Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU HADITS

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hadits

Dosen : Dwi Leksono BD., S.Ag., M.E.Sy.

Disusun Oleh :

1 St. Aisyah Istiqamah 220102010


.

JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
YAYASAN PEMBANGUNAN (YASBA) KALIANDA
T.A. 2022 - 2023

i
KATA
PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Istilah-Istilah dalam Ilmu Hadits” ini
tepat pada waktunya yang mana makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Studi Hadits.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menerima bantuan dari berbagai pihak,
maka dari itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dwi Leksono BD., S.Ag., M.E.Sy.selaku dosen mata kuliah Peng. Ilmu
Hadits
2. Ayah dan Ibu selaku orang tua yang telah memberikan dukungan moral dan materil
3. Serta semua pihak yang telah membantu hingga makalah ini terselesaikan

Sebagai manusia biasa, penulis tentunya menyadari bahwa dalam penyusunan


makalah ini masih ada banyak hal yang merupakan suatu kekurangan yang mungkin saat
ini belum dapat penulis sempurnakan, maka dari itu dengan penuh keikhlasan penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang mana bertujuan untuk menjadi suatu
pelengkap makalah ini di masa yang akan datang.

Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya, karena
dengan membaca saja itu merupakan suatu kepuasan tersendiri bagi penulis. Dan semoga
dengan adanya makalah ini para pembaca lebih terpacu untuk mengembangkan potensi diri
yang ada.

Kalianda, 07 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………....ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………… ………..1


A.      Latar belakang............................................................................................ 1
B.       Rumusan masalah...................................................................................... 1
C.       Tujuan   ..................................................................................................... 1

BAB II ISI……………………………………………………………………...2
A.      Pengertian ilmu hadis........................................................................... ...... 2
B.       Istilah-istilah yang berkaitan dengan generasi periwayatan hadis.............. 2
C.       Istilah-istilah dalam ulumul hadis............................................................... 5

BAB III PENUTUP…………………………………………………… ……..12


A.      Kesimpulan................................................................................................. 12
B.       Saran .......................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….13

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Haditst  adalah salah satu aspek  ajaran Islam yang menempati posisi penting dalam
pandangan Islam. Al-Qur’an dan nabi dengan sunnahhnya (haditstnya) merupakan dua hal
pokok dalam ajaran Islam. Keduannya merupakan hal sentral yang menjadi “jantung” umat
Islam. Karena seluruh bangunan  doktrin dan sumber keilmuanya Islam terinspirasi dari dua
hal pokok tersebut. Oleh karena itu wajar dan logis jika bila perhatian dan aspirasi terhadap
keduanya melebihi perhatian terhadap bidang yang lain .Haditst adalah sumber ajaran Islam
kedua, setelah Al-Qur’an. Dan haditst nabi Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, cukup
banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang yang beriman untuk patuh dan
mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad, utusan Allah. Sebagian dari ayat-ayat Al-
Qur’an itu adalah surat al-Hasr 59:7.
Dalam mempelajari haditst Nabi SAW, kita tidak akan pernah terpisah dengan
istilah – istilah yang berhubungan dengan ulumul hadits. Pengetahuan tentang istilah-istilah
ini akan membantu kita dalam memahami dan mempelajari ulumul haditst.

B.       Rumusan Masalah

a.       Apa pengertian ilmu hadits ?


b.      Apa saja istilah-istilah yang berkaitan dengan generasi periwayat hadits ?
c.       Apa saja istilah-istilah dasar dalam ilmu hadits ?

C.       Tujuan

a.       Mengetahui pengertian ilmu hadits


b.      Mengetahui istilah-istilah yang berkaitan dengan generasi periwayat hadits
c.    Mengetahui istilah-istilah dasar dalam ilmu hadits  

1
BAB II
ISI
A.       Pengertian Ilmu Hadis

Sebelum mengkaji istilah-istilah dalam ulumul hadis, terlebih dahulu kita mesti
mengetahui apa itu ilmu hadis. Ilmu hadis adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk
mengetahui kedudukan sanad, matan dan rawi apakah diterima atau ditolak. Situs wikipedia
menyatakan bahwa makna hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan
Rasulullah. Dengan demikian ilmu  Al-Hadits adalah ilmu-ilmu tentang perkataan atau
percakapan Rasulullah.
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni “segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat”. Hal ini
sejalan dengan pengertian hadits yang dikemukakan dalam buku Musthalahul hadits yang
berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir (persetujuan), atau sifat

B.       Istilah–Istilah yang Berkaitan dengan Generasi Periwayatan Hadis


1.        Sahabat

Secara etimologi, kata “sahabat” berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata
bentuk plural untuk kata ‫احب‬EEE‫ص‬ (sahib) yang mempunyai arti selalu menyertai dan
menemani.[1] Dari penjelasan tersebut, “sahabat” menurut akar katanya berarti orang yang
selalu menyertai dan menemani orang lain. Sedangkan apabila dilihat dari sudut
terminologinya, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan pengertian “sahabat”
seperti berikut:
Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Ibnu Shalah dan mayoritas ulama hadits menyatakan
bahwa sahabat adalah orang muslim yang pernah menyaksikan Rasulullah saw. walau
hanya untuk sesaat.[2]
 

[1] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari (Kairo: Dar ar-Raiyan, 1988), jil. VII, h. 5.
[2] Ali bin Ahmad vin Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, tth.) , jil. II, h. 86.

2
Sedangkan menurut Ibnu Hazm bahwa sahabat adalah orang yang pernah duduk
bersama Rasulullah saw. walau untuk sesaat, mendengar darinya walau sepatah kata, atau
pernah menyaksikan beliau dalam suatu kondisi, dengan syarat orang tersebut tidak dalam
keadaan munafiq dan tidak menjadi munafiq hingga ia meninggal.[3]
Sedangkan menurut Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa sahabat adalah orang yang pernah
bertemu dengan Rasulullah saw., beriman kepadanya serta meninggal dalam keadaan Islam.
Dengan pengertian ini, termasuk dalam kelompok sahabat adalah semua orang-orang yang
masuk Islam pada peristiwa Fath Mekkah, atau orang-orang yang menyaksikan Rasulullah
saw. dalam waktu singkat dan tidak pernah meriwayatkan hadits darinya.[4]
Namun menurut istilah ilmu hadits yang disepakati oleh para ulama hadits, sahabat
ialah orang islam yang pernah bertemu atau melihat Nabi Muhammad saw. dan wafat dalam
keadaan beragama Islam.[5]
Diantara tokoh-tokoh Muta’akhirun adalah :
a.       Abu Harairah Radhiyallahu ‘anhu (wafat 57 H)
b.      Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu 'anhu (wafat 72 H)
c.       Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu (wafat 93 H)
d.      Abdullah bin 'Abbas Radhiyallahu 'anhu (wafat 68 H)
e.    Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu (wafat 74 H)

2.        Mukhadhramin

Kata Mukhadhramin merupakan bentuk jamak (plural) dari kata


Mukhadhram. Pengertiannya adalah orang yang hidup pada masa Jahiliyah dan masa Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam lalu masuk Islam akan tetapi ia tidak sempat melihat beliau
Shallallahu Alaihi Wassalam.

[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah ti Tamyiz as-Shahabah, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1995), jil. I, h.
158.
[4] DR.H.M. Arief Halim, MA.,Ikhtisar Ilmu Hadis, (Makassar:Program Pasca Sarjan Universitas Muslim
Indonesia,2010), h.104
[5]Abushafiyah,Arsipuntuk‘muhadditsin.http://abushafiyah.wordpress.com/category/muhadditsin/28 Maret 2013

3
Menurut pendapat yang shahih, Mukhadhramin dimasukkan ke dalam
kategori kalangan Tabi’in. Jumlah mereka ditaksir sebanyak 20 orang seperti yang dihitung
oleh Imam Muslim. Akan tetapi pendapat yang tepat,bahwa jumlah mereka lebih dari itu, di
antara nama mereka terdapat Abu ‘Utsman an-Nahdi dan al-Aswad bin Yazid an- Nakha’iy.
[6]

3.        Tabi’in

Tabi'in artinya pengikut, adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para
Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassallam dan tidak mengalami masa hidup bersama Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wassallam. Usianya tentu saja lebih muda dari Sahabat
Nabi shallallahu 'alaihi wassallam bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa
Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi
wassallam. Salah satu contoh tabi’in bernama Muhammad bin Sirin (wafat th. 110H) [7]
4.        Al-mutaqoddimun

Yaitu para ulama’ yang hidup pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah yang telah
menghimpun hadits-hadits Nabi SAW. di dalam kitab 3 mereka yang mereka dapatkan
melalui kunjungan langsung ke guru-guru mereka. Diantara ulama’ Mutaqoddimun yang
telah berhasil menghimpun hadits-hadits Nabi SAW. di antaranya adalah :
a.       Imam Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241H)
b.      Imam Bukhori (194 – 256 H)
c.       Imam Muslim (220 – 261 H)
d.      Imam Al-Nasa’i (215 – 303 H)
e.       Imam Abu Daud (202 – 276 H)
f.        Imam Al-Tirmidzi (209 – 269 H)
g.       Imam Ibn Majjah (202 – 279 H)[8]
 

[6]BayuSetiawan,BiografiIslam,http://biografiislami.blogspot.com/2012/03/pengertiantabiin.html) 28 Maret 2013.


[7]Odjat,UlumulHadis,http://salehon.blogspot.com/2010/10/ulumulhadits.html.Makassar 28 Maret 2013.
[8] Ibid

4
5.        Al-Mutaakhirun

Yaitu para ulama’ hadits yang hidup pada abad ke-4 Hijriah dan seterusnya.
Diantara tokoh-tokoh Muta’akhirun adalah :
a.       Imam Al-Hakim (359 – 405 H)
b.      Imam Al-Dar al-Quthni (w – 385 H)
c.       Imam Ibn Hibban (w – 354 H)
d.      Imam al-Thabrani (w – 360H)[9]

C.       Istilah–Istilah Dasar dalam Ilmu Hadis

1.      Sanad : Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berati
mu’tamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah).
Dikatakan demikian karena hadist itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas
kebenarannya.
Secara temionologis,difinisi sanad ialah : para perawi yang menyampaikan kepada matan,
atau  silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadits. Silsilah orang
maksudnya, ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadis
tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan,
taqrir, dan lainya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pegertian diatas maka
sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi
secara perorangan. Contoh :

َ َ‫صلّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬


‫ال‬ َ ِ‫ك ع َْن نَافِ ٍع ع َْن َع ْب ُدهللاِ ب ِْن ُع َمر َأ َّن َرسُوْ َل هللا‬
ٌ ِ‫اخَ بَرنَا مال‬
(Dikabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari
Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda..)

[9]'UlumalHadis,TahammulwaAdaalHadits,http://stiqulumalhadis.blogspot.com/2012/01/tahamul-wa-adaal-
hadis.html. Kamis, 28Maret 2013.

5
2.      Matan : Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’amin al-
aradhi(tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa difinisi,
yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Pada salah satu
definisi yang sangat sederhana misalnya, disebutkan bahwa matan ialah lafazh-lafazh hadits
yang didalamnya mengandung makna – makna tertentu.. Dari definisi diatas memberi
pengertian bahwa apa yang telah tertulis setelah ( penulisan ) silsilah sanad adalah matan
hadits. Contoh :
‫ض‬ َ ‫ض ُك ْم َع‬
ٍ ْ‫لى َبي ِْع َبع‬ ُ ْ‫ال َي ِب ْي ُع َبع‬
“Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian
yang lainnya.”
3.      Rawi : Kata rawi atau arawi, berati orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan
hadis. Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang merawikan/ meriwayatkan, dan
memindahkan hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang
hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut
para rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad
bagi tabaqah berikutnya. Contoh :
( ‫) رواه البخاري‬
Hadis riwayat Bukhari

4.      Musnad : Menurut bahasa Musnad adalah bentuk isim maf’ul  dari kata kerja asnada, yang


berarti sesuatu yang disandarkan kepada yang lain.
Secara terminologi, musnad mengandung tiga pengertian, yaitu :

َ ‫ْث الَّ ِذيْ اِت‬


ُ‫َص َل َسنَدهُ ِم ْن راويه ِإلَى ُم ْنتَهَاه‬ ُ ‫الح ِدي‬
َ
·         “Hadis  yang bersambung sanad-nya dari perawinya (dalam contoh sanad di atas adalah
Bukhari) sampai kepada akhir sanadnya yang biasanya adalah Sahabat, dan dalam contoh
diatas adalah Anas r.a”.
 ‫رووه‬ ْ‫الص َحابَةُ َأي‬
َ ُ‫ال ِكتَا بُ الَّ ِذيْ َج َمع فِ ْي ِه َما َأ ْسنَده‬
·         “Kitab yang menghimpun Hadis-hadis Nabi  yang diriwayatkan oleh shahabat, seperti
Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a dan lainnya. Contohnya, adalah kitab
Musnad Imam Ahmad”.
 ‫مصدرا‬ ‫ فيكون‬.‫أن يطلق ويرادبه اإلسناد‬
·         “Sebagai mashdar  (Mashdar mimi) mempunyai arti sama  dengan  sanad”.

6
5.      Musnid : Kata musnid adalah isim fa’il dari asnada-yusnidu, yang berarti “orang yang
menyadarkan sesuatu kepada yang lainnya”. Sedangkan pengertiannya dalam istilah Ilmu
Hadis adalah :

َ ‫سوا ٌء َأ َكانَ ِع ْن َدهُ ِع ْل ٌم بِ ِه َأ ْم لَ ْي‬


‫س لَهُ ِإال مجرد الرواية‬ َ ‫سنَ ِد ِه‬ َ ‫الح ِد ْي‬
َ ِ‫ث ب‬ َ ‫ه َُو َمنْ يَ ْر ِوي‬
 “Musnid  adalah setiap perawi hadis yang meriwayatkan Hadis dengan
menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, atau
tidak mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, tetapi hanya sekadar meriwayatkan
saja”
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, hal ini dikarenakan hadits yang
diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu
periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadits
yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk
menetapkan hukum-hukum Islam.

6.      Muhaddis : Muhaddis itu adalah orang yang banyak menghafaz hadith serta mengetahui
sifat-sifat orang yang meriwayatkan tentang 'adil dan kecacatannya. Atau merupakan gelar
untuk ulama yang meguasai hadits, baik dari sudut ilmu riwayah maupun di rayah, mampu
membedakan hadits dha’if dari yang sahih, meguasai hadits-hadits yang mukthalif dan
hallain yang berkaitan dengan ilmu hadis.

7.       Hafiz : merupakan gelar untuk ulama yang memiliki sifat-sifat seorang Muhaddis. Ulama
yang dapat gelar Al-Hafizh adalah yang dapat menghafal dan menguasai 100.000 hadits,
baik matan maupun sanadnya, meskipun dengan jalan sanad yang berbilang, juga
mengetahui hadits sahih dan ilmu haditsnya.

8.       Hujjah : merupakan gelar untuk ulama yang dapat menghafal sekitar 300.000 hadits
beserta keadaan sanadnya. Diantara ulama yang mendapat gelar ini Muhammad ibn
Abdullah ibnu Amir.

9.      Hakim : merupakan gelar untuk ulama yang dapat meguasai seluruh hadits, baik dari sudut
matan dan sanadnya jarh dan ta’dil-nya, maupun tariknya, ulama yang dapat gelar seperti
ini, ialah Ibnu Dinar, Al-laits, dan Asy-syafi’i.
7
10.       Amir al-mu’minin fi al-hadits : merupakan gelar bagi ulama ahli hadis termasyhur pada
masanya, yang memiliki keistimewaan hafalan dan pegetahuan dalam bidang ilmu hadits
(baik terhadap matan atau sanadnya). Gelar ini diberikan di antaranya kepada syu’bah bin
al-hajjaj, sufyan ats-tsauri, ishak ibn ruhawaih, malik bin anas, ahmad bin hanbal, al-
bukhari, ad-daruquthni, az zahabi, dan ibn hajar al-asqalan

11.       Mutawatir : Hadits yang diriwayatkan dari banyak jalan (sanad) yang lazimnya dengan
jumlah dan sifatnya itu, para rawinya mustahil bersepakat untuk berdusta atau kebetulan
bersama-sama berdusta. Dan perkara yang mereka bawa adalah perkara yang inderawi
yakni dapat dilihat atau didengar. Hadits mutawatir memberikan faidah ilmu yang harus
diyakini tanpa perlu membahas benar atau salahnya terlebih dahulu.

12.       Ahad : Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.

13.       Shahih : Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil (muslim, baligh, berakal, bebas dari
kefasiqan yaitu melakukan dosa besar atau selalu melakukan dosa kecil, dan bebas dari
sesuatu yang menjatuhkan muru’ah/ kewibawaan) dan sempurna hafalannya/penjagaan
kitabnya terhadap hadist itu, dari orang yang semacam itu juga dengan sanad yang
bersambung, tidak memiliki ‘illah (penyakit/ kelemahan) dan tidak menyelisihi yang lebih
kuat. Hadits shahih hukumnya diterima dan berfungsi sebagai hujjah.

14.       Hasan (baik) : Hadits yang sama dengan hadits yang shahih kecuali pada sifat rawinya di
mana hafalannya/ penjagaan kitabnya terhadap hadits tidak  sempurna, yakni lebih rendah.
Hadits hasan hukumnya diterima.

15.       Dha’if (lemah) : Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hasan.
Hadits dha’if hukumnya ditolak.

16.       Maudhu’ (palsu) : Hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
padahal beliau tidak pernah mengatakannya, hukumnya ditolak.
17.       Mursal : Yaitu seorang tabi’in menyandarkan suatu ucapan atau perbuatan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukumnya tertolak karena ada rawi yang hilang antara tabi’in

8
tersebut dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mungkin yang hilang itu adalah rawi
yang lemah.

18.       Syadz : Hadits yang sanadnya shahih atau hasan namun isinya menyelisihi riwayat yang
lebih kuat dari hadits itu sendiri, hukumnya tertolak.

19.       Mungkar : Hadits yang sanadnya dha’if dan isinya menyelisihi riwayat yang shahih atau
hasan dari hadits itu sendiri, hukumnya juga tertolak.

20.       Munqathi’ : Hadits yang terputus sanadnya secara umum, artinya hilang salah satu
rawinya atau lebih dalam sanad, bukan di awalnya dan bukan di akhirnya dan tidak pula
hilangnya secara berurutan. Hukumnya tertolak.

21.       Atsar : Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada selain Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, yakni kepada para shahabat dan tabi’in.

22.       Marfu’ : Suatu ucapan atau perbuatan atau persetujuan yang disandarkan kepada


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

23.       Mauquf : Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada shahabat.

24.       Jayyid (bagus) : Suatu istilah lain untuk shahih.

25.       Majhul : (Rawi yang) tidak dikenal, artinya tidak ada yang menganggapnya cacat
sebagaimana tidak ada yang men-ta’dil-nya, dan yang meriwayatkan darinya cenderung
sedikit. Bila yang meriwayatkan darinya hanya satu orang maka disebut majhul al-’ain, dan
bila lebih dari satu maka disebut majhul al-hal. Hukum haditsnya termasuk hadits yang
lemah.

26.       Tsiqah : (Rawi yang) terpercaya, artinya terpercaya kejujurannya dan keadilannya serta


kuat hafalan dan penjagaannya terhadap hadits.

27.       Jarh : Cacat, dan majruh artinya dinilai cacat 

9
28.       Ta’dil : Dinilai adil.

29.       Muttafaqun ‘alaih : Maksudnya hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim


dalam kitab Shahih mereka.

30.       Mu’allaq/ta’liq : Hadits yang terputus sanadnya dari bawah, satu rawi atau lebih.

31.       Al jarhu wa ta’dil : Pernyataan adanya cela dan cacat, dan per-nyataan adanya “al-
Adalah” dan “hafalan yang bagus” pada seorang rawi hadits.

32.       At Ta’dil : Pernyataan adanya “al-Adalah” pada diri seorang rawi.

33.       Al Jarhu : Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau
bahkan meng-hilangkan) bobot predikat “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus”, dari
dirinya.

34.       Tsiqah : Kredibel, di mana pada diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah dan adh-
Dhabt (hafalan yang bagus).

35.       Rawi La Ba`sa Bihi : Rawi yang masuk dalam kategori tsiqah.

36.       Layyin : Lemah.

37.       Majhul : Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kecuali oleh seorang.

38.       Mubham : Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.

39.       Rawi Mastur : Sama dengan Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati dirinya).

40.       Perawi Matruk : Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan
kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah.
Atau perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi
yang terkenal tsiqah.

10
41.        Rawi Mudhtharib : Rawi yang menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di mana
riwayat yang disam-paikannya kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara yang satu
dengan lainnya, yang menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh
(terjaga).

42.       Rawi Mukhtalith : Rawi yang akalnya terganggu, yang menye-babkan hafalannya menjadi


campur aduk dan ucapannya menjadi tidak teratur.

43.       Saqith : Tidak berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di dalamnya).

44.       Tadh’if : Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersangkutan dha’if (lemah).

45.       Tahqiq : Penelitian ilmiah secara seksama tentang suatu hadits, sehingga mencapai


kebenaran yang paling tepat.

46.       Tahsin : Pernyataan bahwa hadits bersangkutan ada-lah hasan.

47.       Ta’liq : Komentar, atau penjelasan terhadap suatu potongan kalimat, derajat hadits dan
sebagainya yang biasanya berbentuk catatan kaki.

48.        Takhrij : Mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sum-bernya, berikut memberikan hukum


atasnya; shahih atau dhaif.

49.       Syahid : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu
hadits, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang berbeda.

50.       Syawahid : Hadits-hadits pendukung, jamak dari kata syahid. Haditsnya layak dalam


kapasitas syawahid, artinya, dapat diterima apabila ada hadits lain yang memperkuatnya,
atau sebagai yang me-nguatkan hadits lain yang sederajat dengannya.

51.       Mutaba’ah : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwayatkannya bersama para rawi
suatu hadits gharib, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari seorang sahabat yang
sama.

11
BAB III
PENUTUP
A.                KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu, bahwa hadits adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan
maupun persetujuannya.

Selain hal yang kami sebut di atas, ada hal lain yang harus dipahami dalam
mempelajari ilmu hadist, yaitu istilah-istilah yang ditetapkan para ulama dalam ilmu hadits,
seperti; matan, sanad, rawi dan lain sebagainya.

B.                 SARAN

Dari runtutan pembahasan mengenai dasar-dasar ilmu hadits ini kami


merekomendaikan beberapa saran yaitu:
1.      Kepada seluruh kaum muslimin untuk terus mendalami sumber hukum umat islam yaitu Al-
Qur`an dan As-Sunnah.
2.      Mempelajari ilmu hadits dapat dilakukan dengan mncari referensi-referensi yang terkait
ataupun bertalaqqie kepada seorang ahli ilmu (‘ulama atau Ustadz).

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, M.Ajaj. Hadits Nabi Sebelum Dibukukan. Jakarta: PT Gema Insani Pers. 1999

M.Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1989
Insansejati.com/ilmu-hadits/54-asbabul-wurud.html

Shalih Al-Utsaimin. Syeikh Muhammad, 2008. Musthalahul Hadits. Jogjakarta: Media Hidayah.

As-Shalih, Dr. Subhi. 2002. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka  Firdaus.

An-Nawawi, Imam. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ahmad, H. Muhammad. 1998. Ulumul hadits. Bandung: Pustaka Setia.

Ismail, M. S. 1994. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.

At-Thahhan, Mahmud. 1985. Taysir Mushthalah Al-Hadits. Jeddah: Mayyinul Had.

13

Anda mungkin juga menyukai