Anda di halaman 1dari 14

HADITS DHA’IF

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Hadits

Dosen Pengampu: Darmuin , M.Ag

Disusun oleh:

Fatikhatus Sangadah (1403066039)

Siti Nurur Rohmah (1403066055)

Bagas Ibnu Setiaji (1403066054)

Qomar Abdur Rohman (1403066060)

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGOSEMARANG

TAHUN 2014

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dari sudut pandang etimologi, hadis secara umum berarti: sesuatu yang
baru (al-jadid); lawan dari sesuatu yang lama (al-qadim), ia juga berarti kabar
atau berita (al-khabar).1
Para ahli hadis, dari sudut pandang terminologis mengartikan hadis
sebagai segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi SAW berupa
pernyataan, perbuatan, penetapan atau sifat perangai atau perilaku, atau
perjalanan hidup, baik sebelum masa kenabian seperti bersemedinya di Gua
Hira atau sesudahnya.2
Peran hadis sangat besar dalam penetapan hukum islam, karena hadis
berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an yang masih samar, selain itu,
hadis juga berperan untuk menetapkan hukum terhadap suatu permasalahan
yang belum ada ketentuanya dii dalam Al-Qur’an.
Besarnya peran hadis juga mempengaruhi para ulama untuk memilih
hadis-hadis yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad Saw, sebab jika
yang di gunakan adalah hadis yang bukan berasal dari Nabi maka akan sulit di
pertanggungjawabkan karena hadis di gunakan sebagai sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an.
Para ulama sepakat memakai hadis sahih dan hasan untuk menetapkan
sesuatu yang halal atu haram. Namun untuk menetapkan sesuatu tentang
keutamaaan suatu amaliah, zikir, serta anjuran dan ancaman, para ulama
masih berbeda pendapat apakah penetapan hukum mengenai hal tersebut
menggunakan hadis sahih dan hasan atau memakai hadis dha’if dengan
syarat tertentu. Pada bab ini kami akan membahas tentang permasalahan hadis
dha’if.

1
Prof. DR. H.M Erfan Soebahar, M.Ag, Periwayatan dan Penulisan Hadis Nabi, Fakultas Tarbiah
IAIN Walisongo Semarang, 2012, hal 13
2
Ibid, hal 13-14

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadis dha’if ?
2. Bagaimana pengelompokan hadis dha’if ?
3. Bagaimana pandanngan ulama dalam pengamalan hadis dha’if ?
4. Bagaimana upaya untuk menangkal kegiatan pemalsuan ?
5. Bagaimana kehujjahan hadis dhaif ?
6. Apakah contoh-contoh kitab yang memuat hadis dhaif ?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis Dha’if


Hadis adalah sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad saw
berupa perbuatan maupun perkataan. Berdasarkan kualitasnya, hadis dapat di
kelompokan menjadi tiga yakni; (1) hadis sahih, (2) hadis hasan, dan (3)
hadis dhaif.
Syarat hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh rowi yang hafalanya kuat (dhabith), tidak syadz (tidak
mengandung kontroversi), adil, dan tidak illat (cacat). Sedangkan hadis hasan
adalah sutau hadis yang memiliki criteria sama dengan hadis sahih, namun
sanadnya bersambung dan tingkat ke-dhabith-an rowinya tidak sekuat pada
hadis sahih. Sementara pengertian hadis dhaif sendiri adalah hadis yang tidak
memenuhi persyaratan hadis sahih maupun hadis hasan.
Kerena shahih tidaknya suatu hadis merupakan hasil peninjauan dari
sisi diterima atau ditolaknya suatu hadis, maka menurut Hasbi ash-
Shieddieqy secara ringkas hadis dhaif diformulasikan sebagai hadis yang
didapati padanya sesuatu yang menyebabkan tertolaknya suatu hadis.3
Suatu hadis dimungkinkan menjadi dhaif kualitasnya apabila terdapat
hal-hal sebagai berikut:
1. Periwayatnya seorang pendusta
2. Atau tertuduh dusta
3. Banyak membuat kekeliruan
4. Suka pelupa
5. Suka maksiat dan fasik
6. Banyak angan-angan
7. Menyalahi periwayat kepercayaan
8. Periwayatnya tidak dikenal

3
T.M. Hasbi ash-Shieddieqy, Pokok-pokok Ilmi Dirasah Hadis I (Jakarta; Bulan Bintang, 1987) hal
220

4
9. Penganut bid’ah bidang aqidah
10. Tidak baik hafalanya.4

B. Pengelompokan Hadis Dha’if


1. Berdasarkan Cacat pada Keadilan dan Ke-dhaif-an Rawi:
a. Hadis Maudhu’
Adalah hadis yang di cipta serta dibuat oleh seorang (pendusta),
yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah saw, secara palsu dan
dusta, baik disengaja maupun tidak.5
Ciri-ciri pada Sanad Hadis Maudhu’ adalah sebagai berikut:
1. Adanya pengakuan dari si pembuat sendiri.
2. Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat
hadis Maudhu’.
3. Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya.

Adapun ciri-ciri yang terdapat pada matan ditinjau dari dua


segi, yaitu segi Ma’na dan Lafazh. Dari segi ma’na yaitu bahwa hadis
itu bertentangan dengan Al-Quran, hadis mutawatir, ‘ijma, dan laogika
yang sehat. Sedangkan dari segi lafazh, yaitu bila susunan kalimatnya
tidak baik dan tidak fasih.

b. Hadis Matruk
Hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.
Rawi yang tertuduh dusta adalah seoran rawi yang terkenal dalam
pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat di buktikan bahwa ia
sudah pernah berdusta dalam membuat hadis. Seorang rawi yang tertuduh
dusta bila ia bertaubat dengan sungguh-sungguh, dapat di terima
periwayatan hadisnya. Salah satu contohnya adalah lau la-al sa’ah
liabadah allah haqqan, hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Adi.

4
Ibid hal 221
5
Endang Soetari, Ilmu Hadist: Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung; Mimbar Pustaka, 2005) Hal
2

5
c. Hadis Munkar
adalah hadis yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek
kesalahanya, banyak kelengahanya atau tampak ke-fasikh-anya. Lawanya
di namakan Ma’ruf.
d. Hadis syadzdz
adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul,
yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena
jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi daya hafalnya.
2. Klasifikasi hadis berdasarkan gugurnya Rawi
a. Hadis Mu’allaq
Pengertian muallaq menurut bahasa adalah isim maf’ul yang
berarti terikat dan tergantung. Sanad seperti ini disebut muallaq karena
hanya terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara bagian
bawahnya terputus sehingga menjadi seperti sesuatu yang bergantung pada
atap dan yang semacamnya. Sementara iitu, menurut istilah hadis muallaq
adalah hadis yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara
berurutan.
b. Hadis Mu’dhal
Mu’dhal secara bahasa adalah sesuatu yang di buat lemah atau
lebih. Disebut demikian mungkin karena para ulama hadis dibuat bingung
untuk mengetahuinya karena ketidakjelasan falam hadis itu. Adapun
menutut istilah, hadis mu’dhal adalah hadis yang putus sanadnya dua
orang atau lebih secara berurutan.
c. Hadis Mursal
Mursal menurut bahasa, isim maf’ul yang berarti ‘’yang
dilepaskan’’. Adapun hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang
gugur rawi dari sanadnya setelah tabiin, baik tabiin besar maupun tabiin
kecil.
Seperti diketahui bahwa dalam hadis mursal itu, yang di gugurkan
ialah sahabat yang langsung menerima berita dari Rasulullah saw,
sedangkan yan menggugurkan dapat juga seorang tabiin atu sahabat kecil.
Oleh karena itu, ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan segi sifat-

6
sifat pengguguran hadis, hadis mursal dapat dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu:6
1. Mursal jail, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi
(tabiin) jelas sekali, dapat diketahui oleh umm, bahwa orang yang
mengetahui itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugukan
yang mempunyai berita.
2. Mursal shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw, tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan
sendiri apa yang ia beritakan, karena pada saat Rasulullah hidup, ia
masih kecil atau ia terakhir masuknya dalam agama islam. Hadis ini
dianggap sahih karena pada galib-nya ia tiada meriwayatkan selain
dari para sahabat, sedangkan para sahabat itu seluruhnya adil.
3. Mursal khafi, yaitu hadis yang diriwayatkan tabiin, dimana tabiin yang
meriwayatkan hidup sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah
mendengar sebuah hadis pun darinya.
d. Hadis Munqathi
Hadis munqhati adalah hadis yang gugur seorang rawinya sebelum
sahabat di satu tempat, atau dua orang pada dua tempat dalam kedaan
tidak berturut-turut.
Macam-macam pengguguran (inqitha) adalah sebagi berikut:
1. Inqitha dilakukan dengan elas sekali, bahwa si rawi meriwayatkan hadi
dapat diketahui tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis
padanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya, tetapi ia tidak
mendapat ijazah (perizinan) untuk meriwayatkan hadisnya.
2. Inqitha dilakukan dengan samar-samar, yang hanya dapat diketahui
oleh orang yang mempunyai keahlian saja.
3. Diketahui dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi
atau lebih dalam hadis riwayat orang lain.7

6
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag, Ulumul Hadist (Bandung; Pustaka Setia, 2008) hal 153
7
Ibid, hal 153-154

7
e. Hadis Mudallas
Hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan bahwa hadis itu tidak bernoda.8 Rawi yang berbuat demikian
disebut mudallis, hadis yang diriwayatkan oleh mudallis disebut mudallas,
dan perbuatanya disebut tadlis. Macam-macam tadlis adalah sebagai
berikut:
1. Tadlis isnad, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadis
dari seorang yang pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut
tudak pernah mendengar hadis darinya. Agar rawi tersebut di anggap
mendengar dari raawi yang digunakan, ia menggunakan lafazh
menyampaikan hadis dengan ‘an fulanin (dari si Fulan) atau anna
fulanan yaqulu (bahwa si Fulan bekata).
2. Tadlis syuyukh, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan sebuah
hadis yang didengarkan dari seorang guru dengan menyebutkan nama
kuniyah-nya, nama keturunanya, atau menyifati gurunya dengan sifat-
sifat yang belum/tidak dekenal oleh oaring banyak.
3. Tdlis taswiyah (tajwid), yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah
hadis dari gugurnya yang tsiqah, yang oleh guru tersebut diterima dari
gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari seorang
guru tsiqah pula, tetapi si mudallis tersebut meriwayatkan tanpa
menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan
lafazh yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.
C. Pandangan Ulama dalam Pengamalan Hadis Dha’if
Pada dasarnya para ulama menolak penggunaan hadis dhaif sebagai
hujjah. Namun untuk suatu peristiwa tertentu, para ulama ada yang
memperbolehkan penggunaan hadis dhaif dengan melalui suatu persyaratan
yang sengat ketat. Penolakan ini didasarkan pada ketidakjelasan asal-usul
hadis dhaif baik dari segi sanad maupu matanya. Karena munculnya
perbedaan pendapat tentang penilaian hadis dhaif, maka muncul perbedaan
dari para ulama dalam pengamalan hadis dhaif.

8
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtahalul Hadis (Bandung; PT Al-Ma’arif, 1974) hal 43-46

8
Para ulama berpendapat tentang pengamalan hadis dhaif di antaranya
adalah sebagai berikut:
1. Tidak memakai hadis dhaif secara mutlak, baik dalam bidang fadhail al-
a’mal (keutamaan suatu amaliyah) maupun dalam bidang hukum.
2. Mengamalkan hadis dhaif secara mutlak dengan alas an bahwa hadis dhaif
masih lebih baik bila di bandingkan dengan perkataan manusia.
3. Mengamalkan hadis dhaif untuk fadhail al-a’mal dan nasehat kebajikan
dengan dengan syarat-syarat tertentu, sebagai berikut:
a. Status hadisnya tidak terlalu dhaif
b. Hadis itu menerangkan keutamaan suatu amalan yang telah ditetapkan
dalam hadis sahih, misalnya tentang keutamaan shalat duha.
c. Tidak disandarkan secara pasti kepada Nabi.

Inti dari perbedaan pendapat tersebut adalah kehati-hatian dalam


pengamalan ibadah, apakah hadis tersebut benar-benar berasal dari Nabi atau
tidak. Jalan pemecahnya, hendaknya kita mengamalkan hadis yang benar-
benar berasal dari Nabi meskipun hadis tersebut dhaif.

Hadits dhaif tidak identik dengan hadits maudhu’ (hadits palsu).


Diantara hadits dhaif terdapat kecekatan para perawinya yang tidak terlalu
parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan
hadits maudhu’ perawinya pendusta. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya
tidak dapat diamalkan sekalipun dalam tadhall al amal, menurut ibnu hajar
hadits maudhu merupakan hadits dhaif yang terburuk. Jadi hadits maudhu’
adalah hadits bohong atau hadits palsu, bukan dari rasulullah tetapi dikatakan
dari rasul oleh seorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang
tidak memasukkan bagian dari hadits dhaif, karena ia bukan hadits dalam arti
yang sebenarnya.

Ulama Hadits dan selainnya membolehkan periwayatan hadits dhaif


tanpa menjelaskan kedhaifannya, selama memenuhi dua syarat, yaitu:

1. Tidak berhubungan dengan perkara akidah, misalnya yang


berhubungan dengan sifat Allah ta’ala.

9
2. Tidak dalam rangka menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan
halal dan haram.

Jadi, kebolehan ini hanya untuk meriwayatkan hal-hal yang terkait


dengan nasihat, targhib wa tarhib, kisah-kisah, dan yang semisalnya.

Hukum mengamalkan hadis dhaif, ulama sepakat hadits maudhu’


tidak boleh diamalkan. Sedangkan untuk hadits dhaif selain hadits palsu,
ulama berbeda pendapat. Secara garis besar ada 3 pendapat, yaitu:

1. Menolak pengamalan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam perkara


akidah, penetapan hukum maupun fadhail a’mal. Yang berpendapat
seperti ini misalnya al-Bukhari, Muslim dan Ibn al-’Arabi. Menurut
mereka hadits dhaif tidak dapat dipastikan ketetapan datangnya dari
Rasulullah.
2. Membolehkan pengamalan hadits dhaif secara mutlak. Yang
berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah, Abu Dawud dan an-Nasai.
Menurut mereka beramal dengan hadits dhaif lebih disukai
dibandingkan berdasar akal pikiran ataupun qiyas. Tapi ini dengan
catatan hadits dhaif tersebut bukan hadits yang sangat berat
kedhaifannya dan ia juga tidak bertentangan dengan hadits yang
maqbul.
3. Hadits dhaif hanya diamalkan dalam fadhail a’mal, tidak pada
penetapan hukum halal-haram dan masalah akidah. Yang berpendapat
seperti ini adalah Ahmad ibn Hanbal, ‘Abdurrahman ibn Mahdi, dan
Ibn al-Mubarak. Pendapat ini yang diikuti jumhur ‘ulama.

Syarat Mengamalkan Hadits Dhaif, Ibn Hajar al-’Asqalani menjelaskan


tiga syarat yang harus dipenuhi sebelum mengamalkan hadits dhaif, yaitu:

1. Tidak termasuk hadits yang kedhaifannya berat.


2. Hadits tersebut berada di bawah hadits asal yang ma’mul bih.
3. Tidak boleh mengitikadkan tsabitnya hadits tersebut dari Rasulullah,
tapi hanya dalam rangka ihtiyath.

10
4.
D. Upaya untuk Menangkal Kegiatan Pemalsuan
Para ulama yang telah mendalami bidang ilmu hadis memang sudah
banyak berjasa terutama dalam mendeteksi kemungkinan terjadi pemalsuan
hadis, mereka telah menyusun berbagai metode yang memungkinkan
keakuratan hasil deteksi.
Ibn Qayyim al-Jauziyah misalnya, telah memberikan berbagai patokan
dalam mendeteksi cirri-ciri hadis palsu, diantaranya:
- Apabila riwayat itu memuat ungkapan berlebihan (tidak wajar) dan
mustahil Rasulullah saw bersabda demikian.
- Pengamalan menolak riwayat tersebut.
- Bentuk penisbahanya menggelikan.
- Bertentangan dengan sebuah riwayat yg sudah masyhur.
- Riwayat itu diduga diketahui ribuan sahabat, tapi yatanya tidak
seorangpun yang mengetahuinya.
- Bertentangan dengan nash al-Qur’an yang cukup jelas.9
E. Kehujjahan Hadis Dhaif
Terdapat tiga pendapat mengenai kehujjahan hadis dhaif, yaitu:
1. hadits dha’if tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang
berkaitan dengan masalah halal, haram, maupun kewajiban, dengan
syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini
disampai kan oleh beberapa imam, seperti: Imam Ahmad bin Hambal,
Abu Daud dan sebagainya.
2. Dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadailul amal, baik
yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang
dilarang.
3. hadits dha’if samasekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan
dengan fadailul amal maupun halal haram. Pendapat ini dinisbatkan
kepada Qadi Abu Bakar ibnu arabi.10

9
A. Yamin, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Puataka Hidayah, 1992) hal 117
10
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1997), Hal. 186

11
F. Kitab-kitab yang Memuat Hadis Dhaif
Dibawah ini adalah contoh kitab-kitab yang memuat hadis dhaif:
a. Al-Maudu’at, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-
Jauzi (579 H)
b. Al-Laali Al- Masnuah fi Al-Hadits Al-Mauduah, Karya Al-Hafiz Jalaludin
Al-Suyuti (911 H)
c. Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al-Mauduah,
karya Alhafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bun Iraq Al-Kannani
(963 H)
d. Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi, karya Al-Hafizh Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah ( 751 H )
e. Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudu’ karya Ali Al-Qari ( 1014 H)11

11
Muhammad Ahmad M Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Hal 208

12
BAB III
KESIMPULAN

Pengertian hadis dhaif sendiri adalah hadis yang tidak memenuhi


persyaratan hadis sahih maupun hadis hasan.
Suatu hadis dimungkinkan menjadi dhaif kualitasnya apabila terdapat
hal-hal sebagai berikut:
1. Periwayatnya seorang pendusta
2. Atau tertuduh dusta
3. Banyak membuat kekeliruan
4. Suka pelupa
5. Suka maksiat dan fasik
6. Banyak angan-angan
7. Menyalahi periwayat kepercayaan
8. Periwayatnya tidak dikenal
9. Penganut bid’ah bidang aqidah
10. Tidak baik hafalanya.
Terdapat tiga pendapat mengenai kehujjahan hadis dhaif, yaitu:
1. hadits dha’if tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang
berkaitan dengan masalah halal, haram, maupun kewajiban, dengan
syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini
disampai kan oleh beberapa imam, seperti: Imam Ahmad bin Hambal,
Abu Daud dan sebagainya.
2. Dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadailul amal, baik
yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang
dilarang.
3. hadits dha’if samasekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan
dengan fadailul amal maupun halal haram. Pendapat ini dinisbatkan
kepada Qadi Abu Bakar ibnu arabi.

13
14

Anda mungkin juga menyukai