A. Pendahuluan
*
Diseminarkan pada perkuliahan mata kuliah Qawaid Hadits. Dosen Pengampu Dr. Syaifuddin, M.Ag./Dr.
Khairul Hudaya, M.Ag.
**
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin
2013/2014
1
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
Kata adil dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti; tidak berat sebelah
(tidak memihak) atau sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Dalam kamus Maurid
(Arab-Ingris), kata bermakna: justice, fairness, equitability, equetabliness,
impartiality, unbiasedness.1 Namun kata adil dalam ilmu hadits bukanlah seperti
pengertian umum. Adil yakni wadh a kulla syaiin f ma allihi atau meletakkan
segala sesuatu pada tempatnya.2
2. Pengertian Dh bit
Pengertian dhabith menurut bahasa dapat berarti yang kokoh, yang kuat,
yang tepat, yang hafal dengan sempurna. Sedangkan pengertian dhabith menurut
istilah ialah orang yang memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia
memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya itu, serta mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki.4 Maksudnya seorang perawi
harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya dan memahami
tulisannya dari adanya perubahan, penggantian atau pengurangan bila ia
meriwayatkan dari tulisannya.
1
Dr. Rohi Baalbaki, Al-maurid Q m s Arabi-Inllizi, (Dar El-Elm Lilmalayin, 1995), hal: 753
2
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1987), hal 179
3
DR. Muhammad Ajaj al-Khathib, Ushul al-Alhadits, Penerjm, H.M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hal 203
4
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, op. cit., hal 179
2
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
Berbagai ulama telah membahas siapa orang yang dinyatakan bersifat adil.
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Untuk memberikan gambaran betapa
beragamnya pendapat ulama tersebut, berikut ini dikemukakan pokok-pokok
pendapat ulama dimaksud dalam bentuk Ikhtisar II.
1
Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1995),
hal: 129-131.
3
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
a. Beragama Islam
b. Mukallaf
4
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
seseorang harus memasuki usia akil baligh. 1 Orang yang belum atau tidak
memiliki tanggung jawab tidak dapat dituntut apa yang diperbuat dan
dikatakannya.
Orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama Allah tidak merasa berat
berbuat berita bohong, baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus,
dalam hal ini hadits Nabi. Karena, orang yang tidak melaksanakan ketentuan
agama tidak dapat dipercaya beritanya, termasuk berita yang disandarkan kepada
rasul.
d. Memelihara muru ah
Untuk mengetahui adil tidaknya periwayat hadits, para ulama hadits telah
menetapkan beberapa cara yaitu:2
1
Dr. Subhi ash-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-
ilmu Hadis,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hal: 115
2
Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadis,(Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010), hal: 162
5
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
6
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
1
Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits Op, Ct., hal: 135-138
7
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
Ilmu al-jar wa al-ta d l merupakan satu ilmu yang sangt penting untuk
menilai para perwi-perawi hadist. Dengan ilmu ini dapat menentukan kedudukan
sesuatu hadits atau riwayat itu dapat diterima atau ditolak. Tidak mungkin seorang
pengkaji dapat menyelidiki sanad hadits tanpa berpegang kepada prinsip al-jar
wa al-ta d l yang telah digariskan oleh ulama dalam bidang ini.
1) Alim
2) Bertakwa
3) Wira i
4) Jujur
5) Tidak terkena jarh
6) Tidak fanatik terhadap sebagian perawi
7) Mengerti betul sebab-sebab jarh dan adl.1
1
DR. Muhammad Ajaj al-Khathib, Ushul al-Alhadits, Op, Ct., hal: 240
8
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
Ada lima hal yang menjadi penyebab ditolaknya seorang perawi, yaitu:
1) Dusta
Yang dimaksud dusta ialah bahwa orang itu telah berbuat dusta pada suatu
hadits (pernah membuat hadits palsu/maudhu ). Orang yang sudah diketahui
pernah berdusta dalam suatu hadits, walaupun hanya satu kali saja seumur
hidupnya, tidak diterima haditsnya, meskipun ia bertaubat.
2) Tertuduh dusta
Yang dimaksud tertuduh dusta ialah perawi itu telah terkenal berdusta
dalam pembicaraan, tetapi belum terbukti berdusta dalam meriwayatkan hadits.
Hadits orang yang tertuduh dusta dinamai hadits matruk dan orang tersebut
dinamai matruk al-hadits. Orang ini apabila bertobat dan baik tobatnya, boleh
diterima haditsnya.
Fusuq yang dimaksud adalah dalam hal amal, amal yang lahir bukan
dalam hal akidah, karena fusuq dalam urusan akidah termasuk dalam penganut
bid ah. Meskipun dusta termasuk suatu maksiat fusuq, namun ualam
mejadikannya tersendiri, karena kecacatan lantaran dusta lebih nyata untuk
dijadikan dasar menolak hadits.
4) Jahalah
1
Ibid, hal 238-239
9
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
Bila seorang perawi adil meriwayatkan dari seorang perawi lain tanpa
menyebut namanya, maka periwayatannya itu tidak merupakan pentadilan.
Namun bila perawi adil menyertakan penilaian adil, misalnya dengan mengatakan
telah meriwayatkan kepadaku orang yang aku percayai atau orang tsiqat
ataupun orang yang saya ridhai , maka terdapat dua pendapat diakalangan
ulama.1
5) Penganut bid ah
Perawi-perawi yang tidak langsung ditolak riwayatnya dan tidak terus diterima
riwayatnya ialah:
1
Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang, PT. Pustaka
Rizki Putra), hal: 180
2
DR. Muhammad Ajaj al-Khathib, Ushul al-Alhadits, Op, Ct., hal: 243
3
Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Op, Ct., hal: 181
10
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
Pertama, mendahulukan jarh daripada ta dil, meski yang menta dil lebih
banyak daripada yang mentajrih. Kedua, ta dil didahulukan daripada jarh, bila
yang menta dil lebih banyak. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang
menta dil meski lebih banyak jumlahnya tidak memberitahukan apa yang bisa
menyanggah pernyataan yang mentajrih. Ketiga, bila al-jar wa al-ta d l
bertentangan, maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya
perkara yang mengukuhkan salah satunya. Yakni keadaan dihentikan sementara
sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.2
1
Ibid, hal: 183
2
Lihat Ibid, hal: 241
11
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
Ada juga yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan salah, meski
memilki sifat adil dan jujur.1
Kelima, kata yang menunjukkan sifat adil, tetapi mengggunakan kata yang
tidak menyiratkan kedhabithan, misalnya:
1
Ibid, hal: 245
12
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
2) Martabat-martabat al-jarh
Pertama, dengan kata-kata yang menunjukkan mubalaghah dalam hal al-
jarh, misalnya:
( ) sumber kebohongan
( ) orang yang paling berdusta
( ) padanya terdapat kedustaan yang besar
13
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
14
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
KESIMPULAN
15
KEADILAN DAN KEDHABITHAN PERIWAYAT HADITS
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S
DAFTAR PUSTAKA
16