Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HADIS SHAHIH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Musthalah Hadis

Dosen Pengampu : Ust. M. Fikri, Lc, Ma.

Oleh :

Isma Febriani NIM: 2023.09.0017


Khoirotul A'yun NIM: 2023.09.0020
Mita Fadilah NIM: 2023.09.0021

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI KULLIYATUL QUR'AN AL-HIKAM DEPOK


2023M/1445H

Jl. H. Amat, No.21. Rt/Rw.01, Kukusan, Beji, Kota Depok, Jawa Barat
16245
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. Yang dengan segala nikmat dan
karunia-Nya, Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang "Hadis Shahih" ini. Shalawat serta salam semoga tercurah
limpahkan kepada sosok Rahmatan lil 'Alamin, manusia sempurna yang
menyampaikan agama islam, cahaya di atas cahaya, Baginda Nabi
Muhammad saw.
Dan tidak lupa juga kami ucapkan banyak terimakasih kepada Ust.
M. Fikri, Lc, Ma. Selaku dosen mata kuliah Musthalah Hadis. Dan juga
beserta berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan
motivasi untuk membantu suksesnya penyusunan makalah ilmiah ini.
Terlepas dari semua itu, kami sepenuhnya menyadari bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ilmiah tentang "Hadis
Shahih" ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Depok, 22 November 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I ........................................................................................................................1
PENDAHULUAN .....................................................................................................1
A. Latar Belakang .................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................2
C. Tujuan Masalah ................................................................................................2
BAB II .......................................................................................................................3
PEMBAHASAN .......................................................................................................3
A. Pengertian Hadis Shahih ...............................................................................3
B. Syarat-Syarat Hadis Shahih ..........................................................................4
C. Pembagian Hadis Shahih ...............................................................................9
BAB III....................................................................................................................12
PENUTUP ...............................................................................................................12
A. Kesimpulan.....................................................................................................12
B. Saran ..............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran islam yang kedua sebelum Al-
Qur'an, secara resmi ditulis dan dikumpulkan dalam suatu kitab pada masa
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Azis oleh karena itu ummat islam
wajib menjadikan hadis sebagai pedoman segala aktifitas, baik dalam segala
aktifitas maupun dalam pengabdiannya sebagai hamba Allah maupun
khalifah di muka bumi ini.
Dari tahun wafatnya Rasulullah saw, sampai tahun ditulisnya hadis,
sangat mendukung munculnya pemalsuan-pemalsuan hadis. Hal inilah yang
mendorong ulama untuk mencari dan mengumpulkan hadis-hadis. Para
ulama dalam melakukan penelitian menitik beratkan perhatiannya pada
sanad dan matan hadis. Oleh karena itu para ulama menetapkan kaedah
kaedah yang berkenaan dengan kedua hal tersebut sebagai syarat yang
diterimanya suatu hadis.
Suatu hadis dikategorikan shahih apabila memenuhi ketentuan-
ketentuan atau kaedah-kaedah keshahihan sanad dan matan hadis. Oleh
sebab itu kami akan memaparkan tulisan mengenai hadis shahih untuk
pengetahuan lebih lanjut.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadis Shahih?
2. Apa syarat-syarat Hadis Shahih>?
3. Ada berapa pembagian Hadis Shahih?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Hadis Shahih
2. Untuk mengetahui syarat-syarat Hadis Shahih
3. Untuk mengetahui pembagian Hadis Shahih

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis Shahih


Kata shahih menurut bahasa berasal dari kata shahha, yashihhu,
shuhhan wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat,
yang selamat, yang benar, yang sah, yang sempurna dan yang tidak sakit.
Para ulama biasa menyebut kata shahih sebagai lawan kata dari kata saqim
(sakit). Maka hadis shahih menurut bahasa berarti hadis yang sah, hadis yang
sehat atau hadis yang selamat.1
Hadis shahih secara istilah menurut Shubhi al-Shahih ialah hadis
yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan
dhabith hingga bersambung kepada Rasulullah saw atau pada sanad terakhir
dari kalangan para sahabat tanpa mengandung syadz (kejanggalan) atau 'illat
(cacat)."2
Hadis shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah, sebagai berikut:
"Hadis yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad,
tidak ada kejanggalan dan tidak ber'ilat ".
Ibnu Hajar al-Asqalani, mendefinisikan lebih ringkas yaitu :
"Hadis yang diriwayatkan oleh orang--orang yang adil, sempurna
kedzabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber'illat dan tidak syadz".
Dari kedua pengertian di atas maka dapat difahami bahwa hadis
shahih merupakan hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Sanadnya bersambung, perawinya yang adil, kuat ingatannya atau
kecerdasannya, dan tidak ada cacat atau rusak.3

1
Shubhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Musthalahah", Dar al-'Ilm li al-Malayin, Beirut,
tahun 1998 hal.145.
2
Abu 'Amr 'Utsman ibn 'Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, "Ulum al-Hadits" , al-Maktabah
al-Islamiyah al-Madinah al-Munawwarah, tahun 1972, hal.10.
3
Sarbanun, "Macam-Macam Hadits Dari Segi Kualitasnya", Hal. 346.

3
B. Syarat-Syarat Hadis Shahih
Suatu hadis bisa dikatakan shahih apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut.
1. Sanad Bersambung (Ittishal al-Sanad)
Sanad yang bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad
hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya,
keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis itu.4
Persambungan sanad itu terjadi semenjak penghimpun riwayat hadis
dalam kitabnya sampai pada periwayat pertama dari kalangan sahabat
yang menerima hadis tersebut dari Nabi Saw. Dengan kata lain, sanad
hadis bersambung sejak sanad pertama sampai sanad terakhir dari
kalangan sahabat hingga Nabi Muhammad Saw. atau persambungan itu
terjadi mulai dari Nabi Saw. pada periwayat pertama sampai periwayat
terakhir (mukharrij hadis).
Hadits yang sanadnya bersambung, dikalangan ulama hadis dinamai
dengan sebutan yang beragam. Al-Khathib al-Baghdadi (wafat 463
H/1072 M) menamainya dengan hadits musnad. Hadis musnad menurut
Ibn ‘Abd al-Barr, adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw
(sebagai hadits marfu’), sanad hadis musnad ada yang bersambung
(muttashil) dan ada pula yang terputus (munqathi’). Pendapat ini,
menurut al-Sakhawi (wafat 902 H/ 1497 M), merupakan pendapat yang
diikuti oleh mayoritas ulama hadis.5 Dengan demkian, menurut
kebanyakan ulama hadis, hadis musnad pasti marfu’ dan bersambung
sanadnya, sedangkan hadis marfu’ belum tentu hadis musnad. Hadis
marfu’ dapat disebut sebagai hadis musnad bila seluruh rangkaian
sanadnya bersambung, tiada yang terputus sejak awal sampai akhir.
Berkaitan dengan ketersambungan sanad ini, dikenal pula istilah

4
Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawi, al-Maktab al-Islami , ttp., tahun1975,
hal. 162
5
Syam al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, Fath al-Mughts Syarh Alfiyah
al-Hadits li al- ‘Irâq, al-Maktabah al-Salafiyah, al-Madinah al-Munawwarah, juz I, tahun
1968), hal. 99.

4
hadis muttashil atau maushul. Menurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawi,
yang dimaksud dengan hadis muttashil atau maushul adalah hadis yang
bersambung sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada Nabi Saw
maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi Saw saja.6 M. Syuhudi Ismail
menyimpulkan bahwa hadis muttashil atau maushul ada yang marfu’
(disandarkan pada nabi), ada yang mauquf (disandarkan pada sahabat),
dan ada juga yang maqthu’(disandarkan pada tabi’in). jika dibandingkan
dengan hadis musnad, maka dapat dinyatakan bahwa hadis musnad pasti
muttashil atau maushul, tetapi tidak semua hadis muttashil atau maushul
pasti musnad.7

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad sebuah hadis


menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja
penilitian sebagai berikut.

a) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad dengan teliti


b) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
c) Meneliti kata-kata (adah al-tahammul wa ada’ al-hadits) yang
menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat terdekat
dalam sanad. Kata-kata yang dipakai dalam sanad berupa:
Haddatsani, Haddatsana, Akhbarani, Akhbarana, Sami’tu, ‘An,
Anna, dan sebagainya.8

2. Periwayat bersifat adil


Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat
hadis disebut ‘Adil. Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut ‘adil
apabila beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat.9

6
Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann Ushul al-Hadits,
‘Abd al-Rahman Muhammad, Kairo, tth., hal. 6.
7
M. Syuhudi Ismail. Kaidah Keshahihan Sanad Hadits. Bulan Bintang. Jakarta. tahun
1995. hal. 127-128.
8
M. Syuhudi Ismail. Kaidah Keshahihan Sanad Hadits. Bulan Bintang. Jakarta. tahun
1995. hal. 128.
9
Al-Hakim al-Naysaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits, Maktabah al-Mutanabbih, Kairo, tth.,
hal. 53.

5
Ibn al-Shalah menetapkan lima kriteria seorang periwayat disebut ‘adil,
yaitu beragama Islam, baligh, berakal, memelihara maru’ah dan tidak
berbuat fasik.
Untuk mengetahui adil atau tidaknya periwayat hadis ulama telah
menetapkan beberapa cara yaitu:
a) Melalui popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadis
b) Penilaian dari para kritikus periwayat hadis. Penilaian ini berisi
pengungkapan kelebihan (al-Ta’dil) dan kekurangan (al-Tarjih)
yang ada pada diri periwayat hadis.
c) Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh apabila
para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi
periwayat tertentu.

3. Periwayat Hadis Bersifat Dhâbith


Untuk hadis shahih, para periwayatnya berstatus dhâbith. Secara
sederhana kata dhâbith dapat diartikan dengan kuat hafalan. Kekuatan
hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan
dengan kapasitas pribadi, maka kata dhâbith terkait dengan kualitas
intelektual. Dhâbith bukan hanya hafalan para periwayat saja tapi juga
catatannya.
Antara sifat ‘adil dan dhâbith terdapat hubungan yang sangat erat.
Seseorang yang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya, jujur,
amanah dan objektif tidak dapat diterima informasinya apabila ia tidak
mampu memelihara informasi itu. Sebaliknya, orang yang mampu
memelihara, hafal dan paham terhadap informasi yang diketahuinya
tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu, maka informasi yang
disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh para ulama hadis
keadilan dan kuat hafalan dan terjaganya catatan periwayat hadis
kemudian dijadikan satu dengan istilah tsiqah. Jadi, periwayat yang
tsiqah adalah periwayat yang ‘adil dan dhâbith.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama hadis,
M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa kriteria dhâbith adalah:

6
a) Periwayat memahami dengan baik riwayat hadis yang telah
didengar
b) Periwayat hafal dengan baik riwayat hadis yang telah didengar atau
diterimanya

c) Periwayat mampu menyampaikan riwayat yang dihafal dengan


baik, kapan saja menghendakinya dan sampai saat menyampaikan
riwayat itu kepada orang lain
Selain kriteria diatas, Sebagaimana halnya periwayat yang ‘adil,
periwayat yang dhâbith dapat diketahui melalui beberapa cara. Cara
untuk mengetahui ke-dhâbith-an periwayat hadis menurut berbagai
pendapat ulama adalah sebagai berikut
a) Ke-dhâbith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian
ulama;
b) Ke-dhâbith-an periwayat dapat diketahui juga berdasar kesesuaian
riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain
yang telah dikenal ke-dhâbith-annya, baik kesesuaian itu sampai
tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah;
c) Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan
dhâbith asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering
mengalami kekeliruan dalam riwayat hadits, maka tidak disebut
dhâbith.10

4. Terhindar dari Syâdz


Secara bahasa, Syâdz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang berarti
menyendiri. Menurut istilah ulama hadis, Syâdz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat
periwayat yang lebih tsiqah. Pendapat ini dikemukan oleh al-Syafi’i dan
diikuti oleh kebanyakan ulama hadis. Menurut al-Syafi’i, suatu hadis
dinyatakan mengandung Syâdz apabila diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan riwayat banyak

10
Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, al-
Mathba’ah al- Mishriyyah, Mesir, juz I, tahun 1987, hal. 50.

7
periwayat yang lebih tsiqah. Suatu hadis tidak dinyatakan mengandung
Syâdz bila hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah sedang
periwayat lain yang tsiqah tidak meriwayatkannya.
Jadi, bagi as-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila:
a) Hadits itu memiliki lebih dari satu sanad;
b) Para periwayat hadits seluruhnya tsiqah;
c) matan dan/atau sanad hadis itu mengandung pertentangan.

5. Terhindar dari ‘Illat


Jika dalam sebuah hadis terdapat cacat tersembunyi dan secara
lahiriah tampak shahih, maka hadis itu dinamakan hadis mu’allal, yaitu
hadis yang mengandung ‘illat. Kata al-Mu’allal merupakan isim maf’ul
dari kata a’alla (ia mencacatkannya).11 Secara bahasa kata ‘illat berarti
cacat, kesalahan baca, penyakit, dan keburukan.12 Menurut istilah ahli
hadis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak
keshahihan hadis. Ibn al-Shalah, al-Nawawi, dan Nur al- Din‘Itr
menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak
kualitas hadis, yang menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak
berkualits shahih menjadi tidak shahih.13
Mengetahui ‘illat suatu hadis tidaklah mudah, sebab membutuhkan
upaya menyingkap ‘illat yang tersembunyi dan samar yang tidak dapat
diketahui selain orang yang ahli dalam bidang ilmu hadis. Tidak banyak
orang yang dapat menyingkap ‘illat tersebut kecuali beberapa ulama hadis
saja seperti Ibn al-Madini, Ahmad, al-Bukhari, Ibn Abi Hatim, dan al-
Daruqutni.
Suatu ‘illat hadits dapat terjadi pada sanad, pada matan atau pada
sanad dan matan sekaligus. Akan tetapi, yang terbanyak ‘illat terjadi pada

11
Mahmud al-Thahan, Taysîr Musthalah al-Hadits, Syirkah Bungkul Indah, Surabaya,
tth., hal. 100-101.
12
Muhammad ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arâb, Dar al-Mishriyah, Mesir, juz
XII, tth., hal. 498 dan Ahmad ibn Muhammad al-Fayyumi, al-Mishbâh, juz II, hal. 509.
13
Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi dan Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum
al-Hadits al-Nabawi, Dar al-Fikr, Damaskus, tahun 1997. hal. 447.

8
sanad. Masing-masing hadis, baik ‘illatnya terjadi pada sanad, matan atau
pada sanad dan matan sekaligus dapat disebut dengan hadis mu’allal.
Baik hadis shahih maupun hadis hasan telah dikodifikasikan oleh
para ulama dalam kitab-kitab karya mereka. Di antara kitab itu ada yang
hanya memuat hadis-hadis shahih saja seperti kitab Shahih al-Bukhari
karya al-Imam al-Bukhari (194-256 H) dan kitab Shahih Muslim oleh
Muslim Ibn al-Hajjaj (204-261 H). Ada pula kitab-kitab yang disamping
memuat hadis-hadis shahih juga memuat hadits hasan dan hadits dha’if
seperti kitab-kitab sunan yang empat, yaitu Sunan Abi Dawud karya Abu
Dawud al-Sijistani (202-275 H), Sunan al-Turmudzi karya Abu ‘Isa al-
Turmudzi (209-279 H), Sunan al-nasa’i karya Abu ‘Abd al-Rahman al-
Nasa’i (215-303 H), Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah al-Qazwini (209-
273 H). Hadis- hadis shahih terdapat pula dalam Musnad Ahmad karya
Ahmad ibn Hanbal dan dalam al-Muwaththa’ karya Imam Malik ibn
Anas.

C. Pembagian Hadis Shahih


Ulama’ hadis membagi hadis shahih menjadi dua bagian, yaitu shahih
li-dzatihi dan shahih li-ghairihi. Perbedaan antara keduanya terletak pada segi
hafalan atau ingatan perawinya. Pada hadis shahih li-dzatihi perawinya
memiliki ingatan yang sempurna, sedangkan pada hadis shahih li-ghairihi
ingatan perawinya kurang sempurna (berada dibawah hadis shahih li-dzatihi).
Berikut pembagiannya:
1) Hadis shahih li-dzatihi
Adalah hadist yang memenuhi seluruh syarat-syarat hadis shahih.
Dengan kata lain yang dimaksud dengan hadis shahih lidzatihi adalah hadis
shahih itu sendiri.14
Contoh hadis shahih li-dzatihi sebagai berikut:
‫قال رسوالهلل صلى هللا عليه وسلم المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من‬
‫هجرما نهرهللا (متفق عليه‬
Rasulullah SAW bersabda: “Orang muslim itu adalah orang
yang selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan orang muhajir

14
M. syuhudi ismail, Pengantar ilmu hadis,(bandung:angkasa tt), hal 180

9
(orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang
dilarang Allah SWT”. (HR. Mutafaqqun Alaih).
Berikut contoh dari hadist shahih li-dzatihi yang lain:
‫ حدثنا عبدهللا ابن يوسف قال اخبرنا مالك عن ابن شهاب عن‬:‫مااخرجه البخاري في صحيحه قال‬
.‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قرأفي المغرب بالطور‬:‫محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال‬
Hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dalam kitab
Shahihnya, ia berkata “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf,
dia berkata, telah mengkhabarkan kepada kami Malik dari ibn Syihab dari
Muhammad ibn Jubair ibn Muth’im dari ayahnya, ia berkata, aku mendengar
Rasulullah SAW membaca at-Thur pada waktu shalat magrib”.
Hadis diatas dapat dinyatakan sebagai hadis shahih li-dzatihi karena telah
memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, yaitu:
a) Sanad hadis tersebut tersambung. Dalam hal ini masing-masing
perawinya mendengar langsung dari gurunya. Bukhari mendengar
langsung dari gurunya yaitu Abdullah ibn Yusuf, Abdullah
mendengar dari Malik, Malik mendengar dari ibn Syihab, ibn Syihab
dari Muhammah ibn Jubair, Muhammad ibn jubair menerima
langsung dari ayahnya Jubair ibn muth’im dan Jubair mendengar
langsung dari Rasulullah SAW.
b) Para perawi tersebut adalah adil dan dhabit. Hal tersebut telah diteliti
oleh para ulama’ jarh dan ulama’ ta’dil yakni:
 Abdullah ibn yusuf adalah orang yang tsiqah dan mutqan.
 Malik ibn anas adalah imam hafizh.
 Ibn syihab adalah seorang faqih, hafizh, muttafaq ‘ala
jalalatih, dan itqanihi.
 Muhammad ibn jubair adalah tsiqah.
 Jubair ibn muth’im adalah sahabat, dan para ahli hadis telah
bersepakat menyatakan keadilan para sahabat.
c) tidak syadz, karena tidak dijumpai hadis lain yang lebih kuat yang
berlawanan dengannya.
d) Tidak terdapat ‘illat padanya.15

15
Alfiah,fitriadi,suja’I, Studi ilmu hadis, publishing and consulting company, 2016, hal 122

10
2) Hadis shahih li-ghairihi
Adalah hadis hasan namun diriwayatkan dari jalan lain yang
kualitasnya sama atau lebih kuat darinya. Dinamakan shahih li-ghairihi
karena keshahihannya bukan berasal dari sanad hadis itu sendiri, melainkan
datang dari penggabungan riwayat lain yang sama kedudukannya dengan
sanadnya atau yang lebih kuat darinya. Kedudukannya lebih tinggi dari
hasan li-dzatihi dan masih dibawah shahih li-dzatihi.16
Contohnya:
Diriwayatkan oleh At-tirmidzi dari hadist Muhammad bin Amr, dari
abi Salamah, dari abi Hurairah r.a bahwasanya rasulullah saw bersabda:

ْ َ‫ لَ ْوال‬:‫حد يث محمد بن عمروعن أبي سلمة عن أبي هريرة أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫أن‬
)‫اك ِعندَ ُك ّل صالة (رواه التردي‬ ِ ‫ش ََّق َعلَى أ َّمتِي أل َ َم ْرت ُ ُه ْم بِالس َِو‬
”jikalau tidaklah memberatkan atas umatku niscaya aku akan
memerintahkan merekauntuk bersiwak setiap hendak mengerjakan shalat”
(HR.Turmuzi)
Hadist diatas juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui
jalan Abu Zanad dari al-A’raj dari Abu Hurairah. Hadis tersebut dinilai hasan
karena salah seorang perawinya yakni Muhammad ibn ‘Amr ibn Aqlamah
adalah dikenal dengan orang yang lemah hafalannya. Akan tetapi, karena
hadis tersebut juga melalui jalan yang lain, maka kelemahan tersebut
tertutupi, sehingga hadisnya yang melalui jalan tersebut dinyatakan sebagai
hadis shahih lighairihi.17

16
Abu izza irham maulana, Ilmu mushthalah al-hadis, jodoh publishing,hal 24
17
Alfiah,fitriadi,suja’I, Studi ilmu hadis, publishing and consulting company, 2016, hal 123

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar,
sah, sempurna dan yang tidak sakit. Secara istilah menurut Shubhi al-
Shalih, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga bersambung
kepada Rasulullah saw atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan
sahabat tanpa mengandung syâdz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).
Ada lima macam kriteria hadits shahih yaitu pertama, sanadnya
bersambung; kedua, para periwayatnya ‘adil; ketiga, para periwayatnya
dhâbith; keempat, terhindar dari syâdz; dan kelima, terhindar dari ‘illat.
Ulama’ hadis membagi hadis shahih menjadi dua bagian, yaitu shahih
li-dzatihi dan shahih li-ghairihi. Perbedaan antara keduanya terletak pada
segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada hadis shahih li-dzatihi
perawinya memiliki ingatan yang sempurna, sedangkan pada hadis shahih
li-ghairihi ingatan perawinya kurang sempurna (berada dibawah hadis
shahih li-dzatihi).

B. Saran
Berdasarkan pembahasan diatas, sepenuhnya kami menyadari bahwa
makalah kami masih jauh dari kata sempurna. Kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini. Oleh karena
itu, tentunya kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari para
pembaca, Agar makalah kami kedepannya bisa lebih baik lagi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abu 'Amr 'Utsman ibn 'Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, "Ulum al-Hadits" ,
al-Maktabah al-Islamiyah al-Madinah al-Munawwarah, tahun 1972

Abu Izza Irham Maulana, Ilmu mushthalah al-hadis, jodoh publishing.

Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-
Nawawi, al-Mathba’ah al- Mishriyyah, Mesir, juz I, tahun 1987,

Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi dan Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-
Naqd fi ‘Ulum al-Hadits al-Nabawi, Dar al-Fikr, Damaskus, tahun
1997.

Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann


Ushul al-Hadits, ‘Abd al-Rahman Muhammad, Kairo, tth.,

Alfiah,Fitriadi,suja’I, Studi ilmu hadis, publishing and consulting company,


2016,

Al-Hakim al-Naysaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits, Maktabah al-


Mutanabbih, Kairo, tth.,

M. Syuhudi ismail, Pengantar ilmu hadis,(bandung:angkasa tt),

M. Syuhudi Ismail. Kaidah Keshahihan Sanad Hadits. Bulan Bintang.


Jakarta. tahun 1995.

Mahmud al-Thahan, Taysîr Musthalah al-Hadits, Syirkah Bungkul Indah,


Surabaya, tth.,

Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawi, al-Maktab al-Islami, ttp.,


tahun1975,

13
Muhammad ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arâb, Dar al-Mishriyah,
Mesir, juz XII, tth. dan Ahmad ibn Muhammad al-Fayyumi, al-
Mishbâh, juz II,

Sarbanun, "Macam-Macam Hadits Dari Segi Kualitasnya",

Shubhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Musthalahah", Dar al-'Ilm li al-


Malayin, Beirut, tahun 1998

Syam al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, Fath al-Mughts


Syarh Alfiyah al-Hadits li al- ‘Irâq, al-Maktabah al-Salafiyah, al-
Madinah al-Munawwarah, juz I, tahun 1968),

14

Anda mungkin juga menyukai