama Amr bin Bakr As-Saksakiy. Hadits-
haditsnya menyerupai hadits palsu. Sebab itu Al-Hafizh menggelarinya dengan matruk (ditinggalkan
karena biasa berdusta atas nama manusia). Selain itu, anaknya (Ibrahim bin Amr As-Saksakiy) yang
meriwayatkan darinya senasib dengan ayahnya.
45.Berdzikir Setiap Saat
Berdzikir setiap saat merupakan perkara yang dianjurkan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
hadits-hadits shohih, bahkan dalam hadits-hadits dhoif, seperti hadits ini,
َ ‫الى َو ََل أ َ ْن َجى ِلعَ ْبد ِم ْن ُك ِ ّل‬
ِ‫س ِيّئ َة فِي ال ُّد ْنيَا َو ْاِل ِخ َر ِة ِم ْن ِذك ِْر هللا‬ ُّ ‫ع َمل أ َ َح‬
َ َ‫ب إِلَى هللاِ تَع‬ َ ِ‫أ َ ْكثِ ُر ْوا ِذك َْر هللا‬
َ ‫علَى ُك ِ ّل َحال فَ ِإنَّهُ لَ ْي‬
َ ‫س‬
‫تَعَالَى‬
“Perbanyaklah dzikir kepada Allah dalam segala kondisi, karena tak ada suatu amalan yang lebih dicintai
oleh Allah -Ta’ala- , dan lebih menyelamatkan seorang hamba dari segala kejelekan di dunia, dan akhirat
dibandingkan dzikir kepada Allah“.
[HR. Adh-Dhiya’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtaroh (7/112/1)].
Hadits ini palsu, karena Abu Abdir Rahman Asy-Syamiy. Dia adalah seorang pendusta seperti yang
dinyatakan oleh Al-Azdiy -rahimahullah-. Ada penguat bagi hadits ini dari riwayat Al-Baihaqiy,
sayangnya hadits ini juga palsu, karena ada rawi-nya bernama Marwan bin Salim Al-Ghifariy Al-Jazariy;
dia adalah pendusta. Lihat rincian palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2617).
46.Hati-hati dengan Dunia
Seorang manusia di dunia ibaratnya seorang musafir; ia singgah mengambil bekal menuju akhirat berupa
amal sholih. Namun, dunia terkadang memperdaya kebanyakan manusia,
‫إحذروا الدنيا فإنها أسحر من هاروت وماروت‬
“Waspadalah terhadap dunia, karena ia lebih memperdaya dibandingkan Harut dan Marut“.
Namun sayang, hadits ini adalah palsu, tak ada asalnya. Hadits ini disebutkan oleh Al-Ghozaliy dalam
Ihya’ Ulumuddin, padahal ia palsu. Al-Iroqiy dalam Takhrij Al-Ihya’ (3/177) menukil dari Adz-Dzahabiy
bahwa hadits ini mungkar, tak ada asalnya. Sebab itu, Al-Albaniy menempatkannya dalam Adh-Dho’ifah
(34) sebagai tempat bagi hadits palsu dan dhoif.
47.Siapa yang Adzan, Dia yang Iqamat
“Barangsiapa yang adzan, maka dialah yang iqamat”.
[HR. Abud Dawud (514), At-Tirmidziy (199), dan lainnya]
Hadits ini lemah karena berasal dari Abdurrahman bin Ziyad Al-Afriqiy. Dia lemah hapalannya. Sebab
itu, Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dha’ifah (no. 35) dan Al-Irwa’ (237).
Syaikh Al-Albaniy berkata dalam Adh-Dha’ifah (1/110), “Di antara dampak negatif hadits ini, dia
merupakan sebab timbul perselisihan di antara orang-orang yang mau shalat, sebagaimana hal itu sering
terjadi. Yaitu ketika tukang adzan terlambat masuk mesjid karena ada udzur, sebagian orang yang hadir
ingin meng-iqamati shalat, maka tak ada seorang pun di antara mereka kecuali ia menghalanginya seraya
berhujjah dengan hadits ini. Orang miskin ini tidaklah tahu kalau haditsnya lemah, tidak boleh
mengasalkannya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam , terlebih lagi melarang orang bersegera
menuju ketaatan kepada Allah, yaitu meng-iqamati shalat”.
48.Barang Siapa yang Tidak Mengenal Imamnya
Ketaatan kepada penguasa merupakan perkara asasi di kalangan Ahlus Sunnah. Sebaliknya, mendurhakai
mereka merupakan perkara yang diharamkan, apalagi jika sampai menghina, merendahkan mereka, dan
mencabut tangan darinya, karena hal ini akan menimbulkan kerusakan di kalangan hamba-hamba Allah.
Banyak sekali dalil-dalil baik dalam Al-Kitab, maupun sunnah yang memerintahkan kita untuk taat
kepada pemerintah muslim, dan mengharamkan durhaka kepada mereka.
Namun, ada satu hal yang kami perlu ingatkan di sini bahwa disana ada sebuah hadits yang dho’if dalam
masalah ini,
ً‫ف ِإ َما َم َز َما ِنـ ِه َماتَ ِميـْتَةً َجا ِه ِليَّة‬
ْ ‫َم ْن َماتَ َولَ ْم َي ْع ِر‬
“Barangsiapa yang tidak mengenal imam (penguasa) di zamannya, maka ia mati seperti matinya orang-
orang jahiliyah”.
Ahmad bin Abdul Halim Al-Harraniy berkata, “Demi Allah, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
tidaklah pernah mengatakan demikian . . .”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/525)].
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullaah- berkata setelah menyatakan bahwa hadits ini tidak ada asal-
muasalnya, “Hadits ini pernah aku lihat dalam sebagian kitab-kitab orang-orang Syi’ah dan sebagian kitab
orang-orang Qodiyaniyyah (Ahmadiyyah). Mereka menjadikannya sebagai dalil tentang wajibnya
beriman kepada Nabi Palsu, Mirza Ghulam Ahmad. Andaikan hadits ini shahih, niscaya tidak ada isyarat
sedikit pun tentang sesuatu yang mereka sangka, paling tidak intinya kaum muslimin wajib mengangkat
seorang pemerintah yang akan dibai’at”. [Lihat As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no. 350).
49.Agama adalah Akal
Ada sebuah hadits yang biasa digunakan orang dan masyhur menunjukkan keutamaan akal dan pikiran.
Namun, kebanyakan orang tidak mengenal kepalsuan hadits tersebut. Adapun hadits yang dimaksud,
lafaznya sebagai berikut,
َ َ‫ َو َم ْن َلَ ِد ْينَ لَهُ َل‬,‫اَل ِ ّد ْي ُن ه َُو ا ْلعَ ْق ُل‬
ُ‫ع ْق َل لَه‬
“Agama adalah akal pikiran, Barangsiapa yang tidak ada agamanya, maka tidak ada akal pikirannya”.
[HR. An-Nasa`iy dalam Al-Kuna dari jalurnya Ad-Daulabiy dalam Al-Kuna wa Al-Asma’ (2/104) dari
Abu Malik Bisyr bin Ghalib dan Az-Zuhri dari Majma’ bin Jariyah dari pamannya].
Hadits ini adalah hadits lemah yang batil karena ada rawinya yang majhul, yaitu Bisyr bin Gholib.
Bahkan Ibnu Qayyim -rahimahullah- berkata dalam Al-Manar Al-Munif (hal. 25), “Hadits yang berbicara
tentang akal seluruhnya palsu”.
Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy berkata, “Di antara hal yang perlu diingatkan bahwa semua hadits
yang datang menyebutkan keutamaan akal adalah tidak shahih sedikit pun. Hadits-hadits tersebut berkisar
antara lemah dan palsu. Sungguh aku telah memeriksa, diantaranya hadits yang dibawakan oleh Abu Bakr
Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Al-Aql wa Fadhluh, maka aku menemukannya sebagaimana yang telah
aku utarakan, tidak ada yang shahih sama sekali”. [Lihat Adh-Dhi’ifah (1/54)]
50.Mengusap Tengkuk Ketika Wudhu’
Sebagian kaum muslimin, ketika dia berwudhu’, maka ia mengusap tengkuknya. Benarkah hal ini ada
haditsnya yang bisa dijadikan hujjah?
Jawabannya: hadits ada namun ia merupakan hadits palsu.
‫بََ ِة أ َ َمان ِمنَ ا ْل ِغ ِ ّل‬
َ َ‫الرق‬
َ ‫س ُح‬
ْ ‫َم‬
“Mengusap tengkuk merupakan pelindung dari penyakit dengki”.
An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmu’ (1/45), “Ini adalah hadits palsu, bukan sabda Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-”.
Syaikh Al-Albaniy berkata, “Hadits ini palsu”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/167)].
Dari sini, kita mengetahui tentang tidak disyari’atkannya mengusap tengkuk ketika berwudhu’, karena
tidak ada hadits yang shahih menetapkannya. Adapun hadits ini – sebagaimana yang anda lihat-
merupakan hadits palsu. Jadi, tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu
hukum.
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembuatan hadits dha’if supaya kita mengerti bagaimana pengertian
hadits dha’if. Disini diterangkan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah,
disebabkan karna gugurnya rawi, cacat pada rawi dan matannya, dalam pembahasan
ini kita dapat mengetahui bagaimana hadits yang dha’if, maudhu atau hadits yang
shahih.
Hadits dha’if ini banyak macam ragamnya oleh karena itu kita harus lebih
memahami tentang hadits dha’ifnya. Kemudian tentang kehujahan hadits dha’if ini
dapat diamalkan secara mutlak yang berkaitan dengan masalah halal dan haram,
kewajiban dengan syarat tidak ada hadits lain, kemudian dipandang baik
mengamalkan hal-hal yang dianjurkan dan neninggalkan hal-hal yang dilarang.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Dha’if
Menurut bahasa dha’if berarti ‘Aziz: yang lemah sebagai lawan dari Qawiyyu
yang artinya kuat.
Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
‫ما لم يجمع صفات الصحيح والصفات الحسن‬
Artinya:
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat
yang seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup :
‫ما لم يجمع صفات الحسن‬
Artinya:
“yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah
barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.[1]
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
‫الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح وال صفات‬
‫الحديث‬
Artinya:
“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih
dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.[2]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits
yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits
itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat
hadits hasan.
B. Pembagian Hadits Dha’if
1. Hadits Dha’if karna Gugurnya Rawi
a. Hadits Mursal
Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata “irsal” yang berarti
“Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara terminology ialah
hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi Saw. Artinya, seorang
tabi’in secara langsung mengatakan, “bahwasanya Rasulullah Saw
bersabda…..”
Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik
dalam kitab Al-Muwqaththa’, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar,
bahwasnya Rasulullah Saw bersabda:
‫ان سدة الحر من فيح جهنم‬
“sesungguhnya cuaca yang sangat panas itu bagian dari uap neraka
Jahannam”
b. Hadits Munqati
Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus. Menurut sebagian
para ulama hadits, hadits munqati’ ialah hadits yang dimana didalam
sanadnya terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi,
misalnya perkataan seorang rawi, “dari seseorang laki-laki”. Sedang
menurut para ulama lain bahwa hadits muntaqi’ ialah hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang rawi yang gugur (tidak disebutkan) dari rawi-
rawi sebelum sahabat, baik dalam satu atau beberapa tempat, namun rawi
yang gugur itu tetap satu dengan syarat bukan pada permulaan sanad[3]
c. Hadits Mudal
Hadits mudal menurut bahasa, berarti hadits yang sulit
dipahami. Para ulama member batasan hadits mudal adalah hadits yang
gugur dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya,
contohnya: “telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
Saw bersabda:
)‫للملةك طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك‬
Artinya:
“Budak itu harus diberi makanan dan pakayan secara baik”. (HR. Malik)
d. Hadits Muallaq
Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari
segi istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih
diawal sanad. Contoh: Bukhari berkata, kala Malik, dari Zuhri,dari Abu
Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
‫التقاضلوابين األنبياء‬
Artinya:
“Jangan lah kamu melebihkan sbagian Nabi dan sebagian yang
lain”. (HR. Bukhari)[4]
Menurut kesimpulan diatas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa
hadits dha’if karena gugurnya rawi artinya tidak adanya satu, dua, atau
beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada
permulaan, pertengahan, maupun diakhir sanad hadits ini terbagi
menjadiempat, yaitu: hadits mursal (melepaskan), hadits muqati’(terputus),
hadits mudal (yang sulit dipahami), dan hadits muallaq (tergantung).
2. Hadits Dha’if karna Cacat pada Rawi atau Matan
a. Hadits Maudu’
Hadits maudu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah Saw tapi
disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara
keliru tanpa sengaja, contoh:
‫اليدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء‬
Artinya:
“Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.
b. Hadits Matruk atau Hadits Matruh
Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatka oleh seorang rawi, yang
menurut penilayan seluruh ahli hadits terdapat catatang pribadinya sebagai
seorang rawi yang dha’if, contoh: hadits riwayat Amr bin Syamr, dari Jabir
Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr termasuk orang yang
haditsnya ditinggalkan.
c. Hadis Munkar
Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if
yang berbeda dengan riwayat rawi yang tsigah (terpercaya). Contoh:
.‫من اقام الصالة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة‬
Artinya:
“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji,
berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
d. Hadits Muallal
Muallal menurut istilah para ahli hadits ialah hadits yang didalamnya
terdapat cacat yang tersembunyi, yang kondosif berakibat cacatnya hadits
itu, namun dari sisi lahirnya cacat tersebut tidak tampak. Contoh:
‫ البيعان بالخيار مالم يتفرفا‬: ‫قال رسولوهللا صلي هللا عليه وسلم‬
Artinya:
“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama
mereka masih belum berpisah”
e. Hadits Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang senbenarnya
bukan bagian hadits itu. Contoh:
‫ والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم‬،‫ انا زعيم‬:‫قال رسولوهللا صلي هللا عليه وسلم‬
)‫وجاهدفي سبيل هللا يبيت في ريض الجنة (رواه النسائ‬
Artinya:
“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah
penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat danberjuang di
jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surge.” (HR. Nasai)
f. Hadits Maqlub
Hadits maqlub ialah hadits yang terdapat didalamnya terdapat
perubahan, baik dalam sanad maupun matannya, baik yang disebabkan
pergantian lafaz lain atau disebabkan susunan kata yang terbalik, contoh:
‫إذا سجد احدكم فال يبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل وكبته‬
Artinya:
“ Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti
menderumnya seekor unta, melinkan hendaknya meletakkan kedua
tanggannya sebelum meletakan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji, dan
mengatakaknnya hadits ini gharib)
g. Hadits Syaz
Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang
terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi
yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara
keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang
diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata,
Rasulullah bersabda:
‫ايام التشريق ايام اكل وشرب‬
Artinya:
“hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”[5]
Jadi, kesimpulan bahwa hadits yang cacat rawi dan matan atau
kedua-duanya digolongkan hadits dha’if yang terbagi menjadi tujuh, yaitu:
hadits maudu’ (palsu), hadits matruk (yang ditinggalkan) atau hadits matruh
(yang dibuang), hadits munkar(yang diingkari), hadits muallal (terkena
illat), hadits mudras (yang dimasuki sisipan), hadits maqlub (yang diputar
balik), dan hadits syaz (yang ganjil).
C. Status Kehujahan
Pendapat pertama; hadits dha’if tersebut dapat diamalkan secara mutlak,
yakni baik yang berkaitan dengan masalah halal, haram, maupun kewajiban,
dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini
disampai kan oleh beberapa imam, seperti: Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud
dan sebagainya.
Pendapat yang kedua; dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam
fadailul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal
yang dilarang.
Pendapat ketiga; hadits dha’if samasekali tidak dapat diamalkan, baik yang
berkaitan dengan fadailul amal maupun halal haram. Pendapat ini dinisbatkan
kepada Qadi Abu Bakar Ibnu Arabi.[6]
D. Kitab-Kitab Yang Memuat Hadits Dha’if
1. Al-Maudu’at, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-Jauzi (579
H)
2. Al-Laali Al- Masnuah fi Al-Hadits Al-Mauduah, Karya Al-Hafiz Jalaludin Al-Suyuti
(911 H)
3. Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al-Mauduah, karya
Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bun Iraq Al-Kannani (963 H)
4. Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi, karya Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
( 751 H )
5. Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudu’ karya Ali Al-Qari ( 1014 H )[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut bahasa dha’if berarti aziz yang artinya yang lemah, dan menurut istilah
adalah yang yidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan dan yang tidak
terkumpul sifat-sifat hadits hasan.
Pembagian hadits dha’if ada dua bagian yaitu: hadits dha’if karena gugurnya rawi dan
cacat pada rawi dan matan.
Status kehujjahan sebuah hadits dha’if dipandang hujjah apabila dapat diamalkan
secara mutlak, dipandang baik mengamalkanya dan hadits dha’if yang sama sekali
tidak dapat di amalkan.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar Br. Moh, Ilmu Mustalah Hadits, Surabaya: Al-Iklas, 1981.
As- Shalih. Subtu, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus.1997.
Alwi Al-Maliki. Muhammad, Ilmu Usul Hadits, Yugyakarta; Pustaka pelajar. 2006.
Ahmad. Muhammad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung; CV. Pustaka Setia. 2006.
Definisi Dhaif menurut bahasa adalah Dha’if pada arti lughat, ialah ‘ajiz – yang
lemah, dhiddul qawiy – lawan yang kuat. Jama’nya dhu’afaa, dhi’af, dha’afah dan
dha’faa. Menurut Nuruddin hadits dha’if (lemah) adalah hadits yang kehilangan
salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima.)[1]

Menurut Abdul Majid hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits
hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.[2] Dhaif ada dua
macam yaitu lahiriyah dam maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah
dhaif maknawiyah.

Hadits dhaif menurut istilah adalah hadits yang di dalamnya tidak didapati syarat
hadits dan tidak pula didapati syarah hadits hasan. Karena syarat diterimanya
suatu hadits sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya hadits terletak pada
hilngnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih, maka atas dasar ini hadits
dhaif terbagi menjadi beberapa macam, seperti Syadz, Mudhtlharib, Mu’allal,
Munqathi’Mu’dhal, dll.

Tegasnya, hadits dha’if ialah hadits yang didapati padanya sesuatu yang
menyebabkan ditolaknya. Yang menyebabkan ditolaknya itulah yang menyebabkan
lemah. Alasan memberikan predikat dha’if kepada hadits yang tidak memenuhi
salah satu syarat diterimanya sebuah hadits adalah apabila pada suatu hadits telah
terpenuhi syarat-syarat hadits shahih maupun hasan.

Hadits dha’if berbeda dengan hadits maudhu’ (palsu). Diantara hadits dha’if
yang terdapat kecacatan perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan
yang tidak terlalu kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits maudhu’ perawinya
pendusta. Maka para ulama membolehkan meriwayatkan hadits dha’if sekalipun
tanpa menjelaskan ke-dha’if-annya dengan syarat:

1) Tidak berkaitan dengan aqidah seperti sifat-sifat Allah.

2) Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi
berkaitan masalah mau’izhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman
dan janji), dan kisah-kisah.

Dengan demikian, jelaslah bagaimana kehati-hatian muhadditsin dalam menerima


hadits sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu
sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai
hadits dha’if. Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian hadits itu bukan suatu
bukti yang pasti atas ke-dha’if-an hadits yang disebabkan rendahnya daya hapal
atau kesalahan yang hanya pernah dilakukannya dalam meriwayatkan suatu hadits,
padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya.

Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah dalam meriwayatkan hadits yang
dimaksud, bahkan mungkin sekali ia benar. Akan tetapi karena kekhawatiran yang
cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits
yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolak.[3]

Demikian pula ke-dha’if-an suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. Hadits
yang demikian dihukumi dha’if karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak
diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang tsiqah dan boleh jadi ia adalah
rawi yang dha’if. Seandainya ia adalah rawi yang dha’if, maka boleh jadi ia
melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu para muhadditsin
menjadikan kemungkinan yang timbul sebagai suatu pertimbangan dan
menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini
merupakan puncak kehati-hatian yang sistematis, kritis dan ilmiah.

Bagian-Bagian Hadits Dha’if

Mengingat Sebab Ke-dha’if-annya

Hadits dha’if apabila ditinjau dari sebab-sebab ke-dha’if-anya, maka dapat dibagi
kepada dua bagian. Pertama: yang menyebabkan ke-dha’if-an, adalah karena
terdapat keguguran perawi dalam sanadnya. Kedua: yang menyebabkan ke-dha’if-
annya, adalah karena terdapat sesuatu yang menyebabkan cacat perawinya. Gugur
perawi itu adakalanya dipermulaan sanad dari jurusan perawi hadits, adakalanya di
akhirnya, sesudah tabi’in, adakalanya selain dari itu.
Hadits yang tertolak karena gugurnya sanad.

Keguguran dalam sanad ada dua macam yaitu pertama, gugur secara zhahir dan
dapat diketahui oleh ulama hadits karena faktor perawi yang tidak pernah bertemu
dengan guru (syaikhnya) atau tidak hidup di zamannya, yang biasa disebut dengan
istilah: mu’allaq, mursal, mu’dlal dan munqathi’. Kedua, gugur yang tidak jelas dan
tersembunyi. Ini tidak diketahui kecuali para ulama yang ahli dan mendalami jalan
hadits dan illat-illat sanadnya, yaitu ada dua: mudallas dan mursal. Dan berikut ini
penjelasannya.[4]

Hadits Mu’allaq (yang digantungkan)

Yaitu hadits yang gugur perawinya, baik seorang, dua orang, atau semuanya pada
awal sanad secara berurutan. Misalnya: Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari
Abdullah bin Fadl dari Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw bersabda:

‫ااضلُ ْوا ابيْنا الا‬


ِ ‫األ ا ْن ِب اياءِ تُف‬.

Artinya: “Janganlah kalian melebih-lebihkan diantara para Nabi.”

Pada hadits ini Bukhari tidak pernah bertemu dengan Al- Majisyun. Diriwayatkan
juga oleh Bukhari pada mukaddimah, Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Rasulullah saw.
menutup kedua pahanya ketika Usman masuk.” Hadits ini adalah mu’allaq karena
Bukhari menghilangkan semua sanadnya kecuali seorang sahabat yaitu Abu Musa
al-Asy’ari.

Hadits mu’allaq adalah hadits yang mardud (ditolak) karena gugur dan hilang salah
satu syarat diterimanya suatu hadits yang bersambungnya sanad, dengan cara
menggugurkan seorang atau lebih dari sanadnya tanpa dapat kita ketahui
keadaannya.

Hadits Mursal (mutlak atau yang terlepas)

Yaitu hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang
tabi’in mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda begini atau berbuat seperti ini.
Misalnya, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam berkata: telah bercerita kepadaku
Muhammad bin Rafi’, (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami Hujain, (ia
mengatakan) telah bercerita kepada kami Laits dari Aqil dari Ibnu Syihab dari Said
bin al-Musyayyib, “bahwa Rasulullah saw. telah melarang muzabanah (jual beli
dengan cara borongan hingga tidak diketahui kadar timbangannya).”

Said bin al-Musyayyib adalah seorang tabi’in senior, meriwayatkan hadits ini dari
Nabi saw. tanpa menyebutkan perantara antara dia dan Nabi, maka sanad hadits
ini telah gugur pada akhirnya, yaitu setelah tabi’in. setidaknya telah gugur dari
sanad ini sahabat yang meriwayatkannya. Dan sangat mungkin telah gugur pula
bersamanya perawi lain yang selevel dengannya dari kalangan tabi’in.

Jumhur (mayoritas) ahli hadits dan ahli fiqih berpendapat bahwa hadits mursal
adalah dha’if dan menganggapnya sebagai bagian dari hadits yang mardud
(ditolak), karena tidak diketahui kondisi perawinya.

Baca Juga: Hadits-hadits Lemah dan Palsu yang Bertebaran di Bulan


Ramadhan

Hadits Mu’dlal (tempat memberatkan)

Yaitu hadits yang gugur pada sanadnya dua atau lebih secara berurutan.
Terputusnya rawi di dalam hadits mu’dhal dapat terjadi diawal sanad, di
pertengahan sanad, atau di akhir sanad (yakni tabi’in dan sahabat yang
digunakan).[5]

Misalnya, diriwayatkan dari al-Hakim dalam kitab “ma’rifat ‘ulum al-hadits” dengan
sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasannya dia menyampaikan, kepada
Abu Hurairah r.a, “Rasulullah saw bersabda: “Seorang hamba sahaya berhak
mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadar baik, dan tidak dibebani
pekerjaan melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya.”

Al-Hakim berkata: “hadits ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’.”

Hadits ini kita dapatkan bersambung sanadnya pada kitab selain al-Muwaththa’,
diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari
Abu Hurairah. Letak ke-mu’dhal-annya karena gugurnya dua perawi secara
berurutan dari sanadnya yaitu Muhammad bin Ajlan dan bapaknya.

Para ulama sepakat bahwa hadits mu’dhal adalah dha’if, lebih buruk setatusnya
dari pada mursal dan munqathi’ karena sanadnya banyak yang terbuang.

Hadits Munqathi’ (memutuskan)

Yaitu sanadnya yang tidak bersambung dari semua sisi. Ini berarti bahwa sanad
hadits yang tidak terputus, baik dari awal sanad, atau tengah, atau akhirnya, maka
menjadi hadits yang munqhathi’ meliputi mursal, muallaq dan mu’dhal. Ada ulama
yang mendefinisikan hadits munqathi’ adalah hadits yang ditengah sanadnya gugur
seorang perawi atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut. Jadi yang satu
saja di tengah sanadnya atau dua tetapi tidak berturut-turut.

Misalnya: “Diriwayatkan Abu Dawud dari Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab
bahwasannya Umar bin al-Khattab r.a. berkata sedang dia berada di atas mimbar,
“wahai manusia, sesungguhnya ra’yu (pendapat rasio) itu jika berasal dari
Rasulullah saw. maka ia akan benar, karena Allah swt. yang menunjukinya,
sedangkan ra’yu yang berasal dari kita adalah zhan (prasangka) dan berlebih-
lebihan..”

Hadits ini jatuh di tengah sanadnya satu perawi, karena Ibnu Syihab tidak bertemu
dengan Umar bin al-Khattab. Para ulama sepakat bahwasannya hadits munqathi’
itu dha’if, karena tidak diketahui keadaan perawi yang di hapus.

Hadits Mudallas (yang disembunyikan)

Yaitu penyembunyian aib dalam hadits dan menampakkan kebaikan pada


zhahirnya. Tadlis ada dua macam: tadlis al-isnad dan tadlis asy-syuyuh.

– Tadlis isnad adalah bila seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang dia
temui apa yang dia tidak dengarkan darinya, atau dari orang yang hidup semasa
dengan perawi namun dia tidak menjumpainya, dengan menyamarkan bahwa dia
mendengarnya darinya, seperti dengan mengatakan, “dari fulan…”atau yang
semisal dengan itu dan dia tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengarkan
langsung dari orang tersebut. Adapun bila perawi menyatakan telah mendengar
atau telah bercerita, padahal dia tidak mendengar dari gurunya dan tidak
membacakan kepada syaikhnya, maka dia bukanlah seorang mudallis, tetapi
seorang pendusta yang pasif.

Baca Juga: Hadis Lemah di Bulan Muharram

– Tadlis asy-syuyuh yaitu satu hadits yang dalam sanadnya, perawi menyebut
syaikh yang ia dengar daripadanya dengan sebutan yang tidak terkenal dan
masyhur tentangnya. Sebutan di sini maksudnya: nama, gelar, pekerjaan atau
kabilah dari negeri yang disifatkan untuk seorang syaikh, dengan tujuan supaya
keadaan syaikh itu sebenarnya tidak diketahui orang.

Macam-macam hadits dhaif berdasarkaan kecacatan rawinya

Hadits maudhu’
Hadits matruk
Hadits munkar dan ma’ruf
Hadits mu’allal
Hadits mudraj
Hadits maqlub
Hadits mudltharrib
Hadits muharraf
Hadits mushahhaf
Haditsmubham
Hadits majhul
Haditssyadz dan mahfudh (silahkan di klik untuk penjelasanya)
Haditsmukhtalith (silahkan di klik untuk penjelasanya)

Macam-macam hadits dhaif berdasarkan sifat matannya

Haditd mauquf
Hadits maqthu’

Bagaimanakah Hukum Berhujjah dengan Hadits Dhaif

Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhaif yang maudhu’ tanpa
menyebutkan kemaudhu’annya. Adapun kalau hadits dhaif itu bukan hadits
maudhu’ maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk
berhujjah.dalam hal ini ada 2 pendapat:

Pertama: Melarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadits dhaif baik
untuk menetapkan hukum maupun untuk member sugesti amalan utama.
Pendapatini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnu Al-‘Araby.

Kedua: Membolehkan, kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa


menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk member sugesti, menerangkan
keutamaan amal dan cerita-cerita bukan untuk menetapkan hukum-hukum
syari’at,dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalany termasuk ulama ahli hadits yang membolehkan berhujjah
dengan hadits dhaif, untuk fadla’ilul-‘amal, dengan memberikan 3 syarat:

1. Hadits dhaif itu tidak keterlaluan.

2. Dasar ‘amal yang ditunjukkan hadits dhaif itu, masih dibawah dasar yang
dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan).

3. Dalam mengamalkan itu tidak mengiktikadkan bahwa hadits tersebut benar-


benar bersumber kepada Nabi. Tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata-mata
untuk ikhtiyat(hati-hati)

4. Meriwayatkan hadits dhaif tanpa menyebutkan sanadnya. Para ulama melarang


menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau
menyertakan sanadnya mereka tidak mengingkarinya.

Imam An-Nawawy berpendapat:”apabila kita hendak menukilkan hadits dhaif tanpa


menyebutkan snadnya, hendaknya jangan memakai shighat jazm, seperti qala,
fa’ala, dan amara Rasulullahi kadza-wakadza. Akan tetapi hendaklah memakai
shighat tamrid, seperti: ruwiya ‘an, hukiya ‘an Rasulillah annahu qala, annahu
dzakara dan lain sebagainya.”

Apabila mengemukaan hadits dhaif hendaknya mengatakan “ini adalah hadits dhaif
sanadnya”,karena ada kemungkinan bahwa hadits yang dhaif sanadnya itu
mempunyai sanad lain yany lebih shahih. Kecuali jika dalam menetapkan kedhaifan
matan suatu hadits itu karena ikut pendapat para hafidz yang telah menelitinya
dengan seksama.

Adapun jika penelitian itu tidak berhasil menemukan sanad lain yang lebih shahih,
tiadalah berhalangan menetapkan kedhaifan suatu hadits secara mutlak.

Beberapa Contoh Kitab-kitab hadits dha’if

yang Banyak Di Masyarakat

Di antara kitab-kitab yang tersusun secara khusus tentang hadits dha’if adalah:

1) Kitab al-Marâsîl, karya Abu Dawud

2) Kitab al-‘Ilal dan Kitab Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni

3) Kitab-kitab yang banyak mengemukakan perawi yang dha’if adalah seperti Ad-
Dhu’afâ karya Ibnu Hibban, Mîzân Al-I’tidâl karya Adz-Dzahabi.

4) Ketiga Mu’jam At –thabarani – Al-kabir, Al-Awsath, As-Shaghir.

5) Kumpulan karya Al-Khatib Al-Baghdadi

6) Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’ karya Abu Nu’aim Al-Ashbahani.

Catatan Kaki

[1]Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 2 (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1997), h. 51

[2]Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadits (Cet. I; Jakarta: PT. AMZAH
Dicetak Oleh Sinar Grafika Offset, 2008), h. 164

[3] Nuruddin, Ulum Al-Hadits…, h. 52

[4] Ibid, h. 132

[5]Abdul Hakim bin Amir Abdat, Pengantar Ilmu Mushtalahul Hadits (Cet. I;
Jakarta: Pustaka Darul Qolam, 2006), h. 241
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya
yang berjudul “QUANTUM LEARNING”

Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian QUANTUM LEARNING atau yang lebih khususnya
membahas penerapan quantum learning, karakteristik sertas perspektif quantum leraning dalam islam
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang quantum learning.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha
kita. Amin.

Mataram 22 Mei 2013

Penyusun

Anda mungkin juga menyukai