Anda di halaman 1dari 14

SYARAT-SYARAT HADITS SAHIH

Dosen Pengampu: Abdullah Hanapi, M. Hum.

Disusun oleh:
1. Lambang Tendy Ambodo (183111103)
2. Desi Dwi Maheningsih (183111104)
3. Lia Defi Hastuti (183111105)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas karunia–Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Syarat-syarat Hadis Sahih”.

Penyusunan makalah ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Dengan rasa tulus ikhlas dan segala kerendahan hati
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
tidak terhingga kepada:

1. Bapak Abdullah Hanapi, M. Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Hadits.
2. Teman–teman yang memberikan dukungan dalam pembuatan makalah ini.
3. Orang tua yang senantiasa memberikan dukungan dan doa.

Sebagai akhir kata, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu segala pendapat, saran, ulasan, dan kritik senantiasa sangat
penulis harapkan untuk lebih lanjut.

Surakarta, 25 Oktober 2019

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis adalah sumber hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an, dan


menjadi sesuatu yaang sangat penting bagi umat Islam. Hadis menjadi objek
kajian yang harus diteliti. Salah satunya adalah berkaitan dengan kualitas suatu
hadis untuk menetukan hadis tersebut dapat dipakai atau tidak, karena dalam
perkembangannya hadis-hadis palsu juga muncul dan tersebar dikalangan umat
Islam. Oleh karena itu, penyeleksian hadis harus teliti untuk menyatakan
kualitas hadis sahih. Pada makalah ini akan sedikit menjabarkan berkaitan
dengan syarat-syarat suatu hadis dapat dinyatakan sebagai hadis sahih.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian hadis sahih?
2. Apa saja syarat-syarat hadis sahih?
3. Bagaimana contoh hadis sahih?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hadis sahih
2. Untuk mengetahui syarat-syarat hadis sahih
3. Untuk mengetahui contoh hadis sahih

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis Sahih

Hadis sahih adalah suatu tingkatan hadis yang paling tinggi dari segi
kualitas hadis, sehingga dinilai sebagai hadis yang valid dan tidak ada keraguan.
Secara bahasa sahih berarti benar, sempurna, tiada cela, dan sesuai dengan
hukum.1 Sehingga, hadis sahih dapat diartikan hadis yang benar, sempurna, dan
tiada cela.2 Adapun secara istilah para ulama memberikan definisi hadis sahih
adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan
dhabith dari rawi yang lain (juga) adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan
hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).3

Pengertian hadis sahih secara definitif eksplisit belum muncul pada


masa ulama mutaqaddimin (sebelum abad ke-3 hijriah). Mereka pada umumnya
memberikan penjelasan dengan kriteria penerimaan hadis yang dipegang,
diantara pernyataan mereka adalah tidak diterima periwayatan suatu hadis
kecuali dari orang yang tsiqah (terpercaya), tidak diterima periwayatan suatu
hadis yang bersumber dari orang yang tidak dikenal memiliki ilmu
pengetahuan, dusta, mengikuti hawa nafsu, dan orang-orang yang tidak diterima
kesaksiannya. Pada masa ulama muta’akhirin (setelah abad ke-3 hijriah)
barulah muncul pengertian hadis sahih secara jelas.4

1
Tim Pemyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), hlm. 1243
2
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji dan Fakultas Syariah IAIN
Sumatera Utara), hlm. 99
3
Nuruddin ‘Itr, Ulum Al-Hadits 2, terj. Mujiyo, cet. ke-2, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1997), hlm. 2
4
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, hlm. 99-100

2
B. Syarat-Syarat Hadis Sahih

Para ulama hadis berpendapat setidaknya memberikan lima syarat


bahwa suatu hadis bisa dikatakan hadis sahih, yaitu sebagai berikut:

1. Sanadnya Bersambung

Maksud dari sanad bersambung adalah bahwa tiap-tiap perawi hadis


benar-benar menerima hadis dari perawi sebelumnya, keadaan ini
berlangsung dari Nabi Muhammad SAW hingga ulama penghimpun hadis.

Suatu hadis dianggap tidak tersambung sanadnya apabila terputus


salah seorang atau lebih dari rangkaian para perawi. Boleh jadi rawi yang
dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadis yang
dibawanya bisa menjadi tidak sahih.5

Menurut M. Muhammad Syuhudi Ismail untuk mengetahui


bersambung atau tidaknya sanad periwayatan hadis para ulama
menggunakan cara-cara sebagai berikut:6

a. Mencatat semua nama perawi secara detail dan teliti.


b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing para perawi
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara perawi dengan perawi
terdekat dalam sanad, apakah kata-kata berupa: hadasni, hadasna,
akhbarani, akhbarana, ‘an, ‘anna, atau kata-kata yang lainnya.

Sehingga suatu hadis dapat dinyatakan bersambung sanadnya


apabila seluruh perawi dalam sanad periwayatan benar-benar tsiqah, antara
masing-masing perawi dengan perawi terdekat lainnya benar-benar terjadi
hubungan perawiyatan hadis.

5
Nuruddin ‘Itr, Ulum Al-Hadits 2, hlm.2
6
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, hlm. 103

3
2. Periwayat Bersifat ‘Adil

Terdapat perbedaan pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat


hadis yang bersifat ‘adil. Menurut Al-Hakim seseorang dikatakan ‘adil
apabila beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat.
Sedangkan menurut Ibn al-Shalah ada lima kriteria seorang periwayat hadis
yang bersifat ‘adil antara lain beragama Islam, baligh, berakal, memelihara
muru’ah, dan tidak berbuat fasik. Sementara itu, Ibn Hajar al-‘Asqalani
menyatakan bahwa sifat ‘adil dimiliki seorang periwayat hadis yang taqwa,
memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar misalnya syirik, tidak berbuat
bid’ah dan tidak berbuat fasik.

Berdasarkan pendapat para ulama tersebut dapat diketahui bahwa


periwayat hadis dinyatakan ‘adil apabila memiliki kriteria antara lain: (1)
beragama Islam; (2) baligh; (3) berakal; (4) taqwa; (5) memelihara muru’ah;
(6) teguh dalam beragama; (7) tidak berbuat dosa besar; (8) tidak berbuat
maksiat; (9) tidak berbuat bid’ah; dan (10) tidak berbuat fasik. Dari sekian
kriteria diatas kemudian diringkas menjadi empat kriteria yaitu: (1)
beragama Islam; (2) mukalaf; (3) melaksanakan ketentuan agama; dan (4)
memelihara muru’ah.7
Secara umum, para ulama telah mengemukakan cara penetapan
keadilan periwayat hadis, yaitu:
a. Popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis, artinya
periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik ibn Anas
dan Sufyan al-Sawriy tidak lagi diragukan keadilannya.
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis, maksudnya ialah penilaian
berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
periwayat hadis.

7
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 162 – 163.

4
c. Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, merupakan cara yang ditempuh
bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi
periwayat tertentu.8
Ketiga cara diatas diprioritaskan dari urutan yang pertama
kemudian yang berikutnya. Maksudnya adalah keadilan seorang
periwayat hadis dapat diketahui melalui popularitas keutamaannya di
kalangan para ulama, jika seorang periwayat hadis terkenal dengan
keutamaannya seperti Malik ibn Anas dan Sufyan Al-Tsawri maka
dipastikan ia bersifat ‘adil. Jika periwayat tersebut tidak terkenal bersifat
‘adil namun berdasarkan penilaian para kritikus periwayat hadis
diketahui bahwa ia bersifat ‘adil maka ditetapkan pula sifat ‘adil
baginya. Akan tetapi, bila terjadi perbedaan pendapat tentang ‘adil
tidaknya seseorang periwayat hadis maka menggunakan kaidah-kaidah
al-jarh wa al-ta’dil. Ketiga cara ini tidak dapat di balik penggunaannya.9

3. Periwayat Hadis Bersifat Dhabith

Maksud dhabith adalah bahwa perawi hadis yang bersangkutan dapat


menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalannya yang kuat ataupun
dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika
meriwayatkannya.10 Menurut pendapat ulama pengertian dhabith dinyatakan
dengan redaksi beragam, seperti Ibn Hajar al-‘Asqalani dan al-Sakhawi yang
berpendapat bahwa seseorang dinyatakan dhabith apabila orang tersebut
kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu menyampaikan
hafalan itu kapan saja dia menghendaki. Muhammad Abu Zahrah
berpendapat seseorang disebut dhabith apabila mampu mendengarkan
pembicaraan sebagaimana seharusnya, memahami pembicaraan itu secara

8
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm.
139.
9
Idri, Studi Hadis, hlm. 164.
10
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 241.

5
benar, kemudian menghafal dengan sungguh-sungguh dan berhasil hafal
dengan sempurna, sehingga mampu menyampaikan hafalan itu kepada orang
lain dengan baik. Sementara itu, Shubhi al-Shalih menyatakan bahwa orang
yang dhabith adalah orang yang mendengarkan riwayat hadis sebagaimana
seharusnya, memahami dengan pemahaman mendetail kemudian hafal
secara sempurna, dan memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya
mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai menyampaikan riwayat
tersebut kepada orang lain.

Berdasarkan pendapat para ulama tersebut M. Syuhudi Ismail


meyimpulkan bahwa kriteria dhabith antara lain:
a. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar
atau diterimanya.
b. Periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadis yang telah didengar atau
diterimanya.
c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafal dengan
baik.
Cara untuk mengetahui ke-dhabith-an periwayat hadis menurut
berbagai pendapat ulama antara lain:
a. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesesuaian
riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang
telah dikenal ke-dhabith-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat
makna maupun sampai tingkat harfiah.
c. Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan
dhabith asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering
mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut
dhabith.11

11
Idri, Studi Hadis, hlm. 165 – 167

6
4. Terhindar dari Syadz (Kejanggalan)

Secara bahasa kata syadz berarti jarang atau janggal. Sedangkan


menurut istilah ulama hadis, syadz adalah hadist yang tidak mengikuti aturan
yang seharusnya secara logika. Yang dimaksud kejanggalan dalam konteks
hadis adalah bila terjadi sebuah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang
terpercaya, akan tetapi bertentangan dengan hadis lain dalam masalah yang
sama yang diriwayatkan oleh orang yang lebih terpercaya.12

Menurut Al-Syafi’i, suatu hadist dikatakan mengandung syadz


apabila:

a. Hadis itu memiliki lebih dari satu sanad


b. Para periwayat hadis itu seluruhnya tsiqah
c. Matan dan sanad hadis itu mengandung pertentangan

Menurut al-Hakim suatu hadis dinyatakan mengandung syadz


apabila:

a. hadist itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat.


b. periwayat yang sendirian itu bersifat tsiqah.

Jadi dari kedua pendapat tersebut, dapat dikemukakan bahwa


menurut Al-Syafi’i, hadis syadz memiliki lebih dari satu sanad dan menurut
Al-Hakim hanya diriwayatkan oleh satu periwayat saja. Menurut Al-Syafi’i
hadis syadz itu harus terjadi pertentangan matan dan sanad dari periwayat
yang sama-sama tsiqah, dan bagi Al-Hakim tidak harus terjadi pertentangan
matan dan sanad dari peiwayat yang sama-sama tsiqah itu. Dan persamaan
dari kedua pendapat itu bahwa hadis dikatakan tidak syadz apabila di
dalamnya terdapat periwayat yang tidak tsiqah.

Sedangkan menurut Abu Ya’la al-Khalili berpendapat bahwa hadis


syadz adalah hadis yang sanadnya hanya satu macam, baik periwayatnya

12
Subandji, Ulumul Al-Hadits, (Surakarta: Fataba Press, 2015), hlm. 65

7
bersifat tsiqah maupun tidak. Apabila periwayat tidak tsiqah maka hadist
itu ditolak sebagai hujjah, sedangkan jika periwayat itu bersifat tsiqah, maka
hadis itu dibiarkan (mawquf), yakni tidak ditolak maupun diterima sebagai
hujjah.13

5. Terhindar dari ‘illat (cacat)

Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit, dan
keburukan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘illat secara istilah adalah
sebab tersembunyi yang membuat hadis tersebut cacat, dan secara lahiriah
tampak shahih. Sebagai sebab kecacatan hadis, misalnya karena periwayat
pendusta atau tidak kuat hafalan, nah cacat seperti itu dapat mengakibatkan
lemahnya sanad. Menurut Shalah al-Din al-Adhabi, yang dimaksud dengan
hadis mu’allal adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang
tsiqah dan mengandung ‘illat yang merusak kesahihannya, meskipun secara
lahiriah tampak terhindar dari ‘illat tersebut.

Dilihat dari segi periwayat, hadis mu’allal sama dengan hadis syadz,
yaitu keduanya sama-sama diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah. Namun
bedanya, dalam hadis mu’allal, ‘illat-nya dapat ditemukan sedangkan dalam
hadis syadz tidak ditemukan, karena dalam hadis syadz di dalamnya memang
tidak terdapat ‘illat.

Mengetahui ‘illat suatu hadis tidaklah mudah, sebab membutuhkan


upaya menyingkap ‘illat yang tersembunyi dan samar, yang tidak dapat
diketahui selain orang yang ahli dalam bidang ilmu hadis. Tidak banyak
orang yang dapat menyingkap ‘illat tersebut, kecuali beberapa ulama hadis
saja seperti Ibn Al-Madini, Ahmad, Al-Bukhari, Ibn Abi Hatim, dan Al-
Daruquthni.

Menurut Al-Khathib Al-Baghdadi, cara untuk mengetahui ‘illat


hadis adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan di

13
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 168-169

8
antara para periwayatnya, dan memperhatikan status hafalan, keteguhan, dan
ke-dhabith-an masing-masing periwayat. Sedangkan menurut ‘Abd Al-
Rahman bin Mahdi, untuk mengetahui ‘illat hadis diperlukan intuisi (ilham).
Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang mampu meneliti ‘illat hadis
hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadis yang banyak, paham
akan hadis yang dihafalnya, mendalami pengetahuan tentang berbagai
tingkat ke-dhabith-an periwayat, dan ahli di bidang sanad dan matan hadis.

Suatu ‘illat hadis dapat terjadi pada sanad, matan, atau pada
keduanya sekaligus. Akan tetapi, yang terbanyak terdapat ‘illat itu pada
sanad. Masing-masing hadis, baik ‘illat-nya terdapat pada sanad, matan, atau
keduanya sekaligus itu disebut dengan hadis yang mu’allal (hadis yang
bercacat).14

C. Contoh Hadis Sahih

Diantara banyak hadis sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Bukhari dan Imam Muslim,15 sebagai berikut:

‫حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا جرير عن عمارة بن القعقاع بن شربمة عن أيب زرعة عن أيب هريرة‬
‫ (اي رسول هللا من أحق‬: ‫رضي هللا عنه قال جاء رجل إىل رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقال‬
‫الناس حبسن صحابيت قال أمك قال مث من قال مث أمك قال مث من قال مث أمك قال مث من قال‬

‫مث أبوك‬
Meriwayatkan dari kami Qutaibah bin Sa’id, ia berkata: “Meriwayatkan dari
kami Jarir dari Umarah bin Qa’qa dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah, ia
berkata: ‘Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW., lalu berkata: ‘Ya
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan yang
baik?’ Rasulullah menjawab ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya: ‘kemudian siapa?’
Rasululullah menjawab ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi: ‘kemudian siapa

14
Idri, Studi Hadis, hlm. 169-172
15
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, hlm. 5-6

9
lagi?’ Rasulullah menjawab: ’Ibumu.’ Orang itu kembali bertanya: ‘kemudian
siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘kemudian bapakmu.’”

Sanad dari hadis diatas bersambung oleh perawi yang dhabith dan ‘adil,
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim keduanya adalah ulama yang agung dalam
bidang hadis. Dan guru mereka Qutaibah bin Sa’id adalah orang yang tsabt dan
tsiqah. Jarir adalah putra dari Abdul Hamid, perawi yang tsiqah dan sahih
kitabnya. Umarah bin Al-Qa’qa’ adalah orang yang tsiqah, demikian pula Abu
Zur’ah Al-Tab’i, ia adalah putra Amr bin Jarir bin Abdullah Al-Bajali.

Para perawi dalam sanad di atas seluruhnya tsiqah dan dipakai berhujjah
oleh para Imam. Untaian sanad diatas banyak dikenal oleh kalangan muhaditsin,
dan padanya tidak terdapat hal kejanggalan. Demikian pula matan hadis sesuai
dengan dalin-dalil lain tentang masalah yang sama. Jadi hadis tersebut termasuk
hadis sahih.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hadis shahih


adalah suatu tingkatan hadis yang paling tinggi dari segi kualitas hadis,
sehingga dinilai sebagai hadis yang valid dan tidak ada keraguan. Suatu hadis
dinyatakan shahih apabila memenuhi syarat-syarat sebagai hadis shahih, syarat-
syarat hadis shahih antara lain: sanadnya bersambung, periwayat bersifat ‘adil,
periwayat hadis bersifat dhabith, terhindar dari syadz (kejanggalan), dan
terhindar dari ‘illat (cacat). Contoh hadis sahih ialah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.

B. Saran

Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini banyak kekurangan.


Semoga penulisan makalah ini dapat menambah wawasan kita untuk
mengetahui lebih mendalam tentang hadis shahih. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat mengetahui
kekurangan dan kesalahan kami dalam penyusunan makalah supaya
penyusunan makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.

11
DAFTAR PUSTAKA

‘Itr, Nuruddin. 1997. Ulum Al-Hadits 2. Terj. Mujiyo. Cet. ke-2. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
‘Itr, Nuruddin. 2012. Ulumul Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana
Ismail, Syuhudi. 2005. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang
Subandji. 2015. Ulumul Al-Hadits. Surakarta: Fataba Press

Tim Pemyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa

Zuhri, Ahmad. dkk.. 2014. Ulumul Hadis. Medan: CV. Manhaji dan Fakultas
Syariah IAIN Sumatera Utara

12

Anda mungkin juga menyukai