Anda di halaman 1dari 16

TELA’AH HADITS DITINJAU DARI ASPEK KUALITAS RAWI

MAKALAH
Disusun sebagai Tugas Struktur Pada Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: A.M Ismatullah, S.Th.i., M.S.I.

Oleh:
1. Abdul Kodir 1817503001
2. Afik Fathur Rohman 1817503002
3. Sri Kunta Choeri U 1817503036
4. Yachya Mutohir 1817503047

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. KH. SAIFUDDIN


ZUHRI PURWOKERTO
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah
al-Qur’an. Hadits telah dibukukan pada masa pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz, Khillafah Bani Umayyah. Sedangkan sebelumnya hadits-
hadits Nabi SAW masih terdengar dalam ingatan para sahabat untuk
kepentingan dan pegangan mereka sendiri.
Umat Islam di dunia harus menyadari bahwa hadits-hadits
Rasulullah SAW sebaai pedoman hidup yang kedua setelah al-Qur’an.
Tingkah laku manusia ditegaskan ketentuan hukumnya, cara
mengamalkannya, tidak rinci dengan ayat al-Qur’an secara mutlak
sdan secara jelas. Hal ini membuat para muhaditsin sadar akan
perlunya mencari penyelesaian dalam hal tersebut dengan al-hadits.
Dalam meneliti kekuatan hadits, pembagian hadits dan
klasifikasi serta hukum untuk dijadikan hujjah, serta mengamalkan
hadits, perlu dipahami hadits-hadits yang berkembang baik secara
kualitas maupun kuantitas. Dalam makalah ini, penyusun akan
membahas pembagian hadits, kriteria keshahihan hadits dan hukum
kehujjahan hadits sahahih, hasan, dhaif dan maudhu. Terakhir akan
ditutup dengan beberapa kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kriteria Kesahihan Hadist


1. Pengertian Hadits Shahih
Kata shahih menurut bahasa berasal dari kata shahha,
yashihhu, sahham wa shihhatan wa shahahani, yang menurut
bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan
yang benar. Para ulama biasa menyebut kata shahih sebaai lawan
kata dari saqim (sakit). Maka, hadits shahih menurut bahasa
berarti hadits yang sah, hadits yang sehat atau hadits yang selamat.
Mahmud Thahan dalam Tafsir Musthalah
Hadis menjelaskan bahwa hadis shahih adalah: “Setiap hadis yang
rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang
adil dan dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di
dalamnya syadz dan ‘illah.”
Ibnu Hajar al-Asqalani, mendefinisikan lebih ringkas
yaitu: “Hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang adil,
sempurna kedzabithannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat,
dan tidak syadz.”
2. Pengertian Hadits Hasan
Hadits hasan menurut pendapat Ibnu Hajar ialah hadits
yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat
ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.”
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa hadits
hasan tidak memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya yang
kurang dalam kesempurnaan hafalannya. Disamping itu pula
hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, perbedaannya
hanya mengenai hafalan, dimana hadits hasan rawinya tidak kuat
hafalannya (tidak dhabith).
3. Kriteria Keshahihan Hadist
a. Kriteria Hadits Shahih
Dilihat dari defenisi hadits shahih di atas, terdapat
lima kriteria hadis shahih yang harus diperhatikan.
Demikian pula ketika ingin mengetahui apakah hadis yang
kita baca atau dengar shahih atau tidak, lima kriteria
tersebut menjadi panduan utama. Kalau kelima kriteria itu
ada dalam sebuah hadis, maka hadisnya shahih. Kalau
tidak ada salah satunya berati hadis dhaif.
Sebagaimana dijelaskan Mahmud al-Thahan
dalam Taisir Musthalah Hadis, kelima kriteria tersebut
adalah:1
1) Ketersambungan Sanad
Ketersambungan sanad atau ittishalul sanad
berati masing-masing perawi bertemu antara satu sama
lainnya. Salah satu cara yang digunakan untuk
membuktikan masing-masing rawi bertemu ialah
dengan cara melihat sejarah kehidupan masing-masing
perawi, mulai dari biografi guru dan muridnya, tahun
lahir dan tahun wafat, sampai rekaman perjalanannya.
2) Perawi Adil
Setelah mengetahui ketersambungan sanad,
langkah berikutnya adalah meneliti satu per satu
biografi perawi dan melihat bagaimana komentar
ulama hadis terhadap pribadi mereka. Perlu diketahui,
adil (‘adalah) yang dimaksud di sini berkaitan dengan
muruah atau nama baik. Perawi yang semasa hidupnya
pernah melakukan perbuatan yang melanggar moral
dan merusak muruah, hadis yang diriwayatkannya
tidak bisa diterima dan kualitasnya rendah.

1
Suryadilaga, M. Alfatih. Ulumul Hadits. (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 10.
3) Hafalan Perawi Kuat (Dhabith)
Selain mengetahui muruah perawi, kualitas
hafalannya juga perlu diperhatikan. Kalau hafalannya
kuat, kemungkinan besar hadisnya shahih. Tapi kalau
tidak kuat, ada kemungkinan hadis tersebut hasan,
bahkan dhaif.
4) Tidak Ada Syadz (Kejanggalan atau Keraguan)
Syadz berati perawi tsiqah bertentangan
dengan rawi lain yang lebih tsiqah darinya. Misalkan,
ada dua hadis yang saling bertentangan maknanya.
Untuk mencari mana kualitas hadis yang paling kuat,
kualitas masing-masing perawi perlu diuji, meskipun
secara umum sama-sama tsiqah. Dalam hal ini, perawi
yang paling tsiqah dan kuat hafalannya lebih
diprioritaskan. Dengan demikian, untuk memastikan
keshahihan hadis, perlu dikonfirmasi dengan riwayat
lain. Apakah tidak bertentangan dengan hadis lain atau
tidak.
5) Tidak ada ‘illah (Penyakit atau Cacat)
‘Illah yang dimaksud di sini adalah sesuatu
yang dapat merusak keshahihan hadis, namun tidak
terlalu kelihatan. Maksudnya, ada hadis yang dilihat
sekilas terkesan shahih dan tidak ditemukan cacatnya.
Namun setelah diteliti lebih dalam, ternyata di situ ada
sesuatu yang membuat kualitas hadis menjadi lemah.
Hal ini dalam musthalah hadis diistilahkan
dengan ‘illah.
b. Kriteria Hadits Hasan
Adapun kriteria yang harus dipenuhi bagi suatu
hadits yang dikategorikan sebagai hadits hasan, yaitu:
1) Para perwinya adil
2) Ke-dhabit-an perawinya dibawah perawi hadits shahih
3) Sanad-sanadnya bersambung
4) Tidak terdapat keganjalan atau syadz
5) Tidak mengandung ‘illat

B. Klasifikasi Hadis Shahih


Para ulama ahli hadits membagi hadits shahih menjadi dua
macam, yaitu:
1. Hadits Shahih Li Dzatihi
Hadist shahih li dzatihi ialah hadits dengan sendirinya,
artinya hadits shahih yang memiliki lima syarat atau kriteria
sebagimana disebutkan di persyaratan diatas atau hadits yang
melengkapi setingi-tinggi sifat yang mengharuskan kita
menerimanya.2
Menurut Ibnu Shalah dan pakar hadits lainnya 3
menjelaskan bahwa hadits shahih adalah hadits musnad yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang ‘adil
dan dhabith dari para perawi yang ‘adil dan dhabith pula sejak
awal sampai akhir, serta tidak terdapat di dalamnya suatu
kejanggalan dan cacat. Musnad maksudnya adalah hadits yang
dinisbatkan kepada Rasulullah dengan disertai sanad.
Dengan demikian, penyebutan hadits shahih li dzatihi
dalam pemakaiannya sehari-hari pada dasarnya cukup memakai
sebutan hadits shahih.
2. Hadits Shahih Li Ghairihi
Hadits shahih li ghairihi adalah hadits yang keshahihannya
dibantu dengan adanya keterangan lain. Hadits pada kategori ini
pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek kedhabitannya.
Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan
sebagai hadits shahih.

2
Sarbanun. “Macam-Macam Hadits dari Segi Kualitasnya.” Jurnal dalam https://e-
journal,metrouniv.ac.id
3
Gufron, Muhammad & Rahmawati. Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah.
(Yogyakarta: Teras, 2013), hal. 122.
Dinamakan hadits shahih li ghairihi karena keshahihannya
tidak datang dari sanadnya sendiri, tetapi karena ada riwayat
dengan sanad lain yang setingkat kedhabitannya atau lebih kuat
darinya (hadits shahih li dzatihi).4
3. Kehujjahan Hadits Shahih
Para Ulama sependapat bahwa hadits ahad yang shahih
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat Islam, namun
mereka berbeda pendapat. Apabila hadits kategori ini dijadikan
untuk menetapkan soal-soal aqidah.5
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat, sebagaimana
berikut:
Pertama, menurut sebagian ulama bahwa hadits shahih
tidak memberi faidah qat’hi6 sehingga tidak bisa dijadikan hujjah
untuk menetapkan soal aqidah.
Kedua, menurut an-Nawawi bahwa hadits-hadits shahih
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim memberikan qaidah
qoth’i.
Ketiga, pendapat Ibnu Hazm, bahwa semua hadits shahih
memberikan faidah qoth’i, tanpa dibedakan apakah diriwayatkan
oleh kedua ulama di atas atau bukan jika memenuhi syarat ke
shahihannya, adalah sama dalam memberikan faidahnya.

C. Klasifikasi Hadits Hasan


Hadist hasan terbagi menjadi 2 macam: Hadist hasan li dzatihi
dan hadist hasan li ghairihi.
1. Hadits Hasan Li Dzatihi
Hadist hasan li dzatihi merupakan hadist yang memenuhi
syarat sebagai hadist shahih, hanya saja kualitas ke-dhabitan salah

4
Gufron, Muhammad & Rahmawati. Ulumul Hadits…. hal. 125.
5
Sarbanun. “Macam-Macam Hadits..,
6
Hadits yang gugur dari isnadnya nama seorang rawi sebelum shahaby (sahabat)
dalam satu tempat atau lebih. Lihat, Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku. Sejarah
& Pengantar Ilmu Haditsi. (Semarang: PT. Pustaka Rizki putra, 2002), hal. 303.
seorang atau beberapa orang perawinya berada di bawah kualitas
perawi hadist shahih.
Letak perbedaan hadist shahih li dzatihi dengan hadist
hasan li dzatihi adalah syarat kedhabitan perawi. Perawi hadist
hasan tingkat dhabith-nya berada di bawah kualitas perawi hadist
shahih. Ibu hajar mengatakan dengan istilah qalil al-dhabth.
Perawi hadist hasan biasanya disebut dengan istilah
shaduq (jujur), laisa bihi ba’s, la ba’sa bih (tidak apa-apa),
mahallahu ashsidq, jayyid al-hadist, hasan al-hadist, dan shahih
al-hadist.
2. Hadits Hasan Li Ghairihi
Hadist hasan li ghairihi adalah hadist dha’if yang ringan
kedla’ifannya, lalu dikuatkan oleh hadist yang serupa atau yang
lebih kuat darinya.
Dengan demikian, hadist dha’if yang disebabkan cacat
kedhabitan perawi (seperti buruk hafalan, sering lupa, atau
kerancuan hafalan), derajatnya dapat naik menjadi hadist hasan li
ghairihi jika ada jalur lain yang menguatkannya. Akan tetapi, jika
ke-dha’ifan perawi disebabkan cacat moralitas (‘adalah), maka
hadist dha’if derajatnya tidak dapat naik menjadi hadist hasan li
ghairihi.
3. Kehujjahan Hadits Hasan
Mayoritas ahli hadist dan ahli fiqh mengatakan, hadist
hasan dapat dijadikan sebagai hujjah (argument), sebagai mana
hadist shahih, meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Mayoritas
ulama memasukan hadist hasan pada kelompok hadist shahih,
meskipun mereka mengetahui bahwa hadist hasan memiliki
kekuatan hujjah lebih rendah dari hadist shahih. Di antara mereka
yang mendukung pendapat ini adalah al-Hakim, Ibnu Hibban dan
Ibnu Khuzaimah.7

7
Gufron, Muhammad & Rahmawati. Ulumul Hadits…. hal. 131.
D. Hadits Dha’if
1. Pengertian
Hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau
lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan.
‫الحديث الضعيف هو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح و ال صفات الحسن‬
Artinya: “hadits dha’if ialah hadits yang tidah memenuhi kriteria
hadits shahih dan hadits hasan.”8
Dha’if itu artinya lemah. Hadits dha’if artinya hadits yang
lemah, maksudnya hadits tersebut tidak kuat dijadikan landasan dan
sandaran dalam menetapkan masalah hukum halal dan haram. Hadits
dinilai dha’if bukanlah karena Nabi SAW. akan tetapi disebabkan oleh
para periwayat dalam sanadnya yang terlibat dalam proses
periwayatannya.
Ke-dha’if-an hadits disebabkan pada beberapa hal, yaitu:
a. Sanadnya terputus
b. Kualitas moral (ke-‘adil-an) periwayatnya yang cacat
c. Kualitas intelektual (ke-dhabith-an) periwayatnya yang rusak
d. Susunan redaksinya yang bermasalah
e. Kandungan maknanya rancu
2. Klasifikasi Hadits Dha’if
Pada dasarnya hadits dha’if termasuk bagian dari hadits
mardud (tertolak). Namun, tidak semua hadits dha’if tertolak. Ada
hadits dha’if yang dapat diterima dan diamalkan dengan kriteria
tertentu. Dengan demikian ada hadits dha’if yang diterima dan ada
juga yang ditolak. Hadits dha’if dilihat dari segi kahujjahannya dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu:
a. Hadits dha’if ringan.
Maksudnya hadits yang kedh’ifannya dapat berubah
kualitasnya karena mendapat dukungan yang menguatkan dari
hadits-hadits shahih lainnya yang kandungan maknanya sama,
sehingga berubah menjadi hadits hasan li ghairihi. Hadits

8
Sayadi, Wajidi. Pengantar Studi Hadits. (Pontianak: Pustaka Abuya)), hal. 67.
dha’if yang dapat berubah kualitasnya menjadi hadits hasan li
ghairihi karena didukung dan dikuatkan oleh hadits shahih lain
sebagai mutabi’ atau syahid adalah hadits dha’if ringan yang
kedha’ifannya disebabkan oleh;
Pertama Sanadnya terputus, seperti hadits mu’allaq,
munqathi’, mu’dhal, dan mursal. Kedua, Ke-dhabith-an
periwayatnya buruk, misalnya banyak bimbang dan ragu-ragu,
atau hafalan buruk. Ketiga, tidak jelas ke-‘adil-an
periwayatnya, misalnya mubham, majhul al-‘ain, dan al-
mastur.
Contohnya:
‫ شبابك قبل هرمك و صحتك قبل سقمك و غناك قبل فقرك‬: ‫اغتنم خمسا قبل خمس‬
‫و فراغك قبل شغلك و حياتك قبل موتك‬
“perhatikanlah lima sebelum datang yang lima;
mudamu sebelum tua, masa sehatmu sebelum sakit, masa
kayamu sebelum miskin, masa luangmu sebelum sbuk, dan
masa hidupmu sebelum meninggal”.
Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad,
bersumber dari ‘Amr bin Maimun adalah dha’if, yaitu mursal.
Hanya saja dha’ifnya ringan karena sanadnya tidak
bersambung. Hadits tersebut selain bersumber dari ‘Amr bin
Maimun juga bersumber dari Ibnu Abbas. Hakim dan Nasai
meriwayatkan melalui jalur Ibnu Abbas. Melalui sanad ini,
kualitasnya shahih.
Oleh karena itu hadits dha’if ringan yang diriwayatkan
Tirmidzi, Baihaqi dan Ahmad tersebut berubah kualitasnya
menjadi hadits hasan.
b. Hadits dha’if berat.
Maksudnya adalah hadits dha’if yang kedha’ifannya
bersifat paten, tidak berubah kualitasnya walau sebanyak apa
pun hadits shahih lainnya yang semakna dan
mendukungnya. Hadits dha’if yang paling parah atau kelas
berat adalah hadits maudhu’ atau hadits palsu. Hadits dha’if
berat tidak dapat berubah kualitasnya disebabkan kualitas
moral periwayatnya cacat, seperti dusta, tertuduh dusta, fasik,
atau hapalannya rusak atau kacau (ikhtilath).
Hadits dha’if yang diriwayatkan oleh periwayat seperti
ini disebut hadits yang sangat dha’if, seperti hadits maudhu’,
hadits munkar dan hadits matruk. Contoh:
‫اطلبوا العلم ولو بالصين‬
“Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”.
Hadits ini diriwayatkan oleh bberapa riwayat, di
antaranya Ibn ‘Adiy (356 H) dalam bukunya Al-Kamil fi
Dhu’afa’ Ar-Rijal, Abu Nu’aim (450 H) dalam
bukunya Akhbar Al-Ashbihan, Al-Katib Al-Baghdadiy (463
H) dalam bukunya Tarikh Baghdad dan Ar-Rihlah fi Thalab
Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlihi dan lainnya.
Dilihat dari sisi sumber sanadnya, hadits ini melalui al-
Hasan ibn ‘Atiyah dari Abu ‘Atikah Tarif ibn Sulaiman dari
Anas ibn Malik. Kualitas hadits ini dinilai oleh para ulama
hadits sebagai hadits dha’if. Kedha’ifan hadits ini disebabkan
salah seorang periwayatnya dalam sanadnya bernama Abu
‘Atikah Tarif ibn Sulaiman. Abu ‘Atikah dinilai oleh kritikus
hadits seperti al-‘Uqaili sebagai matruk (tertolak).
Bukhari menilai bahwa haditsnya munkar. An-Nasai
menilai haditsnya tidak kuat. Abu Hatim menilai,
haditsnya dzahib (dibuang). Kata as-Sulaimani, Abu ‘Atikan
dikenal pernah memalsukan hadits. Ahmad ibn Hambal (243
H) tidak mengakui hadits tersebut. Ibn Hibban (354 H/965 M)
menilai hadits ini bathil, tidak ada dasar dan sumbernya.
Bahkan Ibn Al-Jauzi dalam bukunya koleksi hadits-hadits
palsu al-maudhu’at, menilai bahwa hadits tersebut adalah
palsu,
3. Hukum Periwayatan Hadits Dhaif
Ulama hadis mengingatkan agar orang yang meriwayatkan
hadis dhaif tanpa sanad tidak meriwayatkan dengan redaksi yang
menunjukkan kemantapan penuh bahwa ia merupakan hadis.
Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan: Rasulullah SAW.
Menyabdakan begini-begini”dan sejenisnya. Bahkan Ia harus
meriwayatkan dengan redaksi yang menujukkan keraguan akan
keshahihannya misalnya; ruwiya (diriwayatkan) ja’a (datang),
nuqila (di pindahkan), fima yurwa. (pada sesuatu yang
diriwayatkan) dan sejenisnya.
Adapun meriwayatkan hadis-hadis dhaif lengkap dengan
sanadnya tidak di makruhkan menggunakan redaksi yng
menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan kepada ahli
ilmu. Bila diriwayatkan kepada orang awam, maka
menggunakan redaksi yang tidak menunjukkan kemantapan
penuh, sama seperti ketika meriwayatkan tanpa sanad. [8] Para
ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif sekalipun
tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat:
a. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
b. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan
halal dan haram, Tetapi berkaitan dengan
masalahh mau’izhah, targhib watarhib (hadis-hadis
tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.
4. Hukum pengamalan hadis dhaif
Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadis
dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi tiga pendapat yaitu:
a. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai
fadhilah amal maupun dalam hukum. Ini diceritakan
oleh Ibnu Sayyid an-nas dari Yahya bin Ma’in dan pendapat
inilah yang dipilih Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-
Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam.
b. Hadis dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam
fadhilah al-amal atau dalam masalah hukum (ahkam).
Pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat
bahwa hadis dhaif lebih kuat dari pada pendapat ulama.
c. Hadis dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah,
targhib (janiji-janji yang menggemparkan) dan tarhib
(ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-
Asqalani yaitu sebagai berikut:
1) Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya
pendusta (hadis mawdhu’) atu dituduh dusta (hadis
matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat
kurang dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam
perkataan atau perbuatan (hadis munkar)
2) Masuk kedalam kategori hadis yang diamalkan
(ma’mul bih) seperti hadis muhkan (hadis maqbul
yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain),
nasikh (hadis yang membatalkan hukum pada hdis
sebelumnya) dan rajah (hadis yang lebih unggul
dibandingkan oposisinya)
3) idak diyakinkan secara unggul yakin kebenaran hadis
dari nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau
ikhtiyath

E. Hadist Maudhu
1. Pengertian
Ditinjau dari sisi bahasa, hadits maudhu’ merupakan
bentuk isim maf’ul dari kata ‫وضع – يضغ‬. Kata ‫وضع‬memiliki
beberapa makna, yaitu menggugurkan, meninggalkan dan
mengada-ada dan membuat-buat.
Menurut para muhadditsin, hadits maudhu’ adalah
“Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara
mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau
kerjakan ataupun beliau taqrirkan”.
Dari pengertian tersebut dapak kita simpulkan bahwa
hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW., baik perbuatan, perkataan maupun
taqrir, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan
masyarakat Islam, hadits maudhu’ disebut juga dengan hadits
palsu.
2. Kedudukan Hadits Maudhu
Jumhur ahli hadis juga berpendapat, bahwa berdusta
termasuk dosa besar. Semua ahli hadis menolak khabar pendusta.
Bahkan Syeikh Abu Muhammad al-juwainiy mengkafirkan
pemalsu hadis. Semua hadis maudhu bathil lagi tertolak dan tidak
bisa dijadikan pegangan, karena merupakan kedustan atas diri
rasul SAW.
Disamping sepakat mengenai keharaman membuat hadis
palsu, ulama juga sepakat mengenai keharaman meriwayatknnya,
tanpa menjelaskan kemaudhuannya dan kedustaannya. Mereka
tidak memperbolehkan meriwayatkan sedikit pun hadis palsu,
baik berkenaan dengan kisah, tarhib, targthib, hukum-hukum
ataupun tidak, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, yaitu:

‫من احذث عني بحد ير انه كذب فهواحدالكاذبين‬

Artinya:” Barang siapa yang meriwayatkan dariku sebuah


hadis dan terlihat bahwa hadis itu dusta, maka Ia juga termasuk
satu diantara para pendusta”.9

9
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadis (Bandung: PT. Alma Arif, 1974),
hal 167-168
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jika ditinjau dari segi kualitas sanad dan matannya, para
pakar hadits membaginya menjadi 3 macam:
1. Hadits Shahih
2. Hadits Hasan
3. Hadits Dha’if
Ulama yang mula memperkenalkan pembaian hadits menjadi
shahih, hasan dan dha’if adalah Imam Tirmidzi. Taqiyyudin ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa sebelum Imam Tirmidzi, di kalangan
ulama belum dikenal pembagian hadits menjadi 3 bagian, mereka
membaginya menjadi shahih, dan dha’if saja.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku. Sejarah & Pengantar Ilmu
Hadits. PT. Pustaka Rizki Putra: 2009.
Gufron, Muhammad & Rahmawati. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras, 2013.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung: PT. Alma Arif,
1974.
Sayadi, Wajidi. Pengantar Studi Hadits. Pontianak: Pustaka Abuya.
Suryadilaga, M. Alfatih. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras, 2010.

Jurnal:
Sarbanun. “Macam-Macam Hadits dari Segi Kualitasnya” Jurnal dalam
https://e-journal,metrouniv.ac.id

Anda mungkin juga menyukai