Anda di halaman 1dari 14

SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok
pada Mata Kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pembimbing:
Muhammad Syukri Ismail, S.Th.I., MA

Disusun Oleh
SARI APRIYANTI
ETI WIDIANINGSIH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


YAYASAN NURUL ISLAM
MUARA BUNGO
2018
KATA PENGANTAR

    


Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah yang berjudul: Syarat-syarat Hadits Shahih. Tidak lupa sholawat serta
salam tercurahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW yang kita
nantikan syafa’at nya di dunia hingga yaumul akhir.
Semoga dengan tugas makalah ini dapat membuka wawasan tentang
pendidikan anak usia dini. Segala kritik dan saran yang positif kami harapkan dari
pembaca makalah ini.
Akhir kata terimakasih atas perhatiannya dan kami mohon maaf apabila
terdapat salah kata selama dalam penulisan makalah .

Bungo, November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Shahih...................................................................... 2
B. Tingkatan Hadits Shahih....................................................................... 3
C. Syarat-syarat Keshahihan Suatu Hadits................................................ 4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................... 10
B. Saran..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran Islam
yang ke dua sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat
dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang
sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits merupakan
sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita
tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di
dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh
karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam
menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, tujuan utama penelitian hadist adalah untuk menilai
apakah secara historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadist Nabi itu benar-
benar dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya berasal dari Nabi
ataukah tidak.    Hal ini sangat penting, mengingat kedudukan kualitas hadist
erat sekali kaitannya dengan dapat atau tidak dapatnya suatu hadist dijadikan
hujjah (hujjat; dalil) agama. Dengan melihat dari syarat-syarat yang telah di
penuhi dalam suatu hadits sehingga dapat dikatakan sebagai hadits shahih.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian hadits shahih?
2. Bagaimana tingkatan hadits shahih?
3. Apa saja syarat keshahihan suatu hadits?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hadits shahih.
2. Untuk mengetahui tingkatan hadits shahih.
3. Untuk mengetahui syarat keshahihan suatu hadits.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Shahih


Hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad
SAW., baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan erat
dengan hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan Allah yang disyari’atankan
kepada manusia.1
Abdul Qadir Ahmad, menyatakan bahwa:
“Yang dimaksud dengan hadits adalah:
1) Semua yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau terhadap
pekerjaan atau perkataan orang lain.
2) Semua yang bersumber dari sahabat yang langsung menemani
Rasul, melihat pekerjaan-pekerjaannya, dan mendengar perkataan-
perkataannya.
3) Semua yang bersumber dari tabi’in, yang bergaul langsung dengan
para sahabat dan mendengar sesuatu dari mereka.”2
Dalam Ilmu hadits, arti al – hadits adalah segala sesuatu yang berupa
berita, yang bersumber dari Nabi, baik berita itu berupa ucapan, tindakan,
pembiaran (taqrir), keadaan, kebiasaan, dan lain – lain. 3 Maka sesuatu hadits
yang sampai kepada Nabi dinamakan marfu’, yang sampai kepada sahabat
dinamakan mauquf, yang sampai kepada tabi’in saja dinamakan maqth’.4
Kata Shahih dalam bahasa (etimology) diartikan orang sehat antonim
dari kata as-saqim orang yang sakit. jadi pada dasarnya, yang dimaksud hadits
shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
Selain itu hadits shahih disebut juga sebagai hadits yang sejahtera lafadznya
dari keburukan susunannya, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat, atau

1
Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Cet-I, (Jombang:
Darul Hikmah, 2008). hlm. 13
2
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), hlm. 100
3
Muh. Zuhri, Hadis Nabi (Sejarah dan Metodologinya), (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,
1997), hlm. 1.
4
Tengku Muhammad Hasbi ash–shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988), hlm. 23.

2
3

khabar mutawatir atau ijma’ dan segala perawinya orang yang adil.5 Al
Hafidh Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits shahih ialah hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna keras ingatannya, bersambung–
sambung sanadnya kepada Nabi SAW, tidak ada sesuatu yang cacat dan tidak
bersalahan riwayat itu dengan riwayat orang yang lebih rajin dari padanya.6
Ibn Al – Shalah (wafat 643H = 1277 M ), salah seorang ulama hadits
al – muta’akhirin yang memiliki banyak pengaruh dikalangan ulama hadits
sezamannya dan sesudahnya, telah memberikan definisi atau pengertian
hadits shahih sebagai berikut: Hadits shahih ialah hadits yang nyambung
sanadnya (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan
dhabith sampai akhir sanad, (didalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan
(syudzudz) atau cacat (ilat).7
Jadi, yang dimaksud hadits shahih yaitu hadits yang bersih dari cacat,
hadits yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama
telah menyepakati kebenarannya, bahwa hadits shahih merupakan hadits yang
bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi
lain yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak
janggal serta tidak cacat (illat).8

B. Tingkatan Hadits Shahih


Ulama berusaha keras mengkomparasi antar perawi-perawi yang
maqbul dan mengetahui sanad-sanad yang memuat derajat diterima secara
maksimal karena perawi-perawinya terdiri dari orang-orang terkenal dengan
keilmuan, kedhobitan dan keadilannya dengan yang lainnya. Mereka menilai
bahwa sebagian sanad shahih merupakan tingkat tertinggi daripada sanad-
sanad lainnya karena memenuhi sarat-syarat qobul secara maksimal dan

5
Tengku Muhammad Hasbi Ash–Shiddieqy, Pokok–Pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1981), hlm. 109.
6
Ibid., hlm. 110.
7
Syahudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
hlm.124.
8
Mujiyo, Ulum Al-Hadits 2, (Bandung:  PT.Remaja Rosdakarya, 1997), hlm.2
4

kesempurnaan para perawinya dalam hal kriteria-kriterianya. Mereka


kemudian menyebutnya Ashahul Asanid.9
Terhadap pembagian Ashahul Asanid10 ini pun berbeda ulama dalam
membaginya. Ajjaj al-Khotib mengatakan berdasarkan martabat yang
disinggung diatas, para muhaddisin membagi tingkatan sanad, yaitu ;
1. Ashhohul Asanid, yakni rangkain sanad yang paling tinggi derajatnya.
Para ulama hadits berbeda pendapat dalam menentukan peringkat pertama,
sebagian ulama ada yang menetapkan “Hadits yang diriwayatkan Ibnu
Shihab al-Zuhri dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ibnu Umar”
sebagian yang lain menetapkan Hadits yang diriwayatkan Sulaiman al-
A‘masyi dari Ibrahim an-Nakhai dari al-Qomah bin Qaois dari Abdillah
bin Mas’ud. Imam bukhori dan bebrapa ulama lainnya menetapkan pada
Hadits yang diriwayatkan Imam malik dari Anas dari Nafi Maula Ibnu
Umar dari Ibnu Umar.
2. Ahsanul al-Asanid. Yakni rangkaian sanad yang tingkatannya dibawah
tingkat pertama diatas, seperti hadits yang diriwayatkan Hamad bin
Salmah dari Tsabit dari Anas.
3. Ad’aful al-Asanid yakni rangkaian sanad Hadits yang tingkatannya lebih
rendah dari tingkatan kedua, seperti hadits riwayat Suhail bin Abi Salih
dari bapaknya dari Abu Hurairah.11

C. Syarat-syarat Keshahihan Suatu Hadits


Suatu hadits dapat dikatakan shahih apabila memenuhi unsur-unsur
berikut, yaitu:
1. Sanadnya Bersambung
Sanadnya bersambung, semenjak dari nabi, sahabat, hingga
periwayat terakhir.12 Maksudnya ialah tiap–tiap periwayat dalam sanad

9
M. Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, (Terj: M. Qadirun Nur &
Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), hlm. 227-278
10
Ibid., hlm. 278-279
11
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1993), hlm. 118
12
Muh. Zuhri, Op.Cit., hlm. 89.
5

hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya;


keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.13
Untuk  membuktikan apakah  antara sanad-sanad  itu  bersambung
atau tidak, di antaranya adalah dengan dilihat dari usianya masing-masing
dan tempat tinggal mereka. Apakah dari usia keduanya memungkinkan
bertemu atau tidak. Selain itu, cara mereka menerima atau
menyampaikannya ialah dengan cara sama’ (mendengar guru memberikan
hadits dari perawi itu) atau munawalah (seorang guru memberikan hadits
yang dicatatnya kepada muridnya), atau dengan cara lain.
Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung, apabila :
a. Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
b. Antara masing-masinng rawi dengan rawi yang lain terdekat
sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan
periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-
hadits.14
2. Perawinya Bersifat Adil
Khusus mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, jumhur
ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil. Pandangan berbeda
datang dari golongan muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat
dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak.
Dimaksud dengan orang yang adil ialah orang yang lurus keadaan
agamanya, baik pekertinya, tidak berbuat maksiat, dan memelihara
hafalannya.15
Butir–butir syarat sebagai unsur kaedah periwayatan yang adil ialah
beragama:
a. Islam;
b. Mukalaf;
c. Melaksanakan ketentuan agama;

13
Syahudi Ismail, Op.Cit., hlm. 127
14
M. Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Hadits, (Bandung, Pustaka Setia, 2010), hlm.
128
15
Hasbi Ash–Shiddieqy, Pokok-pokok.....Op.Cit., hlm. 111.
6

d. Memelihara muru’ah; maksudnya memelihara rasa malu


e. Seluruh sahabat nabi dinilai bersifat adil16
Secara umum, para ulama telah mengemukakan cara penetapakan
keadilan periwayat hadits, yakni, berdasarkan:
a. Dengan Karena telah terkenal dalam masyarakat bahwa perawi tersebut
adalah seorang yang adil, yaitu seperti Al Imam Malik, Syu’bah, Al
Auza’i, Sufyan Ats Tsauri dan Sufyan Ibn Uyainah Al Hilali Al Laits,
Ahmad Ibn Hambal, Yahya Ibn Ma’ien, Ali Al Madini dan ulama –
ulama yang setingkat dengan mereka.
b. Dengan dinashkan oleh seorang Ahli yang diterima perkataannya,
bahwa perawi tersebut seseorang yang ahli . Ibnush Shalah menetapkan,
bahwa diperlukan dua orang ulama untuk mentazkiyahkan
( menetapkan keadilan) seorang perawi, yakni untuk menerangkan
bahwa perawi itu orang yang adil.17
Jadi penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama,
dalam hal ini ulama ahli kritik periwayat. Khusus para sahabat nabi,
hampir semua ulama berpendapat mereka bersifat adil. Karenanya dalam
proses penilaian periwayat hadits, pribadi sahabat nabi tidak dikritik oleh
ulama hadits dari segi keadilan sahabat.
3. Periwayat Bersifat Dhabith
Pengertian dhabith menurut bahasa ialah yang kokoh, yang kuat,
yang tepat, yang hafal, dengan sempurna. Menurut istilah orang yang
dhabith adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah
didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia
menghendakinya. Ada pula ulama yang menyatakan, orang dhabith ialah
orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia
memahami arti pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya
dengan sungguh – sungguh, kemudian dia berhasil hafal dengan sempurna,
sehingga dia mampu menyampaikan kepada orang lain dengan baik.18
16
Syahudi Ismail, Op.Cit., hlm. 134 – 135.
17
Hasbi Ash–Shiddieqy, Pokok – Pokok.......... Op.Cit., hlm. 19.
18
Syahudi Ismail, Op.Cit., hlm. 135.
7

Adapun cara menentukan ke–dhabith–an seorang periwayat,


menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:
a. Kedhabithan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian para
ulama
b. Kedhabithan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesesuaian
riwayatnya yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal
kedhabithannya.
c. Apabila seorang periwayat sekali – sekali mengalami kekeliruan, maka
dia masih dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith. Tetapi apabila
kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak
lagi disebut sebagai periwayat yang dhabith.19
Karena bentuk kedhabithan para periwayat yang dinyatakan
bersifat dhabith tidak sama, maka seharusnya istilah yang digunakan untuk
menyifati mereka dibedakan juga. Perbedaan istilah itu dapat berupa
sebagai berikut:
a. Istilah dhabith diperuntukkan bagi periwayat yang:
1) Hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya
2) Mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu
kepada orang lain
b. Istilah Tamm al dhabth yang bila di Indonesia dapat di pakai istilah
dhabith plus, diperuntukkan bagi periwayat yang:
1) Hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya
2) Mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu
kepada orang lain, dan
3) Paham dengan baik hadits yang dihafalkannya itu
Klasifikasi ini akan sangat berguna bagi bahan analisis di pembahasan,
misalnya ke – syadz – an dan ke – ‘allat – an sanad.
4. Terhindar dari Syudzudz (Ke–Syadz–an)
Menurut bahasa kata syadz artinya yang jarang, yang menyendiri,
yang asing, yang menyalahi aturan, yang menyalahi orang banyak.

19
Ibid., hlm. 137.
8

Maksudnya, informasi yang terkandung didalamnya tidak bertentangan


dengan informasi lain yang dibaawa oleh orang – orang yang lebih
berkualitas , atau dalil lain yang lebih kuat. Sebab, sungguh pun sebuah
hadits diriwayatkan oleh orang – orang “berkualitas” dan bersambung
sanadnya sehingga hadits itu dapat dikatakan shahih sanadnya, kalau
kandungan haditsnya (matan) ternyata syadz maka hadits itu menjadi tidak
shahih.20
Menurut As – Syafi’i suatu hadits dinyatakan mengandung syadz
bila hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat itu
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang
juga bersifat siqat.Hadits yang mengandung syudzudz disebut hadits syadz
dan lawan dari hadits syadz adalah hadits mahfuzh.21
Berikut skema sanad – sanad hadits yang mahfuz
a. Nabi –> Ibn Abbas –> Awjasah –> ‘Amr bin Dinar –> Sufyan bin
Uyaiynah
b. Nabi –> Ibn Abbas –> ‘Awjasah –> Amr bin Dinar –> Ibn Juraij
c. Nabi –> Ibn Abbas –> ‘Awjasah –> Amr bin Dinar –> Para periwayat
lainnya
Skema sanad hadits yang syadz
a. Nabi – – – – – – > ‘awjasah –> Amr bin Dinar –> Hamzah bin
zayd
Dari contoh hadits yang sanadnya berkualitas syadz diatas maka
dapatkah dinyatakan bahwa ke-syadz-an sanad hadits baru dapat diketahui
seletah diadakan penelitian sebagai berikut:
a. Semua sanad yang mnegandung matan hadits yang pokok masalahnya
memiliki kesamaan dihimpun dan diperbandingkan;
b. Para periwayat diseluruh sanad diteliti kualitasnya;
c. Apabila seluruh periwayat bersifat siqat dan ternyata ada seorang
periwayat yang sanadnya menyalahi sanad – sanad lainnya, maka

20
Muh. Zuhri, Op.Cit., hlm. 89.
21
Syahudi Ismail, Op.Cit., hlm. 139.
9

sanadnya menyalahi itu disebut sanad syadz sedang sanad – sanad


lainnya disebut sanad mahfudz.22
Maka dari itu, sebelum kita menggunakan sebuah hadits sebagai
dalil syara’ karena alasan keshahihannya, kita juga harus memperhatikan
mengenai ada atau tidaknya ke – syadz – an dari hadits tersebut.
5. Terhindar dari ‘Illat
‘Illat menurut bahasa artinya cacat, kesalahan baca, penyakit dan
keburukan. Menurut Istilah ‘illat artinya sebab yang tersembunyi yang
merusak kualitas hadits.23 Hadits yang diriwayatkan itu tidak cacat, seperti
tidak ada pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadits yang
sebenarnya memang tidak bersambung, atau mengatas namakan dari Nabi,
padahal sebenarnya bukan dari Nabi.24

22
Ibid., hlm. 144.
23
Ibid,. hlm. 147.
24
Muh Zuhri, Loc.Cit.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits shahih yaitu hadits yang bersih dari cacat, hadits yang benar
berasal dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama telah menyepakati
kebenarannya, bahwa hadits shahih merupakan hadits yang bersambung
sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi lain yang
(juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta
tidak cacat (illat).
Berdasarkan martabat para perawi, para muhadditsin membagi
tingkatan sanad suatu hadits menjadi:
1. Ashhohul Asanid
2. Ahsanul al-Asanid
3. Ad’aful al-Asanid
Suatu hadits dapat dikatakan shahih apabila memenuhi unsur-unsur
berikut, yaitu:
1. Sanadnya Bersambung
2. Perawinya Bersifat Adil
3. Periwayat Bersifat Dhabith
4. Terhindar dari Syudzudz (Ke–Syadz–an)
5. Terhindar dari ‘Illat

B. Saran
Demikianlah yang dapat kami uraikan tentang syarat-syarat hadits
shahih, kami menyarankan kepada teman-teman yang ingin mengetahui lebih
dalam lagi tentang kedua sifat tersebut untuk mencari referensi melalui
berbagai media yang tersedia.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad Abdul Qadir. (2008). Metodologi Pengajaran Agama Islam.


Jakarta: Rineka Cipta.

al-Khatib, M. Ajjaj. (1998). Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, (Terj: M.


Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq). Jakarta: Gaya Media Pratama.

M. Solahudin dan Agus Suyadi. (2010). Ulum Hadits. Bandung, Pustaka Setia.

Muh. Zuhri. 1997). Hadis Nabi (Sejarah dan Metodologinya). Yogyakarta: PT


Tiara Wacana.

Muhammad Ma’shum Zein. (2008). Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jombang:
Darul Hikmah.

Mujiyo. (1997). Ulum Al-Hadits 2. Bandung:  PT.Remaja Rosdakarya.

Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya. (1993). Ilmu Hadis. Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada.

Syahudi Ismail. (1995). Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan


Bintang.

Tengku Muhammad Hasbi ash–shidieqy. (1988). Sejarah dan Pengantar Ilmu


Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.

__________ (1981) Pokok–Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai