Anda di halaman 1dari 16

Rijal Al Jabir

2210204004

HADITS MARDUD
Ayat dan Hadits Ekonomi

Dodi Yarli R, M.E.I.


Definisi Hadits Mardud

Adapun hadits mardūd menurut bahasa berarti ditolak


atau tidak diterima.

Menurut istilah, mardūd adalah hadits yang tidak


diyakini dengan kuat, jujurnya para periwayat yang
memberitakannya.

Sebagian ulama lainnya mendefinisikannya hadits yang


kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat
hadits maqbūl. Definisi yang terakhir menyamakan
definisi hadits mardūd dengan definisi hadits daif.
Syarat Hadits Maqbul
1.) Sanadnya harus bersambung (muttashil).

2.) Semua perawi dalam sanad hadits harus bersifat adil

3.) Semua perawinya memiliki daya hafal yang handal (dlabith)

4.) Sanad dan matan terhindar dari syadz (tidak ada kejanggalan).

5.) Sanad dan matan hadits terhindar dari ‘illah (tidak cacat).
1. Hadits Dhaif
Menurut bahasa kata daif (al-da‘īf ) berarti yang lemah sebagai lawan dari
qawiyy yang artinya kuat. al-Ḍa‘īf bisa bermakna lemah secara fisik dan bisa
juga lemah secara maknawi, dan yang dimaksud di sini adalah lemah secara
maknawi, bukan fisik.

Secara istilah, ulama berbeda dalam mendefinisikan hadits daif. Ibn al-Ṣalāḥ
menyebutkan bahwa hadits daif ialah hadits yang di dalamnya tidak
terkumpul sifat-sifat hadits sahih atau hadits hasan.

Sedangkan menurut Nūruddīn ‘Itr, definisi hadits daif yang paling baik ialah
hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits
maqbūl. Defenisi lain, hadits daif adalah hadits yang tidak memenuhi syart-
syarat hadits yang bisa diterima. Menurut mayoritas ulama hadits daif adalah
hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih ataupun syarat-syarat
hadits hasan.
Dhaif karena keterputusan sanad

1.) Hadits mursal, yaitu hadits yang terputus sanadnya


karena tidak ada nama sahabat di dalamnya;

2.) Hadits munqati‘, yaitu hadits yang terputus sanadnya


karena adanya satu atau dua periwayat secara tidak
berurutan yang tidak disebutkan;

3.) Hadits mu‘ḍal, hadits yang terputus karena adanya dua


periwayat atau lebih secara berurutan yang tidak disebutkan,

4.) Hadits mu‘allaq, yang terputus karena adanya satu


periwayat atau lebih di awal sanad yang tidak disebutkan.
Hadits yang Dhaif cacat pada periwayat atau matan

1.) Hadits mauḍū‘, Hadits yang dipalsukan


5.) Hadits mudraj, Hadits yang dimasuki
atas nama Nabi saw.;
sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari
Hadits itu;
2.) Hadits matrūk atau maṭrūh, yaitu Hadits
yang diriwayatkan oleh periwayat yang pernah
6.) Hadits maqlūb, Hadits yang terdapat
tertuduh dusta, pernah melakukan maksiat,
pemutarbalikan (tertukar posisi) lafal pada
pernah lalai, atau banyak wahamnya;
matannya atau pada nama periwayat dalam
sanadnya atau tertukarnya suatu sanad untuk
3.) Hadits munkar, yaitu Hadits yang
matan yang lain;
diriwayatkan oleh periwayat yang lemah dan
menyalahi periwayat yang kuat;
7.) Hadits shażż, yaitu Hadits yang
diriwayatkan oleh periwayat terpercaya, tapi
4.) Hadits mu‘allal, Hadits yang mengandung
Hadits itu berlainan dengan Hadits-Hadits
sebab-sebab tersembunyi dan illat yang
yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat
menjatuhkan, bisa terdapat pada sanad,
yang juga terpercaya
matan, ataupun keduanya;
Pengamalan Hadits Dhaif
Meskipun ada yang membolehkan, pendapat lebih maenstrim adalah bahwa tidak boleh
mengamalkan hadis daif secara mutlak, baik dalam hal faḍāil al-a‘māl maupun dalam hukum
syariat.

Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibn alArabi, al-Bukhārī dan Muslim, dan juga merupakan
pendapat dari Ibnu Hazm. bin al-Ḥajjāj menyatakan dalam mukaddimah kitab Ṣaḥīḥ Muslim:
“Ketahuilah bahwa wajib bagi setiap orang untuk membedakan antara Riwayat-riwayat yang
sahih dengan riwayat-riwayat yang lemah dan membedakan antara periwayat-periwayat yang
thiqah (kuat/terpercaya) dengan periwayat-periwayatyang tertuduh.

Hendaknya seseorang tidak meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah kecuali yang dia ketahui
kesahihan atau kebenaran riwayat-riwayat tersebut dan terjaganya orang-orang yang
meriwayatkannya (dari dusta, dan lain-lain).

Dan hendaknya seseorang takut serta berhati-hati dari meriwayatkan hadis jika di dalamnya
ada periwayat hadis yang dituduh (sebagai pendusta atau memiliki kefasiqan yang lainnya) dan
pembangkang dari kalangan ahli bidah.”
2. Hadits Maudhu’
Secara etimologi al-Mauḍū‘, merupakan bentuk ism maf’ūl dari kata wadaa
atau alwad‘u. antonim dari kata dari al-raf’ yang berarti mengangkat.
Dimaksudkan dengan kata al-Mauḍū‘ di sini adalah sesuatu yang tidak
ditampakkan dan tidak dikatakan sedangkan al-marfū’ adalah sesuatu
yang ditampakkan dan dikatakan.

Menurut terminologi, hadis mauḍū‘ terdapat beberapa pengertian, di


antaranya, menurut Imam al-Nawawi definisi hadis mauḍū‘ adalah hadis
yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadis daif yang paling buruk.
Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk
keperluan apapun kecuali disertai dengan penjelasan.

Ulama lain mendefinisikan hadis mauḍū‘ sebagai Sesuatu yang


dinisbatkan kepada Rasulullah saw. secara mengada-ada dan dusta
yang tidak disabdakan, dikerjakan ataupun ditaqrirkannya.
Motif Pemalsuan Hadits Sumber Eksternal

(a) untuk kepentingan menodai Islam dari dalam; (a) pernyatan-pernyataan para sahabat dan
tabiin, di mana pernyataan mereka
(b) menopang aliran (mażhab) baik dalam wilayah dikatakan berasal dari Rasulullah;
politik (dan teologis), fikih, ataupun etnik
kedaerahan; (b) pernyataan-pernyataan al-hikmah,
zāhid, dan dokter;
(c) demi mencapai tujuan-tujuan keduniaan seperti
mendekati para penguasa atau mempertemukan (c) pernyataan-pernyataan ahl al-kitāb
(sebagian) masyarakat di sekitar periwayat hadis; (cerita Israiliyyat);

(d) untuk kepentingan membuat masyarakat gemar (d) unsur-unsur filsafat dari Yunani.
(al-targīb) melakukan sesuatu yang baik dan takut
(al-tarhīb) melakukan sesuatu yang buruk.
Pengamalan Hadits Maudhu
Adapun mengenai hukum mengamalkan hadis mauḍū‘, jika hadis daif saja tidak boleh
diamalkan sebagaimana penjelasan sebelumnya, maka terlebih hadis mauḍū‘ yang merupakan
hadis daif yang paling rendah kualitasnya, dan terbukti tidak berasal dari Nabi saw.

Jangankan mengamalkannya, meriwayatkannya saja tidak boleh, kecuali periwayatan itu


dimaksudkan untuk menjelaskan kepalsuannya.

Meriwayatkan hadis-hadis mauḍū‘ dan menyebutkan kedudukan hadis tersebut sebagai


mauḍū‘, tidak ada masalah, sebab dengan menerangkan kedudukannya dapat membuat orang
bisa membedakan antara hadis yang sahih dengan yang mauḍū‘ dan sekaligus dapat menjaga
sunnah dari perkara-perkara yang tidak benar.
3. Hadits Mursal
secara etimologi. Menurut Dr. Mahmud At-Tahan kata mursal merupakan
isim maf’ul yang terambil dari akar kata Arsala, berarti Melepaskan, jadi
hadis mursal seakan-akan Lepas dari ikatan sanad, dan tidak terikat dengan
rawi yang sudah dikenal

Secara terminology Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam membuat sebuah definisi.


“Sesuatu yang disandarkan Tabi’in pada Nabi saw. dari riwayat yang
(notabene) ia dengar (bukan langsung dari Nabi saw. melainkan) dari orang
lain yang (satu tabaqah dengannya).”
Penyebab Kemursalan Hadis\ Pada Rawi

1. Rawi tabi’in yang meriwayatkan Hadits mursal ini, pernah mendengar suatu Hadits yang diriwayatkan dari
seklompok rawi-rawi yang tsiqah, dan menurut beliau Hadits itu memang sahih. Maka, kemudian dia
dengan sengaja meriwayatkan Hadits itu secara mursal karena tahu Haditsnya Hadits dari gurunya.

2. Karena rawi tabi’in yang meriwayatkan Hadits lupa dari siapa yang menyampiakan Hadits yang pernah ia
dengar. Maka, ia dengan terpaksa meriwayatkannya sendiri secara mursal. Namun, rawi ini memiliki
pendirian bahwa ia tidak akan meriwayatkan suatu Hadits kecuali dari orang yang tsiqah.

3. Tatkala seorang rawi tabi’in tidak sedang meriwayatkan Hadits, ia hanya menyampaikan Hadits dengan
maksud untuk mengingat-ingat atau untuk kepentingan fatwa, yang dalam kondisi ini memang rawi
tidak dituntut menyampaikan sanadnya, karena yang dibutuhkan dan yang terpenting saat itu adalah
matannya.

4. Jika seorang rawi tabi’in yakin bahwa ia pernah mendengar suatu Hadits yang Sahih dari salah satu
dari guru yang sama-sama Tsiqah, tapi sang rawi tabi’in ini lupa tepatnya dari guru yang mana. Maka,
kemudian ia meriwayatkan secara mursal karena tidak tahu pasti dari guru tsiqah yang mana.
Tingkatan Hadits Mursal

1. Hadits yang diriwayatkan secara mursal dari Sahabat yang pernah mendengar Hadits dari Nabi
saw.

2. Hadits yang diriwayatkan secara mursal dari Sahabat yang pernah melihat Nabi saw. tapi
belum pernah mendengar Hadits dari Nabi saw.

3. Hadits yang diriwayatkan secara mursal dari Al-Mukhadram pernah bertemu Nabi saw. dalam
keadaan kafir, kemudian masuk islam setelah Nabi saw. Wafat

4. Hadits yang diriwayatkan secara mursal dari Tabi’in yang Mutqin seperti Ibnu Al-Musayyab.

5. Hadits yang diriwayatkan secara mursal dari Tabi’in yang sangat hati-hati dalam memilih guru
seperti Asy-Sya’bi dan Mujahid.

6. Hadits yang diriwayatkan secara mursal dari Tabi’in yang gampang menerima riwayat Hadits
dari siapa saja seperti Al-Hasan Al-Basri.
Pengamalan Hadits Mursal
Hukum berhujjah dengan menggunakan hadist Mursal terbagi menjadi tiga pendapat:
Pertama, orang yang menerima hadits Mursal.
Kedua, orang yang menolak hadits Mursal.
Ketiga, orang yang menerima atau menolak hadits Mursal.

Ibnu Hajar Al-Asqalani juga berkata,


“ Para imam selalu berhujah dengan hadits mursal dengan ketentuan masa antara
al-mursil (rawi yang memursalkan) dan al-mursal’anhu (rawi yang Riwayatnya
dimursalkan) berdekatan. Selain itu, al-mursil tidak diketahui pernah meriwayatkan dari
guru-guru yang dha’if ”
Terimakasih
Ngga apa-apa.., Cuma Dunia.
- Dramaga Bogor
# Rijal 2023

Anda mungkin juga menyukai