Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Riwayat Al-Hadis

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur


Mata Kuliah: Ulumul Hadis
Dosen Pengampu: Pepe Iswanto, S.Hi, M.Pd.i

Disusun oleh:

Kelompok 1
Dini Tiara Rahmawati NIM 2212000066
Fikri Muhammad Fauzi NIM 2212000049
Tedhy Zasir Firmansyah NIM 2212000053

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
CIAMIS JAWA BARAT
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Akhlak Tasawuf yang berjudul
“Riwayat Al-Hadis”.
Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya hingga umatnya. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu bapa Pepe Iswanto, S.Hi, M.Pd.i. yang telah
membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Sebagai penulis, kami menyadari masih terdapat kekurangan, baik dalam penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, dengan rendah hati kami
menerima saran dan kritik dari pembaca. Semoga makalah yang kami buat dapat memberikan
manfaat dan inspirasi bagi pembaca. Terima kasih.

Ciamis, 13 November 2023

Kelompok 6

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam meretas lorong-lorong kebenaran Islam, Riwaya Alhadis hadir sebagai
pelita yang membimbing umat. Tulisan ini membawa kita menelusuri hikmah dan
esensi dari periwayatan hadis, menjelajahi unsur-unsur yang menghiasi keindahan
cerita, syarat-syarat seorang perawi yang dapat diandalkan, hingga cara-cara autentik
meriwayatkan hadis.

Alhadis, sebuah khazanah berharga yang menyimpan petunjuk hidup bagi umat
Islam. Merupakan warisan terbesar yang diterima dari Rasulullah, hadis menjadi
penjelas dan tafsir hidup yang menyinari jalan kebenaran. Latar belakang riwayat hadis
mengantarkan kita pada pemahaman mendalam tentang kebenaran ajaran Islam yang
tumbuh subur seiring waktu.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Pengertian riwayat Al-Hadis ?
2. Unsur-unsur periwayatan hadis ?
3. Syarat-syarat seorang perawi ?
4. Cara-cara meriwayatkan hadis ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Pengertian riwayat Al-Hadis
2. Untuk Mengetahui Unsur-unsur periwayatan hadis
3. Untuk Mengetahui Syarat-syarat seorang perawi
4. Untuk Mengetahui cara-cara meriwayatkan hadis

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Riwayat Al-Hadis


Periwayatan (riwayat) Hadis adalah proses penerimaan Hadis oleh seorang Rawi
dari seorang gurunya dan setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan, ditulis dan
disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber
pemberitaan riwayat tersebut.
Riwayat al-hadis merujuk pada rantai perawi atau sanad yang menyusun perjalanan
sejarah transmisi suatu hadis dari generasi ke generasi. Ini mencakup nama-nama
individu yang mentransmisikan hadis dari satu orang ke orang lain, sehingga membentuk
rangkaian sanad. Riwayat hadis sangat penting dalam menilai keabsahan dan kredibilitas
suatu hadis, karena integritas setiap perawi dalam rantai dapat mempengaruhi keandalan
keseluruhan hadis.

2.2 Unsur-unsur periwayatan Hadis


A. Sanad

Sanad adalah silsilah atau kumpulan rawi dari sahabat hingga orang terakhir yang
meriwayatkannya

B. Muharrij

Mukharrij adalah rawi terakhir yang menuliskan riwayat yang ia dapat dalam sebuah
catatan/karya pribadinya.
C. Shiyaghul ada’

adalah redaksi yang dipakai oleh seorang rawi dalam meriwayatkan sebuah hadits
D. Matan

adalah redaksi dari riwayat yang disampaikan oleh masing-masing rawi

E. Rawi

adalah informan yang menyampaikan hadits dari Nabi Muhammad SAW yang terdiri
atas sahabat, tabi‘in, tabi‘t tabi‘in, dan seterusnya.

4
2.3 Syarat-syarat seorang perawi
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits[1]
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan
hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

Rawi harus benar – benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam.
Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti
konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu
menyampaikan hadits dengan tepat.

Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan


hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan
suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara
nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat
Islam. Berikut adalah syarat menjadi seorang perawi :

1.Berakal

Menurut para ahli hadist berkal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk
membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadist,
seseorang harus telah memasuki usia akil baligh

Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang mereka dengar pada masa
kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud
bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan
beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.

2. Cermat

Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan ternyata cocok
dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi
itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadist yang
mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan
tidak sesuai dengan hadist yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih
diragukan.

Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal dari orang yang
aneh pula”[5]. Allah akan menghargai orang orang yang bersikap cermat dalam
periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau
mengutip hadis shahih saja. hadist shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja
tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar[6].

3. Adil

Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan
agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-
khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan
kewajibannya dan segala yang diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari
larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban
5
dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan
agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan
sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadistnya
diakui kejujuranya[7].”

Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika
masalah kebersihan dapat baru diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki
laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan
dapat adil terhadap dirinya sendiri[8]. Itulah menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad.
Kepribadian yang baik harus dipenuhi oleh seorang rawi yang adil lebih banyak
dikaitkanya dengan ukuran ukuran moral seorang rawi.

4. Muslim

Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan
mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau khabar yang berkaitan
dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung
jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun
syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika
membawa atau menanggungnya[9].

2.4 Syarat- syarat meriwayatkan hadis

Adapun syarat-syarat meriwayatkan hadits secara makna sebagaimana yang


diutarakan oleh Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi (w.490 H) dalam kitab Ushul al-
Sarkhasi, oleh Fakhruddin Muhammad ar-Razi (w.606 H) dalam kitab Al-Mahshul fi
Ilm Ushul al-Fiqh, oleh Muhammad bin Ali asy-Syaukani (w. 1255 H) dalam kitab
Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min Ilm al-Ushul adalah sebagaimana berikut

1. Perawi harus memberikan ganti lafaz yang semakna dengan lafaz hadits yang ia
terima tanpa menambahkan atau mengurangi makna yang dituju seperti contoh
mengganti lafaz al-qudrah (‫ )القدرة‬dengan lafaz al-istitha’ah (‫ )اإلستطاعة‬yang sama-sama
bermakna mampu.

2. Perawi memberikan ganti lafaz yang sepadan menurut susunan bahasa Arab. Oleh
karena itu, perawi tidak boleh menempatkan lafaz yang bermakna muthlaq pada
tempatnya lafaz yang bermakna muqayyad (terbatasi) dan sejenisnya.

3. Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz yang bermakna mutasyabbihat (samar


maknanya). Menurut as-Sarkhasi, “Kita diperintahkan untuk tidak meneliti makna lafaz
mutasyabbihat, bagaimana mungkin kita boleh meriwayatkannya secara makna?”

4. Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz hadits yang dihitung ibadah dengan


melafazkannya seperti contoh lafaz dalam azan, dzikr, tasyahhud, dan sejenisnya.

6
5. Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz hadits yang terhitung Jawami’ al-Kalim (lafaz-
lafaz yang fashih dan yang diucapkan oleh Rasulullah). Hal ini dikarenakan mengubah
lafaz hadits yang bernilai Jawami’ al-Kalim akan menghilangkan segi keindahan
lafaznya seperti contoh hadits Rasulullah ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم هذا حين حمي الوطيس‬
Rasulullah Saw bersabda, “Inilah saat panasnya tungku api.” Menurut Ibnu Atsir, ini
adalah ungkapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat indah dalam
menggambarkan bergejolaknya perang Hunain. Dan ungkapan ini belum pernah
diucapkan seorang pun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan belum
dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya.

6. Perawi hanya boleh meriwayatkan hadits secara makna dalam hadits-hadits yang
panjang sebagai sebuah kemurahan. Akan tetapi, perawi tidak boleh meriwayatkan
hadits secara makna dalam hadits-hadits yang pendek. Dalam hal ini asy-Syaukani
menyatakan, “Tidak ada toleransi sedikit pun dalam hadits-hadits yang pendek.”
Dalam hal ini, ada golongan ulama yang menolak seluruh periwayatan hadits secara
makna. Di antara mereka adalah mazhab Abu Dawud adz-Dzahiri, Ahmad bin Yasar
asy-Syaibani, Abu Bakar al-Jasshash, Ibrahim an-Nakha’i, dan masih banyak lagi
(Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, [Beirut: Darul
Kutub al-Islamiyyah], 2011, vol. 2 hal. 98)

7
BAB 3
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Riwayat Alhadis adalah cahaya yang menembus kegelapan, memandu umat
Islam melewati zaman. Melalui pemahaman pengertian, unsur-unsur, syarat-syarat,
dan cara-cara periwayatan hadis, kita memperkaya diri dengan kebenaran. Mari terus
menjaga api kearifan yang terpendam dalam setiap kalimat hadis, karena di sana, kita
menemukan jejak sejati menuju kebenaran yang hakiki.

1.2 Saran
Demikian pemaparan makalah yang kelompok kami buat. Kami menyadari
banyaknya kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka kami
membutuhkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca, semoga dengan
membaca makalah ini dapat memberikan wawasan dan manfaat tentang “Riwayat
Al-hadis ”. Terima kasih.

8
DAFTAR PUSTAKA

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia. hal 120

Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah. hal 54 Ibid 56

Salah Muhammad Muhammad Uwayd. Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989)
hal 110

Al-Khatib Al-Baghdadi .Al-Kifayah .hal 141

Al Hakim al Naisaburi. Ma’rifah Ulum al-Hadist. hal 59

Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80

Muhammad Al Shan’ani. Taudhid al-Afkar 2/121.

Al-Khatib Al-Baghdadi . Al-Kifayah hal

https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/aturan-meriwayatkan-hadits-secara-makna-Ns5UN

https://nu.or.id/ilmu-hadits/ini-lima-unsur-dasar-pada-sebuah-hadits-YnbQJ

Anda mungkin juga menyukai