Anda di halaman 1dari 20

SYARAT RAWI DAN PROSES TRANSFORMASI HADIS

Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Untuk Memenuhi Salah satu Tugas


DOSEN PENGAMPU: Dr. Muhammad Nuh Siregar, MA

Disusun Oleh:

Kelompok 10

Khalida Zia Hasibuan (0406221016)

Annisa Billah (0406221003)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
PROGRAM STUDI ILMU HADITS
T.A 2023-2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmatnya dan karunianya
yang melimpah serta ilmu yang diberikannya kepada kita terkhusus kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah terstruktur pada mata kuliah Ulumul Quran yang membahas tentang Syarat
Rawi dan Proses Transformasi Hadist. Yang telah kami susun dengan mengambil
beberapa referensi dari beberapa buku dan jurnal.

Dan tak lupa sholawat dan salam penulis haturkan kepada baginda nabi
Muhammad Saw, yang dimana syafa‟at beliau lah yang seluruh umat islam
harapkan di hari kemudian kelak agar kita dapat berjumpa dengan beliau di
yaumil mahsyar kelak.

Tak lupa pula kami sebagai penulis mengucapkan permintaan maaf jika
terdapat kesalaham dalam penyusunan makalah kami karena sebagai manusia
biasa yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan.

Medan, 11 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................... ................................................................. i


DAFTAR ISI .................................. ................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang ............. ................................................................. 1


2. Rumusan Masalah ........ ................................................................. 1
3. Tujuan Penulisan .......... ................................................................. 1

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Rawi ........... ................................................................. 2


2. Syarat-syarat Perawi..... ................................................................. 2
3. Penerimaan Hadis......... ................................................................. 4
4. Periwayatan Hadis ........ ................................................................. 5
5. Metode Penerimaan Hadis dan Penyampaiannya .......................... 7
6. Istilah yang Berkaitan dengan Periwayatan Hadis ......................... 13

BAB III
PENUTUP ...................................... ................................................................. 16

A. Kesimpulan .................. ................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA .................... ................................................................. 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad
SAW baik itu perkataan, ataupun pengakuan beliau. Hadis merupakan
sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur‟an.1 Hadis Nabi yang
terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu melalui proses kegiatan
yang dinamai dengan riwayah al-hadis atau ar-riwayah, sedangkan yang
meriwaytakan dinamakan Rawi.
Rawi dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan
hadits (berupa perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat Rasul)
kepada umat nabi Muhammad saw. Yang mana seorang rawi itu
mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap hadits-hadits
Rasulullah, karena apabila seorang rawi itu tidak memiliki syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh para ulama‟ hadits, maka hadits yang
disampaikannya tidak diterima atau ditolak.
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan syarat-syarat perawi hadits?
2. Apa yang dimaksud dengan at-tahammul wal adaa?
3. Apa saja istilah yang berkenaan dengan periwayatan hadits?
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengertian dan syarat-syarat perawi hadits
b. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan at tahammul wa adaa
c. Untuk mengetahui istilah periwayatann hadits

1
M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), 2

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Rawi
Kata Rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatakan atau
memberikan hadits.2 Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil,
memindahkan atau menuliskan hadits dengan senadnya baik itu laki-laki
maupun perempuan.
2. Syarat-syarat Perawi
Berakal, cakap/cermat, adil, dan Islam adalah syarat- syarat yang
mutlak untuk mnejadi seseorang perawi agar riwayatnya dapat diterima.
Apabila seorang perawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka
hadistnya akan ditolak dan tidak akan dipakai. Oleh para kritikus hadist,
baik angkatan lama maupun angkatan baru, keempat syarat tersebut
membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Syu‟bah bin al~Hajjaj (160 H)
pernah ditanya: “Siapakah yang hadistnya terpakai ?” Syu‟bah menjawab:
“Orang yang meriwayatkan hadist dari orang terkenal yang justru tidak
mereka kenal, hadistnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami
suatu hadist.Atau bila dia sering melakukan kesalahan-kesalahan.Atau
meriwayatkan hadist yang disepakati banyak orang bahwa hadist tersebut
salah.Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang seperti itu tidak
dipakai.Adapun selainya, boleh diriwayatkan.”3
Tampaknya Syu‟bah ingin menegaskan bahwa dua syarat yang
harus dipenuhi oleh seorang perawi bila hadistnya ingin diterima yakni
adil dan cermat.Sering melakulan kesalahan berarti tidak cermat, dan
menyalahgunakan pemahaman hadist berarti tidak adil.Mengenai
persyaratan harus Islam dan berakal, keduanya sudah menjadi syarat
penting dan mutlak, sehingga Syu‟bah tidak perlu menyebutkanya

2
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal 120
3
Al Naisaburi, al Hakim. 2006. Ma‟rifah ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa Cendekia.
Hal 62

2
lagi.Sebab tidak bisa kita gambarkan lagi seorang yang adil tapi bukan
Islam atau orang yang cermat tapi tak berakal.
a. Berakal
Menurut para ahli hadist berakal berarti identik dengan
kemampuan seseorang untuk membedakan. Jadi untuk mampu
menanggung dan menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah
memasuki usia akil balig.4 Sahabat yang paling banyak menerima riwayat,
yang mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah
bin Abbas, dan Abu Sa‟id al-Khudri. Mahmud bin rabi‟ masih ingat
Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau
wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.5
b. Cermat
Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan
ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat,
teliti dan terpercaya.tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan
yang tidak sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat
didamaikan.Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan
hadist yang mereka riwayatkan, maka kecermatannya masih diragukan. 6
Syu‟bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal
dari orang yang aneh pula”.7 Allah akan menghargai orang orang yang
bersikap cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai
dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. hadist
shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui
pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.8
c. Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen
tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-

4
Al- Khatib Al- Baghdadi. Al Kifayah. Hal 54
5
Ibid 56
6
Salah Muhammad Muhammad Uwayd. TaqribAl- Tadrib. (Beirut: Dar al-Kutub al-
imliyyah, 1989) hal 110
7
Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-Kifayah. Hal 141
8
Al-Hakim al Naisaburi. Ma‟rifah Ulum al-Hadist. Hal 59

3
hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan
defenisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan
segala yang diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-
larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan
kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga
perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang
siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia
dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadistnya diakui
kejujuranya.”9
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya
seorang saksi.Jika masalah kebersihan dapat baru diterima dengan
penyaksian dua saksi.Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan,
orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil
terhadap dirinya sendiri.10 Itulah menurut Imam fakhrudin dan Saif-
Ahmad. Kepribadian yang baik harus dipenuhi oleh seorang rawi yang adil
lebih banyak dikaitkanya dengan ukuran ukuran moral seorang rawi.
d. Muslim
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas.Seorang rawi harus
meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau
khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri‟ agama
Islam.Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi
pemahaman tentang semuanya kepada manusia.Namun syarat Islam
sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadist, bukan
ketika membawa atau menanggungnya. 11
3. Penerimaan Hadits
Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu
periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa
metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan

9
Ibid 80
10
Muhammad Al Shan‟ani. Taudhid al-afkar 2/121
11
Ibid 76

4
menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al
aada.12
3.1.Syarat menerima riwayat Hadits
Menurut pendapat yang sahih, perawi pada waktu menerima
riwayat hadits tidak disyaratkan harus beragama Islam dan baligh,
namun setidak-tidaknya harus sudah tamyiz.Jadi orang kafir dan anak-
anak dinyatakan sah menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan
penyampaiannya tidak sah sebelum masuk Islam dan baligh. 13
Ada sebagian pendapat menyatakan, bahwa perawi hadits dalam
melaksanakan kegiatan penerimaan riwayat hadits dinyatakan harus
baligh pendapat ini tidak benar, sebab banyak kaum muslimin secara
ijma‟ menerima atau tidak mempersoalkan riwayat sahabat, baik
diterima sebelum atau sesudah baligh.
Para ulama berbeda pendapat tentang minimal usia disunatkan
mendengar hadits.
1. Menurut ulama Syam minimal berumur 30 tahun
2. Menurut ulama Kufah, minimal berumur 20 tahun
3. Menurut ulama Basrah, minimal berumur 10 tahun
4. Untuk masa sekarang yang benar adalah mulai umur sedini
mungkin sekiranya yang bersangkutan sudah mampu
mendengarnya, karena semua hadits sudah tercatat dalam kitab-
kitab hadits.
4. Periwayatan Hadits
Al ada‟ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada
orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting
dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup
berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya.
Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh

12
Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010) hal 176
13
Mahmud thahhan. Intisari Ilmu Hadits. (Malang: UIN-Malang Press, 2007) hal 174

5
menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, sebagaimana berikut
ini.14
a. Islam
Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus
muslim, dan menurut ijma periwayatan kafir tidak sah. Seandainya
perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih
perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini dapat kita
bandingkan dengan firman Allah surat Al-hujuraat ayat 6 sebagai
berikut :

          

      


Artinya :Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.
b. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika
meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh. Hal
ini didasarkan pada hadits rasul:

‫رفع القلم عن ثال ثة عن المجنون المغلوب علي عقله حتي يفيق وعن نائم‬
‫حتي يستيقظ وعن الصبي حتي يحتلم‬
Artinya: Hilangnya kewajiban menjalankan syari‟at Islam dari
tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur
sampai bangun dan anak-anak sampai iamimpi (HR. Abu Daud dan
Nasa‟i)

14
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia hal. 177

6
c. ‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil („adalah) adalah suatu sifat yang
melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang
mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan
percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari
dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal
yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga
kepribadian.
d. Dhabit
Dhabit ialah :

ِ ‫ذَيَقُظُ الر‬
ِ ‫َّاوى ِح ْيهَ ذ ََح ُّملِ ِه َوفَ ْه ِم ِه لِ َما َس ِم َعهُ َو َحفِظَهُ لِ َذالِكَ ِم ْه َو ْق‬
‫د الرــ َّ َح ُّم ِل اِلَى‬
‫د ْا َ َا ِا‬
ِ ‫َو ْق‬

“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu


hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga
menyampaikan”.

Yaitu si perawi itu sadar benar apa yang didengarnya, dan


dipahaminya dengan baik, serta dihafalnya sejak ia menerima sampai
ia menceritakan kembali pada orang lain.15

5. Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya


a. As-Sima’( ‫ ) السماع‬mendengar
Yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari
kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla‟
ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada
di peringkat tertinggi.Ada juga yang berpendapat, bahwa mendengar
dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi
daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits,
sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih

15
Hasbi Ash-Shadieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis,jilid II, (Jakarta; Bulan
Bintang) h. 42

7
terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran. Istilah atau
kata yang dipakai dalam metode ini:

‫ أخبرني‬،‫ أخبرنا‬، ‫ حدثني‬، ‫ حدثنا‬، ‫ سمعنا‬، ‫سمعت‬

Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama,


menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang tertinggi
adalah kemudian ً‫ حدثى‬، ‫حدثىا‬. Alasannya adalah kata menunjukkan
kepastian periwayat mendengar secara langsung hadits yang
diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata
ً‫ حدثى‬، ‫ حدثىا‬disatu sisi dapat saja lebih tinggi kualitasnya
daripada ‫سمعىا سمعد‬, karena kata bias berarti guru hadist, tidak khusus
menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan
sami‟tu tadi. Sedangkan kata ً‫ حدثى‬,ً‫ أخثرو‬memberi petunjuk bahwa
guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada
periwayat yang menyatakan ً‫ حدثى‬,ً‫ أخثرو‬tersebut.16

b. Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh ( ‫ ) القرأة علي الشيخ‬membaca dihadapan


guru
Sebagian besar ulama hadits menyebutkan al- „Aradh
(penyodoran). Ada juga menyebutnya ‫( عرض القرأج‬menyodorkan
bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru,
seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Qur‟an kepada gurunya. Yang
dimaksud adalah seorang membaca hadits dihadapan guru, baik dari
hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru
memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari
kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan unuk mengecek dan
yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang
masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yangs emuanya
mendengar dari orang yang membaca dihadapan guru. Imam Haramain
menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami

16
Zainimal, Ulumul Hadis, (Padang: The Minangkabau Foundation, 2005)., h. 184

8
kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak, maka tahammulnya tidak sah.
„Ardh ini merupakanpraktik yang paling umum sejak awal abad kedua
mayoritas ulama memperbolehkan metode ini. Namun diriwayatkan
pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolekan menerimanya.
Lafaz-lafaz yang telah digunakan dalam metode ini adalah ‫ حدثىا‬،‫عليه قرأخ‬
17
‫ قرئ علً فالن و اوا اسمع‬، ‫او اخثروا قرأج عليه‬
c. Al-Ijazah (‫ ) األجازة‬sertifikasi atau rekomendasi
Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk
meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang
tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau
tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: ً‫( أجزخ لك أن وروي عى‬aku
mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku).18
Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa
kriteria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa
seorang ahli hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya,
naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengan naskah aslinya
sampai benar-benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah
memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak akan terjadi
peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat yang
mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama mutaqaddimin, semisal
al-Hasan al-Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil, Abban ib „Iyasy,
Ibn Juraij, Imam Malik dan lain-lain. Semuanya memperbolehkan
mengamalkan ijazah dan menyingkirkan segala sesuatu yang
menghalanginya. Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya
diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang
berstatus tsiqat, dan hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari
beberapa hadits, atau juz‟ atau kitab.
Ijazah memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru
membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada

17
Endang Soetari, op.cit. h. 186
18
Mudasir, op.cit., h. 185

9
murid: “ Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan fulan, dan aku
mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku”. Inilah yang
mereka sebut dengan ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu
dan menganai kitab tertentu pula. Sebagian ulama menyebutkan delapan
jenis ijazah. Bahkan ada yang menyebutkannya sampai sembilan jenis.
d. Al-Munawalah (‫) المناولو‬
Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah naskah asli
kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk
diriwayatkan.19 Misalnya, seorang guru memebrikan sebuah kitab
kepada muridnya seraya berkata: inilah haditsku, atau inilah riwayat-
riwayat yang ku dengar, tanpa mengatakan: riwayatkanlah ini dariku,
atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatakan dariku). Sebagian
ulama memperbolehkan metode ini. Sementara sebagian yang lain tidak
memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat dikalangan mayoritas
ulama ahli hadits dalam menerima munawalah ini. Bahkan ada yang
menjadikan “Al-Munawalah Al-Maghrunah bi Al-Ijazah” setingkat
dengan as-Sima‟ . Namun yang benar menurut Muhammad „Ajaj al-
Khatib, ia tetap berada dibawah tingkat as-Sima‟ dan al-Qira‟ah. Al-
Qadhiy „iyadh dan al-„Iraqiy juga mengutip adanya kesepakatan ahli
hadits dalam menerima metode munawalah ini. Tak seorang pun yang
diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti hanya dalam ijazah.
Lafaz yang digunakan dalam al-Munawalah al-Maghrunah bi al-
Ijazah adalah. ً‫ أ وثأو‬، ‫ أوثاا وا‬sedangkan yang dipakai dalam al-
Munawalah al-Magrunh bila al-Ijazah adalah ‫ واولىا‬، ً‫وا و لى‬.20
e. Al- Mukatabah (‫)المكتبو‬
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau
meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang
murid yang ada dihadapannya atau murid yng berada di tempat lain lalu
guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa

19
Mudasir opcit, h. 185
20
Endang Soetari op. Cit, h. 187

10
dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian. Pertama, disertai dengan
ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya
memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang
disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan. Lafadz yang
digunakan adalah ‫جزخ لك ما كرثره اليك‬.21
Kedua tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah,
‫ كرة الً فالن‬، ‫ أخثروً فالن كراتح‬، ‫ حدثىً فالن كراتح‬، ‫قال حدثىا فالن‬
f. I’lam asy-Syeikh (‫)اعلم الشيخ‬
Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya
bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-
riwayat miliknya dan telah didengarnya atau diambilnya dari seseorang.
Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas
pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski
dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama
memperbolehkan meriwayatkannya. Mereka menilai bahwa
pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian
ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya.
Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan keterpercayaan sang guru
tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak
didengarnya. Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan
keridhaannya untuk menerima dan meriwayatknnya. Inilah pendapat
yang dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqaddimin, seperti Ibn juraii,
juga mayooritas ulama muta‟akhirin.
g. Al-Washiyyah (‫)الوصيو‬
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau
sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan seseorang untuk
boleh meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul
yang amat langka.Ulama muta‟akhkhirin menghitungnya dalam jajaran
metode tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf
tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya

21
Endang Soetari loc. cit

11
adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy
mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu
kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlahnya sebanyak
muatan kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah
pengangkutannya.22
h. Al- Wijadah (‫ )الوجده‬penemuan
Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari
kata Wajada-Yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggu-
nakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahi-
fah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses
munawalah. Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang
semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia
pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya
tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang
bersangkutan melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau
kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu
ataupun melalui sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya
kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-
sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam
bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar. Ada riwayat
akurat dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka meriwayatkan dari
shahifah-shahifah dan kitab-kitab, namun demikian periwayatan dengan
metode wijadah ini pada masa klasik amat langka. Karena mayoritas
mereka sangat mengutamakan periwayatan secara langsung melalui
mendengar atau menyodorkan kitab. Bahkan sebagian besar ulama salaf
mencela mereka yang meriwayatkan dari shahifah-shahifah. Sehingga
sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Jangan kalian membaca
al-Qur‟an dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushaf saja dan
jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari
shahifah-shahifah.” Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dha‟if

22
Ibid 210

12
periwayatan dari kitab-kitab. Lafadz yang digunakan ‫وجدخ تخط فالن‬
atau ‫ فالن تخطه‬.‫وجدخ فى كراب‬.
6. Istilah Yang Berkaitan Dengan periwayatan Hadis
Yang dimaksud dengan Rijal al-Hadits adalah orang-orang yang
terlibat dalam periwayatan sebuah hadits, baik ia sebagai periwayat yang
berkedudukan sebagai sanad maupun yang ia sebagai mukharrij yang
berkedudukan sebagai rawi yang menghimpun hadits berkenaan dalam
kitabnya.23
a. Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa‟il (bentuk pelaku) dari
kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan;
menampakkan, mengeluarkan dan menarik. Sedangkan menurut istilah
mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau
menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan
diterimanya dari seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadits biasanya
disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah
mengeluarkan hadits tersebut, semisal mukharrij terakhir yang
termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah
imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.24
b. al- Hakim
Al Hakim,yaitu orang yang mengetahui seluruh hadits yang pernah
diriwayatkan, baik dari segi sanad maupun matan, jarh (tercela) nya,
ta‟dil (terpuji) nya, dan sejarahnya. Setiap rawi diketahui sejarah
hidupnya, perjalanannya, guru-guru, dan sifat sifatnya yang dapat
diterima maupun yang ditolak. Ia harus dapat menghafal hadits lebih
dari 300.000 hadits beserta sanadnya. Para muhaddits yang mendapat
gelar ini antara lain Ibn Dinar (w. 162 H), Al Laits ibn Sa'ad, seorang

23
Op.Cit., DR.H.M Arief Halim, Ihtisar Ilmu Hadis. H.107
24
Ahmad Bukhari Muslim, Struktur Hadis: Sanad, Matan Dan Mukharrij, http://santri-
ppmu.blogspot.com/2011/03/struktur-hadis-sanad-matan-dan.html. Kamis 20 Maret 2014

13
mawali yang menderita buta di akhir hayatnya (w. 175 H), Imam
Malik (w. 179 H), dan Imam Syafi‟i (w.204 H).25
c. al- Hujjah
Al-Hujjah, Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup
menghafal 300.000 hadits, baik matan, sanad, maupun perihal si rawi
tentang keadilannya, kecacatannya, dan biografinya (riwayat
hidupnya). Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain ialah
Hisyam ibn Urwah (w. 146 H), Abu Hudzail Muhammad ibn Al Walid
(w. 149 H), dan Muhammad Abdullah ibn Amr (w. 242 H).26
d. al- Hafizh
Al-Hafidh Ialah gelar utk ahli hadits yang dapat menshahihkan
sanad dan matan hadits dan dapat menta‟dilkan dan menjarhkan
rawinya. Seorang al-hafidh harus menghafal hadits-hadits sahih
mengetahui rawi yang waham {banyak purbasangka} illat-illat hadits
dan istilah-istilah para muhaditsin.Menurut sebagian pendapat al-
hafidh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadits. Para
muhaditsin yg mendapat gelar ini antara lain Al-Iraqi Syarafuddin ad-
Dimyathi Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibnu Daqiq al-led.27
e. al- Muhaddits
Al-Muhaddits Menurut muhaditsin-muhadditsin mutaqaddimin al-
hafidh dan al-muhaddits itu searti. Tetapi menurut mutaakhkhirin al-
hafidh itu lebih khusus daripada al-muhaddits. Kata At-Tajus Subhi
Al-muhaddits ialah orang yg dapat mengetahui sanad-sanad illat-illat
nama-nama rijal ali dan nazil -nya suatu hadits memahami kutubus
sittah Musnad Ahmad Sunan al-Baihaqi Majmu Thabarani dan
menghafal hadits sekurang-kurangnya100 buah. Muhaditsin yg
mendapat gelar ini antara lain Atha bin Abi Ribah {seorang mufti

25
Ibid
26
Ibid
27
Ibid.h.110

14
masyarakat Mekah wafat 115 H} dan Imam Az-Zabidi {salah seorang
ulama yg mengikhtisharkan kitab Bukhari-Muslim.28
f. al- Musnid
Al-Musnid Yakni gelar keahlian bagi orang yg meriwayatkan
sanadnya baik menguasai ilmunya maupun tidak.Al-musnid juga
disebut dengan at-thalib al-mubtadi dan ar-rawi.29

28
Ibid.h.110
29
Ikhtisar Musthalahul Hadits, hal:39

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan syarat-syarat rawi dan tahammul wa al-ada‟ di atas
dapat kami ambil kesimpulan bahwa syarat-syarat rawi itu ada 4 yaitu:
Berakal, cakap/cermat, adil, dan islam. Dan keempat hal ini harus dipenuhi
oleh seorang rawi, apabila salah satu tidak terpenuhi maka haditsnya akan
ditolak dan tidak akan dipakai.
Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar
suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa
metode penerimaan hadits” dengan istilah at–tahammul, sedangkan
menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al ada‟
At tahammul (menerima periwayatan hadits) sendiri mempunyai 8 cara
yaitu: al sima‟, al qiro‟ah, al ijazah, al munawalah, al kitabah, al i‟lam, al
washiyah, dan al wijadah.
Sedangkan al ada‟ (menyampaikan hadits) memiliki 4 syarat yang
harus dipenuhi semua, karena ia mempunyai peranan yang sangat penting
dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup
berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya.
Adapun 4 syarat tersebut yaitu; islam, baligh, „adalah (adil), dan dhabit.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, M. Syuhudi. 1991. Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.

Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma‟rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa


Cendekia.

Salah muhammad Muhammad Uwayd. 1989. TaqribAl-tadrib. Beirut: Dar al-


Kutub al-Imliyyah.

Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-Kifayah.

Al Hakim al Naisaburi. Ma‟rifah ulum al-Hadist.

Muhammad Al shan‟ani. Taudhid al-Afkar 2/121.

Mahmud Thahhan. 2007. Intisari Ilmu Hadits.Malang:UIN-Malang Press.

Zainimal.2005. Ulumul Hadis.Padang: the Minangkabau Foundation.

Ahmad Bukhari Muslim, Struktur Hadis: Sanad, Matan Dan Mukharrij,


http://santri-ppmu.blogspot.com/2011/03/struktur-hadis-sanad-matan-
ddan.html. Kamis 20 Maret 2014.

Bintumansur, Gelargelarahlihadis,
http://tajwidahmanshur.blogspot.com/2012/04/gelar-gelar-ahli-
hadits.html.Kamijs 20 Maret 2014.

17

Anda mungkin juga menyukai