Anda di halaman 1dari 16

HADIST SHAHIH DAN SYARAT-SYARATNYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah Ulumul Hadist


Disusun Oleh Kelompok 7:

• Jihan Padila Ariani


• Olivia Sari Saragih

Dosen Pengampu:
Dr. Suswanto, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

STIT AL HIKMAH TEBING TINGGI

2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat yang
tak terhitung jumlahnya, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu
membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada
kehidupan akhirat kelak. Sholawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada
nabi kita, Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, maupun kita
semua yang mengikuti jejak langkahnya hingga hari kiamat kelak.

Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan serta sangat banyak kekurangan-kekurangannya, untuk itu besar
harapan kami agar teman-teman dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun supaya kami dapat menyempurnakan makalah-makalah kami di lain
waktu.

Harapan yang paling besar bagi kami adalah bahwa makalah yang berjudul
( Hadist Shahih dan Syarat-Syaratnya ) ini dapat memberi manfaat, baik untuk
diri pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin mengambil hikmah dari
makalah ini, atau sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Tebing Tinggi, 22 April 2024

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 2
A. Pengertian Hadist Shahih ................................................................. 2
B. Syarat-Syarat Hadist Shahih ............................................................ 3
C. Pembagian Hadist Shahih ................................................................ 9
BAB III PENUTUP .............................................................................. 12
A. Kesimpulan ................................................................................... 12
B. Saran ............................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadist merupakan sumber ajaran islam yang kedua sebelum Al-Qur'an,
secara resmi ditulis dan dikumpulkan dalam suatu kitab pada masa
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Azis oleh karena itu umat islam
wajib menjadikan hadist sebagai pedoman segala aktifitas, baik dalam segala
aktifitas maupun dalam pengabdiannya sebagai hamba Allah maupun
khalifah di muka bumi ini.
Dari tahun wafatnya Rasulullah saw, sampai tahun ditulisnya hadis,
sangat mendukung munculnya pemalsuan-pemalsuan hadist. Hal inilah yang
mendorong ulama untuk mencari dan mengumpulkan hadist-hadist. Para
ulama dalam melakukan penelitian menitik beratkan perhatiannya pada
sanad dan matan hadist. Oleh karena itu, para ulama menetapkan kaedah-
kaedah yang berkenaan dengan kedua hal tersebut sebagai syarat yang
diterimanya suatu hadist. Suatu hadist dikategorikan shahih apabila
memenuhi ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah keshahihan sanad dan
matan hadist. Oleh sebab itu, kami akan memaparkan tulisan mengenai
hadist shahih untuk pengetahuan lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadist Shahih?
2. Apa syarat-syarat Hadist Shahih?
3. Ada berapa pembagian Hadist Shahih?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Hadist Shahih
2. Untuk mengetahui syarat-syarat Hadist Shahih
3. Untuk mengetahui pembagian Hadist Shahih

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadist Shahih


Kata shahih menurut bahasa berasal dari kata shahha, yashihhu, shuhhan
wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang
selamat, yang benar, yang sah, yang sempurna dan yang tidak sakit. Para
ulama biasa menyebut kata shahih sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit).
Maka hadist shahih menurut bahasa berarti hadist yang sah, hadist yang sehat
atau hadist yang selamat.
Hadis shahih secara istilah menurut Shubhi al-Shahih ialah hadist yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith
hingga bersambung kepada Rasulullah saw atau pada sanad terakhir dari
kalangan para sahabat tanpa mengandung syadz (kejanggalan) atau 'illat
(cacat)."1
Hadist shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah, sebagai berikut:
"Hadist yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad,
tidak ada kejanggalandan tidak ber'illat". Ibnu Hajar al-Asqalani,
mendefinisikan lebih ringkas yaitu: "Hadist yang diriwayatkan oleh orang-
orang yang adil, sempurna kedzabitannya, bersambung sanadnya, tidak
ber'illat dan tidak syadz". Dari kedua pengertian di atas, maka dapat
dipahami bahwa hadist shahih merupakan hadist yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW Sanadnya bersambung, perawinya yang adil, kuat
ingatannya atau kecerdasannya, dan tidak ada cacat atau rusak.

1
Abu 'Amr 'Utsman ibn 'Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, "Ulum al-Hadits", al-Maktabah al-
Islamiyah al-Madinah al-Munawwarah, tahun 1972

2
B. Syarat-Syarat Hadist Shahih

Suatu hadist bisa dikatakan shahih apabila memenuhi syarat-syarat sebagai


berikut.
1. Sanad Bersambung, (Ittishal al-Sanad) Sanad yang bersambung adalah
tiap-tiap periwayat dalam sanad hadist menerima riwayat hadist dari
periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai
akhir sanad hadist itu.
Persambungan sanad itu terjadi semenjak penghimpun riwayat hadist dalam
kitabnya sampai pada periwayat pertama dari kalangan sahabat yang
menerima hadist tersebut dari Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain,
sanad hadist bersambung sejak sanad pertama sampai sanad terakhir dari
kalangan sahabat hingga Nabi Muhammad SAw. atau persambungan itu
terjadi mulai dari Nabi Muhammad SAW. pada periwayat pertama sampai
periwayat terakhir (mukharrij hadist). Hadits yang sanadnya bersambung,
dikalangan ulama hadist dinamai dengan sebutan yang beragam. Al-Khathib
al-Baghdadi (wafat 463H/1072 M) menamainya dengan hadist musnad.
Hadist musnad menurut Ibn ‘Abd al-Barr, adalah hadist yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW (sebagai hadits marfu’), sanad hadist
musnad ada yang bersambung (muttashil) dan ada pula yang terputus
(munqathi’). Pendapat ini, menurut al-Sakhawi (wafat 902 H/ 1497 M),
merupakan pendapat yang diikuti oleh mayoritas ulama hadist. Dengan
demikian, menurut kebanyakan ulama hadist, hadist musnad pasti
marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadist marfu’ belum tentu
hadist musnad. Hadist marfu’ dapat disebut sebagai hadist musnad
bila seluruh rangkaian sanadnya bersambung, tiada yang terputus sejak awal
sampai akhir.

3
Berkaitan dengan ketersambungan sanad ini, dikenal pula istilah hadist
muttashil atau maushul. Menurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawi, yang
dimaksud dengan hadist muttashil atau maushul adalah hadist
yang bersambung sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada
Nabi Saw maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi Muhammad Saw saja.
M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa hadist muttashil atau maushul ada
yang marfu’ (disandarkan pada nabi), ada yang mauquf (disandarkan pada
sahabat), dan ada juga yang maqthu’ (disandarkan pada tabi’in).
jika dibandingkan dengan hadist musnad, maka dapat dinyatakan bahwa
hadist musnad pasti muttashil atau maushul, tetapi tidak semua hadist
muttashil atau maushul pasti musnad.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad sebuah hadist
menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian
sebagai berikut:
a) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad dengan teliti.
b) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
c) Meneliti kata-kata (adah al-tahammul wa ada’ al-hadits) yang
menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat terdekat
dalam sanad. Kata-kata yang dipakai dalam sanad berupa: Haddatsani,
Haddatsana, Akhbarani, Akhbarana, Sami’tu, ‘An, Anna, dan
sebagainya.2

2
Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi,Shahih Muslim bi Syarh al- Nawawi, al-Mathba’ah
al-Mishriyyah, Mesir, juz I, tahun 1987,

4
2. Periwayat bersifat adil, Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-
kriteria periwayat hadist disebut ‘Adil. Al-Hakim berpendapat bahwa
seseorang disebut ‘adil apabila beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan
tidak berbuat maksiat.
Ibn al-Shalah menetapkan lima kriteria seorang periwayat disebut ‘adil,
yaitu beragama Islam, baligh, berakal, memelihara maru’ah dan
tidak berbuat fasik. Untuk mengetahui adil atau tidaknya periwayat hadist
ulama telah menetapkan beberapa cara yaitu:
a) Melalui popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadist.
b) Penilaian dari para kritikus periwayat hadist. Penilaian ini
berisi pengungkapan kelebihan (al-Ta’dil) dan kekurangan (al-Tarjih)
yang ada pada diri periwayat hadist.
c) Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para
kritikus periwayat hadist tidak sepakat tentang kualitas
pribadi periwayat tertentu.
3. Periwayat Hadist Bersifat Dhabith, untuk hadist shahih, para
periwayatnya berstatus dhabith. Secara sederhana kata dhabith dapat
diartikan dengan kuat hafalan. Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan
keadilan. Kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi, maka kata
dhabith terkait dengan kualitas intelektual. Dhabith bukan hanya hafalan
para periwayat saja tapi juga catatannya.
Antara sifat adil dan dhabith terdapat hubungan yang sangat erat.
Seseorang yang adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya, jujur,
amanah dan objektif tidak dapat diterima informasinya apabila ia tidak
mampu memelihara informasi itu. Sebaliknya, orang yang mampu
memelihara, hafal dan paham terhadap informasi yang diketahuinya tetapi
kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu, maka informasi yang
disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh para ulama hadist

5
keadilan dan kuat hafalan dan terjaganya catatan periwayat hadist kemudian
dijadikan satu dengan istilah tsiqah. Jadi, periwayat yang tsiqah adalah
periwayat yang adil dan dhabith. Berdasarkan beberapa pendapat yang
dikemukakan para ulama hadist, M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa
kriteria dhabith adalah:
a) Periwayat memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar
b) Periwayat hafal dengan baik riwayat hadis yang telah didengar atau
diterimanya
c) Periwayat mampu menyampaikan riwayat yang dihafal
dengan baik, kapan saja menghendakinya dan sampai saat menyamp
aikan riwayat itu kepada orang lain.
Selain kriteria diatas, Sebagaimana halnya periwayat yang
adil, periwayat yang dhabith dapat diketahui melalui beberapa cara. Cara
untuk mengetahui ke-dhabithan periwayat hadist menurut berbagai pendapat
ulama adalah sebagai berikut:
a) Ke-dhabithan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian
ulama,
b) Ke-dhabithan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian
riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain
yang telah dikenal ke-dhabith-annya, baik kesesuaian itu sampai
tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah,
c) Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan
dhabith asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering
mengalami kekeliruan dalam riwayat hadits, maka tidak disebut
dhabith.3

3
Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi dan Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-
Hadits al-Nabawi, Dar al-Fikr, Damaskus, tahun1997.

6
4. Terhindar dari Syadz, Secara bahasa syadz merupakan isim fi’il dari
syadzdza yang berarti menyendiri. Menurut istilah ulama hadist, syadz adalah
hadis yangdiriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan
riwayat periwayat yang lebih tsiqah. Pendapat ini dikemukan oleh al-Syafi’i
dan diikuti oleh kebanyakan ulama hadist. Menurut al-Syafi’i, suatu hadist
dinyatakan mengandung syadz apabila diriwayatkan oleh
seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan riwayat banyak
periwayat yang lebih tsiqah. Suatu hadist tidak dinyatakan mengandung
syadzbila hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat
tsiqah sedang periwayat lain yang tsiqah tidak meriwayatkannya. Jadi, bagi
As-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung syadz apabila:
a) Hadits itu memiliki lebih dari satu sanad,
b) Para periwayat hadits seluruhnya tsiqah,
c) matan dan/atau sanad hadist itu mengandung pertentangan.
5. Terhindar dari ‘Illat. Jika dalam sebuah hadist terdapat cacat tersembunyi
dan secara lahiriah tampak shahih, maka hadist itu dinamakan hadist
mu’allal, yaitu hadist yang mengandung kata ‘illat. Al-Mu’allal merupakan
isim maf’ul dari kata ’alla (ia mencacatkannya).
Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit, dan
keburukan. Menurut istilah ahli hadist, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi
yang dapat merusak keshahihan hadist. Ibn al-Shalah, al-Nawawi, dan Nur
al-Din‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang
merusak kualitas hadist, yang menyebabkan hadist yang pada lahirnya
tampak berkualits shahih menjadi tidak shahih.
Mengetahui ‘illat suatu hadist tidaklah mudah, sebab membutuhkan
upaya menyingkap ‘illat yang tersembunyi dan samar yang tidak dapat

7
diketahui selain orang yang ahli dalam bidang ilmu hadist. Tidak banyak
orang yang dapat menyingkap ‘illat tersebut kecuali beberapa ulama hadist
saja seperti Ibn Al-Madini, Ahmad, Al-Bukhari, Ibn Abi Hatim, dan Al-
Daruqutni. Suatu ‘illat hadits dapat terjadi pada sanad, pada matan atau pada
sanad dan matan sekaligus. Akan tetapi, yang terbanyak ‘illat terjadi pada
sanad.4
Masing-masing hadist, baik ‘illat-nya terjadi pada sanad, matan atau pada
sanad dan matan sekaligus dapat disebut dengan hadist mu’allal. Baik hadist
shahih maupun hadist hasan telah dikodifikasikan oleh para ulama dalam
kitab-kitab karya mereka. Di antara kitab itu ada yang hanya memuat hadist-
hadist shahih saja seperti kitab Shahih al-Bukhari karya al-Imam al-Bukhari
(194-256 H) dan kitab Shahih Muslim oleh Muslim Ibn al-Hajjaj (204-261
H). Ada pula kitab-kitab yang disamping memuat hadist-hadist shahih juga
memuat hadist hasan dan hadist dha’if seperti kitab-kitab sunan yang empat,
yaitu Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani (202-275 H), Sunan
al-Turmudzi karya Abu ‘Isa Al-Turmudzi (209-279 H), Sunan al-nasa’i karya
Abu ‘Abd al-Rahman al-Nasa’i (215-303 H), Sunan Ibn Majah karya Ibn
Majah al-Qazwini (209-273 H). Hadist-hadist shahih terdapat pula dalam
Musnad Ahmad karya Ahmad ibn Hanbal dan dalam al-Muwaththa’ karya
Imam Malik ibn Anas.

4
Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann Ushul al-Hadist, ‘Abd
ar-Rahman Muhammad, Kairo, tth.,

8
C. Pembagian Hadist Shahih
Ulama’ hadist membagi hadist shahih menjadi dua bagian, yaitu shahih
li-dzatihi dan shahih li-ghairihi. Perbedaan antara keduanya terletak
pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada hadist shahih li-dzatihi
perawinya memiliki ingatan yang sempurna, sedangkan pada hadist shahih
li-ghairihi ingatan perawinya kurang sempurna (berada dibawah hadist
shahih li-dzatihi). Berikut pembagiannya:
1) Hadist shahih li-dzatihi Adalah hadist yang memenuhi seluruh syarat-syarat
hadis shahih. Dengan kata lain yang dimaksud dengan hadist shahih lidzatihi
adalah hadist shahih itu sendiri.
Conyoh hadist shahih lizdatihi sebagai berikut :

‫س َما ِع ْي َل ْب ِن أ َ ِب ْي‬
ْ ِ‫سفَ ِر َو إ‬ َ ‫ش ْعبَةُ ع َْن‬
َّ ‫ع ْب ِد الل ِه ْب ِن أَبِي ال‬ ٍ َ‫َح َّدثَنَا آ َد ُم ْبنُ أَبِ ْي إِي‬
ُ ‫ َح َّدثَنَا‬:‫اس قَا َل‬
‫ع ْن ُه َما‬
َ ُ‫ع ْب ِد الل ِه ْب ِن ع َْم ٍرو َر ِض َي الله‬ َّ ‫َخا ِل ٍد ع َِن ال‬
َ ‫ش ْع ِبي ِ ع َْن‬

ْ ‫س ِل َم ا ْل ُم‬
َ ‫س ِل ُم ْونَ ِم ْن ِل‬
‫سانِ ِه َو َي ِد ِه َو‬ ْ ‫ ا ْل ُم‬:‫سلَّ َم َقا َل‬
َ ‫س ِل ُم َم ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى الله‬
َ ِ ‫ع َِن النَّ ِبي‬
‫ع ْنه‬
َ ُ‫اج ُر َم ْن َه َج َر َما َن َهى الله‬ ِ ‫ا ْل ُم َه‬

Rasulallah SAW bersabda: ’’Orang muslim itu adalah orang yang selamat
dari gangguan lisan dan tangannya. Dan orang muhajir (orang yang
berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah SWT”.

(HR.Muttafaqqun Alaih.)

Hadist diatas dapat dinyatakan sebagai hadist shahih li-dzatihi karena telah
memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, yaitu:
a) Sanad hadist tersebut tersambung. Dalam hal ini masing-
masing perawinya mendengar langsung dari gurunya. Bukhari
mendengar langsung dari gurunya yaitu Abdullah ibn Yusuf, Abdullah
mendengar dari Malik, Malik mendengar dari ibn Syihab, ibn Syihab

9
dari Muhammad ibn Jubair, Muhammad ibn jubair menerima
langsung dari ayahnya Jubair ibn muth’im dan Jubair mendengar
langsung dari Rasulullah SAW.5
b) Para perawi tersebut adalah adil dan dhabit. Hal tersebut telah diteliti
oleh para ulama’ jarh dan ulama’ ta’dil yakni:
 Abdullah ibn yusuf adalah orang yang tsiqah dan mutqan.
 Malik ibn anas adalah imam hafizh.
 Ibn syihab adalah seorang faqih, hafizh, muttafaq ‘ala jalalatih, dan
itqanihi.
 Muhammad ibn jubair adalah tsiqah.
 Jubair ibn muth’im adalah sahabat, dan para ahli hadis
telahbersepakat menyatakan keadilan para sahabat.
c) Tidak syadz, karena tidak dijumpai hadist lain yang lebih kuat
yang berlawanan dengannya.
d) Tidak terdapat ‘illat padanya.

2) Hadist shahih li-ghairihi adalah hadist hasan namun diriwayatkan dari jalan
lain yang kualitasnya sama atau lebih kuat darinya. Dinamakan shahih li-
ghairihi karena keshahihannya bukan berasal dari sanad hadist itu
sendiri, melainkan datang dari penggabungan riwayat lain yang sama kedudukannya
dengan sanadnya atau yang lebih kuat darinya. Kedudukannya lebih tinggi
dari hasan li-dzatihi dan masih dibawah shahih li-dzatihi.
Contohnya:

‫علَى‬
َ ‫ق‬ ُ َ ‫ لَ ْو َل أ َ ْن أ‬:‫سلَّ َم قَا َل‬
َّ ‫ش‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى اللَّه‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّ َر‬
َ ‫س ْو َل الل ِه‬ َ ُ‫ع َْن أ َ ِبي ُه َر ْي َرةَ َر ِض َي الله‬
ِ ‫أ ُ َّم ِتي ََل َ َم ْرت ُ ُه ْم ِبالس َِو‬
َ ‫اك ِع ْن َد ك ُِل‬
]‫ص ََل ٍة [متفق عليه‬

5
Alfiah,Fitriadi,suja’I, Studi ilmu hadist, publishing and consulting company, 2016, Al-Hakim
al-Naysaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadist, Maktabah al- Mutanabbih, Kairo, tth.,

10
”jikalau tidaklah memberatkan atas umatku niscaya aku akan
memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak mengerjakan shalat”
(HR.Muttafaqqun Alaih.)
Hadist diatas juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui jalan
Abu Zanad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah. Hadist tersebut dinilai hasan
karena salah seorang perawinya yakni Muhammad ibn ‘Amr ibn Aqlamah
adalah dikenal dengan orang yang lemah hafalannya. Akan tetapi, karena
hadist tersebut juga melalui jalan yang lain, maka kelemahan tersebut
tertutupi, sehingga hadistnya yang melalui jalan tersebut dinyatakan sebagai
hadist shahih lighairihi.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits Shahih secara bahasa adalah hadist yang sehat, selamat, benar, sah,
sempurna dan yang tidak sakit. Secara istilah menurut Shubhi al-Shalih,
hadits shahih adalah hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
periwayat yang ‘adil dan dhabith hingga bersambung kepada Rasulullah saw
atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung
syadz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).
Ada lima macam kriteria hadist shahih yaitu pertama, sanadnya
bersambung; kedua, para periwayatnya ‘adil; ketiga, para periwayatnya
dhabith; keempat, terhindar dari syadz; dan kelima, terhindar dari ‘illat.
Ulama’ hadist membagi hadist shahih menjadi dua bagian, yaitu shahihli
dzatihi dan shahih li-ghairihi. Perbedaan antara keduanya terletak pada segi
hafalan atau ingatan perawinya. Pada hadist shahih li-dzatihi
perawinya memiliki ingatan yang sempurna, sedangkan pada hadist
shahihli-ghairihi ingatan perawinya kurang sempurna (berada dibawah
hadisshahih li-dzatihi)

B. Saran
Berdasarkan pembahasan diatas, sepenuhnya kami menyadari bahwa
makalah kami masih jauh dari kata sempurna. Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini. Oleh karena itu,
tentunya kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca,
Agar makalah kami kedepannya bisa lebih baik lagi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abu 'Amr 'Utsman ibn 'Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, "Ulum al-Hadits", al-
Maktabah al-Islamiyah al-Madinah al-Munawwarah, tahun 1972

Abu Izza Irham Maulana, Ilmu mushthalah al-hadist, jodoh publishing.

Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi,Shahih Muslim bi Syarh


al- Nawawi, al-Mathba’ah al-Mishriyyah, Mesir, juz I, tahun 1987,

Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi dan Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-
Naqd fi ‘Ulum al-Hadits al-Nabawi, Dar al-Fikr, Damaskus,
tahun1997.

Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann


Ushul al-Hadist, ‘Abd ar-Rahman Muhammad, Kairo, tth.,

Alfiah,Fitriadi,suja’I, Studi ilmu hadist, publishing and consulting company,


2016,

Al-Hakim al-Naysaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadist, Maktabah


al- Mutanabbih, Kairo, tth.,

M. Syuhudi ismail, Pengantar ilmu hadist, (bandung:angkasa tt),

M. Syuhudi Ismail. Kaidah Keshahihan Sanad Hadist. Bulan Bintang.


Jakarta. tahun 1995.

Mahmud al-Thahan,Taysîr Musthalah al-Hadist, Syirkah Bungkul


Indah,Surabaya, tth.,

Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawi, al-Maktab al-Islami,


ttp.,tahun1975,

13

Anda mungkin juga menyukai