Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits
dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam
hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada
tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam
Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
A. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin
sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan
berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin
berdusta. Sifatnya Qath'iy.
Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
B. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.
Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad
menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy
kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
A. Hadits Maudhu'
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau
dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut
hadits.
B. Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi
saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
C. Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
D. Hadits Mu'allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang
tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang
nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga
dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).
E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa
sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.
F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar
dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan
G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang
bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
I. Hadits Syadz
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang
bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa)
yangterpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang
dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.
A. Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang
sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.
B. As Sab'ah
As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
Imam Ahmad
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Abu Daud
Imam Tirmidzi
Imam Nasa'i
Imam Ibnu Majah
C. As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.
D. Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.
E. Al Arba'ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan
Imam Muslim.
F. Ats tsalatsah
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam
Muslim dan Ibnu Majah.
G. Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
H. Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang
mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan)
hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau
ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.
I. Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi
Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
1. Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW. 2. Ilmu
Hadits Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan
penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW. Objek kajiannya adalah Hadits Nabi SAW dari segi
periwayatan dan pemeliharaannya. 3. Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang
kumpulan kaidah-kaidah
Beberapa daftar istilah dan pengertiannya berkenaan dengan ulum hadits:
Hadits: Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi , baik berupa perkataan,
perbuatan, pengakuan (taqrir), atau sifat akhlak dan fisik dia.
Hadits Qudsi: Hadits yang diriwayatkan oleh Nabi berupa perkataan Allah
Templat:Swt, namun bukan termasuk dalam Al-Qur'an.
Khabar: Semakna dengan Hadits, menurut sebagian definisi/pendapat ulama; Sedangkan
menurut pendapat lainnya, khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
maupun juga yang disandarkan kepada orang selain dia, sehingga khabar sifatnya
lebih umum dari hadits.
Atsar: Segala sesuatu yang disandarkan kepada Shahabat atau Tabi'in, namun terkadang
atsar juga dimaksudkan dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi .
Tahqiq: Penelitian ilmiah secara saksama tentang suatu hadits hingga mencapai
kebenaran yang paling tepat. Dilakukan dengan cara memeriksa, mengoreksi,
menyunting, menomori hadits dan mencocokkan antara kitab yang akan diterbitkan
dengan manuskripnya.
Takhrij: Mengeluarkan suatu hadits dari sumbernya berikut memberikan hukum atasnya,
seperti shahih, dhaif atau maudhu, dan seterusnya.
Ta'liq: penjelasan tentang suatu potongan kalimat atau hadits yang umumnya berbentuk
catatan kaki.
الر ِحي ِْم
َّ الرحْ َم ِن
َّ للا
ِ ّ س ِم
ْ ِب
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena dengan hidayah dan inayah-
nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan judul “Pengertian Ulumul
Hadist dan Pembagiannya” tepat waktunya.
Selanjutnya penulis berterima kasih kepada semua rekan-rekan yang telah sudi kiranya
mambantu penyelesaian makalah ini, dan tak lupa pula kepada Dosen Pembimbing Bapak
Ahmad Syarnaini M.Ag yang telah besar memberikan bimbingan dan arahan sehingga makalah
ini dapat memberikan pengetahuan yang maxsimal.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan maupun kesalahan baik
segi penulisan dan rangkaian kata demi kata dan dengan rendah hati kiranya kepada bapak/ibu
dan rekan-rekan sekalian untuk dapat lebih aktif memberikan saran dan kritikan yang
membangun.
Akhirnya sekecil apapun sumbangan yang mungkin dapat diberikan dari makalah ini dapat
bermamfaat dengan baik. Amin……
Penulis
Norma
https://kanjengbasith.wordpress.com/2012/03/23/sejarah-perkembangan-hadits-pada-masa-rasul-
dan-sahabat-studi-hadith/
Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai
pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah
berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan
membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana
tersebut. Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti
dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah-daerah, termasuk ulama
hadis. Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri,
sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan
kodifikasi hadis.
Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadits tentunya berbeda dengan penulisan hadits
kitabah al-hadits.
Tadwin al-hadits mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan,
dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari lembaga
kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu sendiri asal mulanya
merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal
Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan
seterusnya, baik secara lisan maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru
merupakan tulisan-tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi.
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Hadis merupakan referensi kedua yang menjadi rujukan dalam segala amal-amal yang
dilakukan oleh kaum muslimin setelah al-Qur’an. al-hadith juga bisa dijadikan sebuah penjelas
dan nalar dari kitab al-Qur’an. al-hadith diibaratkan sebuah tonggak penggerak dari pondasi yang
bernama al-Qur’an, al-Qur’an berjalan beriringan dengan al-hadith dan tidak dapat dipisahkan
satu sama lain.[1] Oleh karena itu, Nabi sebagai penyampai yang al–amien mempunyai sebuah
amanat yang berat untuk dipikul.
Dalam hal penyampaian dari maha guru yang bernama Muhammad SAW, Nabi yang akan
memberikan pertolongan dan syafa>’at pada hari akhir kelak – sangat selektif dan terencana
dengan tidak memberatkan para murid atau Sahabat dalam memperoleh hadith dari beliau. Nabi
memberikan dedikasi yang sangat tinggi kepada manusia bahwa Nabi tidaklah meninggalkan
mobil, rumah ataupun barang-barang yang berharga lainya, melainkan beliau meninggalkan
sebuah petunjuk pada kehidupan yang lebih bermakna yaitu al-Qur’an dan al-hadith.
Karya ilmiah ini fokus kajiannya berada pada lingkup cara Nabi menyampaikan hadith kepada
Sahabat; kemudian dijelaskan latar belakang perbedaan ha>dits yang diterima Sahabat. Dalam
penulisan karya ilmiah, penulis sadar bahwa karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan sehingga
membutuhkan saran yang membangun demi terciptanya kebenaran yang seutuhnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Syeikh Muhammad at-Thahhan menjelaskan, dalam mengajar hadith, Nabi menggunakan tiga
metode, yaitu lisan, tulisan dan peragaan praktis.[2]
Sebagai seorang guru seluruh umat manusia, tentu Nabi berupaya keras agar ajaran yang beliau
sampaikan dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Dengan demikian, ajaran yang telah
disampaikan itu tetap otentik dan tidak mudah terlupakan. Oleh karena itu, Nabi biasa
mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Setelah beliau yakin pelajaran yang disampaikan
mampu dipahami dan dihafal oleh para Sahabat, maka beliau berkenan untuk memerintah para
Sahabat untuk menirukan ucapannya, sekaligus mendengarkan dan mengoreksinya. DR.Safar
‘Azimillah menjelaskan dalam bukunya bahwa pada waktu itu para Sahabat tidak mendengar
dengan keseluruhan hadith yang disampaikan Nabi dalam satu pertemuan dikarenakan masing-
masing dari mereka mempunyai kesibukan dan kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan.[3] Para
Sahabat yang datang dari daerah-daerah terpencil, menjadi tanggung jawab penduduk Madinah,
tidak hanya soal akomodasi dan konsumsi, tapi juga pendidikan mereka dalam ilmu al-Qur’an
dan al-sunah. Nabi biasa melemparkan pertanyaan untuk mengetahui, sejauh mana pengetahuan
mereka. Hal ini dilakukan oleh Nabi dalam rangka memudahkan para Sahabat belajar dan
memperoleh hadith.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pengajaran al-Qur’an dan H>>>>>adith dilakukan Nabi
dalam dua level besar. Pertama, Nabi mengajar Sahabat yang dekat dan sering bertemu Nabi.
Kedua, para Sahabat dan penduduk Madinah mengajarkan ilmu yang telah mereka peroleh dari
Nabi kepada Sahabat yang tidak sering bertemu Nabi. Kemudian dalam kesempatan lain Nabi
berusaha mengevaluasi dan menilai kemampuan ilmu mereka yang diperoleh dari sabahat yang
sering bertemu beliau. Kegiatan ilmiah ini berjalan terus menerus sampai beliau wafat pada 11 H
/ 632 M.
1. Metode Tulisan
Gerak diplomasi Rasul untuk mengirim delegasi khusus untuk menyampaikan surat kepada raja
dan penguasa dikawasan Timur Tengah pada waktu itu, dan surat beliau kepada para kepala suku
dan gubernur muslim dapat dikategorikan sebagai metode penyebaran hadith melalui media tulis.
Beberapa surat tersebut sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum, seperti zakat,
jizyah, dan cara-cara ibadah lainya.
Menurut data yang saya ketahui, untuk melakukan kegiatan “diplomasi dan managemen
pemerintahan” tersebut, Nabi mengangkat 42 juru tulis yang siap bekerja pada saat diperlukan.
Masuk dalam kategori ini yaitu kegiatan imla’ Nabi, para Sahabat seperti Ali> bin Abi> Tha>lib
dan Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash.[4] Rasul juga pernah memerintah agar transkrip khutbahnya
dikirim kepada seorang warga Yaman bernama abu Syadi.
Dari data-data tersebut dapat ditegaskan bahwa penyebaran hadith melalui media tulisan
dilakukan oleh Rasul secara terencana dan terarah. Oleh karena itu, saya memahami larangan
Rasul untuk menulis hadith seperti laporan Abu Said al-Khudri, yang menyatakan Rasul
bersabda : “janganlah anda menulis (sesuatu) dari saya. Barang siapa yang telah terlanjur
menulis, maka hapuslah. Ceritakanlah (segala sesuatu) dari saya; demikian tidak apa-apa”,
sebagai larangan penulisan ha>dits yang tidak professional, sebab saat itu dikhawatirkan akan
bercampur dengan al-Qur’an.[5]
1. Lebih terjaga dan terpeliharanya hadith – hadith Rasulullah S.A.W baik dengan hafalan
maupun tulisan. Hadith menjadi terpelihara dari kemusnahan dan pemalsuan. Pada saat
itu mulai banyak penghafal hadith yang wafat, umat Islam terpecah belah dalam sekte dan
golongan, banyak para pemalsu hadith, sehingga untuk menjaga kemurnian dan keutuhan
hadith maka perlulah dibukukan.
2. Hadith – hadith yang tersebar dalam hafalan para ra>wi dan dalam lembaran-lembaran
menjadi terkumpul dan tersusun dalam buku-buku, sehingga semakin memudahkan
dalam menjaga dan mempelajarinya, baik mempelajari matan, sanad, dan hal – hal lain
yang berkaitan dengan hadith.
3. Mendorong dan memotifasi lahirnya karya – karya dalam bidang hadith. Dari sini banyak
ulama yang menulis buku – buku dalam bidang hadith, baik berbentuk buku-buku matan,
sharah, tah}qi>q, takhri>j, ta>rikh, dan lain-lain yang membawa manfaat cukup besar
bagi umat.
4. Metode Peragaan praktis
Sepanjang hidup Rasul SAW, terhitung sejak belaiu menerima wahyu; segala perilaku, ucapan,
persetujuan dan peragaan praktisnya dianggap sebagai Ha>dits. Rasul memperagakan cara
wudhu, shalat, haji, dan lain-lain.
Dalam setiap segi kehidupan, Rasul memberi pelajaran praktis disertai perintah yang jelas untuk
mengikutinya. Misalnya beliau bersabda: “Shalatlah anda seperti saya mempraktekkan shalat”
dan juga beliau bersabda: “Ambillah cara-cara haji anda (manasik) dari cara aku
melaksanakan haji”
Dalam menjawab pertanyaan, disamping Rasul menjawab langsung secara lisan (sunnah
qawliyah), beliau selau minta kepada si penanya untuk tinggal bersama beliau dan belajar
memalui pengamatan terhadap perilaku dan praktik ibadah beliau sehari.
Tataran kenyataan ini dalam metodologi penelitian modern masuk dalam kategori pendekatan
campuran antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Suatu model penelitian yang jika dilakukan
secara sungguh-sungguh validitasnya sangat meyakinkah dan komprehensif.
1. Mendirikan Sekolah
Sekolah dalam arti tradisional didirikan begitu Rasul tiba di Madinah. Dengan fokus kebijakan
pada pengiriman guru dan khatib ke berbagai wilayah di luar madinah, misalnya ke Adzal Qara
pada tahun ke-3 H dan Bir Ma’unah pada tahun ke-4 H, ke Najran, Yaman dan Hadramaut pada
tahun ke-9 H.
1. Penyebaran Informasi
Perhatikan sabda Rasul: “Sampaikan ilmu dariku walaupun satu ayat” .[6] fokus kebijakan
senada dapat ditemukan pada khutbah Rasul pada haji wada’: “Hendaknya yang hadir
menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir”.[7] Ini menjadi bukti bahwa tradisi
penyebaran informasi tentang perbuatan dan ucapan Nabi merupakan praktek umum sejak awal
Islam.
Delegasi yang datang ke Madinah diperintah mengajarkan anggota masyarakatnya, seperti yang
terjadi pada diri Malik bin Huwayrith, yang diperintahkan untuk mengemban tugas tersebut oleh
Rasul. Ia konsisten melaksanakan tugas ini bahkan selama lama Rasul wafat.[8]
Rasul tak hanya memerintahkan untuk mendidik masyarakat, tapi juga disertai penyebutan
pahala yang berlipat ganda bagi para pengajar dan penuntut ilmu. Kebijakan ini juga diperkuat
dengan ancaman bagi orang yang enggan menyebarkan ilmu.
Perhatikan lima h}adits Nabi ini: Pertama, ”Belajar dan menuntut ilmu adalah wajib bagi tiap
muslim” Kedua, “ orang yang menyembunyikan ilmu dapat dimasukkan ke neraka”. Ketiga, “
Barang siapa menempuh jalan menuju pencapaian ilmu, maka Allah akan memasukkan ke
dalam surga, dan para malaikat mengembangkan sayapya, karena senang kepada para penuntut
ilmu, serta seluruh penghuni surge dan bumi, bahkan ikan di kedalaman lautan memohonkan
ampun untuknya”[9]. Keempat,Nabi bersabda:” Jika anak cucu Adam meninggal, amalnya
terputus, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh
untuknya”.[10] Kelima, Nabi bersabda: “ Mereka menolak terlibat dalam proses pendidikan
akan mendapatkan hukuman yang akan menimpa mereka”.[11]
Dengan begitu para Sahabat pasca Rasul wafat mengambil peran penyebaran hadith-hadith yang
tersebar dan pengetahuan para Sahabat. Hal ini seperti yang dilakukan oleh abu> Hurayrah,
Umar, abu Mu>sa al-Asy’a>ri, Ibnu Abbas, Zayd bin Arqa>m, Ibn Buraydah, Ali> bin Abi>
Thalib, Ibnu Mas’u>d, dan Abu Said al-Khudri sangat berjasa dalam memotivasi tabiin untuk
menghafal al-Sunnah.[12]kedua, dukungan khalifah Umar bin Khattab, menginstruksikan para
gubernurnya untuk mengajarkan al-Qur’an dan sunnah Nabi.[13]Beliau sering mengirim sekian
guru ke daerah-daerah untuk mengajar al-Qur’an dan sunnah Nabi.[14]
Ketiga, jasa tokoh khalifah. Hampir seluruh Sahabat yang memiliki pengetahuan tentang hadith
Nabi, ikut berjasa dan berperan dalam menyebarkannya, kapan dan dimanapun mereka berasal.
Asal kesempatan memungkinkan dan perlu, pasti mereka menyampaikan pengetahuan hadithnya
tersebut. Baik mereka yang termotivasi ancaman menyembunyikan ilmu, maupun mereka yang
bekerja professional di bidang pengajaran hadith.
25-35 tahun pasca Rasul wafat, Islam menyebar ke Afganistan, Iran, India, Irak, Syiria,
Azerbijan, Mesir, Sudan, Ethiopia dan Libiya. Tentu, penyebaran Islam ini tidak lepas dari jasa
besar para Sahabat Nabi. Akibatnya, h}adits Nabi pun menyebar seiring dengan menyebarnya
Sahabat ke seluruh penjuru dunia Islam. Dengan demikian, para Sahabat yang menetap di
Madinah setelah tahun 35 H tinggal sedikit. Ada kemungkinan, ada suatu sunnah yang hanya
diketahui oleh Sahabat tertentu, yang akhirnya mereka juga berangkat ke Irak, mesir, Syiria, Iran
dan tempat-tempat lain.
Pada umumnya, sebelum para Sahabat itu wafat, mereka menyiapkan para kader “penjaga”
h}adits sebagai generasi yang harus menerima amanat memikul tanggung jawab mencatat,
menghafal dan menyebarkan sekaligus generasi tabiin inilah yang mengajarkan hadith. Proses ini
terjadi secara alami dan terencana menetapkan syarat-syarat belajar hadith, demi menjaga
kesucian sunnah Rasul itu dari pemalsuan, dan kontaminasi pemikiran yang sebetulnya tidak
otentik berasal dari Rasul SAW.
Pada masa Sahabat penyebarluasan hadith sangat cepat, ini tampak pada masa Utsman bin Affan,
mereka memberikan kemudahan dan kelonggaran kepada para Sahabat untuk menyebarluaskan
periwayatan hadith kemana pun mereka mempunyai keinginan. Sesuai dengan keadaan tersebut,
dan sangat pentingnya anjuran mengajarkan ilmu kepada kaum muslimin yang baru masuk
Islam, para Sahabat termotivasi untuk mengemban amanah tersebut.
1. Madinah
Di kota ini banyak terdapat Sahabat yang mempunyai keahlian dibidang keagamaan, misalkan
Abdullah bin Tsabit.
1. Makkah
Tidak kalah hebatnya dengan kota Madinah, kota Makkah mempunyai kemajuan sama halnya
dengan Madinah. Disana dtunjuk Muadz bin Jabal yang ditunjuk sebagai guru untuk mengajrkan
penduduk setempat tentang halal dan haram.
Strategi yang digunakan oleh para Sahabat dalam menyampaikan ha>dits Nabi bukan hanya dari
mulut ke mulut, yaitu mendengarkan Hadith dari guru, tetapi munculnya gerakan penulisan
hadith sehingga mempermudah para praktisi Hadith dalam menyampaikan maupun
mendapatkannya. Tradisi ini dilanjutkan oleh para Sahabat dengan mencari Hadith sampai ke
tempat yang jauh guna meneliti validitas dari ha>dits yang diperolehnya.
Dengan motivasi mengemban amanah Nabi, yaitu menyampaikan seluruh ajarannya. Jauh
setelah wafat Nabi saw timbul gerakan menulis hadith didorong oleh semangat dan kemauan
pribadi, seperti Sa’id bin Jubair (w.95 h) rajin membuat catatan hadith-hadith yang berasal dari
Abdullah Ibnu Abbas, Ibnu Syihab membuat notula hadith dari Abd Rahman bin Dzamekhwan.
Jauh sebelum mereka, Sahabat Zubair bin ‘Awwan diketahui menyimpan naskah catatan hadith
Nabawi yang ikut musnah saat membumi hanguskan rumah-rumah di kota Makkah bertepatan
perlawanan pada Yazid bin Mu’awiyah[15].
Peran aktif pihak pemerintahan dalam merintis pencatatan hadith yang dipelopori oleh Khalifah
Umar Ibnu Khatab yang bermula memusyawarahkan rencana itu dengan Sahabat dan berakhir
dengan menarik gagasan untuk segera membukukan hadith. Pemerintahan lainnya, seperti Umar
bin Abdul Aziz (memerintah 99-101 h) mulai bertindak sebagai sponsor pencatatan dan
pembukuan hadith dengan menugaskan Abu Bakr Ibnu Hazm selaku koordinator pelaksana.
Pesan tertulis khalifah mengamanatkan agar koleksi hafalan hadith yang dimiliki oleh ‘Amrah
binti Abdul Rahman Al-Anshari dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar diprioritaskan.[16]
Himbauan Umar bin Abdul Aziz yang diamanatkan ke seluruh pelosok negeri Islam baru
terpenuhi antara lain oleh Muhammad bin Abdul Aziz mencerminkan konsensus umat mengenai
pentingnya upaya kembali mencatat dalam mengkodifikasikan hadith. Demikian analisis
pengamatan Al-Hafisz Ibnu Hajar al-Asqalani sebagaimana yang dikutip oleh Hasjim Abbas.
Hipotesa kerja yang melandasi program pencatatan dan pembukuan hadith, sebagai berikut:
1. Wilayah territorial Islam dan keadaan umat Islam semakin luas telah mengundang
tanggung jawab meneruskan informasi ajaran Nabi ke segenap penjuru dunia.
2. Sahabat Nabi berangsur-angsur meninggal, ulama generasi berikutnya telah menyebar ke
berbagai wilayah dan pengikut mereka bertebaran. Kondisi kecermatan hafalan mereka
tidak setangguh generasi Sahabat, sebab mereka berasal dari bermacam-macam suku
bangsa.
3. Umat Islam telah dilanda penyebaran ajaran bid’ah, gerakan penentang ajaran, fanatik
politik dan ambisi kedudukan telah menimbulkan perilaku buruk terhadap hadith (
muncul hadith palsu / mawd}u’ dalam skala besar).
Gelombang penulisan dan pembukuan hadith periode berikutnya dilakukan atas prakarsa
individu ulama muhaddithin, antara lain: Ibnu al-Auza’I, Sufyan al-Thauri, Imam Malik,
Muhammad Ibnu Ishaq, Abdullah bin Mubarak dan laits bin Sa’ad. Memperhatikan
kecenderungan umum ulama hadith dalam menghimpun koleksi hadith, mempunyai beberapa
tujuan, yaitu:
Sahabat dalam arti etimologi adalah Sahabat (musyta>q) pecahan dari kata shubhah yang berarti
orang yang menemani.[17] Secara arti terminologi Muhammad Mahmud Abu Zahwu
menjelaskan dalam al-hadith wa al-muhadithun nya, menjelaskan bahwa Sahabat adalah orang
yang bertemu Nabi, beriman kepada ajaran Nabi, dan meninggal dalam keadaan Islam.[18] Ada
juga pendapat lain mengatakan bisa dinamakan Sahabat jika dia berguru langsung kepada Nabi
ataupun mendapatkan pelajaran dari Sahabat yang mendengarnya.
Ahmad bin hambal mengatakan bahwa Sahabat Rasul adalah orang yang pernah hidup bersama
beliau, sesaat atau sehari bertemu beliau.[19]Imam Bukhari mangatakan bahwa yang dinamakan
Sahabat apabila dia hidup bersama Nabi dan meninggal dalam keadaan Islam. Mayoritas ulama
mengatakan bahwa Sahabat adalah seseorang yang tetap dalam keadaan beriman dan pernah
hidup bersama Nabi.[20]
Dari data tersebut dapat ditarik benang merah, jadi yang dinamakan Sahabat adalah pertama, ia
pernah bertemu dengan Rasulullah, kedua, dalam keadaan beriman dan Islam sampai meninggal
dunia.[21] Dengan demikian, mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah atau pernah
bertemu dengan Nabi tetapi tidak dalam keadaan Islam dan beriman, maka ia tidak disebut
dengan Sahabat.
Beberapa para Sahabat yang mempunyai urgensi dan dianggap banyak meriwayatkan hadith,
yaitu:
1. Abu Hurairah
Dia bernama Abdu Rahman bin Shahr biasanya dikenal dengan Abu Hurairah. Dia adalah
Sahabat yang paling banyak meriwatkan ha>dits dan Sahabat yang paling kuat hafalannya.
Sebagaimana Nabi pernah meng amini doa yang yang diminta langsung oleh Abu Hurairah agar
dia dijauhkan dari sifat lupa terhadap ilmu-ilmu yang telah didapatnya dari Nabi. Bahkan ibn
Umar menyaksikan pada saat Abu Hurairah wafat bahwasanya Abu Hurairah adalah orang yang
paling hafal Hadith Nabi. Hadith yang diriyatkan oleh Abu Hurairah ada 5374.[22]
1. Ibnu Umar,
Periwayatan paling banyak berikutnya adalah Abdullah bin Umar, ia meriwayatkan 2.630 hadith.
Abdullah adalah putra khalifah kedua yaitu Umar bin Khatab dan saudara kandung Sayyidah
Hafshah ummul mukminin. Ia adalah salah seorang diantara orang-orang yang bernama
Abdullah (Al-Abdillah al-Arba’ah) yang terkenal dengan pemberi fatwa. Ibnu Umar dilahirkan
tidak lama sesudah Nabi diutus dan meninggal pada tahun 73 H. Dia termasuk sahabat yang
banyak mengikuti perang seperti perang Uhud, Qadisiyah, Yamuk, Penaklukkan Afrika, Mesir
dan Persia serta penyerbuah Basrah. Ia meriwayatkan Hadith dari Abu Bakar, Uthman, Sayyidah
‘Aisyah, Hafshah dan Abdullah bin Mas’ud. Yang meriwayatkan dari Ibnu Umar diantaranya
Said bin al-Musayyab, al-Hasan Basri, Ibnu Syihab az-Zuhri, Ibnu Sirrin, Nafi’ dan lainnya.
Anas bin Malik adalah urutan ketiga dari Sahabat yang banyak meriwayatkan Hadith. Anas
adalah Khadam (pelayan) Rasulullah yang terpercaya. Ketika ia berusia sepuluh tahun, ibunya
yaitu Ummu Salaiman, membawanya kepada Rasulullah untuk berkhidmat. Anas wafat pada
tahun 93 H.
Dia bernama ‘Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq yaitu salah satu isteri Nabi. ‘Aisyah menikah
ketika berumur 9 tahun di bulan syawal 1 Hijiriyah. Dia adalah salah satu orang yang
mempunyai peran penting dalam Hadith, Hadith yang diriwayatkan sejumlah 2210. Hal ini
memungkinkan, karena ‘Aisyah adalah orang yang cerdas, tidak mempunyai anak sehingga tidak
disibukkan dengan mengasuh dan merawat dan dia wafat kurang lebih 48 tahun setelah
hijrah.[23]
Abdullah adalah sahabat kelima yang banyak meriwayatkan Hadith sesudah sayyidah ‘Aisyah.
Dia adalah putra paman Rasulullah yaitu Al-abbas bin Abdul Muthalib dan ibunya yang bernama
Ummul Fadl Lubabah binti al-Harits – saudara dari Ummul Mukminin Maimunah. Abdullah
lahir tiga tahun sebelum hijrah. Dia satu-satunya sahabat yang mendapatkan doa Rasulullah agar
menjadi pakar takwil (tafsir). Selain itu Abdullah adalah seorang pakar fiqh yang terkenal. Ia
wafat pada tahun 68 H karena penyakit mata.
Abu Sa’id al-Khudri adalah orang ketujuh yang banyak meriwayatkan Hadith, ia meriwayatkan
1.170 Hadith. Abu sa’id lebih dikenal dengan kuniah nya Abu Sa’id. Nama aslinya adalah Sa’ad
bin Malik bin Sinan. Ayahnya bernama Malik bin Sinan yang gugur pada perang Uhud. Ia
seorang Khudri yang sanadnya bersambung dengan Khudrah bin Auf bin Harits. Abu Sa’id al-
Khudri adalah salah satu Sahabat yang melakukan bai’at kepada Rasulullah yang berikrarkan
tidak akan tergoyah demi memperjuangkan agama Allah. Ia wafat pada tahun 74 H.
Dalam Kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad sesuai yang dikutip oleh Subkhi Soleh hanya
mengelompokkan dalam lima thabaqat[25]. Setelah diteliti, jumlahnya meningkat menjadi 12
thabaqat Sahabat menurut urutan yang lebih dahulu memeluk Islam, hijrah, dan mengikuti
perang, diantaranya sebagai berikut:[26]
1. Mereka yang lebih dulu masuk Islam, yaitu orang-orang uang beriman di Makkah, seperti
halnya sepuluh Sahabat yang mendapat kabar gembira akan masuk surga.
2. Anggota Dar an-Nadwah yang memeluk Islam sesudah Umar masuk Islam.
3. Para Sahabat yang hijrah ke Habsyah pada tahun kelima sesudah Rasulullah diutus.
Mereka terdiri dari 11 laki-laki dan 4 wanita. Diantara mereka adalah Uthman bin Affan,
Zubair bin Al-‘Awwan, Ruqayyah (isteri Uthman bin Affan dan putrid Nabi), Sahlah
binti Sahl (isteri Abu Hudzaifah). Sejajar dengan kelompok ini yaitu para Sahabat yang
melakukan hijrah kedua ke Habsyah. Jumlahnya sekitar 83 orang, diantaranya Ja’far bin
Abi Thalib dan isterinya Asma’ binti Umais, Abdullah bin Jahsy, Ummu Habibah (isteri
Ubaidullah), Abdullah (saudara Ubaidullah), Abu Musa dan Ibnu Mas’ud.
4. Pengikut perjanjian ‘Aqabah pertama. Meraka adalah 12 Sahabat Anshar. Diantaranya
adalah Jabir bin Abdullah, Uqbah bin Amir, As’ad bin Zurarah, dan Ubadah bin as-
Shamit.
5. Pengikut perjanjian ‘Aqabah kedua. Mereka terdiri dari 70 Sahabat Anshar disertai dua
orang wanita, diantaranya termasuk Al-Barra’ bin Ma’rur, Sa’ad bin Ubadah, dan Ka’ab
bin Malik.
6. Para Sahabat Muhajirin yang sampai ke Madinah, ketika Nabi saw masih berada di Quba,
menjelang memasuki Madinah.
7. Para pengikut perang Badar.
8. Para Sahabat yang hijrah diantara peristiwa Perang Badar dan Hudaibiyah.
9. Para Sahabat yang menaklukkan bai’at di bawah pohon Hudaibiyah.
10. Para Sahabat yang berhijrah sebelum penaklukkan Makkah dan sesudah peristiwa
Hudaibiyah, diataranya termasuk Khalid bin al-Walid.
11. Para Sahabat yang memeluk Islam pada saat penaklukkan Makkah. Jumlahnya lebih dari
seribu orang, diantaranya termasuk Mu’awiyyah bin Harb dan Hakim bin Hizam.
12. Anak-anak yang melihat Nabi saw pada hari penaklukkan Makkah dan Haji Wada’.
Diantaranya dua putra Ali yaitu Hasan dan Husain, As-Sa’ib bin Yazid al-Kalabi, dan
Abdullah bin az-Zubair.
Dari data tersebut bisa dijelaskan bahwa perbedaan jumlah Hadith yang diterima para Sahabat
disebabkan:
1. Sebagian para Sahabat yang memiliki kesibukan dalam memimpin sebuah khilafah atau
yang lebih dikenal dengan pemerintahan seperti halnya Abu Bakr as-Siddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan Zubair. Sedangkan yang
paling banyak masih dipegang oleh Abu Hurairah, sayyidah ‘Aisyah, Ibn Umar dan
lainya dikarenakan mereka tekun, jeli dalam penulisan serta kuat hafalannya dan tidak
mempunyai kesibukan apapun selain belajar dan memperoleh hadith dari Nabi. Bahkan
ada dari mereka menemani dalam keseharian Nabi, sehingga secara mudah dan terencana
apakah Hadith tersebut berupa perkataan, perbuatan maupun bentuk peragaan praktis
langsung dicernanya. Dari ini kita mendapatkan pelajaran bahwa sesuatu yang dilakukan
secara bersungguh-sungguh pasti akan membuahkan hasil yang memuaskan.
2. Dengan adanya pertanyaan dan permasalahan baru dari manusia sehingga para Sahabat
yang tekun termotivasi untuk mencari dan mendapatkan ha>dits yang langsung
disampaikan oleh Nabi.
3. Sebagian dari Sahabat mempunyai kesibukan membuka link keluar kota untuk
memperluas daerah kekuasaan seperti halnya Abdullah bin Umar yang mempunyai tugas
tersebut.
4. Perbedaan pencatatan pada masa Rasul disebabkan karena sedikitnya sarana penulisan
meskipun ini bukan penyebab perbedaan penerimaan sahabat dalam menerima hadith,
tetapi salah satu indikasi.[27]
5. Sebagian sahabat mendengar hadith dari Rasulullah saw dan mengamalkannya, akan
tetapi tidak merasa perlu mencatatnya.
6. Sebagian sahabat hanya sanggup mencatat sedikit, sementara sisanya disibukkan oleh
pencatatan al-Qur’an.
Dengan demikian, perbedaan jumlah Hadith yang diterima para sahabat, disebabkan mereka
tidak fokus dalam belajar dan memperoleh Hadith yang disampaikan Rasul dan beberapa faktor
yang mendorong mereka dalam memperluas kekuasaan demi menyerukan dakwah agama Allah
yakni Islam.
BAB III
KESIMPULAN
1. Dalam memyampaikan Hadith, Nabi menggunakan tiga metode yaitu metode lisan,
metode tulisan, dan metode peragaan praktis.
2. Perbedaan jumlah Hadith yang diperoleh para Sahabat disebabkan oleh banyak atau
tidaknya bertemunya mereka dengan Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
‘Azmillah, DR.Safar, Maqa>bisi an-naqd Mutuni as-sunnah, (Riyadh: Saudi Arabia, 1984)
Abu Zahwu, Muhammad Abu Zahwi, Al-Ha>dits wa Al-Muhadditsun, (Mesir: Maktabah al-
Misriyah, 1987).
At-Tahhan, DR. Mahmud, Ushu>l al-Takhrij wa Dirasah al-Asa>nid.Terj. Imam Ghazali Sa’id,
(Surabaya: Diantama, 2007)
Azamai, MM, Studies in Early Hadith Literatre, (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1991)
Dewan Redaksi, Enslikopedia Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)
Muslim, Shah}ih} Muslim, dalam Mausu’ah al-H}adits, (Riyadh: Dar al-sala>m, 2000)
2. Al-Mukhadramin
Al-mukhadramin adalah orang-orang yang hidup pada zaman jahiliah dan hidup pada zaman
Nabi saw dalam keadaan islam, tetapi tidak sempat bertemu/meliat langsung Nabi Muhammad
saw. istilah ini menurut Prof. Dr. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, tidak dimasukkan ke dalam
golongan sahabat dan tidak pula ke dalam golongan tabiin. Akan tetapi, menurut Mahmud at
Tahhan mereka termasuk at-Tabiin.
3. Tabiin
Menurut bahasa, kata at-Tabi’un merupakan bentuk jamak dari tabi’iy atau tabi’. Kata yang
terakhir ini merupakan ism fa’il dari kalimat tabi’ahu yang berarti berjalan di belakangnya.
Menurut istilah, tabiin adalah orang yang telah bertemu dengan sahabat dalam keadaan muslim
dan meninggal dalam memeluk Agama Islam. Juga dikatakan orang yang mengikuti sahabat.
Peninggalan istilah tabiin ini juga berguna dalam memilih hadis yang mursal dari hadis yang
muttasil.
Ada tujuh orang tabiin utama (terbesar/akabir) yang disebut al-Fuqaha as-Sab’ah,
mereka semuanya ulama besar tabiin, penduduk Madinah. Mereka itu adalah:
1. Said bin al-Musayyab
2. al- Qasim bin Muhammad
3. ‘Urwah bin az Zubayr
4. Kharijah bin Zayd
5. Abu Salamah bin ‘Abd ar-Rahman
6. ‘Ubaydullah bin ‘Utbah
7. Sulayman bin Yasar.1[1]
2. Tatsabbut Fi Ar-Riwayah
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa mereka
sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan tersebut
hanyalah menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekwensi dari gerakan
pembatasan tersebut, muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para
sahabat melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima dan memeriksa sunnah yang
mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya.
Al Hakim meriwayatkan, seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang pembagian warisan.
Abu Bakar mengatakan bahwa hal itu tidak ditemukan di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Lalu,
seorang sahabat, al-Mugirah, menyebutkan bahwa Rasul memberinya seperenam karena
kedudukannya sebagai kakek. Abu Bakar meminta al-Mugirah untuk mengajukan saksi terhadap
pengakuanya, lalu Muhammad bin Maslamah menyaksikannya, barulah hadisnya diterima.
Dengan demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah dilakukan sejak
masa Abu Bakar.
Umar juga melakukan hal yang sama seperti Abu Bakar. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan
bahwa Abu Musa al-Asy’ari memberi salam kepada Umar dari balik pintu rumah Umar
sebanyak tiga kali. Ia tidak mendengar ada jawaban dari dalam rumah, lalu ia kembali. Setelah
itu, Umar mengutus dan mempertanyakan kenapa Abu Hasan al-Asy’ari kembali. Ia
menjawab,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,” “Apabila salah seorang kamu memberi
salam sebanyak tiga kali, lalu ia tidak menjawabnya, maka hendaklah ia kembali.” Umar
meminta kesaksian terhadap pernyataan itu. Abu Hasan datang dengan wajah suram ke satu
majlis. Kami menanyakan ihwalnya, lalu ia menjelaskan kepada kami problema yang
dihadapinya. Ia berkata,”Apakah ada di antara kamu yang mendengar sunnah Nabi tersebut?”
Kami menjawab, “Kami semua mendengarnya.” Mereka mengutus bersamanya salah seorang di
antara mereka dan memberitakan sunnah tersebut kepada Umar bin al-Khattab.
Usman bin Affan pernah berwudu’, ia berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung,
kemudian ia membasuh mukanya tiga kali, membasuh kedua tangannya tiga kali-tiga kali,
selanjutnya ia menyapu kepalanya, dan kedua kakinya tiga kali-tiga kali. Kemudian, ia
berkata,”Aku melihat Rasulullah saw berwudu’ demikian,” “Hai hadirin, bukankah demikian!”
Mereka menjawab, “benar”.
Asma’ bin al-Hakam pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata,”… Apabila ada orang yang
menceritakan hadis kepadaku, aku menyuruhnya untuk bersumpah. Jika ia bersumpah maka aku
membenarkannya.” Hal ini juga dilakukan oleh sahabat lain, seperti Aisyah.
Marwan bin Hakam pernah menguji hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ada
kemungkinan, hal itu didasari kecurigaannya terhadap banyaknya riwayat yang dikemukakan
sahabat ini. Abu Hurairah diuandangnya untuk hadir ke tempatnya dan dipersilakan duduk di
dekat balai-balai. Lalu, marwan bertanya kepadanya dan Salim Abu Zur’ah, sekretaris Marwan,
menulis hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah. Kemudian, setelah beberapa bulan berlalu,
tepatnya di awal tahun, Marwan kembali mengundang Abu Hurairah dan mempersilakannya
duduk di balik tabir. Lalu, ia kembali bertanya tentang catatan hadis tersebut, ternyata Abu
Hurairah menjawabnya persis sebagaimana yang ia utarakan sebelumnya, bahkan susunannya
pun tidak berubah.
Berdasarkan keterangan di atas, ditemukan adanya upaya selektivitas yang dilakukan sahabat
untuk menerima periwayatan. Hal ini didorong kehati-hatian mereka terhadap terjadinya
pemalsuan, kesalahan, atau kealfaan dalam meriwayatkan hadis Rasul SAW. Sebaliknya, hal ini
bukanlah sikap eksklusif sebagian sahabat atau didasari sikap negatif untuk menyembunyikan
dan meninggalkan sunnah sebagaimana yang dilakukan kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu
indikasipun yang menggiring logika untuk menyimpulkan ke arah itu.
Cara penerimaan Hadis pada masa Rasulullah SAW tidak lah sama dengan cara penerimaan
Hadis pada masa generasi sesudahnya. Penerimaan Hadis pada masa Rasulullah SAW dilakukan
oleh Sahabat dekat beliau, seperti Khulafaur Rasyidindan kalangan Sahabt utama lainnya. Para
sahabat pada masa Nabi minat yang besar untuk memperoleh Hadis pada masa Rasul SAW, oleh
karena nya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW, agar ucapan, perbuatan dan taqrir
beliau dapat mereka terima atau mereke lihat secara langsung. Apabila ada diantara mereka yang
berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebetulan mengikuti atau hadir bersama Nabi
ketika itu untuk meminta apa yang telah mereka peroleh dari beliau.
Ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan Hadis Nabi SAW, yaitu:
Mendatangi majelis-majelis taklim yang diadakan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW selalu
menyediakan waktu-waktu khusus untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada para Sahabat.
Para sahabat selalu berusaha untuk menghadiri majelis tersebut meskipun mereka juga memiliki
kesibukan dengan pekerjaan nya masing-masing. Apabila mereka berhalangan maka mereka
bergantian menghadiri majelis tersebut, sebagaimana yang dilakukan Umar dan tetangganya.
Yang hadir memberi tahu informasi yang mereka dapatkan kepada yang tidak dapat hadir.
Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat, kemudian mereka menanyakan
hukumnya kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW memberikan fatwa atau penjelasan
hukum tentang peristiwa tersebut. Kasus yang terjadi adakalanya mengenai diri si penanya
sendiri, namun tidak jarang pula terjadi padi diri Sahabat lain yang kebetulan disaksikannya atau
didengarnya. Rasulullah SAW dalam hal ini tidak membedakan diantara Sahabat yang dating
bertanya kepada beliau, sehingga seorang Badawi yang dating dari tempat yang jauh pun akan
mendapat perlakuan yang sama dengan apa yang diperoleh sahabat yang selalu mendampingi
Rasul SAW. Bahkan apabila seorang Sahabat mendengar sesuatu (secara tidak langsung) dari
Rasulullah SAW, maka Sahabat tersebut, dalam rangka mengkonfirmasikan berita tersebut,
tanpa segan-segan menanyakan kembali hal tersebut kepada beliau. Dan pada.umumnya dalam
rangka, untukmendapatkan keterangan yang meyakinkan dan menenteramkan hati mereka
tentang peristiwa yang terjadi pada diri mereka, para Sahabat merasa malu untuk datang secara
langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi diantara mereka ada yang malu
untuk bertanya secara langsung kepada Rasulullah SAW tentang masalah tang dialaminya maka
biasanya Sahabat yang bersangkutan akan mengutus seorang sahabat yang lain untuk bertanya
tentang kedudukan masalah tersebut.
Kadang-kadang para sahabat menyaksikan Rasulullah SAW melakukan sesuatu perbuatan dan
sering kali yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji
dan lainnya. Sahabat yang menyaksikan perbuatan tersebut, kemudian menyampaikannya kepada
yang lainnya atau generasi sesudahnya. Setelah mendapatkan hadis dengan cara seperti itu, para
sahabat selanjutnya mengahapal hadis tersebut sebagaimana halnya dengan Al-Quran.
Pada dasarnya pada masa Rasulullah SAW sudah banyak umat Islam yang bisa membaca dan
menulis. Bahkan Rasul mempunyai sekitar 40 orang penulis wahyu disamping penulis-penulis
untuk urusan lainnya. Oleh karena argument yang mengatakan kurangnya jumlah umat Islam
yang pandai membaca dan menulis adalah penyebab tidak dituliskannya Hadis secara resmi pada
masa Rasulullah SAW adalah kurang tepat karena ternyata berdasarkan keterangan diatas terlihat
bahwa telah banyak umat Islam yang mampu membaca dan menulis.
Mengapa hadis belum ditulis secara resmi pada masa Rasulullah SAW, terdapat berbagai
keterangan dan argumentasi yang terkdang saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Diantaranya ditemukannnya hadis yang sebagiannya membenarkan dan mendorong penulisan
Hadis, disamping ada hadis lain yang melarang penulisan Hadis ini.
Ketiga riwayat di atas menunjukkan bahwa Rasul SAW melarang para Sahabat menuliskan
Hadis-hadis beliau, dan bahkan beliau memerintahkan Sahabat yang telah menuliskannya untuk
menghapus Hadis-hadis tersebut. Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, maka lahirlah pendapat di
kalangan para ulama yang menyatakan bahwa menuliskan Hadis Rasul SAW adalah dilarang.
Bahkan di kalangan para Sahabat sendiri terdapat sejumlah nama yang menyakini akan larangan
penulisan Hadis tersebut, seperti Abu Sa'id al-Khudri, 'Abd Allah ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy'
ari, Abu Hurairah, Abd Allah ibn 'Abbas, Jan Abd Allah ibn 'Umar.
1. Hadis Rafi’
Dari Raft' ibn Khudaij bahwa dia menceritakan, kami bertanya kepada Rasulullah, "Ya
Rasulullah, sesungguhnya kami mendengar dari engkau banyak hal (Hadis-hadis), apakah
(boleh) kami menuliskannya?" Rasulullah menjawab, "Tuliskanlah oleh kamu untukku dan tidak
ada keberatan (tidak ada dosa)" (H. R. al-Khatib)
Berkata Abu Syah, "Tuliskanlah bagiku khutbah itu ya Rasulullah." Maka Rasulullah SAW
bersabda: "Tuliskanlah oleh kamu untuk Abu Syah." Walid berkata, "Aku bertanya
kepadaal~Auza'i, 'Apakah yangdimaksudkan dengan perkataan Rasulullah "tuliskanlah olehmu
untuk Abu Syah." Auza'i menjelaskan, "Yang dimaksud dengannya adalah khutbah yang
didengamya dari Rasul SAW. " (H. R. Bukhari dan Ahmad)
Keempat Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasul SAW membolehkan bahkan menganjurkan
para Sahabat untuk menuliskan Hadis-hadis beliau.
Ada beberapa faktor yang mendukung terpeliharanya kesinambungan Hadis sejak masa Nabi
SAW, yaitu:
1. Quwwat al-dzakirah, yaitu kuatnya hafalan para Sahabat yang menerima dan mendengarkan
langsung Hadis-Hadis dari Nabi SAW, dan ketika mereka meriwayatkan Hadis-Hadis yang
sudah menjadi hafalan mereka tersebur kepada Sahabat lain ataupun generasi berikutnya,.
mereka menyampaikannya persis seperti yang mereka hafal dari Nabi SAW.
2. Kehati-hatian para Sahabat dalam meriwayatkan Hadis dari Rasulullah SAW. Hal ini mereka
lakukan adalah karena takut salah atau tercampurkan sesuatu yang bukan Hadis ke dalam Hadis.
Karena kehati-hatian tersebutlah, maka sebagian Sahabat ada yang sedikit sekali meriwayatkan
Hadis, seperti 'Umar ibn al-Khaththab. Selain itu, para Sahabat hanya akan meriwayatkan Hadis
manakala diperlukan saja, dan ketika meriwayatkannya me:reka berusaha secermat mungkin
dalam pengucapannya.
3. Kehati-hatian mereka dalam menerima Hadis, yaitu bahwa mereka tidak tergesa-gesa dalam
menerima Hadis dari seseorang kecuali jika bersama perawi itu ada orang lain yang ikut
mendengarnya dari.Nabi SAW atau dari perawi lain di atasnya. Menurut AI-Hafidz al- Dzababi.
Abu Bakar adalah orang pertama yang sangat berhati-hati dalam mrnenerima Hadis.
Diriwayatkan Ibn Syihab dari Qubaishah ibn Dzu'aib bahwa seorang nenek datang kepada Abu
Bakar meminta bagian warisan. Abu Bakar berkata kepadanya, "Tidak kudapatkaurn di dalam
Al-Qur'an bagian untukmu, dan tidak kuketahui pula bahwa Rasulullah menyebutkan bagian
untukmu,” Kemudian Abu Bakar bertanya para Sahabat, maka Al_Mughirah berdiri dan berkata,
“Kudengar Rasulullah SAW memberinya seperenam bagian.” Abu Bakar selanjutnya bertanya,
“Adakah bersamamu orang lain (yang mendengarnya)?” Maka berdiri Muhammad Ibn
Maslamah memberikan kesaksian tentang hal itu. Abu Bakar kemudian, berdasarkan kabar
tersebut, melaksanakan pemberian bagian tersebut.
Mustafa al-Siba’I berpendapat bahwa yang dijamin terpelihara dari usaha pengubahan
(pemutarbalikan) adalah Al-Dzikir dan Al-Dzikr, selain Al-Quran, juga meliputi Sunnah atau
Hadis. Dan apabila pendapat ini dapat diterima, maka ini merupakan factor penjamin yang cukup
penting, karena yang sifatnya langsung dari Allah SWT.
Demikian juga halnya dengan 'Umar ibn al-Khaththab, bahwa dia tidak mudah menerima suatu
Hadis sebagaimana yang terlihat dalam keterangan berikut. Ketika Abu Musa al-Asy'ari bertamu
kepada Umar, dia mengucapkan salam sampai tiga kali. “Umar mendengarnya, namun tidak
menjawab, karena ia mengira Abu Musa akan masuk menemuinya. Dugaan tersebut ternyata
meleset, karena dilihatnya Abu Musa kembali pulang. Ketika 'Umar mengejarnya dan
menanyakan mengapa dia berbalik pulang, Abu Musa menjelaskan bahwa Rasul.ullah SAW
pemah bersabda, “Apabila seseorang mengucapkan salam sampai tiga kali dan tidak juga
dijawab oleh si pemilik rumah, maka hendaklah dia pul.ang kembali”. Umar tidak puas atas
keterangan Abu Musa tersebut, bahkan Umar mengancamnya dengan hukuman apabila dia tidak
dapat menghadirkan bayyinah, yaitu seorang saksi atas keterangan yang disampaikan Abu Musa
tersebut. Dan, pada saat itu tampillah Ubay ibn Ka'ab memberikan penjelasan tentang kebenaran
riwayat tersebut, sehingga akhirnya Umar menerimanya dan seraya berkata, “Aku tidak
bermaksud menuduhmu yang bukan-bukan, tetapi aku khawatir kalau orang-orang berbicara
tentang Rasul SAW dengan mengada-ada” Menurut Ibn Qutaibah Umar Ibn al_Khaththab adalah
orang yang paling keras dalam menentang mereka dalam periwayatan Hadis. Hal itu
dimaksudkannya untuk menghindari kekeliruan dalam periwayatan Hadis.
Sejarah mencatat bahwa dalam periode Khulafaurrasyidin, khususnya masa Abu Bakar dan
Umar, begitu sedikit dan lamban. Hal ini disebabkan kecenderungan mereka secara umum untuk
menyedikitkan riwayat (taqlil al-riwayat), di samping sikap hati-hati dan teliti para Sahabat
dalam menerima Hadis. Pada dasarnya mereka bersikap demikian adalah karena khawatir akan
terjadi kekeliruan (al-khatha') dalam meriwayatkan Hadis, sebab Hadis merupakan sumber ajaran
Islarn setelah Al-Qur'an. Ketelitian serta kehati-hatian dalam menerima sebuah Hadis tidak
hanya terlihat pada diri para Khulafa' al-Rasyidin, tetapi juga pada para Sahabat yang-lain,
seperti Abu Ayyub al-Anshari. Abu Ayyub pernah melakukan perjalanan ke Mesir hanya dalam
rangka untuk mencocokkan sebuah Hadis yang berasal dari 'Uqbah ibn Amir.
Sikap kesungguhan dan kehati-hatian Sahabat dalam memelihara Hadis diikuti pula oleh para
Tabi'in yang datang sesudah mereka. Hal ini terlihat sebagaimana yang dilakukan oleh para
Tabi'in di Basrah. Mereka menganggap perlu untuk mengkonfirmasikan Hadis yang diterima
dari Sahabat yang ada di Basrah dengan Sahabat yang ada di Madinah. Jadi, sekalipun suatu
Hadis itu diterima mereka dari Sahabat, para Tabi'in masih merasa perlu untuk mencek
kebenaran Hadis tersebut dari Sahabat yang lain.
Pada umumnya, ketika terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat mendirikan masjid-masjid di
daerah-daerah baru itu dan di tempat-tempat yang baru itu sebagian dari mereka menyebarkan
ajaran Islam dengan jalan mengajarkan Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW kepada penduduk
setempat. Dengan tersebarnya para Sahabat ke daerah-daerah disertai dengan semangat
menyebarkan ajaran Islam, maka tersebar pulalah Hadis-Hadis Nabi SAW. Sejalan dengan
kondisi di atas, dan dengan adanya tuntutan untuk mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat
yang baru memeluk agama Islam, maka Khalifah 'Utsman ibn 'Affan, dan demikian juga Ali ibn
Abi Thalib, mulai memberikan kelonggaran dalam periwayatan Hadis. Akibatnya, para Sahabat
pun mulai mengeluarkan khazanah dan koleksi Hadis yang selama ini mereka miliki, baik dalam
bentuk hafalan maupun tulisan. Mereka saling memberi dan menerima Hadis antara satu dengan
yang lainnya, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan iktsar riwayah al-Hadits (peningkatan
kuantitas periwayatan Hadis). Keadaan yang demikian semakin menarik perhatian para
penduduk di daerah setempat untuk datang menemui para Sahabat yang berdomisili di kota
mereka masing-masing untuk mempelajari Al-Qur'an dan Hadis, dan mereka inilah yang
kemudian dikenal sebagai generasi Tabi'in yang berperan dalam menyebarluaskan Hadis pada
periode berikutnya.
Periwayatan Hadis pada masa Tabi’in umumnya masih bersifat dari mulut ke mulut (al-
musyafahat), seperti seorang murid langsung memperoleh Hadis- Hadis dari sejumlah guru dan
mendengarkan langsung dari penuturan mereka, dan selanjutnya disimpan melalui hafalan
mereka. Perbedaannya dengan periode sebelumnya adalah, bahwa pada masa ini periwayatan
Hadis sudah semakin meluas dan banyak sehingga dikenal istilah iktsar al-riwayah
(pembanyakan riwayat). Dan, bahkan pada masa ini pulalah dikenal tokoh-tokoh Sahabat yang
bergelar al-muktsirin (yang banyak memiliki Hadis) dalam bidang Hadis yang terdiri atas 7
orang dan di antaranya yang terbanyak adalah Abu Hurairah. Pada masa Tabi'in ini mulai dikenal
pula apa yang disebut dengan rihlah, yaitu perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari satu
kota ke kota lain dalam rangka mencari Hadis-Hadis yang diduga dimiliki oleh Sahabat yang
bertempat tinggal di kota lain tersebut. Tradisi rihlah untuk mendapatkan Hadis sebenarnya telah
mengakar pada Sahabat sejak zaman Rasul SAW. Namun, pada masa itu rihlah lebih bersifat
umum untuk tujuan mencari informasi ajaran Islam yang dinilai “baru”. Umpamanya,
diriwayatkan bahwa Dhamam ibn Tsa'labah pernah melakukan rihlah ke hadapan Nabi SAW
guna mendengarkan AI-Qur'an dan ajaran Islam yang dibawa beliau sesaat setelah ia mengetahui
adanya misi kerasulan Muhammad SAW. Dhamam kemudian kembali ke kaumnya segera
setelah secara tulus menyatakan keislaman dirinya.
Pada masa Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'i al-Tabi'in tradisi rihlah semakin berkembang dan terarah
kepada kegiatan mencari dan mendapatkan Hadis secara khusus. Banyak di antara mereka yang
menempuh perjalanan panjang dan melelahkan serta memakan waktu yang cukup lama untuk
tujuan mendengarkan suatu Hadis atau mencek validitas Hadis tersebut, atau karena ingin
bertemu dan bersilaturahmi dengan Sahabat untuk selanjutnya mendapatkan Hadis dari mereka.
Yang terakhir ini umumnya dilakukan oleh para Tabi'in. Dengan cara demikian, terjadilah
pertukaran riwayat antara satu kota dengan kota yang lain.
Abu Bakar al-Shiddiq, umpamanya, adalah seorang Sahabat yang berpendirian tidak menuliskan
Hadis. Diriwayatkan oleh AI-Hakim dengan sanadnya dari Al-Qasim ibn Muhammad, dari
'A'isyah r.a., dia ('A'isyah) mengatakan bahwa ayahnya mengumpulkan Hadis yang berasal dari
Rasul SAW yang jumlahnya sekitar 500 Hadis. Pada suatu malam Abu Bakar membolak-
balikkan badannya berkali-kali, dan tatkala Subuh datang dia meminta kepada A'isyah Hadis-
Hadis yang ada padanya. Selanjutnya, ketika 'A'isyah datang membawa Hadis-Hadis tersebut,
Abu Bakar menyalakan api, lalu membakar HadisHadis itu.
Demikian pula halnya dengan 'Umar ibn al-Khaththab yang semula berpikir untuk
mengumpulkan Hadis, namun tidak lama berselang, dia berbalik dari niatnya tersebut.
Diriwayatkan oleh 'Urwah ibn al-Zubair, bahwasanya 'Umar ibn al-Khaththab bermaksud hendak
menuliskan Sunnah, maka dia meminta fatwa para Sahabat yang lain tentang hal itu, dan para
Sahabat mengisyaratkan agar Umar menuliskannya. Umar kemudian melakukan istikharah
kepada Allah selama sebulan, dan akhirnya dia mengambil suatu keputusan yang
disampaikannya di hadapan para Sahabat, di suatu pagi, seraya berkata, “Sesungguhnya aku
bermaksud hendak membukukan Sunnah, namun aku teringat suatu kaum sebelum kamu yang
menuliskan beberapa kitab, maka mereka asyik dengan kitab-kitab tersebut dati meninggalkan
Kitab Allah; dan sesungguhnya aku, “Demi Allah, tidak akan mencampurkan Kitab Allah
dengan apa pun untuk selamanya.” Pada riwayat lain melalui jalur Malik ibn Anas, Umar, ketika
ia berbalik dari niatnya untuk menuliskan Sunnah, mengatakan, “Tidak ada suatu kitab pun yang
dapat menyertai Kitab Allah.”
Dari pernyataan 'Umar di atas, terlihat bahwa penolakannya terhadap penulisan Hadis adalah
disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam kepada mempelajari sesuatu yang lain
selain Al-Qur'an dan menelantarkan Kitab Allah (Al-Quran). Justru itu, dia melarang umat Islam
untuk menuliskan sesuatu yang lain dari Al-Qur'an, termasuk Hadis. Dan terhadap mereka yang
telah telanjur menuliskannya, “Umar memerintahkan mereka untuk membawanya kepadanya,
dan kemudian ia sendiri membakarnya”
Para Sahabat lain yang juga melaksanakan larangan penulisan Hadis pada masa-masa awal itu di
antaranya, adalah 'Abd Allah ibn Mas'ud, 'Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibn 'Abbas, dan
Abu Sa'id al-Khudri. Akan tetapi, tatkala sebab-sebab larangan penulisan Hadis tersebut, yaitu
kekhawatiran akan terjadinya percampur bauran antara Al-Qur'an dengan Hadis atau dengan
yang lainnya telah hilang, maka para Sahabat pun mulai mengendorkan larangan tersebut, dan
bahkan di antara mereka ada yang justru melakukan atau menganjurkan untuk menuliskan Hadis.
Hal tersebut adalah seperti yang dilakukan Umar, yaitu tatkala dia melihat bahwa pemeliharaan
terhadap Al-Qur'an telah aman dan terjamin, dia pun mulai menuliskan sebagian Hadis Nabi
SAW yang selanjutnya dikirimkannya kepada sebagian pegawainya atau sahabatnya. Abu
'Utsman al-Nahdi mengatakan, “Ketika kami bersama 'Utbah ibn Farqad, ’Umar menulis
kepadanya tentang beberapa permasalahan yang didengarnya dari RasuI SAW, yang di antaranya
adalah mengenai larangan Rasulullall SAW memakai sutera,”
Demikian pula halnya dengan para Sahabat lain yang semula melarang melakukan penulisan
Hadis, namun setelah kekhawatiran akan tersia-sianya Al-Qur'an, salah satu penyebab utama
pelarangan penulisan Hadis tersebut, hilang, maka mereka mulai membolehkan, bahkan
melakukan sendiri, penulisan Hadis. Akan halnya Tabi'in, sikap mereka dalam hal penulisan
Hadis adalah mengikuti jejak para Sahabat. Hal ini tidak lain adalah karena para Tabi'in
memperoleh ilmu, termasuk di dalamnya Hadis-Hadis Nabi SAW, adalah dari para Sahabat.
Dengan demikian adalah wajar kalau mereka bersikap menolak penulisan Hadis manakala sebab-
sebab larangannya ada, sebagaimana yang dilakukan oleh Khulafa' alRasyidin dan para Sahabat
lainnya; dan sebaliknya, manakala sebab-sebab larangan tersebut telah hilang maka mereka pun
sepakat untuk membolehkan penulisan Hadis, bahkan sebagian besar dari mereka mendorong
dan menggalakkan penulisan dan pembukuannya.
Sejalan dengan pendirian dan sikap para Sahabat, yaitu ada yang pro dan ada yang kontra
terhadap penulisan Hadis, karena adanya Hadis-Hadis yang melarang penulisan Hadis di
samping ada yang membolehkannya, maka sikap para Tabi'in juga demikian, yaitu ada di antara
mereka yang pro dan ada pula yang kontra. Di antara mereka yang menentang penulisan Hadis
adalah 'Ubaidah ibn 'Amr alSal-mani (w. 72 H), Ibrahim ibn Yazid al-Taimi (w. 92 H), Jabir ibn
Zaid (w. 93 H), dan Ibrahim al-Nakha'i (w. 96 H).
Keengganan para Tabi'in dalam penulisan Hadis ini semakin meningkat tatkala mereka
menyadari bahwa banyak di antara ahli Hadis di masa itu menyertakan pendapatnya ketika
meriwayatkan Hadis, sehingga dikhawatirkan apabila riwayat tersebut dituliskan akan terikut
pula dituliskan pendapat sang perawi, dan umat yang datang kemudian setelah mereka
kemungkinan besar akan menduga bahwa pendapat sang perawi tersebut adalah Hadis juga.
Kebanyakap ahli Hadis pada masa Tabi'in adalah juga ahli Fiqh (Fuqaha), dan ahli Fiqh
cenderung menggabungkan antara Hadis dengan pendapatnya sehingga dikhawatirkan pendapat
dan ijtihadnya tersebut disatukan dengan Hadis-Hadis Rasul SAW. Sebagai contoh, adalah
sebagaimana yang diriwayatkan berikut ini:
Te1ah datang seorang laki-Iaki kepada Sa'id ibn alMusayyab, salah seorang Fuqaha dari
kalangan Tabi'in yang meriwayatkan larangan menuliskan Hadis. Laki-laki tersebut menanyakan
suatu Hadis kepada Ibn al-Musayyab, yang dijawab oleh Ibn al-Musayyab dengan
mengemukakan Hadis tersebut kepada laki-laki tadi. Setelah itu, laki-laki tersebut menanyakan
tentang pendapat Ibn alMusayyab berkenaan dengan Hadis tadi, yang pertanyaan tersebut segera
dijawab oleh Ibn al-Musayyab dengan mengemukakan pendapatnya. Laki-laki itu ternyata
menuliskan pendapat Ibn al-Musayyab tersebut bersama-sama dengan Hadis yang baru saja di
diktekan oleh Ibn alMusayyab. Melihat kejadian itu, salah seorang yang ketika itu hadir bersama
Ibn al-Musayyab berkata, “Apakah pendapatmu juga dituliskannya, wahai Abu Muhammad?”
Mendengar hal itu, Sa'id ibn al-Musayyab berkata kepada laki-laki tadi, “Berikan kepadaku
lembaran catatan itu.” Laki-laki tersebut memberikannya, dan Ibn al-Musayyab segera
mengoyaknya.
Berdasarkan peristiwa di atas, terlihat bahwa yang sebenarnya tidak disukai oleh para Ulama dari
kalangan Tabi'in adalah penulisan pendapat mereka bersama-sama dengan Hadis NabiSAW, dan
bukan penulisan Hadis itu sendiri. Karena apabila hal itu terjadi, besar kemungkinan akan terjadi
percampuran antara pendapat mereka dengan Hadis Nabi SAW. Hal ini serupa dengan
pelarangan penulisan Hadis yang dilakukan oleh Rasul SAW dan para Sahabat sebelumnya, yang
tujuan utamanya adalah agar tidak terjadi percampuran antara Hadis dengan Al-Qur'an.
Oleh karena itu, ketika kekhawatiran akan terjadinya percampuran antara penulisan Hadis
dengan pendapat perawinya telah dapat diatasi, maka sebagian besar Tabi'in memberikan
kelonggaran bahkan mendorong murid-murid mereka untuk menuliskan Hadis-Hadis yang
mereka ajarkan. Terdapat di kalangan Tabi'in itu sendiri mereka yang sangat antusias dalam
menuliskan Hadis-Hadis yang mereka terima dari para Sahabat. Di antaranya adalah Sa'id ibn
Zubair (w. 95 H) yang menuliskan Hadis-Hadis yang diterimanya dari Ibn 'Abbas. Demikian
juga halnya dengan 'Abd al-Rahman ibn Harmalah yang diberi kelonggaran oleh Sa'id ibn al-
Musayyab (w. 94 H) untuk menuliskan Hadis-Hadis yang berasal dari dirinya ketika 'Abd al-
Rahman mengeluhkan buruknya hafalannya kepada Ibn al-Musayyab. 'Amir al-Sya'bi, seorang
Ulama Fiqh dari kalangan Tabi'in, bahkan memerintahkan para muridnya untu'k menuliskan
setiap Hadis yang disampaikannya kepada mereka, dengan mengatakan, “Apabila kamu
mendengar sesuatu (Hadis), dariku maka kamu tulislah Hadis tersebut walau di dinding
sekalipun.” Dorongan yang sama untuk menuliskan Hadis bagi para muridnya juga dilakukan
oleh Al-Dhahhak ibn Muzahim (w. 105 H).
Kegiatan penulisan Hadis, di masa Tabi'in semakin meluas pada akhir abad pertama dan awal
abad kedua Hijriah. 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz (61-101 H), sebagai seorang Amir al-Mu'minin
ketika itu, juga turut aktif secara langsung mencari dan menuliskan Hadis. Diriwayatkan dari Abi
Qilabahal-Jarmi al-Bashri (w. 104 H), dia mengatakan, “Keluar bersama kami 'Umar ibn 'Abd al-
'Aziz di suatu hari untuk melaksanakan shalat zuhur dan dia membawa kertas bersamanya.
Selanjutnya dia juga keluar bersama karni untuk melaksanakan shalat asar, juga sambil
membawa kertas, dan pada saat itu aku bertanya kepadanya, “Wahai Amir al-Mu'minin, kitab
apakah ini?” Dia menjawab, “Ini adalah Hadis yang diriwayatkan oleh 'Aun ibn'Abd Allah, dan
Hadis tersebut menarik perhatianku sehingga aku menuliskannya”
https://salwintt.wordpress.com/artikel/kisah-
islami/penyebaran-hadits-masa-sahabat-dan-
tabiin/
Penyebaran Hadits Masa Sahabat
dan Tabi’in
PESEBARAN HADITS PADA MASA SHAHABAT DAN TABI’IN
A. PENDAHULUAN
Berpijak pada al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4, maka jelas bahwa segala yang terkait dengan
kehidupan Nabi Muhammad SAW—fi’liyah, qouliyah dan taqririyah—merupakan misi ilahiyah
yang harus dicermati dan dipedomani manusia, baik oleh orang yang tahu akan kebenaran Islam
dan melaksanakannya atau orang yang pura-pura tidak tahu dan enggan melaksanakannya.
Keterkaitan antara hal ihwal Nabi Muhammad dengan umat-umat sesudahnya merupakan satu
rangkaian sejarah yang menimbulkan perbincangan serius. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan redaksi yang disebabkan individualitas penulisan para sahabat dan perbedaan
persepsi. Dengan demikian, untuk memahami hadits lebih lanjut, kita dituntut menguasai ilmu-
ilmu yang terkait dengannya. Dari situ bisa kita lihat kebenaran isi (matan) dan mata rantai sanad
yang menjadi inti dari memperbincangkan hadits Nabi Muhammad Saw. Juga bisa dilihat
bagaimana sikap para sahabat akan kebenaran “khabar” itu dan siapa yang berperan dalam
periwayatan tersebut.
Di samping para sahabat, yang juga getol dalam membela eksistensi hadits adalah kalangan
Tabi’in. Di mana kalangan tabi’in merupakan periode kedua setelah sahabat yang dengan
kepiawaiannya mereka bisa mencari keaslian makna hadits. Sehingga, dari rentetan pencarian
kebenaran tersebut kita bisa menilai apakah hadits itu bisa diterima atau tidak. Dalam makalah
ini akan dikupas beberapa hal yang terkait dengan Pesebaran hadits dimasa shahabat dan tabi’in,
B. PEMBAHASAN
1. Shahabat
Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah saw dalam keadaan mu’min dan
meninggal dalam keadaan mu’min. Selain memperhatikan al-Qur’an, pada masa ini Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali secara sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan periwayatan
hadits. Hal ini berdasarkan perintah Nabi untuk menyampaikan hadits kepada sahabat lain yang
tidak bisa hadir saat hadits disampaikan.
Setelah Rasul SAW wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh sahabat-sahabatnya. Abu Bakar
terpilih menjadi khalifah menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin
temporal (politik) umat Islam, sekaligus mengurus perjuangan spritual menegakkan syari’at
Islam. Pada awalnya dua hal ini adalah satu seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.
Setelah Abu Bakar, estafet kepemimpinan dilanjutkan secara bergantian oleh Umar bin al-Khat-
tab, Usman bin Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Sunnah di dalam pemerintahan khalifah ar-
Rasyidun tersebut tetap menjadi pegangan utama sahabat setelah Al Qur’an.
Dalam dua pemerintahan Islam, Abu Bakar dan Umar, tidak ditemukan gerakan periwayatan
sunnah yang signifikan sebagaimana yang terjadi setelahnya. Pada pemerintahan Abu Bakar,
konsentrasi umat terpusat pada upaya konsolidasi dan meredam pemberontakan kelompok
murtad, Nabi palsu, dan pengingkar zakat. Pada paruh akhir kekuasaannya, perhatian tertuju
pada pengumpulan dan kodifikasi Al Qur’an. Demikian juga dalam masa pemerintahan Umar.
Khalifah Umar, sangat selektif menerima riwayat, bahkan terkesan sangat hati-hati. Dalam masa
pemerintahan Usman dan Ali, suasana telah berubah, maka mulailah muncul berbagai riwayat,
tidak terkecuali adanya pemalsuan yang dilakukan non sahabat untuk mendukung fraksi-fraksi
politik umat.
Selain Al Qur’an sebagai sumber pertama hukum Islam, Sunnah Rasulullah SAW menempati
urutan kedua. Ketika menjelang wafatnya Rasul SAW ia bersabda, “Aku meninggalkan bagi
kamu dua hal, jika kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan
sunnahku.” Para sahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul SAW tersebut. Yang dimaksud
dengan berpegang kepada kitab Allah adalah menjadikan Al Qur’an sebagai way of life. Ini
berarti para sahabat mengamalkan perintah yang terdapat di dalamnya dan menjauhi
larangannya. Berpegang pada Sunnah Nabi SAW berarti mengikuti petunjuk Nabi SAW dan
memelihara kemurniannya. Oleh sebab itu, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut,
sahabat sangat hati-hati sekali meriwayatkan sunnah Nabi SAW.
Secara umum dapat dikemukakan dua poin penting tentang metode sahabat memelihara
kemurnian Sunnah Nabi saw. Metode tersebut yaitu:
1. Taqlil ar-Riwayah
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan adanya upaya
meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut semakin kuat ketika Umar memegang tampuk
kekhalifahan. Umar memberlakukan hukuman dera bagi siapa saja yang memperbanyak
periwayatan hadis. Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Hurairah ketika ditanya kenapa beliau
tidak banyak meriwayatkan hadis pada era pemerintahan Umar. “Jika aku memberitakan hadis
pada masa Umar sebagai yang aku beritakan kepada kamu (saat ini), niscaya ia akan
memukulku.” Demikian jawaban Abu Hurairah. Dalam masa berikutnya, kendatipun tidak ada
lagi tekanan dari Umar, Abu Hurairah tetap tidak mau memperbanyak periwayatan. Hal ini
merupakan kesadaran sendiri dari diri beliau untuk mengikuti sunnah dua Khalifah al-Rasyidin,
Abu Bakar dan Umar. Namun, dalam suatu saat sebagaimana yang dikemukakan al-Bukhari,
beliau membaca dua ayat Al Qur’an surah al-Baqarah ayat 159 dan 160. Sejak saat itu barulah
beliau memperbanyak periwayatannya.
Sahabat-sahabat lain, juga terkesan menyedikitkan riwayat. Abu ‘Ubaidah, ‘Abbas bin ‘Abd al-
muth-thalib, mereka tidak banyak meriwayatkan hadis, tidak seimbang jumlah hadis yang
mereka riwayatkan dengan kedekatan keseharian mereka dengan Rasul SAW. Demikian pula
misalnya dengan Sa’id bin Zaid, salah seorang sahabat yang dijamin Rasul masuk surga, tidak
meriwayatkan hadis kecuali hanya sekitar dua sampai tiga hadis.
As-Sa’ib bin Yazid pernah berkata, “Aku berteman dengan Sa’d bin Malik dari Madinah ke
Makkah, tidak satupun kudengar beliau menyampaikan hadis dari Nabi saw. Az-Zubair pernah
ditanya anaknya, “Abdullah bin Zubair, “Aku tidak mendengar engkau menyampaikan hadis
Rasul saw sebagaimana yang disampaikan sipulan dan si pulan.” Beliau menjawab, “Sungguh
aku tidak akan memenggalnya, tetapi aku mendengar Nabi bersabda,” “Siapa yang berdusta atas
namaku, maka ia menyediakan tempat duduknya dari api neraka.”
Jika diamati, mengapa sahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan jawaban di sekitar hal
ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian.
Pertama, pada masa Abu Bakar, pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah politik,
khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda khilafah
Islam. Oleh sebab itu, gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas.
Kedua, sahabat masih dekat dengan era Nabi, dimana umumnya mereka mengetahui sunnah.
Sehingga persoalan-persoalan hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada
diri mereka. Memang diakui adanya pergeseran-pergeseran kehidupan dan munculnya masalah
baru yang ditemui para sahabat, tetapi itu tidak terlalu signifikan sebagaimana yang ditemukan
generasi setelah sahabat. Dalam masalah-masalah pengecualian seperti persoalan baru atau salah
seorang diantara mereka tidak mengetahui adanya sunnah, maka mereka saling memberi
peringatan.
Abu Bakar, ketika diajukan kepadanya persoalan hukum, beliau melihatnya di dalam kitab Allah.
Jika ia menemukannya ia memutuskan dengan ketentuan kitab Allah. Ketika ia tidak
menemukannya juga, ia melihatnya di dalam sunnah Nabi SAW. Lalu, ia menghukum dengan
sunnah tersebut. Jika ia tidak menemukannya, ia bertanya kepada masyarakat, “Apakah kamu
mengetahui Rasulullah memutuskan perkara ini?” Maka, terkadang berdiri satu kaum, merka
berkata, “Rasul menetapkannya begini dan begitu.” Jika tidak ditemukan adanya sunnah Nabi
saw yang menjelaskannya maka para pemimpin masyarakat berkumpul dan
memusyawarahkannya. Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, hal yang sama juga dilakukan oleh Umar bin
al-Khattab.
Ketiga, para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi Al Qur’an.
Kegiatan ini bukanlah pekerjaan mudah, sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi tulisan-tulisan
dan hapalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku, mushaf. Zaid bin Tsabit, pernah
berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin penyusunan kembali tulisan Al Qur’an bahwa ia
lebih suka disuruh memindahkan gunung Uhud ketimbang melakukan pekerjaan ini.
Keempat, adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya ‘Umar, agar sahabat
menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan
diiringi sikap ketegasannya. Dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin melakukan penyebaran
Al Qur’an lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah. Sebab, andaikata gerakan sunnah lebih
diutamakan, maka kemungkinan masyarakat yang baru memeluk Islam akan melupakan Al
Qur’an dan lebih memprioritaskan Sunnah. Dengan demikian, regenerasi penghafal Al Qur’an
tentu tidak akan mencapai kesuksesan, karena perhatian kepada Sunnah. Padahal diketahui
bahwa Umar merupakan pemarkasa penulisannya Al Qur’an dengan alasan kekhawatirannya
yang besar atas wafatnya sahabat-sahabat Nabi penghafal Al Qur’an dalam memerangi kaum
murtad di masa Abu Bakar.
Kelima, sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh mereka yang baru
masuk Islam, sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Al Qur’an. Umar
pernah mempersyaratkan penerimaan hadis dengan mendatangkan saksi atau melakukan sumpah,
namun beliau juga pernah menerima hadis tanpa persyaratan itu.
Keenam, sahabat takut terjerumus ke dalam dosa kalau-kalau mereka salah dalam meriwayatkan
Sunnah.
2. Tatsabbut Fi Ar-Riwayah
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa mereka sama
sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah
menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekwensi dari gerakan pembatasan
tersebut, muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat
melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima dan memeriksa sunnah yang mereka
riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya.
Al Hakim meriwayatkan, seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang pembagian warisan.
Abu Bakar mengatakan bahwa hal itu tidak ditemukan di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Lalu,
seorang sahabat, al-Mugirah, menyebutkan bahwa Rasul memberinya seperenam karena
kedudukannya sebagai kakek. Abu Bakar meminta al-Mugirah untuk mengajukan saksi terhadap
pengakuanya, lalu Muhammad bin Maslamah menyaksikannya, barulah hadisnya diterima.
Dengan demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah dilakukan sejak
masa Abu Bakar.
Umar juga melakukan hal yang sama seperti Abu Bakar. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan
bahwa Abu Musa al-Asy’ari memberi salam kepada Umar dari balik pintu rumah Umar
sebanyak tiga kali. Ia tidak mendengar ada jawaban dari dalam rumah, lalu ia kembali. Setelah
itu, Umar mengutus dan mempertanyakan kenapa Abu Hasan al-Asy’ari kembali. Ia
menjawab,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,” “Apabila salah seorang kamu memberi
salam sebanyak tiga kali, lalu ia tidak menjawabnya, maka hendaklah ia kembali.” Umar
meminta kesaksian terhadap pernyataan itu. Abu Hasan datang dengan wajah suram ke satu
majlis. Kami menanyakan ihwalnya, lalu ia menjelaskan kepada kami problema yang
dihadapinya. Ia berkata,”Apakah ada di antara kamu yang mendengar sunnah Nabi tersebut?”
Kami menjawab, “Kami semua mendengarnya.” Mereka mengutus bersamanya salah seorang di
antara mereka dan memberitakan sunnah tersebut kepada Umar bin al-Khattab.
Usman bin Affan pernah berwudu’, ia berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung,
kemudian ia membasuh mukanya tiga kali, membasuh kedua tangannya tiga kali-tiga kali,
selanjutnya ia menyapu kepalanya, dan kedua kakinya tiga kali-tiga kali. Kemudian, ia
berkata,”Aku melihat Rasulullah saw berwudu’ demikian,” “Hai hadirin, bukankah demikian!”
Mereka menjawab, “benar”.
Asma’ bin al-Hakam pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata,”… Apabila ada orang yang
menceritakan hadis kepadaku, aku menyuruhnya untuk bersumpah. Jika ia bersumpah maka aku
membenarkannya.” Hal ini juga dilakukan oleh sahabat lain, seperti Aisyah.
Marwan bin Hakam pernah menguji hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ada
kemungkinan, hal itu didasari kecurigaannya terhadap banyaknya riwayat yang dikemukakan
sahabat ini. Abu Hurairah diuandangnya untuk hadir ke tempatnya dan dipersilakan duduk di
dekat balai-balai. Lalu, marwan bertanya kepadanya dan Salim Abu Zur’ah, sekretaris Marwan,
menulis hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah. Kemudian, setelah beberapa bulan berlalu,
tepatnya di awal tahun, Marwan kembali mengundang Abu Hurairah dan mempersilakannya
duduk di balik tabir. Lalu, ia kembali bertanya tentang catatan hadis tersebut, ternyata Abu
Hurairah menjawabnya persis sebagaimana yang ia utarakan sebelumnya, bahkan susunannya
pun tidak berubah.
Berdasarkan keterangan di atas, ditemukan adanya upaya selektivitas yang dilakukan sahabat
untuk menerima periwayatan. Hal ini didorong kehati-hatian mereka terhadap terjadinya
pemalsuan, kesalahan, atau kealfaan dalam meriwayatkan hadis Rasul SAW. Sebaliknya, hal ini
bukanlah sikap eksklusif sebagian sahabat atau didasari sikap negatif untuk menyembunyikan
dan meninggalkan sunnah sebagaimana yang dilakukan kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu
indikasipun yang menggiring logika untuk menyimpulkan ke arah itu.
3. Man’u Ar-Ruwat Min At-Tahdits Bima Ya’lu ‘Ala Fahm Al ‘Ammah
Ditemukan pula adanya gerakan pelarangan riwayat karena dikhawatirkan terjadinya
kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut. Pelarangan ini khusus terhadap riwayat yang dapat
mengundang kesalahpahaman dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan pemahaman yang
keliru tersebut. Misalnya, hadis yang menjelaskan tentang syahadat. Nabi bersabda, “ Tidak
seorang pun yang bersaksi bahwa tia tuhan kecuali Allah dengan kesungguhan di dalam hatinya,
kecuali Allah mengharamkannya api neraka.” Mu’az berkata, “Wahai utusan Allah, aku akan
memberitahu manusia, maka niscaya mereka akan bergembira.” Sekoyong-koyong berpeganglah
kamu.” Umar bin al-Khattab melarang Abu Hurairah untuk menyebarkan hadis yang
dikemukakan kepada Mu’az tersebut. Ia bergegas menemui Rasul saw seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, engkau telah mengatakan kepada Abu Hurairah begini dan begitu,“ Nabi SAW
menjawab,”Benar,” Umar berkata,”Jangan engkau lakukan itu, aku takut manusia akan
berpegang padanya dan mencederai mereka dalam bertindak.” Nabi SAW mengakuinya, dan
berkata,”Mereka akan rusak.”
Pelarangan ini dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk menyembunyikan ilmu,
melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar. Sebab, masyarakat umum tidak memiliki
tingkat kecerdasan yang sama. Riwayat seperti ini dapat menjerumuskan mereka untuk
meninggalkan syariat Allah. Oleh sebab itu, sangat bijak jika Ibn Abbas berkata,”Ceritakan
kamulah hadis kepada manusia sesuai dengan kecerdasan mereka. Apakah kamu menghendaki
mereka mendustakan Allah dan Rasul.” Disebabkan salah memahami satu hadis mereka
mendustakan seluruh syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Muslim meriwayatkan di dalam
mukaddimahnya bahwa Ibn Mas’ud mengatakan, “Orang yang menyampaikan hadis di luar
jangkauan kecerdasan mereka, maka akan menjadi fitnah bagi kaum tersebut.
2. Tabi’in
Tabi’in Orang Islam yang bertemu dengan sahabat, berguru dan belajar kepada sahabat, tapi
tidak bertemu dengan Nabi dan tidak pula semasa dengan Nabi. Tabi’in Besar (Kibar Tabi’in)
Tabi’in yang banyak bertemu sahabat, belajar dan berguru kepada mereka. Tabi’in besar besar
ini diantaranya yang dikenal dengan fukaha tujuh, yaitu: Sa’id Ibn Musayyab. Al-Qasim Ibn
Muhammad Abu Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali,
Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf Tabi’in Kecil (Sighor Tabi’in):
Tabi’in yang sedikit bertemu sahabat dan lebih banyak belajar dan mendengar hadist dari Tabi’in
besar.
Peranan Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah hadist tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu
pernanan besar dalam kesinambungan dan pemeliharaan hadist. Khusunya setelah masa
pemerinatahan Utsman dan Ali. Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali Bin Ali Thalib,
mulailah usaha dan kesungguhan mencari hadist dan menghafal hadist oleh kalangan Tabi’in
dengan mengadakan perjalanan untuk sekedar mencari ilmu (ilmu ketika itu berupa pencarian
hadist-hadist Nabi).
Setelah Islam menguasai Syam (Jordan sekarang), Irak, Mesir, Samarkand (Asia) dan Spanyol,
para sahabat banyak berhijrah ke daerah-daerah baru itu untuk berdakwah dan sekaligus
mendirikan madrasah-madrasah sebagai wadah untuk menyebarkan ilmu. Daerah yang didatangi
para sahabat itu kemudian dikenal sebagai pusat penyebaran ilmu yang nantinya menghasilkan
sarjana-sarjana Islam, khususnya dalam disiplin ilmu hadist dari kalangan Tabi’in.
Dengan demikian, para tabi’in ini menerima hadist dari para sahabat sekaligus mereka pula
belajar kepada sahabat tentang makna dan arti hadist yang mereka terima. Di masa tabi’in pun,
para shighor sahabat, masih terus menimba ilmu. Khususnya mencari hadist dengan belajar
kepada sahabat-sahabat besar. Jika sahabat besar itu ternyata berhijrah ke daerah-daerah lainnya,
seperti di Mesir, di Jordan atau di Irak sekalipun, sahabat kecil inipun, yang berada di kota
Mekkah ataupun Madinah, langsung mengadakan perlawatan ke daerah itu hanya untuk bertanya
tentang satu hadist atau berguru langsung ke sahabat tersebut.
Hal ini dibuktikan dari riwayat Bukhari, Ahmad, Thabarani ataupun Baihaqi, bahwa Jabir pernah
pergi ke Syam, yang memakan waktu sebulan untuk sampai di Syam hanya untuk menanyakan
satu hadist saja yang belum pernah di dengarnya. Sahabat yang didatangi nya adalah Abdullah
Ibn Unais Al-Anshary. Demikian pula halnya dengan Abu Ayyub Al-Anshory yang pernah
melawat ke Mesir untuk menemui Uqbah Ibn Amir untuk bertanya satu hadist saja.
Para Tabi’in Belajar Kepada Sahabat Mulailah babak baru penyebaran hadist di masa tabi’in dan
mereka mulai mencarinya sekaligus belajar kepada sahabat-sahabat yang mulai bertebaran di
beberapa pelosok bahkan di beberapa Negara. Ada yang menarik dari periode tabi’in ini, jika
diketahui ada seorang sahabat Nabi berkunjung ke daerahnya, mereka berlomba-lomba
mendatanginya untuk belajar. Terkadang para tabi’in mengklasifikasi penerimaan hadist mereka
dengan beberapa kategori, artinya mereka mementingkan kriteria yang pertama kemudian kedua
dan seterusnya. Kriteria itu adalah:
1. Sahabat yang pertamna kali masuk Islam, seperti: Khulafa Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud dll
2. Sahabat yang terus-menerus hidup bersama Nabi dan kuat hafalannya seperti: Abu Hurairah,
Ibnu Abbas dll
3. Selain mendengar hadist langsung dari Nabi dan dari sahabat lainya, sahabat inipun panjang
umurnya, seperti: Anas Bin Malik dll
4. Riwayat dari para istri Nabi
5. Sahabat yang memiliki catatan hadist pribadi, seperti, Abdullah Bin Ash dll Tokoh-Tokoh
Hadist Di Kalangan Tabi’in Di Madinah: Sa’id Ibn Musayyab. Al-Qasim Ibn Muhammad Abu
Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah,
Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf, Nafi, Az-Zuhry, Sulaiman Ibn Yassar dll Di Mekkah:
Ikrimah, Atha Ibn Aii Rabah, Dhohak, (ketiganya murid Ibn Abbas), Abul Zubair dll Di Kuffah:
Asy-Sya’by, Ibrahim An-Nakhai, Alqamah an-Nakhai dll Basrah: Hasan al-Bashri, Muhammad
ibn Sirrin, Qatadah Di Syam: Umar ibn Abdil Aziz, Qabishah dll Di Mesir: Yazid Ibn Habib Di
Yaman: Wahhab ibn Munabbih dll.
Para tabi’in memperoleh hadits dari para sahabat. Mereka berbaur dan mengenal segala sesuatu
dari para sahabat dan mereka juga membawa sebgaian besah hadis Rasul dan para sahabat.
Mereka benar-benar mengetahui kapan para sahabat melarang penulisan hadis dan kapan mereka
memperbolehkannya. Mereka benar-benar mengambil teladan dari para sahabat yang merupakan
generasi pertama yang membwa Alquran dan hadis. Karena alasan-alasan yang menyebabkan
khulafaurrasyidin dan para sahabat lain melarang penulisan hadis sama dengan alasan-alasan
yang menjadi pertimbangan para tabi’in dalam pelarangannya, sehingga semua mengacu pada
titik yang sama. Para tabi’in akan melarang penulisan al-Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan
akan menyepakati kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan
meyoritas mereka menganjurkannya.
I. MUNCUL PEMALSUAN HADITS
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang
shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup
panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok yaitu;
pertama: golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali bin Abi Thalib. Kedua: golongan khawarij, penentang
Ali dan Mu’awiyah, ketiga: golongan jama’ah yang tidak mendukung kedua golongan di atas.
Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut didorong akan adanya keperluan
dan kepentingan golongan masing-masing. Mereka mendatangkan keterangan dan hujjah untuk
mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu:
a. Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadits yang dapat dijadikan hujjah.
b. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat Alquran dan menafsiri
hadits-hadits sesuai dengan golongannya.
c. Langkah terakhir, apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua sumber tersebut, maka
mereka memalsukan hadis-hadis, dan yang pertama mereka palsukan adalah hadits yang
mengenai orang-orang yang mereka agung-agungkan.
Yang mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan Syi’ah, sebagaimana, diakui Ibn
Ali al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dengan mengatakan bahwa asal mula timbulnya hadis yang
menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan syiah sendiri. Tindakan tersebut
ditandingi oleh golongan jamaah memalsukan hadis-hadis yang dibuat oleh golongan syiah.
Dengan memperhatikan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa kota yang mula-mula
mengembangkan hadis-hadis palsu adalah baghdad, karena kaum syi’ah berpusat di sana.
Bahkan al-Zuhri, seorang tabi’in berkata: “hadis keluar dari sejangkal, lalu kembali kepada kami
sehasta”, sehingga tidak aneh jika Imam Malik menamakan Baghdad dengan pabrik hadis
palsu.Mulai saat itu, terdapat hadits-hadits yang shahih dan hadis-hadis yang palsu, tetapi di lain
pihak terdapat golongan yang menentang orang-orang yang yang suka membuat hadis palsu,
dengan membedakan mana hadis yang shahih dari hadis yang palsu. Mereka melakukan
penelitian mengenai segala hal yang berkaiatan dengan hadits Nabi SAW, baik secara riwayat
maupun dirayat dan menetapkan aturan-aturan yang tetap agar hadis dapat selamat sampai ke
tangan penerusnya. Cara-cara ulama dalam menjaga hadis, yaitu dengan adanya keharusan
menyebutkan sanad, mengadakan perlawatan mencari hadis dan berhati-hati dalam
menerimanya, mengadakan penelitian terhadap orang-orang yang diduga sering membuat hadis
palsu dan memerangi mereka, menjelaskan keadaan perawi dan menetapkan kaidah-kaidah untuk
dapat mengetahui hadis-hadis palsu.
Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan
hadits berikutnya, yaitu;
1. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu
(maudhu) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk
menjatuhkan posisi lawannya.
2. Pengaruh positifnya ialah, lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya
kodifikasi hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat
dari pergolakan politik tersebut.
C. PENUTUP
Betapa besar nikmat yang telah dirasakan oleh umat manusia saat ini. Dapat mengkaji dan
meneliti akan sebuah hadits dengan mudahnya, melalui kitab-kitab hadis yang telah terkodifikasi
oleh para ulama dahulu. Andaikan dahulu, para sahabat dan tabi’in tidak terbersit dalam pikiran
mereka untuk mengkodifikasi hadits-hadits Nabi, mungkin sekarang ini manusia sulit dalam
menentukan segala macam hukum dan permasalahan yang muncul.
Penyebaran Hadist di masa sahabat dan tabi’in berkembang pesat yang ditandai dengan gerakan
mencari ilmu oleh para sahabat sendiri kepada sahabat lainnya dari masalah yang tidak
diketahuinya. Tidak jarang seorang sahabat pergi menemui sahabat lainya yang berjarak ribuan
kilometer untuk menanyakan hanya satu hadist saja.
Begitu pula para tabi’in yang tidak segan-segan mendatangi daerah tertentu untuk belajar kepada
seorang sahabat ataupun beberapa sahabat sekaligus. Pencariaan ilmu saat itu berupa pencarian
tafsir Qur’an dan hadist-hadist Nabi beserta penjelasan nya. Islam tersebar luas dan terus
mengeliat ketika itu dibawah dakwah para sahabat dan tabi’in. Mereka giat menyiarkan Al-
Qur’an dan hadist Nabi sebagai sumber pokok ajaran Islam. Beberapa catatan hadist (sahifah)
telah ditulis sebelum skhir abad ke-1 Hijri. Dan ini sebagai bukti kuat serta bantahan kalangan
sarjana Orientalis yang menganggap hadist pertama kali dibukukan sesudah abad ke-1 Hijri.
Adapun cara periwayatan hadits pada masa sahabat terbagi menjadi dua yaitu: Periwayatan
Lafdzi (Redaksi sama persis dengan Rasulullah) dan Periwayatan Maknawi (Redaksi tidak sama
persis akan tetapi makna&intinya sama). Pada masa sahabat belum ada penulisan hadits secara
resmi sebab dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an dan umat islam lebih difokuskan untuk
mempelajari Al-Qur’an. Begitu juga pada masa Tabi’in, yang mengikuti jejak para sahabat,
periwayatan haditsnya pun tidak jauh berbeda. Hanya saja pada masa ini Al-Qur’an sudah
dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa tabi’in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh
untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Apalagi sejak semakin maraknya hadits-hadits palsu
yang muncul dari beberapa golongan untuk kepentingan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shalih, Shubhi. 1977. ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh. Beirut, Libanon: Dar al-Ilm al-
Malayin.
Hanbal, Ahmad bin. 1990. Musnad Ahmad bin Hanbal. Juz I. Istambul Turki: Dar al-Sahnun.
Iklan
Report this ad
Report this ad
1.
Afu
Balas
salwintt
Balas
2.
Dian Reski
salwintt
amin trms
Balas
3.
mahmud_mizu@yahoo.co.id
Luar biasa apa yang telah dilakukan umat Islam masa lalu. Semoga kita semua dapat
meneladaninya.
Balas
Tinggalkan Balasan
Salwinsah
Cari
Almanak
September 2018
S S R K J S M
« Jun
1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
Stat
o 2.278.181 hits
Top
o Perceraian, Halal Tapi Sangat Dibenci Allah
o Apakah Ilmu Hakekat Itu?
o Berprilaku Terpuji (Adil, Ridho dan Amal Shaleh)
o Dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah
o Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
o Filsafat Hidup
o Peranan Orangtua, Sekolah dan Guru dalam Mensukseskan Pendidikan
o Sejarah Turunya al-Qur'an
o Bagaimana Allah mencintai Hamba-Nya
o Penyebaran Hadits Masa Sahabat dan Tabi'in
Terkini
o Tips Maaf dan Memaafkan (Khutbah Jum’at Bersamaan Idul Fitri 1439 H)
o Ibadah Pasca Ramadhan (Khutbah Idul Fitri 1439 H)
o Pengumuman Kelulusan PPDB SMAN Titian Teras Jambi TP 2018/2019
o Sebuah Ekpedisi Ke Jangkat Merangin
o Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi PPDB SMAN Titian Teras 2018
Blogroll
o dapodik kemendikbud
o disdik kab. muaro jambi
o disdik provinsi jambi
o gebyar tik jambi 2015
o kemenag provinsi jambi
o kemendikbud ri
o log in blog
o padamu negeri
o pembelajaran islam
o provinsi jambi
o rumah belajar
o sbmptn
o sman titian teras has jambi
o snmptn
Comments
o mahamuddin di Lailatul Qadar (Malam Kemuliaan)
o salwintt di Menghargai Karya Orang Lain
o Anton Yusufi di Menghargai Karya Orang Lain
o Pastikan Anda Sudah Terdaftar Pada PPDB SMAN Titian Teras Jambi | Jendela Hati di
SMA Negeri Titian Teras Jambi Penerimaan Peserta Didik Baru TP 2018/2019
o MichaelNob di Aliran Maturidiyyah
o Desy syah fitriani di Menikah tanpa Ridha Orang Tua
o afifah di Menikah tanpa Ridha Orang Tua
o indri di Pengertian Filsafat
o Rara di Menikah tanpa Ridha Orang Tua
o Dhiya Hanis di About Me
Motivasi
Iklan
Report this ad