HADITS HASAN
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mustholah Hadits
Oleh :
Jl. H. Amat No.21, Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat
1445H/2023M
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat allah SWT atas limpahan rahmat
taufiq dan hidayahnya, kami dapat menyelasikan tugas makalah mata kuliah
mustholah hadits yang berjudul: “Hadis Hasan” dengan tepat waktu.
Tidak lupa kami ucapakan terima kasih kepada Ust. M. Fikri, Lc., MA.
selaku dosen pengampu mata kuliah mustholah hadits yang telah memberi
kepecayaan kepada kami untuk membuat tugas makalah ini. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan saran dan
masukan dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat islam telah mengakui bahwa hadits Nabi SAW itu dipakai
sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Ajaran-ajaran
islam yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, itdak rinci menurut
petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengalamannya
dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk dalil yang masih utuh,
tidak diterangkan cara pengalamannya dan atau tidak dikhususkan
menurut petunjuk al-Qur’an, maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya
dalam hadits.
iv
pembagian hadits, yaitu hadits hasan serta hal-hal yang berkaitan dengan
hadits hasan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
v
BAB II
PEMBAHASAN
1. Imam al-Khotobi
2. Imam at-Tirmidzi
1
Zikri Darussamin, Kuliah Ilmu Hadits (Kalimedia: Yogyakarta), 2020, hlm. 136.
2
Mahmud Thohan, Taisir Mustholah al-Hadits (Maktbah al-Ma’arif: Riyadh), 2010,
cet. 11, hlm. 57.
3
Mahmud Thohan, Taisir Mustholah al-Hadits (Maktbah al-Ma’arif: Riyadh), 2010,
cet. 11, hlm. 57.
1
“Tiap-tiap hadits yang tidak terdapat pada sanadnya perawi yang
tertuduh dusta, pada matanya tidak terdapat kejanggalan, dan
hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan yang sepadan
dengannya”.4
هو, ولا شاذ, غير معلل, متصل السند,وخبرالآحاد بنقل عدل تام الضبت
4
Mahmud Thohan, Taisir Mustholah al-Hadits (Maktbah al-Ma’arif: Riyadh), 2010,
cet. 11, hlm. 57.
5
Mahmud Thohan, Taisir Mustholah al-Hadits (Maktbah al-Ma’arif: Riyadh), 2010,
cet. 11, hlm. 57.
6
Mahmud Thohan, Taisir Mustholah al-Hadits (Maktbah al-Ma’arif: Riyadh), 2010,
cet. 11, hlm. 58.
2
B. Pembagian Hadits Hasan
Para ulama ahli hadits membagi hadits hasan kepada dua macam,
yaitu:
7
Imam al-Hakim Al-Naisaburi, Ma’rifah Ulumu al-Hadits (Kaior: Maktabah al-
Mutanabih), hlm. 53.
8
Abu ‘Amar ‘Utsman ibn ‘Abd Rahman ibn Shalah, Ulumul Hadits (Makdinah: al-
Maktab al-Islamiyyah, 1972), hlm. 48.
3
“Usia umatku sekitar 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali
melebihi yang demikian itu”.
9
Zikri Darussamin, Kuliah Ilmu Hadits (Kalimedia: Yogyakarta), 2020, hlm. 136.
10
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 146.
4
yang mudallis atau perawi yang pernah keliru dalam meriwayatkan,
lalu dikuatkan dengan jalan lain yang sebanding dengannya.11
هو الحديث الضعيف إذا روي من طريق اخرى مثله او أقوى منه
11
Abu ‘Amar ‘Utsman ibn ‘Abd Rahman ibn Shalah, Ulumul Hadits (Makdinah: al-
Maktab al-Islamiyyah, 1972), hlm. 48.
12
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 146.
13
Syahid merupakan bentuk isim fa’il yang artinya adalah yang menyaksikan.
Sedangkan menurut istilah adalah satu hadits yang matannya sama dengan hadits lain dan
biasanya sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut berlainan. Lihat Zikri Darussamin,
Ilmu hadis (Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 198.
14
Muttabi’ disebut juga dengan at-tabi’ menurut bahasa adalah isim fa’il dari
taba’a yang artinya yang mengiringi atau yang mencocoki. Sedangkan menurut istilah
adalah satu hadits yang sanadnya menguatkan hadits lain dari hadits itu juga, dan sahabat
yang meriwayatkan adalah satu. Lihat Ibid.
5
matruk, betapapun adanya syahid dan muttabi’, kedudukannya tetap
sebagai hadits dhai’f tidak bisa berubah menjadi hadits hasan.15
A. Hadits riwayat Ibnu Majah dari al-Hakam bin Abdul Malik dari
Qatadah dari Sa’id bin Musayyab dari Aisyah, Nabi SAW
bersabda;
لعن اهلل العقرب لاتدع مصليا ولا غيره فاقتلوها فى الحلال او الحرم
فقال رسول اهلل صلى. أن امرأة من بني فزارة تزوجت على نعلين: عن أبيه
فأجازه: قال. نعم: اهلل عليه وسلم أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قلت
)(رواه الترمذى
15
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 147.
6
Diriwaytakan oleh Imam at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari
Ashim bin ‘Ubdaidillah, dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah,
dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah
menikah dengan mahar sepasang sandal. Kemudian Imam at-
Tirmidzi berkata, pada bab ini juga diriwayatkan (hadits yang
sama) dari ‘Umar, Abu Hurairah, Aisyah dari Abi Hadrad. Jalur
Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadits
ini dihasankan oleh at-Tirmidzi melalui jalur riwayat yang
lain.16
1. Bersambung sanadnya;
2. Rawinya adil;
3. Rawinya dhabith, tetapi kualitas ke-dhabit-annya di bawah ke-
dhabit-an perawi hadits shahih;
4. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz ;
5. Tidak terdapat illat (cacat).17
16
Manna’ Khalil al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2010), hlm. 124.
17
Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu al-Lathifu fi Ushuli al-Hadits al-Syarifi,
terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 59.
7
ulama’ hadits sebelumnya. Pada masa itu hadits hanya diklasifikasikan
menjadi dua macam, yaitu hadits shahih dan hadits dhai’f. Pendapat yang
sama dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Dalam kitab Majmu’ Fatawa,
Ibnu Taimiyah berkata bahwa orang yang pertama kali memperkenalkan
pembagian hadits kepada shahih, hasan, dan dhai’f adalah Abu Isa at-
Tirmidzi dan pembagian ini tidak dikenal pada masa-masa sebelumnya.
Pada masa sebelum at-Tirmidzi, ulama hadits hanya membagi hadits itu
menjadi shahih dan dhai’f.18
18
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa li Ibni Taimiyah, Juz, XVII (Royadh: Dar Alam al-
Kutub,), hlm. 23 dan 25.
19
Abdul Fattah Abu Ghuddah, Al-Muqdi dhah fi Ilmi Musthalah al-Hadits (Beirut:
Dar al-Fikr, 1982), hlm. 72.
20
Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulum al-Hadits, Jilid 1, hlm 18.
8
Sehubungan dengan perdebatan diatas, Syuhudi Ismail
mengatakan bahwa pemakaian istilah hasan memang sudah dikenal pada
masa guru-guru Imam at-Tirmidzi dan generasi sebelumnya. Akan tetapi,
penggunaan istilah hadits hasan sebagai istilah baku bagi salah satu
kualitas hadits, belum dikenal kalangan para ulama’ hadits sebelumnya.
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits dhai’f pada masa
sebelum Imam at-Tirmidzi itu terbagi menjadi dua macam; pertama,
hadits dhai’f dengan kedha’ifan yang tidak terhalang untuk
mengamalkannya dan dha’if ini menyerupai hasan dalam istilah at-
Tirmidzi; kedua, hadits dha’if dengan kedha’ifan yang wajib
ditinggalkan dan tidak boleh diamalkan. Karena itu pada masa sebelum
Imam at-Tirmidzi, hadits hasan dikategorikan ke dalam hadits dha’if,
namun dengan kedha’ifan yang tidak terlalu parah hingga layak
diamalkan. Itulah sebabnya dikalangan para ulama ada yang berpendapat
bahwa hadits dha’if boleh diamalkan pada hal-hal yang tidak bersifat
esensial, seperti shirah, tarikh, fadha’ilul ‘amal dan mengamalkan hadits
itu lebih mereka sulai daripada pendapat seseorang (ra’yu).
21
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa li Ibni taimiyah, Juz, XVII, hlm. 84.
9
bermaksud untuk memisahkan pengelompokan hadits hasan kedalam
hadits dhai’if oleh sebagian para ulama’.22
1. هذا الحديث حسن الاسناد, yaitu hadits ini hanya sanadnya saja yang
makna, yaitu:
22
Ibnu Shalah, Ulum al-Hadits (Madinah: Maktabah Islamiyah, 1972), hlm. 71.
23
Al-Iraqy, Taqyid wa al-Idhah, Syarh Ulum al-Hadits Muqaddimah Ibnu Shalah
(Mekkah: Al-Maktabah al-Tijariyah, 1932), hlm. 52.
10
a. Hadits ini adalah hasan lidzatihi yang naik menjadi hadits hasan
shahih lighairihi, karena mempunyai banyak sanad hasan yang
saling menguatkan satu sama lain.
b. Sebuah hadits, sebagian bernilai hasan dan sebagian lagi bernilai
shahih, karean memiliki banyak sanad.
c. Sebuah hadits yang sanad atau sebagian rawinya diperselisihkan,
sebagian ulama’ memandangnya hasan tetapi sebagian lagi
memandang shahih.24
kemungkinan, yaitu:
a. Hadits ini hanya memiliki satu sanad, tetapi sebagian rawinya
diperselisihkan, sebagian ulama’ memandang hasan,
sebagiannya lagi memandang shahih.
24
Daelan M. Danuri, Ulumul Hadis II (Yogyakarta: Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 1998), hlm. 84-86.
25
Daelan M. Danuri, Ulumul Hadis II (Yogyakarta: Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 1998), hlm. 85.
11
b. Hadits ini sebagian sandnya hasan, sebagian yang lain shaih
namun rawi-rawinya kesemuannya satu negri.26
5. هذا حديث حسن جدا, yaitu hadits yang diartikan dengan hadits yang
6. هذا حديث صحاح أو احاديث حسان, yaitu kedua istilah ini khusus
7. هذا حديث صالح, yang terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud, nilai-
26
Daelan M. Danuri, Ulumul Hadis II (Yogyakarta: Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 1998), hlm. 86.
27
I’tibar secara bahasa yaitu memperhatikan perkara-perkara tertentu untuk
mengetahui jenis lain yang ada didalamnya. Sedangkan menurut istilah adalah penelitian
jalan-jalan hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi untuk mengetahui apakah ada
orang lain dalam meriwayatkan hadits itu atau tidak, yaitu kondisi menuju kepada muttabi’
dan syahid.
12
10. اسناد حسن, artinya sanadnya yang hasan.
12. Disamping itu juga ada gelar ta’dil para perawi digunakan dalam
hadits hasan sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jarh wa at-
Ta’dil, yaitu:
13
kitab tersebut banyak memuat hadits hasan. sehingga Imam an-
Nawawi dalam kitab Taqrib yang disyarahkan oleh Imam as-Suyuthi
pernah mengatakan bahwa kitab Sunan at-Tirmidzi adalah asal
untuk mengetahui hadits hasan, ialah yang memasyhurkannya,
meskipun sebagian ulama’ dan generasi sebelumnya telah
membicarakan secara terpisah. 28 Kitab Sunan at-Tirmidzi ini
merupakan salah satu rujukan para ulama dalam menetapkan hukum
(hujjah), karena hadits shahih lebih banyak daripada hadits dha’if.
Hal ini senada dengan komentar Al-Hafidz Abu al-‘Ula Muhammad
bin Abdul Rahman bin Abdul al-Rahim bahwa walaupun dalam
Sunan at-Tirmidzi terdapat hadits yang dha’if, namun jumlah hadits
yang bernilai shahih lebih banyak dibandingkan yang dha’if,
sehingga kitab ini dapat dijadikan hujjah. Dalam kitabnya , Imam at-
Tirmidzi membagi hadits menjadi shahih, hasan, dan dha’if.29
2. Sunan Abi Dawud, didalamnya terdapat hadits shahih, hasa, dan
dhai’if dengan dijelaskan kecacatannya. Hadits yang tidak
dijelaskan kedha’ifannya dan tidak dinilai keshahihannya oleh para
ulama dinilai hasan oleh Abi Dawud.
3. Sunan ad-Daruquthni, yang dijelaskan didalamnya hadits hasan.
28
Imam al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972), hlm.
54.
29
Abu al ‘Ula Muhammad bin Abdul Rahman bin Abdul al-Rahim, Muqaddimah
Tuhfat al-Ahwadzi, hlm. 368.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
DAFTAR PUSTAKA
16