Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU HADITS

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hadits

Dosen : Dwi Leksono BD., S.Ag., M.E.Sy.

Disusun Oleh :

1 St. Aisyah Istiqamah 220102010


.

JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
YAYASAN PEMBANGUNAN (YASBA) KALIANDA
T.A. 2022 - 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Istilah-Istilah dalam Ilmu Hadits” ini
tepat pada waktunya yang mana makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Studi Hadits.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menerima bantuan dari berbagai pihak, maka
dari itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dwi Leksono BD., S.Ag., M.E.Sy.selaku dosen mata kuliah Peng. Ilmu Hadits
2. Ayah dan Ibu selaku orang tua yang telah memberikan dukungan moral dan materil
3. Serta semua pihak yang telah membantu hingga makalah ini terselesaikan

Sebagai manusia biasa, penulis tentunya menyadari bahwa dalam penyusunan


makalah ini masih ada banyak hal yang merupakan suatu kekurangan yang mungkin saat ini
belum dapat penulis sempurnakan, maka dari itu dengan penuh keikhlasan penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang mana bertujuan untuk menjadi suatu
pelengkap makalah ini di masa yang akan datang.

Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya, karena
dengan membaca saja itu merupakan suatu kepuasan tersendiri bagi penulis. Dan semoga
dengan adanya makalah ini para pembaca lebih terpacu untuk mengembangkan potensi diri
yang ada.

Kalianda, 07 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah......................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan..................................................................................................2
BAB II: PEMBAHASAN.........................................................................................................3
2.1 Pengertian Ilmu Hadits..........................................................................................3
2.2 Istilah-Istilah dalam Ilmu Hadits...........................................................................4
BAB III: PENUTUP...............................................................................................................15
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................15
3.2 Saran....................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hadits adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting dalam
pandangan Islam. Al-Qur’an dan hadits merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam.
Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi jantung umat Islam. Karena seluruh
bangunan doktrin dan sumber keilmuannya Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut.
Oleh karena itu wajar dan logis jika bila perhatian dan aspirasi terhadap keduanya
melebihi perhatian terhadap bidang yang lain. Hadits adalah sumber ajaran Islam yang
kedua, setelah Al-Qur’an. Adapun yang dimaksud dengan hadits ialah ucapan, perbuatan
dan taqrir Nabi Muhammad Saw. Taqrir (pengakuan) ialah diamnya Nabi Muhammad
Saw. terhadap tindakan para sahabat yang dapat diartikan sebagai tanda persetujuannya1.
Dalam mempelajari hadits Nabi Saw., kita tidak akan pernah terpisah dengan istilah-
istilah yang berhubungan dengan ulumul hadits. Adapun ilmu untuk mengetahui istilah-
istilah yang dipakai dalam ilmu hadits disebut dengan Musthalah Hadits. Ilmu
Musthalahul Hadits ini berguna untuk menilai, apakah sebuah hadits itu mutawatir,
masyhur, sahih dan lain sebagainya2. Dengan adanya ilmu ini, maka akan membantu serta
mempermudah kita mengetahui istilah-istilah dalam ilmu hadits. Dan dengan
pengetahuan yang telah kita dapat tentang istilah-istilah ini pun akan membantu kita
dalam memahami dan mempelajari ulumul hadits. Maka dari itu, disini penulis akan
membahas secara rinci mengenai istilah-istilah yang biasanya dipakai di dalam ilmu
hadits.

1.2 Rumusan Masalah

Dari beberapa uraian yang penulis kemukakan pada bagian latar belakang, maka
penulis dapat merumuskan permasalahannya sebagai berikut.
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan ilmu hadits?
1.2.2 Apa saja istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu hadits?
1
Muksin Matheer, 1001 Tanya Jawab dalam Islam, (Jakarta: Lembar Langit Indonesia, 2016), hlm. 125
2
Ibid, hlm. 126

1
1.3 Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka dapat diketahui tujuan penulisan


sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian ilmu hadits.
1.3.2 Untuk mengetahui istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu hadits.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut.
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Penyusunan makalah ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan
wawasan dan ilmu pengetahuan kepada pihak lain yang berkepentingan.
2. Sebagai acuan dan pertimbangan bagi penyusunan makalah selanjutnya
khususnya yang berkaitan dengan ilmu hadits.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi publik, diharapkan dapat menjadi bahan acuan serta penjelasan
mengenai ilmu hadits khususnya dalam hal istilah-istilah yang bersangkutan
dalam ilmu hadits.
2. Bagi penulis, diharapkan dapat menerapkan ilmu yang diperoleh penulis dan
meningkatkan kesadaran bahwa memahami secara mendalam mengenai ilmu
hadits itu adalah suatu hal yang penting

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Hadits

Hadits menurut bahasa artinya baru. Hadits juga secara bahasa berarti sesuatu yang
dibicarakan dan dinukil, juga sesuatu yang sedikit dan banyak 3. Adapun secara
etimologis, hadits memiliki makna sebagai berikut4:
2.1.1 Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya hidats, hudatsa, dan huduts),
2.1.2 Qarib: yang dekat, yang belum lama terjadi,
2.1.3 Khabar: warta, yakni: sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada seseorang yang lain.

Adapun menurut istilah ahli hadits, hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw., baik berupa ucapan, perbuatan, penepatan, sifat atau sirah beliau, baik
sebelum kenabian maupun sesudahnya. Sedangkan menurut ahli ushul fikih, hadits
adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah Saw.
setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang
dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini
tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian5.

Maka secara singkat, ilmu hadits adalah ilmu yang berkaitan dengan hadits yang
secara garis besar terbagi ke dalam dua bagian besar, yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu
hadits dirayah6. Adapun pengertian ilmu hadits riwayah menurut Ibn al-Akfani, adalah
ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi Saw. dan perbuatannya,
serta periwayatannya, pencatatannya dan penguraian lafaz-lafaznya7. Sedangkan
pengertian ilmu hadits dirayah menurut Ibn al-Akfani, adalah ilmu yang bertujuan untuk

3
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 22
4
Asep Herdi, Memahami Ilmu Hadis, (Bandung: Humaniora, 2014), hlm. 02
5
Syaikh Manna Al-Qaththan, Loc.Cit.
6
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 189
7
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1998), hlm. 04

3
mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya,
keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengannya8.

2.2 Istilah-Istilah dalam Ilmu Hadits

2.2.1 Istilah yang Mirip Secara Arti dengan Hadits


Hadits sering disinonimkan dengan beberapa istilah lainnya, diantaranya
seperti Sunnah, Khabar dan Atsar. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan
diuraikan tentang istilah-istilah tersebut.
1. Sunnah
Sunnah secara etimologis berarti jalan yang lurus dan
berkesinambungan, yang baik atau yang buruk. Sedangkan secara
terminologis, terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian sunnah
sebagai berikut.
a. Definisi Ulama Hadis
Menurut ulama hadits, sunnah adalah setiap apa yang ditinggalkan
(diterima) dari Rasul Saw. berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik
atau akhlak, atau perikehidupan, baik sebelum beliau diangkat menjadi
Rasul maupun sesudah kerasulan beliau.
b. Definisi Ulama Ushul Fiqh
Menurut ulama ushul fiqh, sunnah adalah seluruh yang datang dari
Rasul Saw. selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau
taqrir, yang dapat dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum
syara’.
2. Khabar
Khabar menurut bahasa berarti al-naba’, yaitu berita. Sedangkan
pengertiannya menurut istilah, terdapat tiga pendapat yaitu:
a. Khabar adalah sinonim dari hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Saw. dari perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat.
b. Khabar berbeda dengan hadits. Hadits adalah sesuatu yang datang dari
Nabi Saw., sedangkan khabar adalah berita dari selain Nabi Saw. atas
dasar pendapat ini, maka seoarang ahli hadits atau ahli sunnah disebut

8
Ibid, hlm. 09

4
dengan muhaddits, sedangkan mereka yang berkecimpung dalam kegiatan
sejarah dan sejenisnya disebut dengan akhbari.
c. Khabar lebih umum daripada hadits. Hadits adalah sesuatu yang datang
dari Nabi Saw., sedangkan khabar adalah sesuatu yang datang dari Nabi
Saw. atau dari selain Nabi Saw. (orang lain)
3. Atsar
Atsar secara etimologis berarti baqiyyat al-syay’, yaitu sisa atau
peninggalan sesuatu. Sedangkan pengertiannya secara terminologis, terdapat
dua pendapat, yaitu:
a. Atsar adalah sinonim dari hadits, yaitu segala sesuatu yang berasal dari
Nabi Saw.
b. Pendapat kedua menyatakan, atsar adalah berbeda dengan hadits. Yang
mana pengertian atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat
dan tabi’in, yang terdiri atas perkataan atau perbuatan.

2.2.2 Istilah Dasar dalam Ilmu Hadits


1. Sanad
Sanad menurut bahasa berarti sandaran tempat atau bersandar.
Sedangkan menurut istilah, sanad berarti jalan yang menyampaikan kepada
jalan hadits9. Selain itu, ada yang memaknai sanad sebagai jalan matan atau
rangkaian para rawi yang meriwayatkan matan dari sumber pertama10.
Adapun menurut Ahmad Umar Hasyim, sanad ialah jalur yang
menghubungkan kepada matan, yaitu para periwayat. Jalur ini disebut sanad
karena mereka menyandarkan hadits kepada sumbernya.
Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan
sanad sebagai jalur matan, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
jalur matan adalah silsilah para periwayat yang mentransformasikan matan
dari sumber utama. Jalur ini disebut sanad karena periwayatnya
menyandarkan padanya dalam menisbatkan matan ke sumber utamanya, atau
dikarenakan para penghafal hadits, menjadikan sanad sebagai acuan
(sandaran) dalam menilai kesahihan dan kedhaifan sebuah hadits11.
9
Asep Herdi, Op.Cit., hlm. 50
10
Sasa Sunarsa, Penelusuran Kualitas dan Kuantitas Sanad Qira’at Sab (Kajian Takhrij Sanad Qira’at Sab),
(Wonosobo: Mangku Bumi Media, 2020), hlm. 125
11
Ibid, hlm. 126
5
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
terminologi sanad adalah jalannya hadits, silsilah orang-orang yang
menyampaikan hadis (perawi) dari sumbernya yang pertama. Maksudnya,
mata rantai para periwayat yang menghubungkan matan mulai dari periwayat
awal hingga periwayat akhir. Dengan demikian, sanad mengandung dua
bagian penting, yaitu (a) nama-nama periwayat; (b) lambang-lambang
periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat
dalam meriwayatkan hadits, misalnya sami tu, akhbarani, ‘an dan anna12.
Contoh sanad dalam hadits, yang artinya:
Umar bin Khalid telah menceritakan hadits padaku (Imam Bukhari),
ia berkata: Al-Laits menceritakan hadits padaku (Umar bin Khalid), dari
Yazid, dari Abu Al-Khair, dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma,
bahwa seorang lelaki bertanya pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Manakah Islam yang paling baik?” Beliau menjawab: “Memberikan
makanan, dan membaca salam pada orang yang engkau kenal dan yang tidak
engkau kenal”. (HR. Bukhari)
Dari contoh di atas yang disebut sanad adalah Umar bin Khalid, Al-
Laits, Yazid, Abu Al-Khair, dan Abdullah bin ‘Amr. Artinya, Abdullah bin
‘Amr mendapatkan hadits dari Nabi Saw. Lalu hadits itu disampaikan kepada
Abu Al-Khair, lalu kepada Yazid, lalu kepada Al-Laits, lalu kepada Umar bin
Khalid, lalu kepada penulis hadits yakni Imam Al-Bukhari.

2. Matan
Matan menurut bahasa berarti punggung jalan (muka jalan), tanah
yang keras dan tinggi. Sedangkan matan menurut istilah ialah bunyi atau
kalimat yang terdapat dalam hadits yang menjadi isi riwayat. Apakah hadits
tersebut berbentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), dan taqrir (ketetapan dan
sebagainya) dari Rasulullah Saw13. Singkatnya, matan adalah isi atau
perkataan hadits yang disampaikan14. Contoh matan dalam hadits, yang
artinya:

12
Rahmat dan Umi Salamah, Studi Islam Kontemporer, (Malang: Pustaka Learning Center, 2020), hlm. 68
13
Mohamad S. Rahman, “Kajian Matan dan Sanad Hadits dalam Metode Historis”, Jurnal Al-Syir’ah, Vol. 8,
No. 2, Desember 2010, hlm. 427
14
Muksin Matheer, Op.Cit., hlm. 126

6
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abu ar Rabi’ berkata,
telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far berkata, telah
menceritakan kepada kami Nafi’ bin Malik bin Abu ‘Amir Abu Suhail dari
bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Tanda-tanda munafik ada tiga: Jika berbicara dusta, jika
berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat”. (HR. Bukhari)

3. Rawi
Rawi (perawi) yaitu orang yang membawa (meriwayatkan) hadits atau
membukukannya. Singkatnya, rawi adalah orang yang meriwayatkan atau
memberitakan15. Perawi pertama adalah para sahabat, kemudian para tabi’in
sampai kepada para penyusun hadits, seperti Bukhari, Muslim dan
sebagainya16.

Maka dapat disimpulkan bahwa sanad, matan dan rawi merupakan unsur-
unsur penting dalam sebuah hadits. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain.
Sanad adalah pengantar matan, kemudian matan adalah isi atau substansi hadits
yang diriwayatkan rawi, sedangkan rawi adalah periwayat hadits. Jika dilihat dari
posisinya, maka sanad berada di awal hadits, matan ada di tengah hadits,
sedangkan rawi ada di akhir hadits17.

2.2.3 Istilah yang Berhubungan dengan Generasi Periwayatan


Di dalam ulumul hadits terdapat istilah-istilah tertentu yang berhubungan
dengan generasi periwayat hadits. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah:
1. Sahabat
Kata sahabat, dari segi kebahasaan adalah musytaq (turunan) dari kata
shuhbah yang berarti orang yang menemani yang lain, tanpa ada batasan
waktu dan jumlah. Berarti dari pengertian inilah para ahli hadits
mengemukakan rumusan definisi sahabat adalah orang yang bertemu dengan
Nabi Saw. dalam keadaan Islam dan meninggal dalam keadaan Islam,
meskipun diantarai oleh keadaan murtad menurut pendapat yang shahih.

15
Suwarno, Tuntunan Tahsin Al-Qur’an, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), hlm. 16
16
Muksin Matheer, Loc.Cit.
17
Asep Herdi, Loc.Cit.

7
Dari kalangan sahabat ada yang diberi gelar (dikenal dengan sebutan)
Al-‘Abadillah, yaitu mereka yang bernama ‘Abd Allah. Yang dimaksudkan
dengan Al-‘Abadillah ini tidaklah mencakup semua sahabat yang bernama
‘Abd Allah, yang jumlahnya, menurut Ibn Shalah adalah sekitar 220 orang,
tetapi hanya tertuju kepada empat sahabat saja, yaitu ‘Abd Allah ibn ‘Abbas,
‘Abd Allah ibn ‘Umar, ‘Abd Allah ibn al-Zubair dan ‘Abd Allah ibn ‘Amr.
Pengkhususan empat orang sahabat di atas, menurut Al-Baihaqi adalah
karena keempat orang tersebut mempunyai peranan yang besar dalam
pemeliharaan dan penyebarluasan hadits-hadits Nabi Saw., baik di kalangan
para sahabat sendiri dan terutama di kalangan para tabi’in, sehingga sering
muncul dari peristilahan18.

2. Mukhadhramun
Mukhadhramun adalah bentuk jamak dari mukhadhram, yaitu orang
yang hidup pada masa jahiliah dan masa Nabi Saw. serta memeluk agama
Islam, namun dia tidak sempat bertemu dengan Nabi Saw. Jumlah
mukhadhramun menurut Imam Muslim adalah 20 orang, diantaranya adalah
Abu ‘Amr al-Syaibani, Suwaid ibn Ghaflah al-Kindi, ‘Amr ibn Maimun al-
Awadi. ‘Abd Khair ibn Yazid al-Khaiwani, Abu ‘Utsman al-Nahdi, ‘Abd al-
Rahman ibn Mullin, Abu al-Halal al-‘Atki Rabi’ah ibn Zurarah, dan lain-lain.
Akan tetapi, menurut Al-‘Iraqi jumlah mereka ada sekitar 42 orang, dan Ibn
Hajar bahkan mengatakan bahwa jumlah mereka lebih dari itu19.

3. Tabi’in
Tabi’in adalah jamak dari tabi’i atau tabi’, yang secara bahasa berarti
pengikut. Dalam istilah ilmu hadits, tabi’in berarti orang yang bertemu
dengan sahabat, satu orang atau lebih. Kebanyakan para ulama hadits
berpendapat bahwa tabi’in adalah setiap orang yang bertemu dengan sahabat
meskipun tidak sampai bergaul dengannya. Jumlah tabi’in tidak terhingga,
namun para ulama sepakat bahwa akhir dari masa tabi’in adalah tahun 150 H,
sedangkan akhir dari masa atba’ al-Tabi’in adalah tahun 220 H.

18
Nawir Yuslem, Op.Cit., hlm. 182
19
Ibid, hlm. 184

8
Di antara tokoh tabi’in terdapat para ulama yang dikenal dengan
sebutan al-Fuqaha’ al-Sab’ah (Fuqaha yang Tujuh), yaitu:
a. Sa’id ibn al-Musayyab (15-94 H)
b. Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar al-Shiddiq (37-107 H)
c. ‘Urwah ibn al-Zubair (w. 94 H)
d. Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit (29-99 H)
e. Sulaiman ibn Yasar (34-107 H)
f. ‘Ubaid Allah ibn ‘Abd Allah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud (w. 98 H)
g. Abu Salamah ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf (w. 94 H)

4. Al-Mutaqaddimun
Al-Mutaqaddimun adalah salah satu gelar yang diberikan kepada ulama
hadits berdasarkan usaha dan peranannya dalam pengembangan dan
pengkajian hadits serta teknik yang dipergunakannya dalam membina hadits.
Yang dimaksud dengan Al-Mutaqaddimun adalah ulama hadits yang hidup
pada abad kedua dan ketiga Hijriah, yang telah menghimpun hadits-hadits
Nabi Saw. di dalam kitab-kitab mereka yang mereka dapatkan melalui
perlawatan dan kunjungan langsung ke guru-guru mereka, serta mengadakan
pemeriksaan dan penelitian sendiri terhadap matan dan para perawi hadits
yang mereka terima.
Di antara ulama mutaqaddimun yang telah berhasil menghimpun
hadits-hadits Nabi Saw. di dalam kitab mereka masing-masing adalah:

Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H); Imam Bukhari (194-256 H); Imam
Muslim (204-261 H); Imam al-Nasa’i (215-303 H); Imam Abu Dawud (202-
276 H); Imam al-Tirmidzi (209-269 H) dan Imam ibn Majah (209-276 H).

5. Al-Muta’akhirun
Ulama muta’akhirun adalah ulama hadits yang hidup pada abad
keempat Hijriah dan seterusnya. Al-Dzahabi mengatakan bahwa tahun 300
Hijriah adalah tahun pemisah antara ulama mutaqaddimun dan ulama
muta’akhirun. Pada umumnya ulama muta’akhirun menyusun kitab-kitab
mereka dengan mengutip hadits-hadits yang telah dihimpun oleh ulama
mutaqaddimun, dan selanjutnya mereka meneliti sanad-sanadnya dan

9
menghafalnya. Ulama muta’akhkhirun yang secara langsung melakukan
perlawatan sendiri, diantaranya:
Imam al-Hakim (359-405 H); Imam al-Dar al-Quthni (w. 385 H); Imam ibn
Hibban (w. 354 H); dan Imam al-Thabrani (w. 360 H)20.
2.2.4 Istilah yang Berhubungan dengan Kegiatan Periwayatan
Dalam hal periwayatan hadits Nabi Saw., para sahabat Nabi tidaklah sama
kedudukannya, terutama dalam kaitannya dengan banyaknya atau jumlah hadits
yang mereka riwayatkan. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan
hadits, ada yang sedang jumlahnya dan ada pula yang sedikit. Adapun dalam hal
ini, terdapat istilah yang disebut al-Muktsirun fi al-Hadits yaitu para sahabat yang
banyak meriwayatkan hadits, yang mana jumlahnya lebih dari seribu hadits 21.
Mereka berjumlah tujuh orang, yaitu:
1. ‘Abd al-Rahman ibn Shakhr al-Dausi al-Yamani r.a. yang lebih dikenal
dengan Abu Hurairah (19 SH-59 H). Jumlah hadits yang yang
diriwayatkannya sebanyak 5.374 hadits.
2. ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn al-Khathab r.a. (10 SH-73 H). Jumlah hadits yang
diriwayatkannya sebanyak 2.630 hadits.
3. Anas ibn Malik r.a. (10 SH-93 H). Jumlah hadits yang diriwayatkannya
berjumlah 2.286 hadits.
4. ‘Aisyah binti Abu Bakar r.a. (9 SH-58 H). Hadits yang diriwayatkannya
berjumlah 2.210 hadits.
5. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib r.a. (3 SH-68 H). Hadits yang
diriwayatkannya berjumlah 1.660 hadits.
6. Jabir ibn ‘Abd Allah al-Anshari r.a. (6 SH-78 H). Hadits yang
diriwayatkannya berjumlah 1.540 hadits.
7. Sa’d ibn Malik ibn Sannan al-Anshari atau yang dikenal dengan Abu Sa’id al-
Khudri (12 SH-74 H). Hadits yang diriwayatkannya berjumlah 1.170 hadits.

2.2.5 Istilah yang Berhubungan dengan Kepakaran


Istilah-istilah yang berhubungan dengan kepakaran seseorang dalam bidang
hadits ini adalah sebagai berikut.
1. Thalib al-Hadits

20
Ibid, hlm. 187
21 Ibid, hlm.

10
Istilah ini dipergunakan kepada seseorang yang sedang mencari atau
mempelajari hadits. Thalib al-Hadits adalah tingkat kepakaran yang terendah
dalam bidang hadits, yaitu seseorang yang baru memulai karirnya dalam
bidang hadits.
2. Al-Musnid
Yang dimaksud dengan al-Musnid adalah orang yang meriwayatkan
hadits dengan menyebutkan sanad-nya, baik dia mengetahui dengan baik
tentang keadaan sanad tersebut maupun tidak.
3. Al-Muhaddits
Al-Muhaddits adalah gelar yang diberikan kepada orang yang telah
mahir dalam bidang hadits, baik dalam bidang riwayah, demikian juga dalam
bidang dirayah. Seorang muhaddits telah mampu membedakan antara hadits
yang dha’if dan hadits yang shahih. Muhaddits umumnya telah menghafal
sejumlah 1.000 hadits, baik matan, sanad maupun seluk-beluk perawinya.
Salah satu ulama yang mencapai gelar muhaddits ini yaitu ‘Atha’ ibn Abi
Rabah (w. 105 H) seorang mufti di kota Mekkah.
4. Al-Hafizh
Al-Hafizh adalah gelar ulama hadits yang kepakarannya berada di atas
al-Muhaddits. Seorang hafizh telah mampu menghafal 100.000 hadits lengkap
dengan matan dan sanad-nya, serta sifat-sifat perawinya, baik dari segi jarah
maupun ta’dil. Salah satu ulama yang bergelar al-Hafizh adalah al-Hafizh
Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaid Allah ibn ‘Abd Allah ibn
Syihab al-Zuhri (w. 136 H).
5. Al-Hujjah
Al-Hujjah adalah gelar kepakaran dalam bidang hadits yang lebih
tinggi dari al-Hafizh. Seorang hujjah dengan keluasan dan keteguhan
hafalannya telah menjadi rujukan dalam ber-hujjah bagi para hafizh. Pada
level ini, seseorang telah mampu menghafal sejumlah 300.000 hadits lengkap
dengan matan dan sanad-nya, serta mengetahui keadaan para perawinya dari
segi jarh dan ta’dil-nya. Salah satu ulama yang telah mencapai gelar
kepakaran ini adalah Hisyam ibn ‘Urwah ibn Zubair ibn ‘Awwam (w. 164
H)22.
6. Al-Hakim

22 Ibid, hlm.

11
Al-Hakim adalah gelar ulama hadits yang memiliki tingkat kepakaran
lebih tinggi daripada al-Hujjah. Pada tingkat ini, seorang ulama hadits benar-
benar telah menguasai hadits-hadits yang diriwayatkannya, baik dari segi
matan dan sanad-nya, sifat-sifat para perawinya dari jarh dan ta’dil-nya,
bahkan dia juga mengenal secara baik mengenai sejarah hidup setiap perawi,
termasuk sifat-sifatnya dan guru-gurunya. Selain itu, seorang yang telah
sampai ke tingkat ini, telah mampu menghafal dengan baik lebih dari 300.000
hadits Nabi Saw. beserta urutan sanad-nya dan seluk-beluk mengenai
perawinya dan sebagainya yang berkaitan dengan hadits-hadits tersebut. Salah
satu ulama yang bergelar al-Hakim adalah Sufyan al-Tsauri (w. 161 H).
7. Amir al-Mu’minin fi al-Hadits
Gelar ini adalah gelaran yang tertinggi dalam kepakaran seorang ulama
hadits. Pada tingkat ini, seseorang benar-benar telah diakui, bahkan namanya
telah termasyhur di kalangan para ulama mengenai kepakarannya dalam
bidang hadits, sehingga dia menjadi imam dan ikutan bagi umat di masanya.
Salah satu ulama yang mendapatkan gelar ini adalah Imam al-Bukhari (w. 256
H).

2.2.6 Istilah yang Berhubungan dengan Sumber Pengutipan


Di dalam ilmu hadits dikenal beberapa istilah yang berhubungan dengan
sumber pengutipan hadits. Diantaranya sebagai berikut.
1. Akhrajahu al-Sab’ah
Istilah ini umumnya mengiringi matan dari suatu hadits. Hal tersebut
berarti bahwa hadits yang disebutkan terdahulu diriwayatkan oleh tujuan
ulama atau perawi hadits, yaitu Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
At-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah.

2. Akhrajahu al-Sittah
Maksud istilah ini adalah bahwa matan hadits yang disebutkan
dengannya adalah diriwayatkan oleh enam orang perawi hadits, yaitu
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah23.

23 Ibid, hlm.

12
3. Akhrajahu al-Khamsah atau Akhrajahu al-Arba’ah wa Ahmad
Maksudnya adalah bahwa matan hadits yang disebutkan bersamanya
diriwayatkan oleh lima orang Imam hadits yaitu Ahmad, Abu Dawud, at-
Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah.
4. Akhrajahu al-Arba’ah atau Akhrajahu Ashab al-Sunan
Bahwa matan hadits yang disebutkan dengannya diriwayatkan oleh
empat orang Imam hadits, yaitu penyusun kitab-kitab Sunan, yang terdiri dari
Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah.
5. Akhrajahu al-Tsalatsah
Maksudnya adalah bahwa matan hadits yang disebukan besertanya
diriwayatkan oleh tiga orang Imam hadits yaitu Abu Dawud, at-Tirmidzi dan
al-Nasa’i.
6. Muttafaq ‘Alaihi
Maksudnya bahwa matan hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dengan ketentuan bahwa sanad terakhirnya, yaitu di tingkat
sahabat, bertemu.
7. Akhrajahu al-Jama’ah
Maksudnya, bahwa matan hadits tersebut diriwayatkan oleh jamaah
ahli hadits24.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hadits adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting dalam
pandangan Islam. Menurut istilah ahli hadits, hadits adalah apa yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Saw., baik berupa ucapan, perbuatan, penepatan, sifat atau sirah beliau,
baik sebelum kenabian maupun sesudahnya. Dalam mempelajari hadits Nabi Saw., kita
tidak akan pernah terpisah dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan ulumul hadits.
Adapun istilah-istilah tersebut diantaranya:
3.1.1 Istilah yang mirip dengan hadits, yaitu sunnah, khabar dan atsar.
3.1.2 Istilah dasar dalam ilmu hadits, yaitu sanad, matan dan rawi.
3.1.3 Istilah yang berhubungan dengan generasi periwayatan, yaitu sahabat,
mukhadhramun, tabi’in, al-mutaqaddimun, dan al-muta’akhirun.
3.1.4 Istilah yang berhubungan dengan kegiatan periwayatan, yaitu al-muktsirun fi al-
hadits.
3.1.5 Istilah yang berhubungan dengan kepakaran, yaitu thalib al-hadits,al-musnid, al-
muhaddits, al-hafizh, al-hujjah, al-hakim, dan amir al-mu’minin fi al-hadits.
3.1.6 Istilah yang berhubungan dengan sumber pengutipan, yaitu akhrajahu al-sab’ah,
akhrajahu al-sittah, akhrajahu al-khamsah, akhrajahu al-arba’ah, akhrajahu al-
tsalatsah, muttafaq ‘alaihi dan akhrajahu al-jama’ah.

3.2 Saran

Setelah mempelajari istilah-istilah di dalam ilmu hadits ini maka diharapkan para
pembaca mampu memahaminya dengan baik, mengetahui pengertian serta perbedaan dari
masing-masing istilah di atas. Dan kemudian, diharapkan mampu memahami mengenai
ilmu hadits secara mendalam. Dengan adanya ilmu ini, diharapkan juga kita menjadi
manusia yang selalu menjaga dan terus mempelajari dengan baik hadits-hadits yang telah
diriwayatkan oleh Nabi Muhammad Saw. serta mengaplikasikan ilmu yang ada di dalam
hadits tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Syaikh Manna. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Herdi, Asep. 2014. Memahami Ilmu Hadis. Bandung: Humaniora

Matheer, Muksin. 2016. 1001 Tanya Jawab dalam Islam. Jakarta: Lembar Langit Indonesia

Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana

Rahman, Mohamad S. 2010. “Kajian Matan dan Sanad Hadits dalam Metode Historis”.
Jurnal Al-Syir’ah. Vol. 8. No. 2. hlm. 427

Rahmat, dan Umi Salamah. 2020. Studi Islam Kontemporer. Malang: Pustaka Learning
Center

Sunarsa, Sasa. 2020. Penelusuran Kualitas dan Kuantitas Sanad Qira’at Sab (Kajian Takhrij
Sanad Qira’at Sab). Wonosobo: Mangku Bumi Media

Suwarno. 2016. Tuntunan Tahsin Al-Qur’an. Yogyakarta: Deepublish

Yuslem, Nawir. 1998. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya

16

Anda mungkin juga menyukai