Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang
benderang yang diridhoi oleh Allah SWT yaitu agama Islam.
Walaupun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin, demi terselesainya karya
makalah ini, penulis tetap menyadari bahwa kemampuan penulis jauh dari kesempurnaan, dan
sudah pasti masih banyak kekurangannya. Sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun
semangat penulis yang sangat penulis harapkan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak mengandung ayat-ayat yang
bersifat global. Oleh karena itu kehadiran hadits berfungsi sebagi penjelas dari ayat ayat
tersebut. Tanpa kehadiran hadits umat islam tidak akan mampu menangkap dan
merealisasikan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Quran secara mendalam.
Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak seperti Al-
Qur’an yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah
Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan hadits baru ditulis dan dibukukan pada masa khalifah
Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-2).1
Dengan seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang muncul. Sehingga
kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian hadits. Diketahui bahwa macam-
macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if. Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits
dhoif.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan materi tentang hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan masalah yang harus
diselesaikan diantaranya:
1. Apa konsep Hadits Dha’if dan macam-macamnya ?
1
Munzier Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hlm 175
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun tentang hadits dha’if Muhammad Ajjaj menyebut ada tiga kelompok dalam
menyikapinya:
1. Tidak memakai hadits dha’if secara mutlak, baik untuk fadlailul ‘amal ataupun dalam
bidang hokum. Pendapat ini dipelopori oleh Ibn Sayid al-Nas, Abu Bakar ibn al-‘Arabi,
Bukhari, Muslim dan Ibn Hazm.
2. Mengamalkan hadits dha’if secara mutlak, dengan alasan hadits dha’if itu masih lebih baik
disbanding dengan pendapat manusia. Pendapat ini dipelopori oleh Abu Dawud dan Ahmad
ibn Hanbal, Abdurahman al-Mahdi dan Abdullah ibn Mubarak.
Mengamalkan hadits dha’if untuk fadlailul ‘amal dan naasehat kebajikan dengan syarat-
syarat tertentu seperti yang diungkapkan Ibn Hajar al-Asqalani, sebagai berikut:
Prof T.M Hasbi mengingatkan, bahwa yang dimaksud dengan fadlailul ‘amal dalam hal
ini bukanlah dalam arti untuk penetapan suatu hokum sunat, tetapi dimaksudkan untuk
menjelaskan tentang faedah dari kegunaan suatu amal. Adapun yang berhubungan dengan
penetapan hokum, demikian Praof Hasbi menjelaskan, para ulama hadits sepakat tidak
membolehkan menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah atau dalilnya.
Dr. Muhammad Ajjaj al Khatib menyatakan, bahwa golongan yang menolak hadits dha’if
sebagai hujjah adalah golongan yang lebih selamat. Diantra alsanya baik soal fadlailul ‘amal,
7
Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133-146
8
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm 278
maupun soal makarimul akhlaq adalah merupakan bagian dari tiang agama, sebagaimana halnya
maslah hokum. Karena itu hadits yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkanya haruslah
hadits yang berkualitas shahih atau hasan dan bukan berkualitas dha’if.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat
menyimpulkan:
1. Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah, dan
yang dimaksud hadits dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak kuat.
Secara terminologi, di antara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
mendefinisikan hadits dho’if ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah
sama yaitu hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul.
2. Dho’if ditinjau dari segi cacatnya : Hadits Matruk, Hadits Munkar, Hadits Mu’allal,
Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits Mudhorib, Hadits Mushoffaf, dan Hadits Syadz.
3. Pada dasarnya para ulama’ hadits menolak penggunaan hadits dha’if sebagai
hujjah.Penolakan penggunaan hadits dha’if tersebut berdasar pada keyakinan bahwa
hadits itu sangat sulit dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi baik dari sisi sanad
ataupun matanya.
B. SARAN
Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan HadIts Dho’if ini adalah :
1. Bagi pembaca diharapkan dapat membedakan hadits dho’if dengan hadits lainnya.
2. Untuk lebih memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca dapat mencari
lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber.
DAFTAR PUSTAKA
Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu Ushul Hadis; Pustaka Pelajar; Yogyakarta.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1; PT Bulan Bintang;
Jakarta.
Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits; Rasail Media Group; Semarang.
Mudasir; 1999; Ilmu Hadits; Pustaka Setia; Bandung.
Riesky, Eida; http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/pendapat-para-ulama-tentang-
mengamalkan-hadits-dho’iflemah/
Sby, Sariono; http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-dho’if.html
Suparto, Munzier; 2003; Ilmu Hadits; PT RajaGrafindo Persada; Jakarta.
Wicaksono, Danang Kuncoro; http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?
&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Yuslem , Nawir; 2001; Ulumul Hadits; PT Mutiara Sumber Widya; Jakarta.