Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH HADIS

“SYARAT-SYARAT HADIS SHAHIH”


”Dosen Pengampu : Dr. H. M. Rozali, MA

Disusun Oleh :

NAMA : SITI NAZELI FADILLAH


NIM :0305193176

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2019
PENDAHULUAN

1
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah
kenyataan yang tak dapat diragukan lagi.Hadits Nabi merupakan sumber
ajaran Islam, di samping al-Qur’an.“Hadits atau disebut juga dengan
Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada
Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya.Hadits
sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, sejarah perjalanan hadits
tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.Akan tetepi,
dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga
dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus”.
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para
sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat
Nabi.Hal ini disebabkan, “Nabi pernah melarang para sahabat untuk
menulis hadits beliau.tetapi Nabi juga pernah menyuruh para sahabat
untuk menulis hadits beliau.

PEMBAHASAN

2
Pengertian Hadis
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama Islam. Dalam Ilmu Hadits, arti Al – Hadits adalah segala sesuatu
yang berupa berita, yang dikatakan oleh Nabi, baik berita itu berupa ucapan,
tindakan, pembiaran (taqrir), keadaan, kebiasaan, dan lain – lain. Maka sesuatu
hadis yang sampai kepada Nabi dinamakan marfu’, yang sampai kepada sahabat
dinamakan mauquf, yang sampai kepada tabi’in saja dinamakan maqth’.
Kata Shahih (‫ )الص>>حيح‬ dalam bahasa diartikan sehat lawan dari kata as-
sakqim (‫)السقيم‬  orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits
yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Selain itu hadits shahih
disebut juga sebagai hadits yang sejahtera lafadznya dari keburukan susunannya,
sejahtera maknanya dari menyalahi ayat, atau khabar mutawatir atau ijma’ dan
segala perawinya orang yang adil.
Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
rawi yang adil dan dhabit dari rawi lain yang juga adil dan dhabit sampai akhir
sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).
A. Pengertian Hadis Shahih
Kata shahih menurut bahasa dari kata shahha, yashihhu, suhhan
wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat,
yang selamat, yang benar, yang sah dan yang benar. Para ulama‟ biasa
menyebut kata shahih itu sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit).
Maka hadits shahih menurut bahasa berarti hadits yang sah, hadits
yang sehat atau hadits yang selamat.
Hadits Shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah, sebagai berikut
:
“Hadits yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan leh (perawi) yang adil dan dhabit hingga
sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber‟illat”.
Ibnu Hajar al-Asqalani, mendefinisikan lebih ringkas yaitu :

3
“Hadits yang diriwayatkan oleh orang–orang yang adil, sempurna
kedzabittannya, bersambung sanadnya, tidak ber‟illat dan tidak
syadz”.
Dari kedua pengertian di atas maka dapat difahami bahwa hadits
shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Sanadnya bersambung, perawinya yang adil, kuat ingatannya
atau kecerdasannya, tidak ada cacat atau rusak.1
A. Syarat – syarat Hadits Shohih
Menurut ta‟rif muhadditsin, maka dapat difahami bahwa suatu
hadits dapat dikatakan shahih, apabila telah memenuhi lima syarat :
a. Sanadnya bersambung
Yang dimaksudsanad bersambung adalah tiap–tiap
periwayatan dalam sanad hadits menerima periwayat hadits dari
periwayat terdekat sebelumnya, keadaan ini berlangsung demikian
sampai akhir anad dari hadits itu.
b. Periwayatan bersifat adil
Adil di sini adalah periwayat seorang muslim yang baligh, berakal
sehat, selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diridari
perbuatan – perbuatan maksiat.
c. Periwayatan bersifat dhabit
Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang
telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya
kapan saja ia menghendakinya.
d. Tida Janggal atau Syadz
Adalah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain yang
sudahdiketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
e. Terhindar dari „illat (cacat)
Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan

1
Zainnudin Hamidy et al, Terjemah Hadist Shahih Bukhari, Widjaya, Jakarta, Jilid I,
1992, Hal.16

4
adanya hal – hal yang tidak bak, yang kelihatannya samar – samar.2
Atau hadis shahih bisa dikatakan shahih apabila memenuhi syarat-
syarat berikut:
1. Sanadnya bersambung (iitishal al-sanad)
Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah setiap periwayat
hadis dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat yang terdekat
sebelumnya; keadaan semacam itu terus berlangsung demikian sampai akhir
sanad hadis. Artinya adalah sanad tersambung mulai dari mukharrij hadis
sampai pada periwayat pertama (kalangan sahabat) yang memang lansung
bersangkutan dengan nabi. Dalam istilah lain, sanad bersambung sejak sanad
pertama hingga sanad yang terakhir atau dibalik, sanad pertama sejak
dariperiwayat pertama hingga berakhir pada periwayat terakhir (mukharrij
hadist).3
Namun atas bersambungnya sanad masih belum bisa serta-merta
dikatakan hadis shahih. Sebab ada yang mengistilahkan hadis yang
bersambung sanadnya tersebut dengan istilah hadis musnad. Menurut Ibn
Abd al-Barr hadis musnad adalah hadis yang didasarkan pada hadis Nabi
(sebagai hadis marfu‟), sanad hadis musnad ada yang bersambung
(muttashil) dan ada pula yang terputus (munqathi‟). Hadis ini bisa dijadikan
patokan menetukan keshahihan hadis, para ulama hadis bersepakat bahwa
hadis musnad pasti marfu‟ dan bersambung sanadnya, tapi hadis marfu‟
belum tentu hadis musnad.
Dengan demikian hadis ini tidak bisa dijadikan patokan untuk
menentukan keshahihan hadis beda dengan hadis musnad. Dari keterputusan
tersebut di khawatirkan adanya keterputusan informasi dari Nabi.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad hadis, Menurut M.
Syuhudi Ismail. Para ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai
berikut:
2
Zufran Raman, Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam, Pedoman
Ilmu Jaya, Cet- Ke-1, Jakarta, 1995, hal.40

3
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Dar Al-Fikr, Bairut, 1980, hal.76

5
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat yang
dilakukan; hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah periwayat
tersebut dikenal sebagai orang yang tsiqah (adil dan dhabith),
serta bukan termasuk dari orang yang tadlis. Juga untuk
mendeteksi ada hubungan sezaman antara guru-murid dalam
periwayatan hadis.
c. Meneliti kata yang menghubungkan antara perawi dengan perawi
yang terdekat dalam sanad. Misalnya berupa: haddatsana,
haddatsani, akhbarani, akhbarana, sami‟tu, an, anna, dan banyak
lagi yang lainnya.
Melalui cara diatas dapat diketahui ketersambungan sanad hadis.
Dengan mengetahui kedekatan perawi antara perawi satu dengan
perawi sebelumnya.4
2. Perawinya bersifat adil (‘adalat al-rawi)
Tentang perawi yang bersifat adil ini ada banyak pandangan
dikalangan para ulama hadis. Dan banyak pandangan ini sudah biasa dalam
menetapkan suatu ketentuan, pendapat dari Al-Hakim ia menyatakan bahwa
seorang bisa dikatakan, adil ketika ia beragama Islam, tidak berbuat bid‟ah,
dan tidak berbuat maksiat.
Beda dengan Al-Irsyad “yang dimaksud adil ialah orang yang
berpegang teguh terhadap pedoman adab-adab syar”. Beda pula yang keluar
dari kepala seorang Ar-Razi, “adil baginya adalah tenaga jiwa yang
mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi
kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-
perbuatan mubah yang menodai muru’ah.
Dari sekian pandangan tersebut M. Syuhudi Ismail dalam buku yang
diramu oleh Kasman yang berjudul Hadits dalam Pandangan

4
Muhammad Jamal, ad-Din Al-Qasimi, Qowaid al-Tahdist Min Funun Musthalahah al-Hadist, Dar al-Kutub, Bairut, 1979,

hal.102

6
Muhammadiyah meringkas semuanya menjadi empat kriteria perawi yang
adil diantaranya adalah:
a. Beragama Islam.
b. Mukallaf.
c. Melakukan ketentuan agama.
d. Memelihara mur’ah.5
untuk mengetahui kualitas ke-adilan perawi, para ulama
menetapkan untuk menetukan hal tersebut berdasarkan:
a. Popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama hadis
tersebut.
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis penilaian ini mencakup
kelebihan atau kekurangan yang terdapat pada periwayat hadis
tersebut, hal ini bisa ditelaah melalui, ilmu al-jarh wa al-ta’dil.
c. Penerapan ilmu al-jarh wa al-ta’dil di pakai apabila dari kalangan
kritik hadis tidak menemukan kesepakatan tentang kualitas pribadi
periwayat tertentu.
3. Perawinya bersifat dhabit (dhabth al-rawi)
Dhabit menurut bahasa mempunyai makna kokoh, yang kuat, yang
hafal secara sempurna. Seorang perawi mempunyai daya ingat yang kuat dan
sempurna terhadap hadis yang diriwayatkan. Ibn Hajar Al-Asqolani
berpendapat “bahwa perawi yang dhabit itu adalah dia yang kuat hafalannya
terhadap apa yang pernah di dengarnya, kemudian mampu menyampaikan
hafalan tersebut pada saat dibutuhkan.” Artinya, seorang perawi mempunyai
kualitas kesehatan yang maksimal mulai dari kesehatan pendengaran, otak,
psikis, dan oral. Hal ini sangat menjadi bagian penting bagi perawi sebab
dengan pendengaran yang kuat ia mampu mendengarkan secara utuh isi apa
yang didengar, mampu memahami dengan baik, tersimpan dalam memori

5
Fathur Rahman, Iktisar Mushthalahu‟l Hadist, Al-Ma‟arif, Bandung, Cet.V, 1987,
hal.111

7
otaknya, kemudian mampu menyampaikan dengan fasih dan benar kepada
orang lain.6
Lebih spesifik lagi dhabit dibelah menjadi dua macam diantaranya
adalah dhabit hati dan dhabit kitab. Dhabit hati maksudnya ialah seorang
perawi mampu menghafal setiap hadis yang di dengarnya dan sewaktu-waktu
dia bisa mengungkapnya atau sederhanya terpelihara periwayatan dalam
ingatan sejak menerima hadis sampai menyampaikan kembali kepada orang
lain, sedangkan dhabit kitab ialah seorang perawi yang ketika meriwayatkan
hadis secara tertulis, tulisannya sudah mendapatkan tashhih dan selalu terjaga.
Sifat-sifat kedhabitan itu bisa dideteksi melalui; kesaksian para ulama
dan berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat orang lain yang telah
dikenal dengan kedhabitannya.
4. Terhindar dari syadz (‘adam al-syadz)
Syadz disini berarti hadis yang diriwayatkan tidak mengalami
kerancuan atau terjadi sangsi dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang lain
yang tingkat adil dan dhabitnya lebih tinggi.
Para ulama sepakat berikut adalah syarat syudzudz:
a. Periwayat hadis tersebut harus tsiqah.
b. Orang tsiqah meriwayatkan hadis yang berbeda dengan yang lebih
tsiqah baik dari segi hafalan, jumlah orang yang diriwayatkan atau
yang lainnya.
c. Perbedaan tersebut bisa berupa penambahan atau mengurangi dalam
hal sanad dan matan.
d. Periwayat tersebut menimbulkan kerancuan yang begitu pelik
sehingga tidak bisa dikompromikan.
e. Adanya kesamaan guru dari hadis yang diriwayatkan.7

6
An-Nawaawi, At-Taqrib Li An-Nawawi Fann Ushul Al-Hadist, Abd Rahman
Muhammad Kairo,tt,19.

7
Subhi ash-shahih, Ulumul al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-„ilm al-madayin, Beirut,
1977, hal.208

8
5. Terhindar dari illat (‘adam ‘illat)
Maksudnya adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari
cacat kesahihannya. Yakni hadis tersebut terbebas dari sifat-sifat samar
yang membuatnya cacat, meskipun secara kasat mata hadis tersebut
tidak menujukkan adanya cacat.
Menurut Ibn al-Shalah, an-Nawawi, dan Nur al-Din ‘Itr
menyatakan bahwa ‘illat merupakan sebab yang tersembunyi yang
menjadi benalu (merusak) kualitas hadis, yang menyebabkan hadis
yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.
Menurut Mahmud al-Thahhan, hadis yang mengandung ‘illat
bisa di lacak ketika mengandung kriteria berikut:
a. Periwayatnya menyendiri.
b. Periwayat lain bertentangan dengannya.
c. Qarinah-qarinah lain yang berkaitan dengan keduanya. Detailnya
untuk mengetahui adanya ‘illat hadis bisa melakukan:
 Menghimpun seluruh sanad, dengan maksud untuk
mengetahui ada tidaknya tawabi‟ dan/atau syawahid.
 Melihat perbedaan di antara para periwayatnya.
 Memerhatikan status kualitas para periwayat baik berkenaan
dengan keadilan, maupun ke-dhabitan masing-masing
periwayat.8
A. Pembagian Hadits Shahih
Para ulama‟ ahli hadits membagi hadits–hadits menjadi dua macam
yaitu :
a. Hadits Shahih Li-Dzatih
Ialah hadits shahih dengan sendiriya, artinya hadits shahih yang
memiliki lima syarat atau kiteria sebagaimana disebutkan pada
persyaratan di atas, atau hadits shahih adalah :

8
Ibnu Hajar Al-Kanani Al-Agalni, Subul Al-Salam, juz, I Dahlan Bandung, tt,hal.3

9
“hadist yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita
menerimanya” Dengan demikian penyebutan hadist shahih li dzatih
dalam pemakaiannya sehari-hari pada dasarnya cukup memakai
sebutan dengan hadist shahih.
Adapun contoh hadist Li-dzatih , yang artinya
“Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah SAW bersabda: “Dasar (pokok)
Islam itu ada lima perkara : mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan
mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul Allah , menegakkan Sholat
(sembahyang), membayar zakat, menunaikan puasa dibulan Ramadhan
dan menunaikan ibadah haji” (HR. Bukhari dan Muslim).
b. Hadist Shahih Li-Ghairih.
yang derajatnya shahih lighoirihi sebagai berikut;
‫ق َعلَى‬ َّ >‫ لَ>>وْ الَ أَ ْن أَ ُش‬: ‫>رةَ أَ َّن َر ُس>وْ َل هللاِ ص م ق>ا َ َل‬
َ >‫ُم َح َّم ُد بْنُ َع ْم ٍرو ع َْن أَبِ ْي َسلَ َمةَ ع َْن أَبِي ه َُر ْي‬
َ ‫ك ِع ْن َد ُك ِّل‬
‫صالَ ٍة‬ ِ ‫أُ َّمتِ ْي أَل َ َمرْ تَهُ ْم بِالس َِّوا‬
“ Dari Muhammad bin amer dari abi salamah dari abu hurairah
sesungguhnya rasulullah saw bersabda: Kalaulah tidak memberatkan
atas umatku pasti akanku perintahkan kepada mereka bersiwak ketika
setiap shalat”(HR. Tirmidzi, Kitab Thaharah).”
Yang dimaksud dengan hadist Li-Ghairih adalah Hadist yang
keshahihannya dibantu adanya keterangan lain. Hadist pada kategori
ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek
kedhabitannya.Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk
dikategorikan sebagai Hadist shahih. Contoh hadist shahih Li-Ghairihi
:Artinya : “Dari Abu Hurairah Bahwasahnya Rasulullah SAW
bersabda: “sekiranya aku tidak menyusahkan ummatku tentulah aku
menyuruh mereka bersunggi (menyikat gigi) disetiap mengerjakan
Sholat.”(HR. Bukhari dan Tirmidzi)
c. Kehujjahan Hadist Shahih
Para Ulama‟ sependapat bahwa hadist ahad yang shahih dapat

10
dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat islam, namun mereka berbeda
pendapat, Apabila hadist kategori ini dijadikan untuk menetapkan soal-
soal aqidah.
Perbedaan di atas berpangkal pada perbedaan penilaian mereka
tentang faedah yang diperoleh dari hadist ahad yang shahih, yaitu apakah
hadist semacam itu member faedah qoth‟i sebagaimana hadist mutawatir,
maka hadist-hadist tersebut dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
masalah-masalah aqidah.Akan tetapi yang menganggap hanya member
faidah zhanni, berarti hadist-hadist tersebut tidak dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan soal ini.
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat, sebagai berikut :
Pertama : menurut sebagian ulama bahwa hadist shahih tidakmemberi
faidah qath‟i sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan soal
aqidah.
Kedua : menurut An-Nawawi bahwa hadist-hadist shahih yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim memberikan qaidah qath‟i.
Ketiga : Pendapat Ibn Hazm, bahwa semua hadist shahih memberikan
faidah qath‟i, tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama di
atas atau bukan jika memenuhi syarat ke shahih-hannya, adalah sama
dalam memberikan faidahnya.9
B. Hadits Shahih Menurut Ulama Hadits
Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari
kata saqim (sakit). Maka hadits Shahih secara bahasa adalah hadits
yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak sakit.
Secara istilah menurut Shubhi al-Shalih, hadits shahih adalah
hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang
‘adil dan dhâbith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada
sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syâdz
(kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).

9
Hasbi Ash-Shiddiqie, Dirayah Hadits, Bulan Bintang Jakarta, 1986, hal.257.

11
Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang
dikenal juga dengan Muqaddimah Ibn al-Shalah, mendefinisikan
hadits shahih dengan “Hadits yang disandarkan kepada Nabi yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan
dhâbith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan
tidak mengandung ‘illat (cacat)”.
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhâr Syarh
Nukhbah al-Fikâr lebih ringkas mendefinisikan hadits shahih yaitu
“Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang ‘adil, sempurna ke-
dhâbith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak ber-
syâdz”.
Berangkat dari beberapa defenisi tentang hadits shahih di atas
diketahui lima macam kriteria hadits shahih yaitu pertama, sanadnya
bersambung; kedua, para periwayatnya ‘adil; ketiga, para
periwayatnya dhâbith; keempat, terhindar dari syâdz; dan kelima,
terhindar dari ‘illat.
1. Sanad bersambung
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap
periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat
terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir
sanad hadits itu. Persambungan sanad itu terjadi semenjak
(penghimpun riwayat hadits dalam kitabnya) sampai pada periwayat
pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadits yang
bersangkutan dari Nabi Saw.
Dengan kata lain, sanad hadits bersambung sejak sanad
pertama sampai sanad terakhir dari kalangan sahabat hingga Nabi
Muhammad saw, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi Saw
pada periwayat pertama sampai periwayat terakhir (mukharrij hadits).
Hadits yang sanadnya bersambung, dikalangan ulama hadits
dinamai dengan sebutan yang beragam. Al-Khathib al-Baghdadi
(wafat 463 H/1072 M) menamainya dengan hadits musnad. Hadits

12
musnad menurut Ibn ‘Abd al-Barr, adalah hadits yang disandarkan
kepada Nabi Saw (sebagai hadits marfu’), sanad hadits musnad ada
yang bersambung (muttashil) dan ada pula yang terputus
(munqathi’).Pendapat ini, menurut al-Sakhawi (wafat 902 H/ 1497 M),
merupakan pendapat yang diikuti oleh mayoritas ulama hadits. Dengan
demkian, menurut kebanyakan ulama hadits, hadits musnad pasti
marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadits marfu’ belum
tentu hadits musnad. Hadits marfu’ dapat disebut sebagai hadits
musnad bila seluruh rangkaian sanadnya bersambung, tiada yang
terputus sejak awal sampai akhir.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad
hadits, menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata
kerja penelitian sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat yang
dilakukan: (1) Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab
Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi, Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar
al-‘Asqalani, dan kitab al- Kasyif oleh Muhammad ibn Ahmad al-
Dzahabi. (2) Hal itu dimaksudkan untuk: - apakah setiap periwayat
dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang tsiqah (‘adil dan dhabith),
serta tidak suka melakukan tadlis (menyembunyikan cacat), - apakah
antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu
terdapat hubungan kesezamanan pada masa lampau dan hubungan
guru-murid dalam periwayatan hadits.
c. Meneliti kata-kata (adah al-tahammul wa ada’ al-hadits)
yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat
terdekat dalam sanad. Kata-kata yang dipakai dalam sanad berupa:
Haddatsani, Haddatsana, Akhbarani, Akhbarana, Sami’tu, ‘An, Anna,
dan sebagainya. Melalui beberapa langkah di atas dapat diketahui
apakah sanad suatu hadits dinyatakan bersambung atau tidak.
Ketersambungan sanad itu diketahui apakah para periwayat dipastikan

13
benar-benar meriwayatkan hadits dari periwayat terdekat sebelumnya
yang diketahui melalui usia mereka, terjadi hubungan guru dan murid,
atau melalui metode periwayatan yang mereka gunakan.
2. Periwayat Bersifat ‘Adil
Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat
hadits disebut ‘Adil. Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut
‘adil apabila beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat
maksiat. Ibn al-Shalah menetapkan lima kriteria seorang periwayat
disebut ‘adil, yaitu beragama Islam, baligh, berakal, memelihara
maru’ahdan tidak berbuat fasik.
Berdasarkan peryataan para ulama di atas diketahui berbagai
kriteria periwayat hadits dinyatakan ‘adil. Secara akumulatif, kriteria-
kriteria itu adalah (1) beragama Islam; (2) baligh; (3) berakal; (4)
takwa; (5) memelihara maru’ah; (6) teguh dalam beragama; (7) tidak
berbuat dosa besar; (8) tidak berbuat maksiat; (9) tidak berbuat bid’ah;
dan (10) tidak berbuat fasik. Dari sekian banyak kriteria di atas
kemudian diringkas menjadi empat kriteria, yaitu: (1) beragama Islam;
(2) mukalaf; (3) melaksanakan ketentuan agama; dan (4) memelihara
maru’ah.
Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat hadits ulama telah
menetapkan beberapa cara, yaitu pertama, melalui popularitas
keutamaan periwayat di kalangan ulama hadits. Periwayat yang
terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan
al-Tsawri tidak diragukan ke‘adilannya. Kedua, penilaian dari para
kritikus periwayat hadits. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan
(al-Ta’dil) dan kekurangan (al-Tarjih) yang ada pada diri periwayat
hadits. Ketiga, penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh
apabila para kritikus periwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas
pribadi periwayat tertentu.
Ketiga cara di atas diprioritaskan dari urutan yang pertama
kemudian yang berikutnya. Jelasnya, keadilan seorang periwayat

14
hadits dapat diketahui melalui popularitas keutamaannya dikalangan
para ulama. Jika seorang periwayat hadits terkenal dengan
keutamaannya seperti Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri, maka
dipastikan mereka bersifat ‘adil. Jika periwayat tidak terkenal bersifat
‘adil, namun berdasarkan penilaian para kritikus periwayat hadits
diketahui bahwa ia bersifat ‘adil, maka ditetapkan pula sifat ‘adil
baginya. Akan tetapi, bila terjadi perbedaan pendapat tentang ‘adil
tidaknya seseorang periwayat hadits, maka digunakanlah kaidah-
kaidah al-jarh wa al-ta’dil.
Ketiga cara tersebut tidak dapat dibalik penggunaannya, dalam
arti seorang periwayat hadits yang terkenal ‘adil tidak dapat dinilai
dengan penilaian yang berlawanan baik berdasar pendapat salah
seorang kritikus periwayat hadits maupun berdasar penetapan kaidah
al-jarh wa al-ta’dil. Popularitas keadilan seseorang didahulukan sebab
kualitas seorang periwayat yang dinilai demikian tidak diragukan
mengingat saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak, berbeda
dengan cara yang kedua yang hanya dinyatakan (disaksikan) oleh satu
atau beberapa orang saja.
3. Periwayat Hadits Bersifat Dhâbith
Untuk hadits shahih, para periwayatnya berstatus dhâbith. Secara
sederhana kata dhâbith dapat diartikan dengan kuat hafalan. Kekuatan
hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan
berkenaan dengan kapasitas pribadi maka kata dhâbith terkait dengan
kualitas intelektual.Dhâbithbukan hanya hafalan para periwayat saja
tapi juga catatannya.
Antara sifat ‘adil dan dhâbith terdapat hubungan yang sangat
erat. Seseorang yang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya,
jujur, amanah dan objektif tidak dapat diterima informasinya apabila ia
tidak mampu memelihara informasi itu. Sebaliknya, orang yang
mampu memelihara, hafal dan paham terhadap informasi yang
diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu, maka

15
informasi yang disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh
para ulama hadits keadilan dan kuat hafalan dan terjaganya catatan
periwayat hadits kemudian dijadikan satu dengan istilah tsiqah. Jadi,
periwayat yang tsiqah adalah periwayat yang ‘adil dan dhâbith.
Dikalangan ulama, pengertian dhâbith dinyatakan dengan
redaksi yang beragam. Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Sakhawi
menyatakan bahwa seseorang yang disebut dhâbith orang yang kuat
hafalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama
hadits diatas, M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa kriteria dhâbith
adalah:
Pertama, periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadits
yang telah didengar. Sebagian ulama tidak mengharuskan periwayat
memahami dengan baik riwayat hadits yang telah didengar, dengan
kemungkinan pertimbangan bahwa: (1) Apabila seorang periwayat
telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka dengan
sendirinya ia telah memahami apa yang telah dihafalnya. (2)
Dipentingkan bagi seorang periwayat adalah hafalannya dan bukan
pemahamannya tentang apa yang diriwayatkannya. Pertimbangan
pertama tidak cukup kuat karena orang yang hafal tidak dengan
sendirinya paham dengan sesuatu yang dihafalnya. Karena itu,
pertimbangan kedua merupakan dasar ke- dhâbith-an menurut
sebagian ulama diatas.
Kedua, periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadits yang
telah didengar atau diterimanya. Kemampuan hafalan periwayat
merupakan syarat untuk dapat disebut sebagai orang yang dhâbith,
meskipun ada ulama yang mendasarkan ke- dhâbith-an bukan hanya
pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemampuan
pemahaman. Dengan kata lain, periwayat yang hafal terhadap hadits
dengan baik dapat disebut dhâbith dan jika disertai dengan

16
pemahaman terhadap hadits tersebut, maka tingkat ke-dhâbith-an lebih
tinggi dari periwayat tersebut
Ketiga, periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang
dihafal dengan baik, kapan saja menghendakinya dan sampai saat
menyampaikan riwayat itu kepada orang lain. Kemampuan hafal yang
dituntut dari seseorang periwayat, sehingga ia disebut seorang yang
dhâbith adalah tatkala periwayat itu menyampaikan riwayat kepada
orang lain kapan saja ia menghendakinya. Kriteria ini dimaksudkan
pada kenyataan bahwa kemampuan waktu dan kapasitas hafalan
seseorang mempunyai batas, misalnya karena pikun, terlalu banyak
yang dihafal, atau karena sebab lainnya. Periwayat hadits yang
mengalami perubahan kemampuan hafalan karena pikun atau sebab
lainnya, seperti Sa’id ibn Iyas al-Jurayji, Sa’id ibn Abi ‘Arubah,
Rabi’ah al- Ra’i ibn Abi ‘Abd al-Rahman.16 Periwayat yang
mangalami kemampuan hafalan tetap dinyatakan sebagai periwayat
yang dhâbith sampai saat sebelum mengalami perubahan, sebaliknya
periwayat yang mengalami perubahan hafalan dinyatakan tidak
dhâbith.
Sebagaimana halnya periwayat yang ‘adil, periwayat yang
dhâbith dapat diketahui melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui
ke-dhâbith-an periwayat hadits menurut berbagai pendapat ulama
adalah:
(1)Ke-dhâbith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan
kesaksian ulama;
(2)Ke-dhâbith-an periwayat dapat diketahui juga berdasar
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat lain yang telah dikenal ke- dhâbith-annya, baik kesesuaian
itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah;
(3)Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap
dinyatakan dhâbith asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia

17
sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadits, maka tidak disebut
dhâbith.
Kualitas ke-dhâbith-an periwayat dengan periwayat lain
tidaklah sama. Ada periwayat yang sempurna ke-dhâbith-annya, ada
yang dhâbith saja bahkan ada yang kurang dhâbith serta tidak dhâbith.
Hadits yang disampaikan oleh periwayat yang dhâbith dapat
dikelompokkan pada hadits shahih.
Hadits yang disampaikan oleh periwayat yang kurang dhâbith
dapat dikelompokkan pada hadits hasan, karena periwayat yang hafal
hadits yang diriwayatkan tetapi sekali-kali mengalami kekeliruan
dalam menyampaikan hadits itu kepada orang lain.
Periwayat disebut tidak dhâbith apabila tidak hafal terhadap
hadits yang diriwayatkan atau banyak mengalami kekeliruan dalam
meriwayatkan hadits dan hadits yang diriwayatkannya dinyatakan
sebagai hadits dha’if.
4. Terhindar dari Syâdz
Secara bahasa, Syâdz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang
berarti menyendiri. Menurut istilah ulama hadits, Syâdz adalah hadits
yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan
riwayat periwayat yang lebih tsiqah. Pendapat ini dikemukan oleh al-
Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan ulama hadits. Menurut al-Syafi’i,
suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila diriwayatkan oleh
seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan riwayat
banyak periwayat yang lebih tsiqah. Suatu hadits tidak dinyatakan
mengandung Syâdz bila hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat
tsiqah sedang periwayat lain yang tsiqah tidak meriwayatkannya.
Jadi, bagi as-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung
Syâdz apabila: (1) hadits itu memiliki lebih dari satu sanad; (2) para
periwayat hadits seluruhnya tsiqah; dan (3) matan dan/atau sanad
hadits itu mengandung pertentangan. Bagi al-Hakim, suatu hadits
dinyatakan mengandung Syâdz apabila: (1) hadits itu hanya

18
diriwayatkan oleh seorang periwayat; (2) periwayat yang sendirian itu
bersifat tsiqah.
Sebaliknya, menurut al-Syafi’i, suatu hadits tidak mengandung
Syâdz apabila: (1) hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang
periwayat; (2) periwayat yang tidak tsiqah.
5. Terhindar dari ‘Illat
Baik hadits shahih maupun hadits hasan telah dikodifikasikan
oleh para ulama dalam kitab-kitab karya mereka. Di antara kitab itu
ada yang hanya memuat hadits-hadits shahih saja seperti kitab Shahih
al-Bukhari karya al-Imam al-Bukhari (194-256 H) dan kitab Shahih
Muslim oleh Muslim Ibn al-Hajjaj (204-261 H). Ada pula kitab-kitab
yang disamping memuat hadits-hadits shahih juga memuat hadits
hasan dan hadits dha’if seperti kitab-kitab sunan yang empat, yaitu
Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani (202-275 H), Sunan
al-Turmudzi karya Abu ‘Isa al-Turmudzi (209-279), Sunan al-nasa’i
karya Abu ‘Abd al-Rahman al-Nasa’i (215-303 H), Sunan Ibn Majah
karya Ibn Majah al-Qazwini (209-273 H). Hadits- hadits shahih
terdapat pula dalam Musnad Ahmad karya Ahmad ibn Hanbal dan
dalam al-Muwaththa’ karya Imam Malik ibn Anas.

19
PENUTUP

Hadis shahih merupakan hadis yang di klasifikasikan berdasarkan


kualitasnya memberikan peran yang cukup besar dalam sumber hukum dan ajaran
Islam. Dengan cara penyeleksiannya yang cukup berat hadis ini memang
menyajikan kebenaran yang tidak bisa diragukan. Mulai dari sanadnya yang
bersambung, perawinya yang „adil, dhabit, terhindar dari kerancuan, dan
terhindar dari cacat.
Sehingga hadis shahih tidak sembarangan keluar dari kepala orang-orang
yang tidak bertanggun jawab. Semunya keluar dari kepala orang yang mendekat
dan menrindukan ridha Allah serta mencintai Rasulullah Saw. hidupnya
terpelihara dari barang-barang yang membawa dirinya pada perbuatan dosa,
sekecil apapun.
Kebenaran yang tidak diragukan itu menjadikan hadis shahih wajib untuk
diterima dan dilaksanakan. Hadis shahih mengajak pembaca sekaligus
pengamalnya agar mempunyai kualitas intelektual yang luas, dilihat dari
periwayat hadis shahih yang harus dhabit. Pembaca harusnya termotivasi agar
tidak berhenti belajar dan terus menggali kuriositasnya.
Akhirnya secara batiniah ataupun nanti si pembaca berkarya yang
berbentuk tulisan mampu menyampaikan kebenaran yang benar-benar benar.
Dimana dalam dirinya telah tertanam sifat rububiyah yang selalu melahirkan
energi positif dan sealu mengajak bertindak positif. Demikian tulisan ini penulis
buat semoga bermanfaat, apabila ada kesalah dan kritik silahkan di tegur dengan
kritik membangun.

20
DAFTAR PUSTAKA

An-Nawawi, At-Taqrib An-nawawi Fann Ushul Hadits, Abdul ar-rasman


Muhammad, Kairo,tt
At-Tarmudzi, Sunan At-Turmudzi, Dar al-Fikr, Bairut, 1980
Ibnu Hajar As-Qalani, Fath Al-Bari, Dar Al-Fikr wa.Maktabah. Al-
Salafiyah, tt
Hasbi Ash-Shidiqi, Diroyah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1986
Zainuddin Hamidi, et Al, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Widjaya,
Jakarta,1992
Zufran Resman, Kajia Sunnah Nabi SAW sebagai sumber hukum islam,
Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, Cet. I. 1995
Subnhi Ahsh-Shahih, U‟lum Al-Hadits wa Musthalahuh, Dar Al-Ilm Al-
Malayin, Bairut, 1977
Muhammad Jamal Al-Din Al-Qasimi, Qowaid at-Tahdith min Funun
Mutshalah Al-hadits, Dar Al-Kutub, Bairut, 1989
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Silsilah HaditsAl-Dhaif wa Al-
Maudhu‟ah,MaktabahAl-Ma‟arif, Riyadh,tt
Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahu‟ul Hadits, Al-Ma‟arif, Bandung,
Cet. V, 1987

21

Anda mungkin juga menyukai