Anda di halaman 1dari 21

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Shahih

1. Pengertian Hadist Shahih

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari

Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.

Dalam Ilmu Hadits, arti Al – Hadits adalah segala sesuatu yang berupa berita, yang

dikatakan oleh Nabi, baik berita itu berupa ucapan, tindakan, pembiaran (taqrir), keadaan,

kebiasaan, dan lain – lain. Maka sesuatu hadis yang sampai kepada Nabi dinamakan marfu’,

yang sampai kepada sahabat dinamakan mauquf, yang sampai kepada tabi’in saja dinamakan

maqth’.

Kata Shahih( ‫ )الصحيح‬dalam bahasa diartikan sehat lawan dari kata as-sakqim( ‫)السحيح‬

orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak

terdapat penyakit dan cacat. Selain itu hadits shahih disebut juga sebagai hadits yang

sejahtera lafadznya dari keburukan susunannya, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat,

atau khabar mutawatir atau ijma’ dan segala perawinya orang yang adil. Menurut Al Hafidh

Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits shahih ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang

adil, sempurna kuat ingatannya, bersambung – sambung sanadnya kepada Nabi SAW, tidak

ada sesuatu yang cacat dan tidak bersalahan riwayat itu dengan riwayat orang yang lebih

rajin dari padanya.

1
Ibnu al- Shalah mendefinisikan hadits Shahih sebagai berikut:

‫فهواليديث المسند الّذى يتّصل اسناده بنيل العدل الضّابط عن العدل الضّابط الى منتهاه وال يكون شاذا وال‬

‫معلّال‬

“Yaitu Hadist musnad yang bersambung sanad-nya dengan periwayatan perawi yang
adil dan dhabith, (yang diterimanya) dari perawi (yang lain) yang adil dan dhabith
hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan, dan tidak ber’illat”.1

Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan, bahwa untuk mengetahui shohih tidaknya suatu

hadist, di perlukan 5 unsur, yang mana apabila salah satu dari unsur tersbut tidak ada, maka

hadist tersebut belum di kategorikan sebagai hadist shohih.

Adapun unsur-unsur keshahihan suatu hadits adalah :

1. Sanad bersambung

2. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil

3. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith

4. Sanad hadits itu terhindar dari syudzudz atau kejanggalan

5. Sanad hadits itu terhindar dari ‘illat.

Terkait unsur-unsur keshahihan hadist akan diterangakn sebagai berikut :

1. Sanad yang bersambung

Sanadnya bersambung maksudnya adalah, bahwa setiap rawi hadits yang

bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu

selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama. Sanad suatu hadits dianggap tidak

bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya.

Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga
2
hadits yang bersangkutan tidak shahih.

1
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, h, 219.

2
Maksudnya adalah, bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi

yang berbeda di atasnya, dari awal sanad sampai ke akhir sanad, dan seterusnya sampai

kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hadis tersebut.3 Untuk membuktikan

apakah antara sanad-sanad itu bersambung atau tidak, di antaranya itu adalah dengan

dilihat dari usianya masing-masing dan tempat tinggal mereka. Apakah dari usia

keduanya memungkinkan bertemu atau tidak. Selain itu, cara mereka menerima

atau menyampaikannya ialah dengan cara sama’ (mendengar guru memberikan hadis

dari perawi itu) atau munawalah (seorang guru memberikan hadis yang dicatatnya

kepada muridnya). Atau dengan cara lain. Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan

bersambung, apabila :

 Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)

 Antara masing-masing rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad

itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut

ketentuan tahamul wa ada al-hadits.4

Berikut ini ada beberapa kaedah yang berkaitan dengan tata-kerja aplikasi untuk

mengetahui sisi persambungan sanad. Kaedah-kaedah yang akan dituliskan ini

merupakan hasil rumusan-rumusan yang ditemukan dalam berbagai literatur ilmu hadis
5
yang ditulis oleh beberapa orang ahli hadis.

 Kaedah pertama:

2
M.Solahudin dan Agus Suyadi. Ulum al-Hadits.(Bandung, Pustaka Setia, 2010),.hlm.143
3
Al-khatib M.”Ajjaj. Al-mukhtasar al-wajiz fi ‘ulum al-hadits.( Beirut : Mu’assasah al-risalah,1991). H
305
4
M.Solahudin dan Agus Suyadi Op.cit. h.128 (Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu
periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits, sedangkann al-‘ada
adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits )
5
Al-Baghdadi, Al-Kifāyah fi 'Ilm al-Riwayah (Al-Madīnah al-Munawwarah: al-Maktabah al-'Alamiyah,
t.th.) hlm 20. ( didalam bukunya Aror Mabrur faza, kaedah persambungan sanad )

3
Tidak (boleh) ditulis hadis dari Nabi Saw. sehingga (diketahui) seorang siqqah

meriwayatkan hadis itu dari seorang siqqah (pula), sehingga (jalur) hadis ini sampai

kepada Nabi Saw, dengan kondisi yang seperti ini.

 Kaedah kedua,

Sesungguhnya setiap periwayat yang siqqah (tentulah) meriwayatkan hadis

dari yang siqqah (pula), boleh jadi ada pertemuan dan sama'i (antara keduanya)

karena hidup pada masa yang sama, walaupun tidak ada informasi bahwa keduanya

pernah berkumpul pada satu majelis atau berbicara secara langsung. Maka riwayatnya

kuat dan pasti menjadi hujjah. Kecuali ada informasi yang jelas bahwa periwayat

tersebut tidak bertemu atau tidak mendengar apapun dari gurunya.

 Kaedah ketiga,

Persambungan sanad terjadi pada (sanad hadis), (jika) salah seorang perawi

mendengar hadis dari orang yang berada pada level di atasnya, (kondisi seperti ini

juga) terjadi sampai pada akhir sanad, meskipun tidak diperlihatkan terjadinya sama'i,

tetapi hanya dengan periwayatan 'an'anah.

 Kaedah keempat:

(Para pakar hadis) memberi dua persyaratan agar hadis mu'an'an bisa

"dipastikan" bersambung, (yaitu): Pertama, Adanya kepastian bahwa seorang

periwayat bertemu dengan gurunya dalam meriwayat hadis 'an'anah. Kedua,

periwayat tersebut terbebas dari aib tadlis.6

6
Tadlis adalah menyembunyikan aib yang ada dalam sanad, lalu menampakkan zhahir sanadnya baik

4
Oleh karena itu apabila ada hadis yang sanadnya munqoti’7, Mu’dhol8, Mu’allaq9

dan mursal10 maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih walaupun

dulunya termasuk hadist shahih.

1. Rawi Bersifat Dhabit

Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang

diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya,
11
kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya kembali.

Persyaratan ini menghendaki agar seorang perawi tidak melalaikan dan tidak

semaunya ketika menerima dan menyampaikannya.

Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua :

 Dhabit Shadr (dhabit Fuad)

Artinya terpelihara hadis yang diterimanya dalam hafalan, sejak ia menerima

hadis tersebut sampai meriwayatkannya kepada orang lain, kapan saja periwayatan

itu diperlukan.

 Dhabit Kitab

Artinya terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, ia

memahami dengan baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya,

dijaganya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.12

7
Munqothi’ adalah hadits yang dibuang dari tengah sanadnya satu, dua atau lebih dan tidak berturut-turut.
Terkadang maksudnya adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, maka termasuk di dalamnya hadits yang
empat tadi, mursal, mu’allaq, mu’dhol dan munqothi’ itu sendiri
8
Mu’dhol adalah hadits yang dibuang di tengah-tengah sanadnya, dua rowi secara berturut-turut.
9
Mu’allaq adalah hadits yang dihilangokan awal atau terkadang yang dimaksudkan adalah yang dibuang
semua sanadnya, seperti perkataan Imam Bukhori, “Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengingat Allah di setiap
keadaannya
10
Mursal adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabishollallahu ‘alaihi wa sallam oleh sahabat atau tabi’in
yang tidak mendengar langsung dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
11
Mujiyo.Ulum Al-Hadits 2,(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1997).hlm.3

5
Seorang perawi layak disebut dhabit, apabila dalam dirinya terdapat sifa-sifat berikut:

a. Pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya dan

diterimanya

b. Kedua, perawi itu hafal dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah

didengarnya (diterimanya)

c. Ketiga, perawi itu mampu menyampaikan riwayat hadis yang telah didengarnya

dengan baik, kapanpun diperlukan, terutama hingga saat perawi tersebut

menyampaikan riwayat hadisnya kepada orang lain.13

Adapun beberapa penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :

(a) Jelek hafalannya

(b) Lalai

(c) Ucapan yang menipu

2. Rawi bersifat adil

Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dikuatkan dengan salah satu

teknik berikut: keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu

bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil. khusus

mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh

sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai

bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya

pun ditolak.

Term adalah (adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong kepada

kebenaran14. Banyak perbedaan pendapat antara ulama, memperhatikan pendapat ulama

12
Ibn al-salah. Abu ‘Amr. ‘ulumul al-hadist, Ed.Nur al-Din ‘Atr.( Madinah : Maktabat al’ilmiyyah,
cet.kedua, 1972). Hlm 69
13
Nawis yuslem, ulumul hadist, ( Jakarta, PT mutiara sumber widya, 2001 )hlm 69

6
yang telah dipaparkan agaknya dapat dipahami bahwa seseorang dikatakan adil atau

bersifat ‘adalah jika pada dirinya terkumpul criteria muslim, baligh, berakal, memelihara

muru’ah, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat dan dapat dipercaya beritanya.

Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan adil adalam

transformasi hadis adalah bahwa periwayat tersebut harus beragama Islam, mukallaf,

melaksanakan ketentuan agama dan memelihara citra dirinya (muru’ah). Dengan kata

lain, keadilan periwayat ini terkait erat dengan kualitas pribadinya. Sekalipun ulama

mempunyai maksud yang sama dalam mendefinisikan tentang sifat adil ini, tetapi mereka

berbeda dalam redaksi dan kriterianya.

3. Tidak Syadz (Janggal)

Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang

lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang

lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya

atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan,

dan ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah

penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.15

Menurut al-Syafi’iy Suatu hadits tidak dinyatakan mengandung syudzudz, bila hadits

itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, sedang periwayat yang siqat

lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Barulah hadits dinyatakan mengandung syudzudz,

bila hadits diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, namun bertentangan dengan

hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga juga bersifat siqat.16

14
Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Mishriyah, t.th.), jus XIII, hal 445-463
15
Endang Soetari.,Ilmu Hadits ; Kajian Diriwayah dan Diriyah. (Bandung : Mimbar pustaka,2000
).hlm.140
16
Diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibn al-Shalah. Ibn al-Shalah, op, cit , hlm. 48.

7
Sebenarnya kejanggalan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat

sebelumnya, karena para muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup

potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh

jadi terdapat kekurang pastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan

predikat ke-dhabit-annya sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurang pastian

tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja

4. Tidak Ber-illat

Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan

kesibukan. Adapun dalam terminology ilmu hadis, ‘illat didefinisikan sebagai sebuah

hadis yang didalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak

keshahihan hadis

Ibnu shalah, al nawawi, dan Nur al-din ‘itr menyatakan bahwa illat adalah sebab yang

tersembunyi yang merusak kualitas hadist, yang menyebabkan hadist yang pada lahirnya

tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.17 Sebagian ulama menyatakan orang

yang mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadits

yang banyak, paham akan hadits yang dihafalanya, mendalam pengetahuannya tentang

berbagai tingkat ke-dhabit-an periwayat dan ahli di bidang sanad dan matan hadits.

Demikian adalah unsur di tetapkannya suatu hadist, apakah masuk dalam kategori

shohih atau tidak. Dan yang lima tersebut bersifat berkaitan, dalam artian, apabila salah

satu dari kelima tersebut tidak ada, maka suatu hadist belum dinamakan sebagai hadist

shohih. Maka yang kelima unsur diatas bisa juga dinamakan sebagai syarat-syarat dari

keshohihan suatu hadist.

17
Abu amr usman bin abdur rochmanibnu shalah. ulumul hadist. hlm 81

8
2. Contoh Hadits Shahih.

َ ‫ع ْن أَبِ ْح ِه قَا َل‬


ُ‫س ِم ْعت‬ ْ ‫ع ْن ُم َي َّم ِد ب ِْن ُجبَح ِْر ب ِْن ُم‬
َ ِ ‫ط ِع‬ َ ‫ب‬ َ ٌ‫ف قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا َما ِلك‬
ٍ ‫ع ِن اب ِْن ِش َها‬ َ ُ‫هللا بْنُ ي ُْوس‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
ِ ُ ‫ع ْبد‬

ُّ ِ‫ب ب‬
)‫الط ْو ِر "(رواه البخاري‬ ِ ‫م قَ َرأ َ فِي ْال َم ْغ ِر‬.‫َرسُ ْو َل هللاِ ص‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnusyihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami
dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib
surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).

Analisis terhadap hadits tersebut:

a. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari

gurunya.

b. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut

menurut para ulama aj-jarhuwata’dil sebagai berikut :

 Abdullah bin Yusuf : Tsiqat Muttaqin

 Malik bin Annas : Imam Hafid

 Ibnu SyihabAj-Juhri : Ahli fiqih dan Hafidz

 Muhammad bin Jubair : Tsiqat.

 Jubair bin muth’imi : Shahabat.

c. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak

cacat.

3. Tingkatan Hadits Shahih

Dalam istilah para Ulama Hadits, berkaitan dengan kualitas para perawi atau

Sanad suatu Hadits, dikenal dengan apa yang disebut dengan Ashah al-Asanid, yaitu jalur

sanad yang dianggap para perawi paling Shahih berdasarkan kesempurnaan pemenuhan

9
syarat-syarat keshahihan suatu hadits. Adapun Ashahh al-Asanid yang dianggap paling

Shahih adalah sebagai berikut.

1. Ashah al-Asanid, menurut versi Ishaq ibn Rahawaih dan Ahmad adalah: Az-zuhri dari

Salim dari ayahnya (‘Abdullah ibn Umar ibn Al- Khaththab).

2. Ashah al-Asanid, menurut versi Ibn al- Madinihdan Al-Fallas adalah: Ibn Sirin dari

Ubaidah dari Ali ibn Abi Thalib.

3. Ashah al-Asanid, menurut versi Ibn Ma’in adalah: Al-A’masy dari Ibrahim dari

Alqamah dari ‘abd Allah ibn Mas’ud.

4. Ashah al-Asanid, menurut versi Abu Bakar bin Syabah adalah: Az-Zuhri dari Ali ibn al-

Husain dari ayahnya dari Ali ibn Abi Thalib.

5. Ashah al-Asanid, menurut versi Bukhari adalah: Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar.

Namun pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah bahwa kita tidak dapat

menentukan sebuah Sanad tertentu sebagai Sanad yang paling Shahih karena perbedaan

tingkat ke-Shahih-an sebuah Hadits ketika tepenuhinya syarat-syarat ke-Shahih-an suatu

Hadits. Kita hanya dapat menyimpulkan bahwa Ashahh al-Asanid, diatas lebih kuat dari

Sanad yang tidak mendapatkan predikat tersebut. Tidak lebih dari itu18. Dari segi persyaratan

Shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan, dari tingkat yang tertinggi sampai

dengan tingkat yang terendah19, yaitu sebagai berikut:

2. Muttafaq ‘alayh, yang disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim

( diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).

3. Diriwayatkan Al-Bukhari saja.

4. Diriwayatkan oleh Muslim saja.

18
Syaikh Manna’ Al-Qathhan, pengantar Studi Ilmu Hadits, h, 119.
19
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadits, cet, kedua, (Jakarta: Amzah ,2009), h, 158.

10
5. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim.

6. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja.

7. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja

8. Hadits yang dinilai Shahih menurut Ulama yang lain selain Al-Bukhari dan Muslim dan

tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaymah, dan Ibnu Hibban, dan

lain-lain, Adapun karya-karya yang memuat Hadits-Hadits Shahih adalah sebagai berikut:

1. Shahih Al-Bukhari ( w.250 H), didalamnya terdapat 7.275 Hadits temasuk yang terulang-

ulang. Atau 4.000 Hadits tanpaterulang-ulang.

2. Shahih Muslim (w.261 H), didalamnya terdapat 12.000 Hadits termasuk yang terulang –

ulang. Atau sekitar 4.000 Hadits tanpa terulang-ulang.

3. Shahih Ibnu Khuzaymah (w. 311 H).

4. Shahih Ibnu Hibban (w. 354 H).

5. Mustadrak Al-Hkim (w. 405 H).

6. Shahih Ibn As-Sakan.

7. Shahih Al-Albani.

4. Macam-macam Hadits Shahih

Para Ulama membagi Hadits Shahih kedalam dua bagian, yaitu (1) Shahih Lidzatihi, dan (2)

Shahih Lighariihi.20

a. Shahih lidzatih (shahih dengan sendirinya), karena telah memenuhi 5 kriteria hadits

shahih sebagaimana defenisi, contoh, dan keterangan diatas. Yang dimaksud hadits

lidzatih ialah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan shahih khususnya

yang berkaitan dengan ingatan atau hapalan perawi.


20
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, ( PT Mutiara Sumber Widya, 1991: ( ), h, 219

11
b. Shahih Lighairihi (shahih karena yang lain), yaitu :

َ ‫ي ِإذَا ِلذَاتِ ِه اْل َي‬


‫س ُن ه َُو‬ َ ‫ق م ِْن ُر ِو‬ َ ‫ِم ْنه ُ أ َ ْق َوى أ َ ْو مِثْلُهُ آخ ََر‬
ٍ ‫ط ِر ْي‬

Artinya : Hadits Shahih Lighairihiadalah hadits hasan lidzatihi ketika ada

periwayatan melalui jalan lain yang sama atau lebih kuat dari padanya.

Yaitu ingatan perawinya kurang sempurna (qalil ad-dhabt). Maka biasa dikatakan bahwa

sebenarnya hadits shahih asalnya bukan hadits shahih melainkan hadits hasan lidzatih.

Karena adanya syahid atau mutabi’ yang menguatkannya. Hadits tersebut dinamakan

dengan Shahih Lighairihi adalah karena ke-shahih-anya lantaran dibantu oleh keterangan

yang lain. Jadi, pada diri hadits itu belum mencapai kualitas shahih, kemudian ada

petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi

Shahih Lighairihi. Kedudukan Hadits Shahih Lighairihi ini berada di bawah Hadits

Shahih Lidzatihi dan berada di atas Hasan Lidzatihi.

Contoh Hadits Shahih lighairihi

‫ لوال أن أشق على أمتي ألمرته‬:‫عن ميمد بن عمروعن أبي سلمة عن أبحرهريرة أن رسول هللا صلى هللا علحه وسل قال‬

‫بالسواك عند كل صالة‬

Artinya.
“dari muhammad bin Amr dari Abu Saalmah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
besabda: seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintah mereka untuk
bersiwak di waktu tiap-tiap hendak Shalat”.21

Ibnu Shalah berkata : adapun Muhammad bin ‘Amru ibn ‘al-qomh, adalah orang yang
22
terkenal dengan kejujuran dan kemuliaannya, namun dia bukan orang yang mutaqin.

Sebagian Ulama menganggapnya dha’if karena buruk dalam hafalannya, sebagian yang lain

menganggapnya Tsiqah karena kejujurannya dan kemuliaannya. Maka Haditsnya Hasan. Dan

21
Shahih” diriwayatkan At-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya pada bab Thaharah
22
Mahmud Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadits, ( Haramain:1965),h, 34.

12
etika riwayat lain dipadukan dengan hadits ini maka tertutuplah kelemahan tersebut,sehingga

sanadnya menjadi Shahih dan menempati derajat Hadits Shahih Lighairihi.

5. Hukum dan Status Kehujjahan Hadits Shahih.

Para Ulama Hadis, demikian juga para Ulama Ushul Fiqih dan Fuqaha, sepakat

menyatakan bahwa hukum Hadits Shahih adalah wajib untuk menerima dan

mengamalkannya. Hadis Shahih adalah Hujjah dan dalil dalam penerapan hukum Syara’,

oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk meninggalkannya.23

23
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, ( PT Mutiara Sumber Widya, 1991) h, 227

13
B. Hadits Hasan

1. Pengertian Hadist Hasan

Hasan secara bahasa adalah merupakan syifat ‫ مشحبهة‬dari‫ اليسحن‬yang berarti‫ الجمحل‬yaitu

“indah’’, “bagus’’. Sedangkan pengertian Hadits Hasan menurut istila Ilmu Hadits tercakup

dalam beberapa definisi sebagai berikut:

Menurut At-Tarmidzi, Hadits Hasan adalah:

‫كل حديث يروى ال يكون في اسناده من يتّه بالكذب وال يكون اليديث شاذا ويروى من غحر وجه نجو ذلك‬

Artinya :
“Setiap Hadits yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada Sanad-nya perawi yang
pendusta, dan Hadits tersebut tadak Syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang
lain.”

Menurut Ibnu Hajar Hadits Hasan adalah:

‫خف ضبطه عن مثله الى منتهاهمن غحر شذوذوال علة‬


ّ ‫هو مااتصل سنده العدل الذي‬

Artinya.
“Yaitu Hadis yang bersambung Sanad-nya dengan periwayatan perawi yang adil,
ringan (kurang) ke-dhabith-annya , dari perawi yang sama (kualitas) dengannya sampai
ke akhir sanad, tidak Syadz dan tidak ber’ilat.”

Menurut Al- khatabi Hadits Hasan adalah:

‫ ويسثعمله عامة الفيهاء‬,‫ وهو الذي ييبله اكثر العلماء‬, ‫ وعلحه مدار اكثر اليديث‬,‫واشتهر رجاله‬, ‫هو ما عرف مخرجه‬

Artinya.

“Hadits Hasan adalah, Hadits yang telah dikenal Muhkarrij-nya dan telah masyhur para
rawinya. Demikianlah kebanyakan Hadits, dan demikian kondisi Hadits yang diterima
oleh kebanyakan Ulama, dan dipakai oleh seluru Fuqaha.”24

24
Ini adalah definisi Hadits Hasan yang dikemukakan Ahmad Al-Khathtabi dalam kitab-nya Ma’lim al -
Sunan. Akan tetapi para Ulma mengkritik definisi ini karena tidak dapat diaplikasikansecara optimal sebagai
pembeda antara Hadits Hasan dan Shahih yang menyerupainya. Ibnu Katsir berkata,apa bilah Hadits yang
didefinisikan itu telah dikenal Mukharrijnya dan masyhur para Rowinya, maka Hadits Shahih pun demikian, bahkan
Hadits Dha’if pun demikian pula. Apabilah kata-kata berikutnya merupakan pelengkap devinisi tesebut,maka kata-
kata itu tidak dapat diterimah, bahwa kebanyakan Hadits itu sejajar dengan Hadits hasan, dan bahwa Hadis Shahih
dan Hasanlah yang diterima banyak Ulama dan dipakai oleh seluruh Fuqaha.

14
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan diatas, para Ulama merumuskan bahwa

kriteria Hadits Hasan adalah sama dengan Hadits Shahih hanya saja pada Hadis Hasan

terdapat perawi yang tingkat kedhabithannya kurang, atau lebih rendah, dari yang dimiliki

perawi Hadits Shahih. Oleh karenanya, Ibn Hajr menegaskan bahwa Hadits Hasan adalah

hadits Shahih yang periwayanya memiliki sifat Dhabith lebih rendah dari yang dimiliki oleh

perawi Hadits Shahih. dengan demikian kriteriah Hadits Hasan ada lima,yaitu :25

1. Sanad Hadits tersebut harus bersambung,

2. Perawinya adalah adil,

3. Perawinya mempunyai sifat Dhabith, namun kualitas ke-Dhabith-annya lebih rendah

(kurang) dari yang dimiliki oleh perawi Hadits Shahih.

4. Hadits yang diriwayatkan tersebut tidak Syadaz. Artinya, Hadits tersebut tidak menyalahi

riwayat yang lebih tsiqat dari padanya.

5. Hadits yang dieriwayatkan tersebut selamat dari ‘illat yang merusak.

2. Contoh Hadits Hasan adalah

Diriwayatkan oleh At-tarmidzi, dia berkata: telah bercerita kepada kami Qitaibah, telah

bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad-Dhab’i, dari Abi Imran Al-Jauni, dari abu

Bakar bin Abu Musa Al-Asy’ari, dia bekata, “aku telah mendengar ayahku berkata

dihadapan musuh, “Rasulullah bersabda,

ّ
.............‫ان ابواب الجنة تيت ظالل السحوف‬

“Sesungguhnya pintu-pintu surga berada dibawa naungan pedang.....( Al-Hadits.)

Empat perawi Hadits tersebut adalah tsiqoh kecuali Ja’far bin Sulaiman Ad-Dhab’i,

sehingga menjadikan Hadits ini sebagai Hadits hasan. Sebagaimana halnya Hadits Shahih.
25
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, cet.ke 7, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Pesada, 2011), h, 145.

15
Hadits Hasan juga mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut, Menurut A-Adzahabi,

sebagaimana dikutip oleh ‘Ajjaj Al-Khatib, tingkatan yang paling tinggi adalah periwayatan

dari Bahz ibn Hakim dari bapaknya, dari kakeknya; dari ‘Amr ibn Syu’aib dari bapaknya,

dari kakenya; dan Ibnu Ishaq dari Al-Taymiy”.26

Bila perawi mengatakan bahwa sebuah hadits itu “Shahih Al-Isnad’’ atau “Hasan

Isnadnya’’ maka itu belum tentu menunjukkan Shahih matannya. Oleh karena suatu Hadits

kadang Shahih atau Hasan Sanadnya saja, sedangkan matannya lemah karena Syadz atau

adanya ‘Illat. Orang yang berhak memberikan label Hadits Shahih, Hadits Hasan hingga

Isnad Shahih atau Hasan, adalah orang yang mu’tamad (ahli dalam bidang ini dan dapat

dipercaya). Adpun buku-buku yang banyak mengandung Hadits Hasan yaitu: Jami’ At-

Tarmidzi (Sunan At-Tarmidzi), Sunan Abu Dawud, dan Sunan Ad-Daruquthni.

3. Pengenalan Hadis Hasan

Menurut An-Nawawi dalam At-Taqrib, kitab At-Tirmizi yang pertama kali yang

memunculkan Hadits Hasan, yang memperkenalkannya dan banyak menyebut dalam

kitabnya, Ibnu Taimiyah juga mempertegas, bahwa At-Tirmidzi-lah orang yang pertama kali

memperkenalkan pembagian Hadits dari segi kualitas kepada Shahih, Hasan, dan Dha’if27.

Para Ulama sebelum At-Tirmidzi belum kenal istilah tiga Hadits tesebut, yang dikenal

mereka kualitas Hadits ada dua macam yakni; Shahih dan Dha’if. Kemudian Hadits Dha’if

dibagi menjadi dua macam yaitu; Dha’if yang tidak tercegah pengamalnnya dan Dha’if yang

wajib ditinggalkan. Barangkali Dha’if yang pertama menurut Ulama dahulu inilah yang

disebut Hasan oleh At-Tirmidzi.

4. Macam-macam Hadits Hasan

26
Munzier Suparta, Ilmu Hadist, h, 147.
27
Abdul Majid Khon,Ulumul Hadits, h, 162.

16
Hadis Hasan terbagi menjadi dua macam yaitu (a) Hasan lidzatih dan (b) hasan

lighairihi.

(a) Hadits Hasan Lidzatihi, yang dimaksud hasan lidzatihi. adalah hadis yang mencapai

derajat hasan dengan sendirinya, sebagaimana yang telah disebutkan mengenai definisi

Hadits Hasan, dan tidak memerlukan bantuan lain untuk mengangkatnya ke derajat

Hasan.Sebagaimana halnya dengan Hadits Hasan Lighairihi. Contoh Hadits Hasan

Lidzatihi adalah sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

(b) Hadits Hasan Lighairihi

Yang dimaksud dengan Hadits Hasan Lighairihi adalah.

‫هوالضعحف اذا تعددت طرقه ول يكن سبب ضعفه فسق الراوي او كذبه‬

Artinya, “Yaitu Hadits Dha’if apabila jalan (datang )-nya berbilang (lebih dari
satu), dan sebab ke-Dha’if-annya bukan karena perawinya fasiq atau pendusta”.

Hadits Dha’if dapat diangkat derajatnya ketingkat hasan dengan dua ketentuan, yaitu:

5. Hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan yang lain,

dengan syarat bahwa perawi (jalan ) yang lain tersebut sama kualitasnya atau

lebih baik dari padanya

6. Bahwa sebab ke-Dha’if-annya bukan karena perawinya bersifat fasiq atau

pendusta.

Tingkatan hadits hasan lighairihi adalah tingkatan yang paling rendah diantara Hadits

Maqbul. Hadits ini hasan bukan karena dirinya sendiri melainkan karena dibantu oleh

keterangan lain, baik dari syahid atau mutabi’. Dengan demikian, hadits hasan lighairih

adalah hadits yang kualitas haditsnya pada dasarnya berada di bawah derajat hadits

hasan. Ia berada pada derajat hadis dha’if, adapun Hadits Dha’if yang bisa naik

kedudukannya menjadi Hadits Hasan, hanya Hadits –Hadits yang tidak terlalu lemah,

17
sementara Hadits-Hadits yang sangat lemah, seperti Hadits Mudha’, Hadits munkar dan

Hadits Matruk, betapapun adanya Syahid dan Muttabi’ kedudukannya tetap sebagai

Hadits Dha’if, tidak bisa berubah menjadi Hadits Hasan.

Contoh hadits hasan lighairihi

Diriwayatkan oleh At-tarmidzi dari jalur Syu’bah, dari Ashim bin Ubaidillah, dari

Abdillah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya, bahwasyahnya seorang wanita dari bani

Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal, lalu Rasulullah bersabda,

‫أرضحت من نفسك ولك بنعلحن ؟ قالت نع‬

“apakah kamu relah dengan sepasang sandal?’’ dia menjawab “benar’’

Pada Hadits diatas terdapat perawi yang bernama ‘Ashim, sedangkan ‘Ashim adalah

Dha’if karena buruk hafalannya, kemudian At-Tarmidzi menghasankan Hadits ini karena

diriwayatkan melalui jalur yang lain, dari Umar , Abu Hurairah’ ‘Aisyah, dan Abi Hadrad.

5. Hukum dan Status Ke-hujjah-an Hadits Hasan

Sebagaimana Hadis Shahih, menurut ulama para ahli hadis, ahli Fiqih dan Ahli Usul

bahwa hadits hasan, baik Hasan lidzatihi maupun Hasan lighairihi, juga dapat dijadikan

hujjah untuk menetapkan suatu hukum, yang harus diamalkan. Hanya saja terdapat

perbedaan pandangan di antara mereka dalam soal penempatan rutbah atau urutannya, yang

disebabkan oleh kualitasnya masing- masing. Ada ulama yang tetap membedakan kualitas

kehujjahan, baik antara Shahih lidzatihi dengan Shahih lighairihi dengan hadist hasan itu

sendiri. Tetapi ada juga ulama yang memasukannya kedalam satu kelompok, dengan tanpa

membedakan antara satu dengan yang lainnya, yakni Hadis-Hadis tersebut dikelompokan

18
kedalam Hadis Shahih pendapat yang disebut kedua ini dianut oleh Al- Hakim Ibn dan Ibn

Huzainnah.28

28
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, h, 148.

19
BAB III

KESIMPULAN

Penjelasan di atas dapat disimpulkan, Pengertian Hadits Shahih adalah “Shahih ( ‫”)صحيح‬

adalah bahasa arab, artinya sehat lawannya adalah “Saqiim” ( ‫)سحيح‬, artinya “ sakit” dan menjadi

bahasa indonesia dengan arti “ sah, benar, sempurna, sehat”. Persyaratan Hadits Shahih, yaitu:

Diriwayatkan oleh para perawi yang Adil, Kedhabitan perawinya, antara Sanad- sanadnya harus

Muttashil, Tidak ada cacat atau illat, Tidak janggal atau Syadz. Hadits Shahih terbagi dua yaitu:

Shahih Lidzatihi dan Shahih Lighairihi. Shahih lidztihi adalah Haidits yang Shahih dengan

sendirinya, karena telah memenuhi, persyaratan hadits Shahih. Shahih ligharihi adalah Hadits

Hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau yang lebih kuat dari

padanya.

Adapun hadist hasan ialah tidak jauh berbeda dengan hadist shohih, demikian juga

syarat-syaratnya. namun perbedaannya hanyalah ada pada tingkat kedhobitan rowinya yang

dirasa masih kurang dan dibawah hadist shohih. Mengenai kehujjahan dari pada hadist shohih

dan hasan, ulama sepakat bahwa hadist shohih bisa dipakai sebagai hujjah. demikian juga hadist

hasan, meskipun tingkatannya masih dibawa hadist shohih, namun hadist hasan juga sepakati

oleh para ulama untuk di buat sebagai hujjah. Tapi ketika ada pertentangan antara hadist shohih

dan hadis hasan, maka harus mendahulukan hadist shohih, karna tingkatannya memang lebih

tinggi hadist shohih.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasyim. Kritik Matan Hadis, TERAS. Yogyakarta. 2004.

Abdurrahman, Muhammad. “Menelusuri Paradigma Ulama dalam Menentukan Kualitas


Hadis”, Al- Jami’ah, Journal of Islamic Studies ,Vol.41, No.2/2003/1424 H.

Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir. Ulumul Hadis. Pustaka Setia Bandung. 2000.

Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. al-Muna. Surabaya. 2010.

Khon,H. Abdul Majid,. Ulumul Hadits, Jakarta, Amzah. 2010.

Manna Syaikh,. Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar. 2004.

Mudasir, Ilmu hadits, Pustaka Setia : Bandung 1999.

Rahman, Fathur. Ikhtisar Musthalah al-Hadis. al-Ma’arif. Bandung. 1974.

Thahhan,Mahmud. Ulumul Hadis studi Kompleksitas Hadis Nabi. Titian Ilahi


Press.Yogyakarta.2016

Solahudin, Agus & Agus Suyadi.Ulumul Hadits.CV. Pustaka Setia. : Bandung. 2013

Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. PT. Raja Grafindo Pesada. Jakarta.2011.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadits. PT Mutiara Sumber Widya. Jakarta. 1991.

21

Anda mungkin juga menyukai