18
M. Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muḥaddiṡin fi Naqdi Matni al-Ḥadiṡ,
al-Nabawiy al-Syarif, (Tunisia: Muassasah „Abd Karim,1986) , h. 6
21
22
tidak sakit atau tidak memiliki cacat‟. Artinya, hadis itu sah,
benar dan sempurna.
Sedangkan secara terminologis, hadis ṣaḥiḥ dapat
didefinisikan sebagai “hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith sampai akhir
sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber‟illat”.
Definisi hadis ṣaḥiḥ secara konkrit baru muncul
setelah Imam Syafi‟i memberikan penjelasan tentang riwayat
yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perawi yang
dapat dipercaya pengalaman agamanya; dikenal sebagai orang
yang jujur memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan;
mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan
lafadznya; mampu meriwayatkan hadis secara lafadz;
terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafaz,
bunyi hadis yang dia riwayatkan sama dengan hadis yang
diriwayatkan oleh orang lain dan terlepas dari tadlis
(penyembunyian cacat).
Kedua rangkaian riwayatnya bersambung sampai pada
Nabi Muhammad saw, atau dapat juga riwayatnya tidak sampai
kepada Nabi. Atas dasar ini, maka tidak berlebihan jika Imam
Syafi‟I dianggap sebagai ulama yang pertama kali memiliki
inisiatif dalam menetapkan kaidah ke-ṣaḥiḥ-an suatu hadis.
Kaidah ke-ṣaḥiḥ-an hadis rumusan Syafi‟i seperti disebutkan,
23
19
Mohammad Noor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2013), h. 205-208
24
20
Miftahul Ansor, Imam Busbikin, Membedah Hadits Nabi SAW
Kaedah dan Sarana Studi Hadits Serta Pemahamannya, (Madiun: Jaya Star
Nine, 2015), h. 59-60
25
ص ِحْيح ِ ِ اِسنَاده
ٌ ضعِْي
َ َف َوَمْت نَو ٌ ضعِْي
َ ا ْسنَ َاد َهatau ف َ ُصحْي ٌح َوَمْت نُو
22
َ ََ ْ
21
Abdul Fatah Idris, Studi Analisis Tahrij Hadis-Hadis prediktif dalam
Kitab Al-Bukhari. (Semarang. Penelitian Individual, 2012), h. 156-157
22
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, (Jakarta; Gema Insani Press, 1995), h.86
27
23
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Terj.
Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1993), h.28
28
24
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi
Berbagai Metode dan Pendekatan dalam Memahami Hadis Nabi,
(Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 4-6
25
Ibid., h. 11
31
26
Abdul Mustaqim, Op.cit., h. 132
32
27
Said Agil Husin Munawir, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi
Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), h. 26
34
28
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Terj.
Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1993), h. 26-27
29
M. Alfatih Suryalidaga, Metodologi Syarah Hadis,
(Yogyakarta:SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012), h. 63-64
35
30
A. Hasan Asy‟ari Ulama‟I, Tahqiqul Hadis; Sebuah Cara
Menelusuri, Mengkritisi,dan Menetapkan Kesahihan Hadis Nabi Saw,
(Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), h. 167
36
31
Jamaliddin Abi al-Fadhl Muhammad bin Mukarom Ibn Mandhur
Al-Anshari, Lisan al-Arab, Juz 13, (Beirut: Dar al-Kitab al-ilmiyah, t.th) h,
387
32
M. Alfatih Suryalidaga, Op.cit., h. 66
33
A. Hasan Asy‟ari Ulama‟I, Op.cit., h. 230
37
3. Pendekatan Sosiologis
Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam
pemahaman hadis adalah memahami hadis Nabi dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi
dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadis. Kontribusi
pendekatan sosiologis bertujuan untuk menyajikan uraian
yang meyakinkan tentang apa yang sesungguhnya terjadi
dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam
hubungannya dengan ruang dan waktu. Dengan melihat
setting sosial yang melingkupi hadis, dari kondisi setting
sosial yang terkait dengan hadis yang dapat diperoleh
gambaran yang utuh dalam pemahaman hadis. Pendekatan
sosiologis dalam memahami hadis dapat diterapkan misalnya
pada hadis tentang persyaratan keturunan Quraisy bagi
seorang imam atau kepala Negara. 34
4. Pendekatan Antropologis
Adalah memahami hadis dengan cara melihat wujud
praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui pendekatan ini Islam tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dengan pendekatan ini kajian studi agama dapat
dikaji secara komprehensif melalui pemahaman atas makna
terdalam dalam kehidupan beragama di masyarakat.
34
Miftahul Ansor, Imam Busbikin, Op.cit.,, h. 271
38
35
Ulin Ni‟am Masruri, Metode Syarah Hadis, (Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya, 2015), h. 247
36
Kurdi, dkk, Hermeneutika Ak-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta;
elSAQ Press, 2010), h. 340
39
37
Richard E. Palmer, „Hermeneutics‟ dikutip dalam Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Yayasan Paramadina,1996), h. 17
38
Yusuf Qardhawi, Op.cit., h. 132-133.