PEMBAHASAN
A. Hadits Shahih
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari
Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
Dalam Ilmu Hadits, arti Al – Hadits adalah segala sesuatu yang berupa berita, yang
dikatakan oleh Nabi, baik berita itu berupa ucapan, tindakan, pembiaran (taqrir), keadaan,
kebiasaan, dan lain – lain. Maka sesuatu hadis yang sampai kepada Nabi dinamakan marfu’,
yang sampai kepada sahabat dinamakan mauquf, yang sampai kepada tabi’in saja dinamakan
maqth’.
Kata Shahih( )الصحيحdalam bahasa diartikan sehat lawan dari kata as-sakqim( )السحيح
orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak
terdapat penyakit dan cacat. Selain itu hadits shahih disebut juga sebagai hadits yang
sejahtera lafadznya dari keburukan susunannya, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat,
atau khabar mutawatir atau ijma’ dan segala perawinya orang yang adil. Menurut Al Hafidh
Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits shahih ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
adil, sempurna kuat ingatannya, bersambung – sambung sanadnya kepada Nabi SAW, tidak
ada sesuatu yang cacat dan tidak bersalahan riwayat itu dengan riwayat orang yang lebih
1
Ibnu al- Shalah mendefinisikan hadits Shahih sebagai berikut:
فهواليديث المسند الّذى يتّصل اسناده بنيل العدل الضّابط عن العدل الضّابط الى منتهاه وال يكون شاذا وال
معلّال
“Yaitu Hadist musnad yang bersambung sanad-nya dengan periwayatan perawi yang
adil dan dhabith, (yang diterimanya) dari perawi (yang lain) yang adil dan dhabith
hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan, dan tidak ber’illat”.1
Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan, bahwa untuk mengetahui shohih tidaknya suatu
hadist, di perlukan 5 unsur, yang mana apabila salah satu dari unsur tersbut tidak ada, maka
1. Sanad bersambung
bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu
selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama. Sanad suatu hadits dianggap tidak
bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya.
Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga
2
hadits yang bersangkutan tidak shahih.
1
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, h, 219.
2
Maksudnya adalah, bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi
yang berbeda di atasnya, dari awal sanad sampai ke akhir sanad, dan seterusnya sampai
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hadis tersebut.3 Untuk membuktikan
apakah antara sanad-sanad itu bersambung atau tidak, di antaranya itu adalah dengan
dilihat dari usianya masing-masing dan tempat tinggal mereka. Apakah dari usia
keduanya memungkinkan bertemu atau tidak. Selain itu, cara mereka menerima
atau menyampaikannya ialah dengan cara sama’ (mendengar guru memberikan hadis
dari perawi itu) atau munawalah (seorang guru memberikan hadis yang dicatatnya
kepada muridnya). Atau dengan cara lain. Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan
bersambung, apabila :
Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
Antara masing-masing rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad
itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut
Berikut ini ada beberapa kaedah yang berkaitan dengan tata-kerja aplikasi untuk
merupakan hasil rumusan-rumusan yang ditemukan dalam berbagai literatur ilmu hadis
5
yang ditulis oleh beberapa orang ahli hadis.
Kaedah pertama:
2
M.Solahudin dan Agus Suyadi. Ulum al-Hadits.(Bandung, Pustaka Setia, 2010),.hlm.143
3
Al-khatib M.”Ajjaj. Al-mukhtasar al-wajiz fi ‘ulum al-hadits.( Beirut : Mu’assasah al-risalah,1991). H
305
4
M.Solahudin dan Agus Suyadi Op.cit. h.128 (Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu
periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits, sedangkann al-‘ada
adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits )
5
Al-Baghdadi, Al-Kifāyah fi 'Ilm al-Riwayah (Al-Madīnah al-Munawwarah: al-Maktabah al-'Alamiyah,
t.th.) hlm 20. ( didalam bukunya Aror Mabrur faza, kaedah persambungan sanad )
3
Tidak (boleh) ditulis hadis dari Nabi Saw. sehingga (diketahui) seorang siqqah
meriwayatkan hadis itu dari seorang siqqah (pula), sehingga (jalur) hadis ini sampai
Kaedah kedua,
dari yang siqqah (pula), boleh jadi ada pertemuan dan sama'i (antara keduanya)
karena hidup pada masa yang sama, walaupun tidak ada informasi bahwa keduanya
pernah berkumpul pada satu majelis atau berbicara secara langsung. Maka riwayatnya
kuat dan pasti menjadi hujjah. Kecuali ada informasi yang jelas bahwa periwayat
Kaedah ketiga,
Persambungan sanad terjadi pada (sanad hadis), (jika) salah seorang perawi
mendengar hadis dari orang yang berada pada level di atasnya, (kondisi seperti ini
juga) terjadi sampai pada akhir sanad, meskipun tidak diperlihatkan terjadinya sama'i,
Kaedah keempat:
(Para pakar hadis) memberi dua persyaratan agar hadis mu'an'an bisa
6
Tadlis adalah menyembunyikan aib yang ada dalam sanad, lalu menampakkan zhahir sanadnya baik
4
Oleh karena itu apabila ada hadis yang sanadnya munqoti’7, Mu’dhol8, Mu’allaq9
dan mursal10 maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih walaupun
Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang
diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya,
11
kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya kembali.
Persyaratan ini menghendaki agar seorang perawi tidak melalaikan dan tidak
Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua :
hadis tersebut sampai meriwayatkannya kepada orang lain, kapan saja periwayatan
itu diperlukan.
Dhabit Kitab
memahami dengan baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya,
dijaganya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.12
7
Munqothi’ adalah hadits yang dibuang dari tengah sanadnya satu, dua atau lebih dan tidak berturut-turut.
Terkadang maksudnya adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, maka termasuk di dalamnya hadits yang
empat tadi, mursal, mu’allaq, mu’dhol dan munqothi’ itu sendiri
8
Mu’dhol adalah hadits yang dibuang di tengah-tengah sanadnya, dua rowi secara berturut-turut.
9
Mu’allaq adalah hadits yang dihilangokan awal atau terkadang yang dimaksudkan adalah yang dibuang
semua sanadnya, seperti perkataan Imam Bukhori, “Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengingat Allah di setiap
keadaannya
10
Mursal adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabishollallahu ‘alaihi wa sallam oleh sahabat atau tabi’in
yang tidak mendengar langsung dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
11
Mujiyo.Ulum Al-Hadits 2,(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1997).hlm.3
5
Seorang perawi layak disebut dhabit, apabila dalam dirinya terdapat sifa-sifat berikut:
a. Pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya dan
diterimanya
b. Kedua, perawi itu hafal dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah
didengarnya (diterimanya)
c. Ketiga, perawi itu mampu menyampaikan riwayat hadis yang telah didengarnya
(b) Lalai
Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dikuatkan dengan salah satu
teknik berikut: keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu
bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil. khusus
mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh
sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai
bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya
pun ditolak.
Term adalah (adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong kepada
12
Ibn al-salah. Abu ‘Amr. ‘ulumul al-hadist, Ed.Nur al-Din ‘Atr.( Madinah : Maktabat al’ilmiyyah,
cet.kedua, 1972). Hlm 69
13
Nawis yuslem, ulumul hadist, ( Jakarta, PT mutiara sumber widya, 2001 )hlm 69
6
yang telah dipaparkan agaknya dapat dipahami bahwa seseorang dikatakan adil atau
bersifat ‘adalah jika pada dirinya terkumpul criteria muslim, baligh, berakal, memelihara
muru’ah, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat dan dapat dipercaya beritanya.
Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan adil adalam
transformasi hadis adalah bahwa periwayat tersebut harus beragama Islam, mukallaf,
melaksanakan ketentuan agama dan memelihara citra dirinya (muru’ah). Dengan kata
lain, keadilan periwayat ini terkait erat dengan kualitas pribadinya. Sekalipun ulama
mempunyai maksud yang sama dalam mendefinisikan tentang sifat adil ini, tetapi mereka
Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang
lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang
lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya
atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan,
dan ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah
Menurut al-Syafi’iy Suatu hadits tidak dinyatakan mengandung syudzudz, bila hadits
itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, sedang periwayat yang siqat
lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Barulah hadits dinyatakan mengandung syudzudz,
bila hadits diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, namun bertentangan dengan
hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga juga bersifat siqat.16
14
Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Mishriyah, t.th.), jus XIII, hal 445-463
15
Endang Soetari.,Ilmu Hadits ; Kajian Diriwayah dan Diriyah. (Bandung : Mimbar pustaka,2000
).hlm.140
16
Diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibn al-Shalah. Ibn al-Shalah, op, cit , hlm. 48.
7
Sebenarnya kejanggalan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat
potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh
jadi terdapat kekurang pastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan
4. Tidak Ber-illat
Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan
kesibukan. Adapun dalam terminology ilmu hadis, ‘illat didefinisikan sebagai sebuah
keshahihan hadis
Ibnu shalah, al nawawi, dan Nur al-din ‘itr menyatakan bahwa illat adalah sebab yang
tersembunyi yang merusak kualitas hadist, yang menyebabkan hadist yang pada lahirnya
tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.17 Sebagian ulama menyatakan orang
yang mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadits
yang banyak, paham akan hadits yang dihafalanya, mendalam pengetahuannya tentang
berbagai tingkat ke-dhabit-an periwayat dan ahli di bidang sanad dan matan hadits.
Demikian adalah unsur di tetapkannya suatu hadist, apakah masuk dalam kategori
shohih atau tidak. Dan yang lima tersebut bersifat berkaitan, dalam artian, apabila salah
satu dari kelima tersebut tidak ada, maka suatu hadist belum dinamakan sebagai hadist
shohih. Maka yang kelima unsur diatas bisa juga dinamakan sebagai syarat-syarat dari
17
Abu amr usman bin abdur rochmanibnu shalah. ulumul hadist. hlm 81
8
2. Contoh Hadits Shahih.
ُّ ِب ب
)الط ْو ِر "(رواه البخاري ِ م قَ َرأ َ فِي ْال َم ْغ ِر.َرسُ ْو َل هللاِ ص
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnusyihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami
dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib
surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
a. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari
gurunya.
b. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut
c. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak
cacat.
Dalam istilah para Ulama Hadits, berkaitan dengan kualitas para perawi atau
Sanad suatu Hadits, dikenal dengan apa yang disebut dengan Ashah al-Asanid, yaitu jalur
sanad yang dianggap para perawi paling Shahih berdasarkan kesempurnaan pemenuhan
9
syarat-syarat keshahihan suatu hadits. Adapun Ashahh al-Asanid yang dianggap paling
1. Ashah al-Asanid, menurut versi Ishaq ibn Rahawaih dan Ahmad adalah: Az-zuhri dari
2. Ashah al-Asanid, menurut versi Ibn al- Madinihdan Al-Fallas adalah: Ibn Sirin dari
3. Ashah al-Asanid, menurut versi Ibn Ma’in adalah: Al-A’masy dari Ibrahim dari
4. Ashah al-Asanid, menurut versi Abu Bakar bin Syabah adalah: Az-Zuhri dari Ali ibn al-
5. Ashah al-Asanid, menurut versi Bukhari adalah: Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar.
Namun pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah bahwa kita tidak dapat
menentukan sebuah Sanad tertentu sebagai Sanad yang paling Shahih karena perbedaan
Hadits. Kita hanya dapat menyimpulkan bahwa Ashahh al-Asanid, diatas lebih kuat dari
Sanad yang tidak mendapatkan predikat tersebut. Tidak lebih dari itu18. Dari segi persyaratan
Shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan, dari tingkat yang tertinggi sampai
18
Syaikh Manna’ Al-Qathhan, pengantar Studi Ilmu Hadits, h, 119.
19
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadits, cet, kedua, (Jakarta: Amzah ,2009), h, 158.
10
5. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim.
8. Hadits yang dinilai Shahih menurut Ulama yang lain selain Al-Bukhari dan Muslim dan
tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaymah, dan Ibnu Hibban, dan
lain-lain, Adapun karya-karya yang memuat Hadits-Hadits Shahih adalah sebagai berikut:
1. Shahih Al-Bukhari ( w.250 H), didalamnya terdapat 7.275 Hadits temasuk yang terulang-
2. Shahih Muslim (w.261 H), didalamnya terdapat 12.000 Hadits termasuk yang terulang –
7. Shahih Al-Albani.
Para Ulama membagi Hadits Shahih kedalam dua bagian, yaitu (1) Shahih Lidzatihi, dan (2)
Shahih Lighariihi.20
a. Shahih lidzatih (shahih dengan sendirinya), karena telah memenuhi 5 kriteria hadits
shahih sebagaimana defenisi, contoh, dan keterangan diatas. Yang dimaksud hadits
lidzatih ialah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan shahih khususnya
11
b. Shahih Lighairihi (shahih karena yang lain), yaitu :
periwayatan melalui jalan lain yang sama atau lebih kuat dari padanya.
Yaitu ingatan perawinya kurang sempurna (qalil ad-dhabt). Maka biasa dikatakan bahwa
sebenarnya hadits shahih asalnya bukan hadits shahih melainkan hadits hasan lidzatih.
Karena adanya syahid atau mutabi’ yang menguatkannya. Hadits tersebut dinamakan
dengan Shahih Lighairihi adalah karena ke-shahih-anya lantaran dibantu oleh keterangan
yang lain. Jadi, pada diri hadits itu belum mencapai kualitas shahih, kemudian ada
petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi
Shahih Lighairihi. Kedudukan Hadits Shahih Lighairihi ini berada di bawah Hadits
لوال أن أشق على أمتي ألمرته:عن ميمد بن عمروعن أبي سلمة عن أبحرهريرة أن رسول هللا صلى هللا علحه وسل قال
Artinya.
“dari muhammad bin Amr dari Abu Saalmah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
besabda: seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintah mereka untuk
bersiwak di waktu tiap-tiap hendak Shalat”.21
Ibnu Shalah berkata : adapun Muhammad bin ‘Amru ibn ‘al-qomh, adalah orang yang
22
terkenal dengan kejujuran dan kemuliaannya, namun dia bukan orang yang mutaqin.
Sebagian Ulama menganggapnya dha’if karena buruk dalam hafalannya, sebagian yang lain
menganggapnya Tsiqah karena kejujurannya dan kemuliaannya. Maka Haditsnya Hasan. Dan
21
Shahih” diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya pada bab Thaharah
22
Mahmud Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadits, ( Haramain:1965),h, 34.
12
etika riwayat lain dipadukan dengan hadits ini maka tertutuplah kelemahan tersebut,sehingga
Para Ulama Hadis, demikian juga para Ulama Ushul Fiqih dan Fuqaha, sepakat
menyatakan bahwa hukum Hadits Shahih adalah wajib untuk menerima dan
mengamalkannya. Hadis Shahih adalah Hujjah dan dalil dalam penerapan hukum Syara’,
oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk meninggalkannya.23
23
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, ( PT Mutiara Sumber Widya, 1991) h, 227
13
B. Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah merupakan syifat مشحبهةdari اليسحنyang berarti الجمحلyaitu
“indah’’, “bagus’’. Sedangkan pengertian Hadits Hasan menurut istila Ilmu Hadits tercakup
كل حديث يروى ال يكون في اسناده من يتّه بالكذب وال يكون اليديث شاذا ويروى من غحر وجه نجو ذلك
Artinya :
“Setiap Hadits yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada Sanad-nya perawi yang
pendusta, dan Hadits tersebut tadak Syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang
lain.”
Artinya.
“Yaitu Hadis yang bersambung Sanad-nya dengan periwayatan perawi yang adil,
ringan (kurang) ke-dhabith-annya , dari perawi yang sama (kualitas) dengannya sampai
ke akhir sanad, tidak Syadz dan tidak ber’ilat.”
ويسثعمله عامة الفيهاء, وهو الذي ييبله اكثر العلماء, وعلحه مدار اكثر اليديث,واشتهر رجاله, هو ما عرف مخرجه
Artinya.
“Hadits Hasan adalah, Hadits yang telah dikenal Muhkarrij-nya dan telah masyhur para
rawinya. Demikianlah kebanyakan Hadits, dan demikian kondisi Hadits yang diterima
oleh kebanyakan Ulama, dan dipakai oleh seluru Fuqaha.”24
24
Ini adalah definisi Hadits Hasan yang dikemukakan Ahmad Al-Khathtabi dalam kitab-nya Ma’lim al -
Sunan. Akan tetapi para Ulma mengkritik definisi ini karena tidak dapat diaplikasikansecara optimal sebagai
pembeda antara Hadits Hasan dan Shahih yang menyerupainya. Ibnu Katsir berkata,apa bilah Hadits yang
didefinisikan itu telah dikenal Mukharrijnya dan masyhur para Rowinya, maka Hadits Shahih pun demikian, bahkan
Hadits Dha’if pun demikian pula. Apabilah kata-kata berikutnya merupakan pelengkap devinisi tesebut,maka kata-
kata itu tidak dapat diterimah, bahwa kebanyakan Hadits itu sejajar dengan Hadits hasan, dan bahwa Hadis Shahih
dan Hasanlah yang diterima banyak Ulama dan dipakai oleh seluruh Fuqaha.
14
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan diatas, para Ulama merumuskan bahwa
kriteria Hadits Hasan adalah sama dengan Hadits Shahih hanya saja pada Hadis Hasan
terdapat perawi yang tingkat kedhabithannya kurang, atau lebih rendah, dari yang dimiliki
perawi Hadits Shahih. Oleh karenanya, Ibn Hajr menegaskan bahwa Hadits Hasan adalah
hadits Shahih yang periwayanya memiliki sifat Dhabith lebih rendah dari yang dimiliki oleh
perawi Hadits Shahih. dengan demikian kriteriah Hadits Hasan ada lima,yaitu :25
4. Hadits yang diriwayatkan tersebut tidak Syadaz. Artinya, Hadits tersebut tidak menyalahi
Diriwayatkan oleh At-tarmidzi, dia berkata: telah bercerita kepada kami Qitaibah, telah
bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad-Dhab’i, dari Abi Imran Al-Jauni, dari abu
Bakar bin Abu Musa Al-Asy’ari, dia bekata, “aku telah mendengar ayahku berkata
ّ
.............ان ابواب الجنة تيت ظالل السحوف
Empat perawi Hadits tersebut adalah tsiqoh kecuali Ja’far bin Sulaiman Ad-Dhab’i,
sehingga menjadikan Hadits ini sebagai Hadits hasan. Sebagaimana halnya Hadits Shahih.
25
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, cet.ke 7, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Pesada, 2011), h, 145.
15
Hadits Hasan juga mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut, Menurut A-Adzahabi,
sebagaimana dikutip oleh ‘Ajjaj Al-Khatib, tingkatan yang paling tinggi adalah periwayatan
dari Bahz ibn Hakim dari bapaknya, dari kakeknya; dari ‘Amr ibn Syu’aib dari bapaknya,
Bila perawi mengatakan bahwa sebuah hadits itu “Shahih Al-Isnad’’ atau “Hasan
Isnadnya’’ maka itu belum tentu menunjukkan Shahih matannya. Oleh karena suatu Hadits
kadang Shahih atau Hasan Sanadnya saja, sedangkan matannya lemah karena Syadz atau
adanya ‘Illat. Orang yang berhak memberikan label Hadits Shahih, Hadits Hasan hingga
Isnad Shahih atau Hasan, adalah orang yang mu’tamad (ahli dalam bidang ini dan dapat
dipercaya). Adpun buku-buku yang banyak mengandung Hadits Hasan yaitu: Jami’ At-
Menurut An-Nawawi dalam At-Taqrib, kitab At-Tirmizi yang pertama kali yang
kitabnya, Ibnu Taimiyah juga mempertegas, bahwa At-Tirmidzi-lah orang yang pertama kali
memperkenalkan pembagian Hadits dari segi kualitas kepada Shahih, Hasan, dan Dha’if27.
Para Ulama sebelum At-Tirmidzi belum kenal istilah tiga Hadits tesebut, yang dikenal
mereka kualitas Hadits ada dua macam yakni; Shahih dan Dha’if. Kemudian Hadits Dha’if
dibagi menjadi dua macam yaitu; Dha’if yang tidak tercegah pengamalnnya dan Dha’if yang
wajib ditinggalkan. Barangkali Dha’if yang pertama menurut Ulama dahulu inilah yang
26
Munzier Suparta, Ilmu Hadist, h, 147.
27
Abdul Majid Khon,Ulumul Hadits, h, 162.
16
Hadis Hasan terbagi menjadi dua macam yaitu (a) Hasan lidzatih dan (b) hasan
lighairihi.
(a) Hadits Hasan Lidzatihi, yang dimaksud hasan lidzatihi. adalah hadis yang mencapai
derajat hasan dengan sendirinya, sebagaimana yang telah disebutkan mengenai definisi
Hadits Hasan, dan tidak memerlukan bantuan lain untuk mengangkatnya ke derajat
هوالضعحف اذا تعددت طرقه ول يكن سبب ضعفه فسق الراوي او كذبه
Artinya, “Yaitu Hadits Dha’if apabila jalan (datang )-nya berbilang (lebih dari
satu), dan sebab ke-Dha’if-annya bukan karena perawinya fasiq atau pendusta”.
Hadits Dha’if dapat diangkat derajatnya ketingkat hasan dengan dua ketentuan, yaitu:
5. Hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan yang lain,
dengan syarat bahwa perawi (jalan ) yang lain tersebut sama kualitasnya atau
pendusta.
Tingkatan hadits hasan lighairihi adalah tingkatan yang paling rendah diantara Hadits
Maqbul. Hadits ini hasan bukan karena dirinya sendiri melainkan karena dibantu oleh
keterangan lain, baik dari syahid atau mutabi’. Dengan demikian, hadits hasan lighairih
adalah hadits yang kualitas haditsnya pada dasarnya berada di bawah derajat hadits
hasan. Ia berada pada derajat hadis dha’if, adapun Hadits Dha’if yang bisa naik
kedudukannya menjadi Hadits Hasan, hanya Hadits –Hadits yang tidak terlalu lemah,
17
sementara Hadits-Hadits yang sangat lemah, seperti Hadits Mudha’, Hadits munkar dan
Hadits Matruk, betapapun adanya Syahid dan Muttabi’ kedudukannya tetap sebagai
Diriwayatkan oleh At-tarmidzi dari jalur Syu’bah, dari Ashim bin Ubaidillah, dari
Abdillah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya, bahwasyahnya seorang wanita dari bani
Pada Hadits diatas terdapat perawi yang bernama ‘Ashim, sedangkan ‘Ashim adalah
Dha’if karena buruk hafalannya, kemudian At-Tarmidzi menghasankan Hadits ini karena
diriwayatkan melalui jalur yang lain, dari Umar , Abu Hurairah’ ‘Aisyah, dan Abi Hadrad.
Sebagaimana Hadis Shahih, menurut ulama para ahli hadis, ahli Fiqih dan Ahli Usul
bahwa hadits hasan, baik Hasan lidzatihi maupun Hasan lighairihi, juga dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan suatu hukum, yang harus diamalkan. Hanya saja terdapat
perbedaan pandangan di antara mereka dalam soal penempatan rutbah atau urutannya, yang
disebabkan oleh kualitasnya masing- masing. Ada ulama yang tetap membedakan kualitas
kehujjahan, baik antara Shahih lidzatihi dengan Shahih lighairihi dengan hadist hasan itu
sendiri. Tetapi ada juga ulama yang memasukannya kedalam satu kelompok, dengan tanpa
membedakan antara satu dengan yang lainnya, yakni Hadis-Hadis tersebut dikelompokan
18
kedalam Hadis Shahih pendapat yang disebut kedua ini dianut oleh Al- Hakim Ibn dan Ibn
Huzainnah.28
28
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, h, 148.
19
BAB III
KESIMPULAN
Penjelasan di atas dapat disimpulkan, Pengertian Hadits Shahih adalah “Shahih ( ”)صحيح
adalah bahasa arab, artinya sehat lawannya adalah “Saqiim” ( )سحيح, artinya “ sakit” dan menjadi
bahasa indonesia dengan arti “ sah, benar, sempurna, sehat”. Persyaratan Hadits Shahih, yaitu:
Diriwayatkan oleh para perawi yang Adil, Kedhabitan perawinya, antara Sanad- sanadnya harus
Muttashil, Tidak ada cacat atau illat, Tidak janggal atau Syadz. Hadits Shahih terbagi dua yaitu:
Shahih Lidzatihi dan Shahih Lighairihi. Shahih lidztihi adalah Haidits yang Shahih dengan
sendirinya, karena telah memenuhi, persyaratan hadits Shahih. Shahih ligharihi adalah Hadits
Hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau yang lebih kuat dari
padanya.
Adapun hadist hasan ialah tidak jauh berbeda dengan hadist shohih, demikian juga
syarat-syaratnya. namun perbedaannya hanyalah ada pada tingkat kedhobitan rowinya yang
dirasa masih kurang dan dibawah hadist shohih. Mengenai kehujjahan dari pada hadist shohih
dan hasan, ulama sepakat bahwa hadist shohih bisa dipakai sebagai hujjah. demikian juga hadist
hasan, meskipun tingkatannya masih dibawa hadist shohih, namun hadist hasan juga sepakati
oleh para ulama untuk di buat sebagai hujjah. Tapi ketika ada pertentangan antara hadist shohih
dan hadis hasan, maka harus mendahulukan hadist shohih, karna tingkatannya memang lebih
20
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir. Ulumul Hadis. Pustaka Setia Bandung. 2000.
Manna Syaikh,. Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar. 2004.
Solahudin, Agus & Agus Suyadi.Ulumul Hadits.CV. Pustaka Setia. : Bandung. 2013
21