Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang
benderang yang diridhoi oleh Allah SWT yaitu agama Islam.
Walaupun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin, demi terselesainya karya
makalah ini, penulis tetap menyadari bahwa kemampuan penulis jauh dari kesempurnaan, dan
sudah pasti masih banyak kekurangannya. Sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun
semangat penulis yang sangat penulis harapkan.

Jambi, 19 November 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak mengandung ayat-ayat yang
bersifat global. Oleh karena itu kehadiran hadits berfungsi sebagi penjelas dari ayat ayat
tersebut. Tanpa kehadiran hadits umat islam tidak akan mampu menangkap dan
merealisasikan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Quran secara mendalam.
Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak seperti Al-
Qur’an yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah
Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan hadits baru ditulis dan dibukukan pada masa khalifah
Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-2).1
Dengan seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang muncul. Sehingga
kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian hadits. Diketahui bahwa macam-
macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if. Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits
dhoif.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan materi tentang hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan masalah yang harus
diselesaikan diantaranya:
1. Apa konsep Hadits Dha’if dan macam-macamnya ?

2. Bagaiamana Hadits Dha’if disebabkan cacat dan macam-macamnya ?

3. Bagaimana kehujjahan Hadits Dha’if ?

1
Munzier Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hlm 175
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADITS DHO’IF


Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah, lawan
kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan
dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak kuat.2 Secara terminologi, terdapat
perbedaan rumusan di antara para ulama dalam mendefinisikan hadits dho’if ini. Tetapi, pada
dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama.
Pada definisi yang disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan
hadits shahih atau hadits hasan hilang, berarti hadits itu dinyatakan sebagai hadits dho’if.
Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, dan
adanya kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dho’if
yang sangat lemah.3
Selain itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :
‫ما لم يجمع صفات الصحيح والصفات الحسن‬
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.

Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang


seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :
‫ما لم يجمع صفات الحسن‬
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Drs. Fatkhur Rahman memberikan definisi hadits dho’if ialah:
‫ما فقد شرطا او اكثر من شروط الصحيح اوالحس‬
“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat hadits shahih atau hadits
hasan”
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
2
Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133
3
Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
‫الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح وال صفات الحديث‬
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
DR. Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam
pembagian hadits. Batasannya yang paling tepat adalah hadits yang padanya tidak terdapat
ciri-ciri hadits shahih atau hasan.
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat kita pahami bahwa hadits yang kehilangan
salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan, maka hadits tersebut dapat kita
kategorikan sebagai hadits dho’if.4
Berdasarkan penelitian para ulama hadits, bahwa kedho’ifan suatu hadits bisa terjadi pada
tiga tempat, yaitu pada sanad, matan dan pada perowi hadits. Dari bagi ketiga ini, lalu mereka
membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dho’if.

1. Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanad.


Hadits yang tergolong dalam kelompok ini, diantaranya:
a. Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan langsung oleh tabi’in pada
Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya, tabi’in yang di
maksud bisa tabi’in kecil ataupun besar.
Pada dasarnya hukum hadits mursal adalah dho’if dan ditolak. Hal tersebut karena
kurangnya (hilangnya) salah satu syarat ke-shahih-an dan syarat diterimanya suatu
hadits, yaitu persambungan sanad. Selain itu juga tidak dikenalnya tentang keadaan
perawi yang dihilangkan tersebut, sebab boleh jadi perawi yyang dihilangkan tersebut
adalah bukan sahabat. Dengan adanya kemungkinan demikian, maka ada
kemungkinan hadits tersebut adalah dho’if.
b. Hadits Munqothi’
Hadits munqothi’ adalah hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi atau
pada sanad tersebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya. Tetapi kebanyakan
ulama hadits menggunakan istilah Munqothi’ secara umum, meliputi setiap hadits
yang terputus sanadnya seperti hadits mursal, mu’dhal, dan mu’allaq.
c. Hadits Mu’dhal
4
Sariono sby, http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-dho’if.html
Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara
berturut-turut. Dengan pengertian diatas, menunjukkan bahwa hadits mu’dhal berbeda
dengan hadits munqothi’. Pada hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi
secara berturut-turut. Sedangkan pada hadits munqothi’, gugurnya dua orang perawi,
terjadi secara terpisah ( tidak berturut-turut).5
d. Hadits Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi
atau lebih secara berturut-turut.
Hadits mu’allaq hukumnya adalah mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya salah
satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad, yang dalam hal ini adalah
dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara keadaan perawi
yang di hapuskan tersebut tidak diketahui.
e. Hadits mudallas
Kata “Mudallas” secara etimologi diambil dari kata “dals” yang berarti
“bercampurnya gelap dan terang”, dan kata itu digunakan untuk menyebut sebuah
hadits yang didalmnya mengandung unsur-unsur kesamaan dengan unsur-unsur yang
dikandung oleh makna kata tersebut. Sedang pengertian hadits mudallas menurut
terminologi ialah hadits yang disamarkan oleh rawi dengan berbagai macam
penyamaran.
Hadits mudallas ada dua macam yaitu:
- Tadlisu Al Sanad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari orang yang satu masa
dengannya, namun disebutkan seolah-olah dia benar-benar mendengar darinya,
agar hadits tersebut dipandang baik.
- Tadlisu Al Syuyuukhi
Yaitu meriwayatkan hadits yang didengarnya dari seorang guru, namun dia
menyebut nama gurunya itu dengan menggunakan sebutan yang tidak populer
misalnya dengan menggunakan nama kuniahnya, nisbatnya atau sifatnya dengan
pertimbangan agar tidak di ketahui dengan jelas identitas gurunya yang lemah,
sehingga tertutupi kelemahannya.6
5
Munzier Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hal 157
6
Muhammad Alawi Al Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 95-98
B. HADITS DHA’IF DISEBABKAN CACAT DAN MACAM-MACAMNYA
Yang dimaksud dengan cacat adalah terdapatnya kekurangan atau cacat pada diri
perawi, baik dari segi keadilannya, agama, atau dari segi ingatan, hafalan, dan
ketelitiannya.
Cacat yang berhubungan dengan keadilan perawi diantaranya adalah berbohong,
dituduh berbohong, fasik, berbuat bid’ah dan tidak diketahui keadaanya.
Cacat yang berhubungan dengan ingatan dan hafalan adalah sangat keliru/ sangat
dalam kesalahannya, buruk hafalannya, lalai, banyak prasangka dan menyalahi perawi
yang tsiqah.
Macam-macam hadits dho’if berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya yaitu :
a. Hadits Matruk
Hadits Matruk adalah hadits yang perawinya mempunyai cacat tertuduh dusta,
pembohong atau pendusta.
b. Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang
sangat keliru, atau sering kali lalai dan terlihat kefasikannya secara nyata.
c. Hadits Mu’allal
Hadits Mu’allal adalah hadits yang perawinya cacat karena al-wahm, yaitu
banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
d. Hadits Mudroj
Hadits mudroj adalah hadits yang terdapat tambahan yang bukan dari hadits
tersebut.
e. Hadits Maqlub
Hadits maqlub adalah hadits yang mengganti suatu lafadz dengan lafadz yang lain
pada sanad hadits atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau
mengakhirkannya.
f. Hadits Mudhorib
Hadits mudhorib adalah hadits yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang
berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat.
g. Hadits Mushoffaf
Hadits mushoffaf adalah mengubah kalimat yang terdapat pada suatu hadits
menjadi kalimat yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqoh, baik secara
lafadz maupun maknanya.7
h. Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, namun
bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat atau yang lebih baik dari
padanya.8
C. KEHUJJAHAN HADITS DHA’IF
Pada dasarnya para ulama’ hadits menolak penggunaan hadits dha’if sebagai
hujjah.Penolakan penggunaan hadits dha’if tersebut berdasar pada keyakinan bahwa hadits itu
sangat sulit dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi baik dari sisi sanad ataupun matanya.

Adapun tentang hadits dha’if Muhammad Ajjaj menyebut ada tiga kelompok dalam
menyikapinya:

1. Tidak memakai hadits dha’if secara mutlak, baik untuk fadlailul ‘amal ataupun dalam
bidang hokum. Pendapat ini dipelopori oleh Ibn Sayid al-Nas, Abu Bakar ibn al-‘Arabi,
Bukhari, Muslim dan Ibn Hazm.
2. Mengamalkan hadits dha’if secara mutlak, dengan alasan hadits dha’if itu masih lebih baik
disbanding dengan pendapat manusia. Pendapat ini dipelopori oleh Abu Dawud dan Ahmad
ibn Hanbal, Abdurahman al-Mahdi dan Abdullah ibn Mubarak.

Mengamalkan hadits dha’if untuk fadlailul ‘amal dan naasehat kebajikan dengan syarat-
syarat tertentu seperti yang diungkapkan Ibn Hajar al-Asqalani, sebagai berikut:

1. Tingkat kelemahanya tidak parah


2. Masalah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh
al Qur’an dan hadits shahih
3. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat

Prof T.M Hasbi mengingatkan, bahwa yang dimaksud dengan fadlailul ‘amal dalam hal
ini bukanlah dalam arti untuk penetapan suatu hokum sunat, tetapi dimaksudkan untuk
menjelaskan tentang faedah dari kegunaan suatu amal. Adapun yang berhubungan dengan
penetapan hokum, demikian Praof Hasbi menjelaskan, para ulama hadits sepakat tidak
membolehkan menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah atau dalilnya.

Dr. Muhammad Ajjaj al Khatib menyatakan, bahwa golongan yang menolak hadits dha’if
sebagai hujjah adalah golongan yang lebih selamat. Diantra alsanya baik soal fadlailul ‘amal,

7
Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133-146
8
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm 278
maupun soal makarimul akhlaq adalah merupakan bagian dari tiang agama, sebagaimana halnya
maslah hokum. Karena itu hadits yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkanya haruslah
hadits yang berkualitas shahih atau hasan dan bukan berkualitas dha’if.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat
menyimpulkan:
1. Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah, dan
yang dimaksud hadits dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak kuat.
Secara terminologi, di antara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
mendefinisikan hadits dho’if ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah
sama yaitu hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul.
2. Dho’if ditinjau dari segi cacatnya : Hadits Matruk, Hadits Munkar, Hadits Mu’allal,
Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits Mudhorib, Hadits Mushoffaf, dan Hadits Syadz.
3. Pada dasarnya para ulama’ hadits menolak penggunaan hadits dha’if sebagai
hujjah.Penolakan penggunaan hadits dha’if tersebut berdasar pada keyakinan bahwa
hadits itu sangat sulit dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi baik dari sisi sanad
ataupun matanya.

B. SARAN
Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan HadIts Dho’if ini adalah :
1. Bagi pembaca diharapkan dapat membedakan hadits dho’if dengan hadits lainnya.
2. Untuk lebih memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca dapat mencari
lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber.

DAFTAR PUSTAKA
Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu Ushul Hadis; Pustaka Pelajar; Yogyakarta.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1; PT Bulan Bintang;
Jakarta.
Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits; Rasail Media Group; Semarang.
Mudasir; 1999; Ilmu Hadits; Pustaka Setia; Bandung.
Riesky, Eida; http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/pendapat-para-ulama-tentang-
mengamalkan-hadits-dho’iflemah/
Sby, Sariono; http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-dho’if.html
Suparto, Munzier; 2003; Ilmu Hadits; PT RajaGrafindo Persada; Jakarta.
Wicaksono, Danang Kuncoro; http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?
&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Yuslem , Nawir; 2001; Ulumul Hadits; PT Mutiara Sumber Widya; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai