Anda di halaman 1dari 8

Hadis Nabi Saw.

terdiri dari dua unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka ke-
shahh-an suatu hadis juga sangat tergantung kepada dua unsur pokok ini. Adapun
yang dimaksud dengan sanad adalah sebagaimana dikatakan oleh imam al-Saytiy
sebagai berikut:

[1]

Artinya:Sanad adalah pemberitahuan untuk menyampaikan kepada matan.

Maksudnya adalah rangkaian para periwayat atau rentetan rawi-rawi yang


meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Sedangkan matan adalah:

[2]

Artinya:Matan adalah lafaz-lafaz hadis yang mengandung makna.

Maksudnya adalah materi atau isi dari hadis yang berada di ujung sanad. Sanad
dan matan hadis ini mempunyai kriteria tertentu, jika kriteria dari sanad dan matan
ini sudah terpenuhi, maka suatu hadis dapat digolongkan kepada derjat hadis sahih.
Pada bagian pertama ini, penulis akan mencoba memaparkan kriteria dari
bagian sanad hadis, untuk bagian yang kedua yaitu matan hadis akan di jelaskan pada
pembahasan berikutnya.

Keberadaan suatu hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis ditentukan
juga oleh keberadaan dan kualitas sanad-nya. Imam al-Nawwiy berpendapat
sebagaimana yang dikutip oleh Syuhudi Ismail bahwa bila sanad suatu hadis
berkualitas shahh maka hadis tersebut dapat diterima, dan apabila sanad-nya
tidakshahh maka hadis tersebut harus ditinggalkan.[3] Dan ia juga menyatakan bahwa
hubungan antara hadis dengan sanad-nya ibarat hubungan antara hewan dengan
kakinya.[4]

Maksud dari kaedah ke-shahh-an sanad hadis adalah segala syarat atau kriteria
yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas shahh.[5]Syuhudi Ismail
menyatakan bahwa segala syarat atau kriteria ke-shahh-an sanadhadis tersebut ada
yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Syarat atau kriteria yang bersifat
umum disebut dengan kaedah mayor, sedangkan yang bersifat khusus atau rician dari
kaedah mayor disebut dengan kaedah minor.[6] Adapun unsur-unsur dari kaedah
mayor[7] ke-shahh-an sanad hadis adalah:

a. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali berasal dari orang-orang
yangtsiqoh.

b. Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadis itu diperhatikan ibadah
sholatnya, prilaku dan keadaan dirinya.

c. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki
pengetahuan hadis.

d. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta, dan tidak
mengerti hadis yang diriwayatkannya.

e. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.[8]

Dari kaedah mayor di atas, ulama memunculkan kaedah minor sebagai berikut:

a. Sanad-nya bersambung

b. Seluruh periwayat dalam sanad hadis bersifat adil

c. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith

d. Sanad hadis itu terhindar daru syudzdz

e. Sanad hadis itu terhindar dari illat.[9]

Kaedah di atas awalnya dikemukakan oleh Ibnu al-Shalah, sebagaimana


diungkapkan dalam kitabnya Muqaddimah Ibn al-Shalah:

:
[10]
Artinya:Hadis shahh adalah hadis yang bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh periwayat
yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz), dan
cacat (illat).

Kemudian al-Nawwiy menyetujui defenisi tersebut dan


meringkaskannya dengan rumusan berikut yang diikuti oleh mayorits ulama hadis,
yaitu:

[11]

Artinya:Hadis yang bersambung sanad-nya diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan
dhabith serta tidak terdapat dalam hadis itu kejanggalan (syudzudz)dan cacat (illat).

a. Sanad bersambung ()

Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah setiap periwayat


dalam sanadhadis menerima dan mendengar riwayat hadis secara langsung dari
periwayat terdekat sebelumnya, dan keadaan ini berlangsung dari awal sampai
akhir sanad hadis tersebut.[12]

Kebersambungan sanad dalam ilmu hadis diketahui dengan tahammul wa ada,


yaitu seseorang bertemu dan mendengarkan hadis kemudian menyampaikan atau
meriwayatkan hadis tersebut kepada orang lain.[13] Dalam aspek penerimaan
(tahammul) hadis ulama tidak membatasi kriteria tertentu bagi orang yang menerima
hadis dari Rasulullah. Bahkan anak-anak atau yang belum memasuki usia baligh
dibolehkan untuk menerima hadis. Adapun dalam menetapkan kesahan seorang
periwayat hadis (ada al hadts), ulama menetapkan beberapa syarat yang lebih ketat
dari pada syarat orang yang menerima hadis, yaitu periwayatan hadis hanya diterima
dari seseorang yang beragama Islam, baligh atau berakal serta dalam kondisi sadar
dan paham terhadap apa yang diucapkannya, kemudian seorang periwayat harus
memiliki sifat adil dan dhabith.[14]

Adapun tata-kerja penelitian yang ditempuh ulama hadis untuk mengetahui


bersambung atau tidaknya sanad suatu hadis adalah:[15]

1. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti


2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat;

a. Melalui kitab-kitab rijl al-hads, seperti kitab Tahdzb al-Tahdzb oleh Ibnu Hajar al-
Asqalniy, kitab al-Kasyf oleh imam al-Zahbiy, dan lain-lain.

b. Dengan maksud untuk mengatahui: Pertama, apakah setiap periwayat dalamsanad itu
dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan
penyembunyian cacat (tadls). Kedua, apakah antara periwayat dengan periwayat yang
terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan kezamanan pada masa hidupnya dan guru
atau murid dalam periwayatan hadis.

3. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat


terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang dipakai
berupa haddatsaniy,haddatsan, akhbaran, an, anna, dan beberapa sighat
ada (penyampain) hadis lainnya.[16]

b.Periwayat bersifat adil ()

Yang dimaksud dengan adil dalam syarat pembawa hadis adalah seorang rawi
yang meriwayatkan hadis tersebut harus beragama Islam, baligh, berakal,
melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muruah. Dalam konteks ilmu hadis
yang dimaksud dengan dil adalah:

[17]

Artinya:orang yang konsisten dengan agamanya, baik budi pekertinya, dan terhindar dari fasiq
serta selamat dari kerusakan moral.

Selain bermoral agama, seseorang dituntut konsisten dengan ajaran agamanya,


memelihara ketaqwaan, serta berakhlak mulia, sehingga seorang ahli hadis selalu
berbudi pekerti yang baik. Nur al-Dn al-Itr menyimpulkan bahwa seorang periwayat
dapat dikatakan adil apabila sudah memenuhi syarat sebagai berikut, yaitu 1). Islam,
2). Baligh, 3). Berakal, 4). Bertaqwa, yaitu menjauhi larangan Allah (dosa besar) dan
tidak terus menerus melakukan dosa kecil, 5). Berbudi pekerti yang baik.[18]

c. Periwayat bersifat dhabit ()


Syuhudi Ismail mengemukakan dengan mengutip pendapat Ibnu Hajar
bahwadhabith adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya
dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya.[19]

Muhammad Ajjj al-Khatb juga mengungkapkan bahwa dhabit adalah:

[20]

Artinya:Dhabith adalah kemampuan daya tangkap yang baik yang dimiliki oleh seorang perawi
hadis ketika dia menerima hadis dan memahami hadis yang didengarnya serta
menghafalnya sejak dia menerima hadis tersebut sampai dia menyampaikannya
(menginformasikannya) kepada orang lain.

Untuk mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi hadis, dapat dilakukan


berdasarkan hal-hal sebagai berikut:[21]

1. Berdasarkan kesaksian dan pengakuan terhadap ke-dhabit-annya dari para ulama


yang hidup sezaman dengan periwayat.

2. Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat


lain yang telah dikenal ke-dhabit-annya.

Meskipun para ulama telah menetapkan beberapa kriteria untuk penilaian ke-
adalahan dan ke-dhabit-an perawi, namun terkadang tidak selalu pendapat dan
penilaian tersebut sama di kalangan ulama. Sebaliknya, terkadang terjadi perbedaan
penilaian antara ulama terhadap satu periwayat. Untuk itu dibutuhkan satu ilmu
dalam memberikan penilaian terhadap periwayat hadis yaitu ilmu al-jarh wa al-
tadl.[22]

Sementara itu dhabit ini terbagi kepada dua macam, yaitu:

1. Dhabith shadr, yaitu sebagaimana yang telah dijelaskan pada pengertian di atas.

2. Dhabith kitb, yaitu periwayat yang memahami dan memelihara dengan baik tulisan
hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya. Dhabith kitb ini sangat diperlukan
bagi periwayat yang tatkala menerima atau menyampaikan riwayat hadis melalui
cara qirah atau ijzah.[23]

d. Periwayat terhindar dari sydz ( )

Terdapat berbagai pandangan dan pengertian tentang sydz ini. Namun pada
umumnya pandangan tersebut lebih banyak mengacu kepada pandangan imam al-
Syfiiy yang mengatakan:

[24]

Artinya:Bukanlah sydz itu hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqqah yang tidak
diriwayatkan oleh yang lainnya. Namun yang dimaksud dengan sydz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh orang yang tsiqah akan tetapi menyalahi periwayat yang lain yang juga
tsiqah.

Berdasarkan pengertian dari Imam al-Syfiiy di atas diketahui bahwa suatu


hadis dikatakan sydz bukanlah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat
yangtsiqah dan tidak adanya periwayat tsiqah lainnya yang meriwayatkannya seperti
yang diutarakan oleh al-Hkim.[25] Namun hadis tersebut memiliki jalur sanad lebih
dari satu, dan perawi yang terdapat dalam berbagai jalur sanad tersebut sama-
sama tsiqah, serta matan atau sanad hadis tersebut tidak bertentangan.

Syuhudi Ismail mengatakan bahwa ke-sydz-an sanad hadis baru dapat


diketahui setelah diadakan penelitian sebagai berikut:[26]

1. Menghimpun dan membandingkan semua jalur sanad hadis yang matan-nya


mengandung pokok masalah yang sama.

2. Meneliti kualitas para perawi yang terdapat pada semua jalur sanad

3. Apabila semua perawi adalah tsiqah dan ternyata ada seorang perawi yang menyalahi
yang lain, maka dapat dikatakan bahwa sanad yang menyalahi itu adalahsanad
sydz dan yang lainnya disebut mahfzh (terpelihara).
Jadi apabila terjadi pertentangan antara para periwayat dengan periwayat lain
yang sama-sama tsiqah, maka periwayat yang sendirian dikalahkan oleh periwayat
yang banyak. Periwayat yang banyak dalam hal ini dimenangkan karena mereka
dinilai lebih kuat dan lebih tsiqah (awtsaq).[27]

e. Periwayat terhindar dari illat ()

Pengertian illat menurut istilah ilmu hadis, sebagaimana yang dikemukakan


oleh Ibnu al-Shalah bahwa illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas
hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak
berkualitasshahh menjadi tidak shahh.[28]

Al-Saytiy juga mengungkapkan bahwa illat adalah

[29]

Artinya:Illat merupakan sebab tersembunyi yang menyebabkan rusaknya hadis yang secara
zahirnya terpelihara dari illat itu.

Dr. Umar Muhammad Abdul Munim mengungkapkan dengan mengutip


perkataan Ibnu Hajar bahwa Illat merupakan ilmu hadis yang paling rumit, dan tidak
akan ada yang bisa menguasainya kecuali orang-orang yang telah diberi pemahaman
yang luas oleh Allah Swt. dan banyak menguasai sanad dan matan hadis Nabi
Saw.[30]Kemudian Dr. Umar Muhammad juga melanjutkan perkataannya bahwa
untuk menegetahui illat hadis diperlukan instuisi (ilham), sehingga sebagian ulama
menyatakan orang yang mampu meneliti illat hadis adalah orang-orang yang
cerdas dan banyak hafalan hadisnya serta paham terhadap apa yang ia hafal.[31]

Untuk mengetahui illat pada hadis, penelitian biasanya didasarkan atas


beberapa bentuk illat, yaitu:[32]

1. Sanad yang tampak muttashil lagi marf, ternyata setelah diselidiki muttashil-
nyaadalah mursal shahbiy (terputus pada tingkat sahabat).
2. Sanad hadis yang secara zahirnya tampak shahh, ternyata setelah diselidiki terjadi di
antara rawi hadis tersebut yang tidak dhabit (ada di antara rawi tersebut
yangwahm (keragu-raguan dalam hafalannya) atau nisyn (lupa) yang disifati
denganadil.

3. Terjadinya percampuran bagian matan hadis dengan bagian matan hadis lainnya.

4. Terjadinya kesalahan dalam hal menyebutkan perawi karena ada di antara perawinya
memiliki nama yang sama atau mirip dengan perawi lain, sedangkan kualitas ke-tsiqah-
annya tidak sama.

Anda mungkin juga menyukai