Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hadits Tarbawi III
Dosen : Hj. Neni Nurlaela, Lc, M.Ag.
Disusun Oleh :
1. Nurlela Sulistiawati
2. Tesa Meisa Putri
(Semester 4)
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. HADITS RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM TENTANG
TUJUAN PENDIDIKAN
1. Teks Hadits Riwayat Al-Bukhari Dan Muslim
2. Takhrij Hadits Riwayat Al-Bukhari Dan Muslim
3. Syarah Hadits Riwayat Al-Bukhari Dan Muslim
B. HADITS RIWAYAT TIRMIDZI TENTANG TUJUAN
PENDIDIKAN
1. Teks Hadits Riwayat Tirmidzi
2. Takhrij Hadits Riwayat Tirmidzi
3. Syarah Hadits Riwayat Tirmidzi
C. PENERAPAN HADITS TENTANG TUJUAN
PENDIDIKAN PADA MASA SEKARANG
ع ْن ِإ ْس َم ِع ْي َلَ ي َحدَّثَنَا َي ِز ْيدُ ب ُْن ُز َريْعٍ َحدَّثَنَا ُر ْو ٌح َو ُه َو اب ُْن ْالقَا ِس ِم ُّ ام ْالعَ ْي ِش
َ طَ َحدَّثَنَا أ ُ َميَّةُ ب ُْن ِب ْس
صلَّى َ َِّللا ُ َّاس أ َ َّن َر
َّ س ْو َل ٍ عب َ ع ْن اب ِْن َ ع ْن أ َ ِب ْي َم ْع َب ٍد
َ ٍ ص ْي ِفي َّ ع ْب ِد
َ َّللاِ ب ِْن َ ع ْن َيحْ َيى ب ِْن َ َب ِْن أ ُ َميَّة
ب َف ْل َي ُك ْن أ َ َّو َل َما
ٍ ع َلى َق ْو ٍم أ َ ْه ِل ِكت َا َ ث ُم َعاذًا ِإ َلى ْال َي َم ِن َقا َل ِإنَّكَ ت َ ْقدَ ُم َ سلَّ َم َل َّما َب َع
َ ع َل ْي ِه َو َّ
َ َُّللا
ٍ ص َل َوا
ت َ س َ علَ ْي ِه ْم َخ ْمَ ض َ َّللاَ فَ َر َّ َّللاَ فَأ َ ْخ ِب ْر ُه ْم أ َ َّن
َّ ع َرفُ ْوا
َ ع َّز َو َج َّل فَإِذَا َّ ُ ع ْو ُه ْم ِإلَ ْي ِه ِع َبادَة
َ َِّللا ُ ت َ ْد
ُّعلَ ْي ِه ْم زَ َكاة ً تُؤْ َخذُ ِم ْن أ َ ْغ ِن َيا ِئ ِه ْم فَت ُ َرد َّ ِف ْي َي ْو ِم ِه ْم َولَ ْيلَ ِت ِه ْم فَإِذَا فَ َعلُ ْوا فَأ َ ْخ ِب ْر ُه ْم أ َ َّن
َ َّللاَ قَ ْد فَ َر
َ ض
ع ْوا ِب َها فَ ُخ ْذ ِم ْن ُه ْم َوت ََو َّق َك َرائِ َم أ َ ْم َوا ِل ِه ْم َ َ علَى فُقَ َرا ِئ ِه ْم فَإَذَا أ
ُ طا َ
Terjemah:
"Umayyah bin Bistham menceritakan kepada kami (dengan berkata) Yazid bin
Zurai' menceritakan kepada kami (yang berkata) Rauh bin al-Qasim
menceritakan kepada kami (yang berasal) Isma’il bin 'Umayyah (yang diterima)
dari Yahya bin 'Abd Alldh bin Shaifi (yang bersumber) dan· Abi Ma 'bad (yang
diperoleh) dari Ibn 'Abbas ra bahwasanya Rasulullah saw ketika mengutus
Mu'adz ra ke Yaman berpesan: ''Sesungguhnya kamu (ketika) menghadapi
komunitas Ahli Kitab, pertama yang anda lakukan adalah mengajak mereka
menyembah Allah azza wa jalla; Kemudian setelah mereka mengenal Allah,
maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka
shalat 5 waktu dalam sehari-semalam; Ketika mereka sudah melaksanakannya,
beritahukan mereka bahwa Allah mewajibkan zakat bagi orang yang kaya di
antara mereka lalu diberikan kepada mereka yang fakir. Apabila mereka sudah
mematuhinya, maka ambillah {harta) dari mereka dan hati-hatilah terhadap
harta mereka yang berharga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
(Katsir, 1987: 529)
2. Takhrij Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim
dikenal dengan Hadits Muttafaq alaih. Hadits yang demikian diyakini oleh umat
sebagai hadis yang memiliki tingkat kualitas yang tertinggi. Seluruh ulama telah
mencapai konsensus bahwa dua kitab Hadits Shahih (al-Shahihan) adalah
ashahh al-kutub ba’da al-Qur’an (kitab yang paling shahih sesudah al-Qur’an).
Oleh karena itu, dari segi kehujjahan Hadits tersebut tidak perlu diragukan.
Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari segi sanad dan matan memiliki
susunan redaksi dan periwayat yang sama dengan Hadits yang diriwayatkan
Muslim.
3. Syarah Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim
Hadits tersebut menginformasikan pesan Nabi Saw kepada Mu’adz bin
Jabal bahwa hal yang pertama kali dilakukan oleh Mu’adz dalam misi
delegasinya ke Yaman adalah mengajak manusia (ahl al-kitab) untuk beribadah
kepada Allah. Mengajak berarti mengandung dimensi pendidikan, karena proses
mengajak dalam level praktis memerlukan sebuah strategi dan metode mendidik.
Oleh karena itu, menjadikan manusia menyembah kepada Allah merupakan
tujuan dari pendidikan yang dipesankan oleh Nabi saw kepada Mu' adz. Tujuan
pendidikan ini sangat relevan dengan tujuan pendidikan dalam al-Qur'an, yakni
pengabdian kepada Allah yang paralel dengan tujuan penciptaan manusia. Hal
senada juga disampaikan oleh beberapa ahli pendidikan seperti Hasan
Langgulung, (Langgulung, 1995: 5) al-Nahlawi, Ahmad Tafsir (Tafsir, 1992:
34) dan T.S. Eliot yang menyatakan tujuan akhir pendidikan Islam pun tidak
lepas dari tujuan hidup orang Islam, karena pendidikan Islam merupakan sarana
untuk mencapainya.
Islam menempatkan kedudukan manusia sebagai hamba Allah [Q.S.
Luqman (31): 56], sebagai ciptaan terbaik dan termulia [Q.S. al-Tin (95):14],
sebagai khalifah [Q.S. al-Baqarah (2): 30] dan [Yunus (10): 172] yang sudah
membawa fitrah sejak kelahirannya. Selain itu, Islam merupakan agama
rahmatan li al-’alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta), yang menurut Harun
Nasution, mengandung ajaran-ajaran konkrit yang dapat disesuaikan dengan
situasi dan zaman. (Nasution, 1975: 20)
Kitab suci al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai pemberi petunjuk
kepada jalan lebih lurus sebagaimana firman Allah :
َ ِإ َّن َٰ َهذَا ْالقُ ْرآنَ َي ْهدِي ِللَّتِي ه
ِي أ َ ْق َو ُم
Artinya, “Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih lurus…” (Q.S. Al-Isra' (17): 9)
Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Oleh karena
itu, dalam Islam ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk
tersebut. Nabi Muhammad saw, yang dalam hal ini berperan sebagai penerima
al-Qur’an, bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut,
menyucikan dan mengajarkan kepada manusia sebagaimana firman Allah:
َ َ وا َعلَ ْي ِه ْم َءا َٰيَتِِۦه َويُزَ ِكي ِه ْم َويُعَ ِل ُم ُه ُم ْٱل ِك َٰت
َب َو ْٱل ِح ْك َمة ۟ ُوًل ِم ْن ُه ْم َيتْل
ً سُ ث فِى ْٱْل ُ ِميِۦنَ َر
َ َه َُو ٱلَّذِى بَع
Artinya, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huru/ seorang Rasul
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan al-Kitab dan hikmah kepada mereka.” (Q.S. al-
Jumu'ah (62):2)
Menurut M. Quraish Shihab, kata "menyucikan" dapat diidentikkan
dengan mendidik, sedangkan "mengajar" tidak lain kecuali mengisi otak anak
didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian dan pengajaran
tersebut adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan
manusia. (Shihab, 1992: 172)
Tujuan penciptaan manusia telah ditegaskan oleh al-Qur'an :
ِ س إِ ًَّل ِليَ ْعبُد
ُون ِ ْ َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو
َ اْل ْن
Artinya, “Aku tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah
kepada-Ku.” (Q.S. al-Zariyat (51):56)
Menurut Mushthafa al-Kik, sebagaimana yang dinukil oleh Abdul Fatah
Jalal, maksud ayat tersebut ialah ''Aku tidak menciptakan manusia dan jin
kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktifitasnya sebagai
pengabdian kepada-Ku". (Ali, Tujuan Pendidikan dalam Perspektif Hadis)
Lebih rinci lagi Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa: “Pengabdian
kepada Allah (ibadah) ialah jalan hidup yang mencakup seluruh segi kehidupan
serta segala apa yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan
bahkan bagian apapun dari perilakunya dalam mengabdikan diri kepada Allah.
Dalam kerangka pandangan yang menyeluruh tentang ibadah ini, maka tujuan
pendidikan dalam Islam adalah mempersiapkan manusia yang mengabdi yaitu
yang memiliki sifat-sifat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.”
Segala aktifitas rnenurut M. Quraish Shihab (Shihab, 1992: 172)
tersimpul dalam kandungan ayat Q.S. al-Baqarah (2): 30 dan Q.S. Hud (11): 61,
yaitu:
ًض َخ ِليفَة ْ إِنِي َجا ِع ٌل فِي
ِ اْلر
Artinya, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.” (Q.S. al-Baqarah (2): 30)
ِ شأ َ ُكم ِمنَ ْٱْل َ ْر
ض َوٱ ْست َ ْع َم َر ُك ْم فِي َها َ ه َُو أَن
Artinya, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmumya.” (Q.S. Hud (11): 61)
Ayat tersebut memiliki arti bahwa manusia yang dijadikan khalifah itu
bertugas memakmurkan, menata atau membangun bumi ini sesuai dengan
konsep yang ditetapkan oleh pemberi tugas (Allah).
Bertolak dari pemikiran tersebut dapat diketahui bahwa tujuan akhir
pendidikan dalam konsep al-Qur’an adalah membentuk dan membina manusia
secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menunaikan fungsinya sebagai
hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan
konsep yang ditetapkan Allah.
Nilai hamba Allah (ibadah kepada-Nya) ini berarti bahwa manusia tetap
dalam nilai yang mutlak yakni Allah. Dalam al-Qur’an terdapat kumpulan nilai
yang saling melengkapi antara satu ayat dengan ayat lain. Oleh karenanya, di
antara ayat-ayat tersebut terdapat nilai yang berhubungan dengan nilai individu
dan nilai yang berhubungan dengan masyarakat.
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa kekhalifahan memiliki empat
unsur yang saling terkait: pihak yang mengangkat khalifah (pemberi tugas:
Allah), khalifah itu sendiri (penerima tugas: manusia), tempat atau lingkungan
atau medan untuk beraktifitas, dan materi-materi penugasan yang harus
dilaksanakan.
Hubungan manusia (penerima tugas) dengan Allah (pemberi tugas)
adalah hubungan pemberi amanah dengan penerima amanat. Tidak ada Tuhan
dan Penguasa alam dan kehidupan selain Allah. Manusia tidak diperbolehkan
memainkan peran dalam kehidupan selain sebagai khalifah dan pengabdi, karena
Allah telah menunjuknya sebagai wakil di bumi dan telah memberikan
kepadanya kedudukan sebagai pemimpin.
Hubungan manusia dengan alam bukanlah hubungan antara seorang
pemilik dengan barang yang dimilikinya. Hubungan antara keduanya adalah
hubungan antara seorang yang menerima kepercayaan dengan barang yang
dipercayakan. Sedangkan hubungan antarmanusia adalah hubungan antar
sesama teman yang menjalankan kewajiban yang sama sebagai khalifah dan abdi
Allah, bukan hubungan antara seorang majikan dengan budak atau pelayannya,
karena hubungan antara majikan dan budak didasari oleh kedudukan sosialnya.
Tugas kekhalifahan dan pengabdian tidak akan dinilai berhasil apabila
materi penugasan tidak dilaksanakan atau kaitan antarpenerima tugas tidak
diperhatikan atau hubungan antara penerima tugas dengan lingkungannya tidak
diperhatikan. Oleh karena itu, agar manusia berhasil menjalankan fungsinya,
manusia harus dibina dan dididik berbagai ilmu pengetahuan, etika,
keterampilan dan lain-lain. Manusia yang dibina tersebut juga memiliki sumber
daya fitrah yang bersifat interaktif terhadap alam lingkungannya. Pembinaan
akalnya menghasilkan ilmu pengetahuan; pembinaan jiwanya menghasilkan
kesucian, keikhlasan dan etika; sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan
profesionalitas dan keterampilan. Pembelajaran dan pembinaan manusia dengan
berbagai jenis dan kualitas ilmu pengetahuan agar dapat menjalankan fungsinya
itu banyak diisyaratkan oleh ayat-ayat al-Qur’an, antara lain: sewaktu Adam
diutus menjadi khalifah di bumi, ia diajari berbagai ilmu pengetahuan [Q.S. al-
Baqarah (2): 31], yaitu ... َو َعلَّ َم آدَ َم اْل ْس َما َء ُكلَّ َها
Al- Maraghi menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah
mengajari Adam berbagai jenis yang la ciptakan, mengilhaminya untuk
mengetahui zat-zatnya, karakteristiknya, sifat-sifatnya dan nama-namanya.
Wahyu pertama tentang Iqra' atau perintah membaca adalah kata pertama
dari wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad yang diabadikan pada Q.S. al-
'Alaq ayat 1-5. Kata ini sangat penting artinya sehingga diulang dua kali dalam
rangkaian wahyu pertama. Dalam konteks ini M. Quraish Shihab menyimpulkan
bahwa karena kata qara'a digunakan dalam arti membaca, menelaah,
menyampaikan dan senadanya. Karena obyeknya tidak disebutkan sehingga
bersifat umum, maka obyek kata tersebut mencakup segala yang dapat
terjangkau baik bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang bukan,
baik menyangkut ayat-ayat tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga
mencakup telaahan terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, ayat-ayat
al-Qur’an, majalah, koran, dan sebagainya.
Sementara itu, tujuan pendidikan yang terpantul dalam Hadits
mempertegas dan mendukung tujuan pendidikan dalam al-Qur'an. Kalimat
dalam Hadits yang menyatakan awwal ma tad'uhum ilaih ibadatu Allah (ajakan
pertama yang anda lakukan kepada mereka adalah menyembah Allah)
merupakan tujuan dari misi yang diperintahkan oleh Nabi saw kepada Mu'adz.
Ibadah (menyembah Allah sebagaimana yang disebut Hadits) sebagai tujuan
yang akan dicapai, tidak dapat digapai secara optimal kalau tidak diketahui
strategi untuk mencapai tujuan, yaitu menyadarkan dan mendidik seseorang
menjadi hamba Allah. Oleh karena itu, tujuan pendidikan akan tercapai dalam
konteks Hadits ini melalui pertama, proses penyadaran terhadap orang untuk
mengakui dirinya sebagai hamba Allah yang memiliki kewajiban beribadah
kepada-Nya dalam bentuk praksis. Kedua, pendidikan dilakukan dengan
memberikan pengajaran atau pembelajaran materi secara gradual atau bertahap.
Ketiga adalah pendidikan dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan yang
merata, yang dalam Hadits dikatakan bahwa Allah mewajibkan zakat bagi orang
yang kaya di antara mereka lalu diberikan kepada mereka yang fakir. Tujuan
yang demikian sangat relevan dengan tujuan pendidikan Islam lainnya yaitu
memperoleh kebaikan dan kesejahteraan di dunia dan akherat [Q.S. AL-Baqarah
(2): 201]. Pendidikan Islam juga bertujuan mengusahakan terbentuknya manusia
beribadah dan mencari rida Allah [Q.S. Adz-Dzariyat (51): 56] dan [Q.S Fatir
(35): 28]. Yang demikian itu berhubungan erat dengan tugas manusia sebagai
khalifah Allah di muka bumi dan pemakmurannya.
Tujuan umum atau tujuan akhir pendidikan dalam al-Qur'an dan al-
Hadits merupakan tujuan yang ideal dan masih bersifat sangat umum. Oleh
karena itu, perlu dijabarkan lebih lanjut ke dalam berbagai tujuan khusus yang
lebih operasional. Tujuan-tujuan khusus ini bermuara untuk menjiwai tujuan
akhir. Sayyid Quthb memberi keterangan tentang rambu-rambu tujuan
pendidikan khusus sebagai berikut:
a. Tujuan khusus merupakan pantulan dari filsafat al-Qur'an tentang
masyarakat, pantulan bagi tujuan-tujuan kemasyarakatan dan dari tujuan
umum/ akhir pendidikan.
b. Tujuan khusus memelihara wadah lingkungan masyarakat dan
perekonomian, dengan melihat tidak merusak bingkai hal-hal yang umum.
c. Tujuan itu sejalan dengan jiwa masa dan tujuan itu tidak akan membodohkan
manusia pada masa tertentu.
d. Tujuan memelihara tahap-tahap pertumbuhan manusia, kebutuhannya dan
potensi-potensinya pada setiap tahap, dan bakat khusus setiap manusia.
e. Tujuan memelihara perkembangan lapangan pendidikan dalam arti membuka
perkembangan pemikiran manusia.
Sebagai penjabaran dari tujuan akhir, lahirlah berbagai tujuan khusus
yang di kalangan para ahli memiliki pandangan yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut bukan merupakan perbedaan
prinsip karena pandangan yang dikemukakan hanya berbeda dalam rinciannya.
Yang terpenting adalah tujuan-tujuan yang dikemukakan merupakan pantulan
dan jiwa dari tujuan pendidikan akhir. Menurut al-Syaibani, paling tidak tujuan
pendidikan itu memperoleh tiga aspek perubahan yaitu tujuan-tujuan individual,
sosial, dan tujuan profesional. (al-Syaibani, 1979: 283)
Imam al-Ghazali sebagaimana dinukil oleh Fathiyah Hasan Sulaiman
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan itu terbagi menjadi dua arah:
kesempurnaan kemanusiaan yang tujuan hidupnya mendekatkan diri kepada
Allah, dan kesempurnaan kemanusiaan yang obyeknya kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Adapun Al-Jamali berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah:
a. Agar seseorang mengenal statusnya di antara makhluk dan tanggung jawab
masing-masing individu di dalam hidup mereka di dunia. ·
b. Agar seseorang mengenal interaksinya dalam masyarakat dan tanggung
jawab mereka di tengah-tengah sistem kemasyarakatan.
c. Supaya manusia kenal dengan alam semesta dan membimbingnya untuk
mencapai hikmah Allah dalam menciptakan alam semesta dan
memungkinkan manusia untuk menggunakannya.
d. Supaya manusia kenal akan Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya
untuk beribadah kepada-Nya.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi merinci tujuan pendidikan itu sebagai
berikut:
a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia.
b. Sebagai persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
c. Sebagai persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi
kemanfaatan. Pendidik-pendidik muslim memandang bahwa kesempurnaan
manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara agama dan
ilmu pengetahuan, atau menaruh perhatian pada segi-segi spiritual, akhlak
dan segi-segi kemanfaatan.
d. Menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui
dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar untuk tujuan ilmu.
e. Menyiapkan peserta didik dari segi profesional, teknis, dan perusahaan
supaya ia dapat menguasai profesi, teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia
dapat mencari rezeki dalam hidup dan hidup dengan mulia selain memelihara
segi kerohanian dan keagamaan.
Mengingat pembinaan manusia yang mampu menjelaskan fungsinya
sebagai khalifah dan pengabdi kepada Allah dalam rangka memakmurkan dunia
sesuai dengan tujuan penciptaanya adalah sangat kompleks, maka implikasi
dalam tujuan pendidikan menuntut lahirnya tujuan-tujuan khusus. Tujuan
khusus ini mengharuskan para pendidik memperhatikan semua aspek manusia
yang membawa fitrah, secara seimbang dan berkesinambungan.
Aspek-aspek tersebut antara lain adalah aspek jasmani, pendidikan dan
pembinaan aspek akal, serta pendidikan dan pembinaan aspek jiwa.
a. Aspek Jasmani
Tujuan pendidikan tidak akan tercapai jika kondisi kesehatan jasmani
peserta didik tidak sehat. Bahkan semua aspek ibadah ritual dalam Islam pun
memerlukan aspek kesehatan jasmani ini. Pendidikan aspek jasmani ini
bertujuan agar peserta didik menjadi terampil, sehat dan enerjik sehingga
dapat merealisasikan tujuan-tujuan kehidupan yang sesuai dengan konsep
Islam. Pepatah Arab menyatakan al-'aql al-salim fi al-jism al-salim (akal
yang sehal terdapat pada jasmani yang sehat). Muara dari semua tujuan
pendidikan termasuk pendidikan aspek jasmani ini mengalir kepada tujuan
akhir pendidikan Islam yakni bersyukur kepada Allah dan menyembah-Nya
atau mencintai dan mematuhi-Nya (syukr Allah wa 'ibadatuh ay mahabbatuh
wa tha'atuh). Bahkan dalam konteks menjaga kesehatan tubuh, Nabi pemah
memberi contoh mengadakan kompetisi pacuan kuda dan memberi hadiah
bagi pemenangnya sebagaimana Nabi juga menganjurkan pertandingan gulat,
permainan pedang, lomba jalan kaki dan sebagainya. (al-Qaradhawi, 2001:
221-222)
b. Pendidikan dan pembinaan aspek akal
Setiap perintah atau larangan dalam al-Qur'an, biasanya berisi anjuran
untuk menggunakan akalnya dalam memahaminya, bukan menggunakan
emosi dan nafsu. [Lihat Q.S. al-Rum (30): 24, al-Ghasyiyah (88): 17, al-
Thariq (86): 5] Obyek berpikir manusia adalah seluruh ciptaan Tuhan. Al-
Razi menyatakan bahwa manusia pada dasarnya mempunyai daya berpikir
yang sama besar, dan perbedaan kemampuan berpikir antara manusia satu
dengan lainnya timbul karena perbedaan pendidikan dan suasana
perkembangannya. (Nasution, 1975: 24) Produk pendidikan dan pembinaan
akal ini akan menghasilkan ilmu pengetahuan, membetulkan fungsi akal
sesuai dengan konsep yang menciptakannya, dan ahli dalam pemakaian
perbendaharaan ilmu pengetahuan. Kemampuan akal dan pemikiran akan
berkembang dan mencapai kematangan melalui pengkajian terhadap alam
semesta dan unsur-unsur yang tersebar di jagat raya ini.
c. Pendidikan dan pembinaan aspek jiwa
Jiwa yang ada dalam diri manusia merupakan kekuatan batin dan juga
faktor internal yang menggerakkan man usia dalam perbuatan luhur. Produk
pembinaan aspek ini menghasilkan kesucian, kejujuran, keindahan dan etika.
Demikianlah antara lain aspek-aspek manusia yang harus dibina
dalam pendidikan, sehingga pada akhirnya terciptalah manusia atau makhluk
dwi-dimensi dalam satu keseimbangan dan keterpaduan: dunia dan akhirat,
ilmu dan iman, ilmu-amaliah, amal-ilmiah.
B. HADITS RIWAYAT TIRMIDZI TENTANG TUJUAN
PENDIDIKAN
1. Teks Hadits Riwayat Tirmidzi
ُصلَّى هللا
َ ِسو ِل هللا ُ ي هللاُ َع ْن ُه َما َع ْن َرَ ض ِ الرحْ َم ِن ُمعَا ِذ ب ِْن َجبَ ٍل َر َّ بن ُجنَادَة َ َوأَبِي َع ْب ِد ِ ب ِ ُ َع ْن أَبِ ْي ذَ ٍر ُج ْند
ُس ٍن) َر َواه
َ ق َح ٍ ُاس بِ ُخل
َ َّق الن ِ َوخَا ِل،سنَةَ ت َ ْم ُح َها َّ َوأَتْبِعِ ال، َق هللاَ َح ْيث ُ َما ُك ْنت
َ سيِئَةَ ال َح ِ َّ (ات:َسلَّ َم قَال
َ َعلَ ْي ِه َو
َ س ٌن
ص ِح ْي ٌح َ َح:ِسخ َ ُّض الن ِ َوفِي بَ ْع.س ٌن َ ْث َحٌ َح ِدي:َالتِ ْر ِمذِي َوقَال.
Terjemah:
Dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdirrahman Mu’adz bin
Jabal radhiyallahu‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada;
iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan
menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang
baik.” (HR. Tirmidzi) (An-Nawawi, 2003, 28)
2. Takhrij Hadits Riwayat Tirmidzi
Hadits ini diriwayatkan melalui dua jalur sanad :
Pertama : Jalur Sanad Abu Dzar Al-Ghiffari sebagai berikut :
a. Hadits diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab Al-Birr was
Shillahan Rasulillah SAW, Bab Ma Ja’a fi Mu’asyaratinnas, Hadits no 1910
dengan sanad dari Habib bin Abi Tsabit dari Maimun bin Abi Syabib, dari
Abu Dzar ra.
b. Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya;
Musnad Al-Nashar, Hadits Abi Dzar al-Ghiffari, Hadits no 20392, dan no
20435, 20556 dengan sanad dari Habib bin Abi Tsabit dari Maimun bin Abi
Syabib, dari Abu Dzar ra.
Kedua : Jalur Sanad Mu’adz bin Jabal
a. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, Musnad Al-
Anshar, Hadits Mu’adz bin Jabal, Hadits no 21047 dengan sanad dari Habib
bin Abi Tsabit, dari Maimun bin Abi Syabib dari Mu’adz bin Jabal ra.
b. Diriwayatkan juga oleh Imam At-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir, Hadits
no 16717 dan 16718 dengan sanad dari Habib bin Abi Tsabit, dari Maimun
bin Abi Syabib dari Mu’adz bin Jabal ra. (Maulan, 2013)
3. Syarah Hadits Riwayat Tirmidzi
a. Asbab al-Wurud Hadits
Dalam al-Shahihain disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas telah
meriwayatkan: ketika Abu Dzar menyatakan keislaman di Mekah, Rasulullah
SAW bersabda kepadanya: “kebenaran bagi kaummu dengan harapan
semoga Allah SWT memberi manfaat kepada mereka.” Ketika beliau melihat
betapa Abu Dzar berkeinginan untuk tinggal bersamanya di Mekah, maka
Rasulullah Saw memberitahukan ketidakmungkinannya, namun beliau
berpesan kepada Abu Dzar “Bertaqwalah kamu kepada Allah dimanapun
kamu berada...” (Damsyiqi, 2011: 25)
b. Tujuan Pendidikan Islam
Tema pendidikan ini secara implisit dapat dipahami dari wahyu yang
pertama diturunkan kepada Nabi sebagai spirit terhadap tugas pendidikan
yang pertama dan utama yang dilakukan Nabi Muhammad SAW:
) الَّذِي٣( ) اِ ْق َرأْ َو َربُّكَ ْاْل َ ْك َر ُم٢( ق
ٍ َعل ِ ْ َ) َخلَق١( َاِ ْق َرأْ بِاس ِْم َربِكَ الَّذِي َخلَق
َ اْل ْن
َ سانَ ِم ْن
)٥( سانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم
َ اْل ْن َ )٤( علَّ َم بِ ْالقَلَ ِم
ِ ْ علَّ َم َ
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, yang menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah demi Tuhanmu yang paling pemurah.
Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Yang mengajar manusia apa-apa
yang tidak diketahui.”(Al-‘Alaq: 1-5).
Bertolak dari spirit diatas, Nabi Muhammad SAW mulai
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik yang dimulai dari lingkungan
keluarga terdekat, kemudian melebar kewilayah sosial yang lebih luas lagi.
Mahmud Yunus, dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam” menuliskan
bahwa pendidikan Islam pada fase ini meleputi empat hal :
1) Pendidikan keagamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah
semata-mata.
2) Pendidikan akliyah dan Ilmiah, yaitu mempelajari kejadian manusia dari
segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan
demikian itu kepada orang-orang yang mau menyelediki dan
membahasnya. Sedangkan dahulu mereka tidak mengetahuinya. Untuk
mempelajari hal-hal itu haruslah dengan banyak membaca dan
menyelidiki serta memakai pena untuk mencatatnya.
3) Pendidikan Akhlak dan budi pekerti, Nabi Muhammad SAW mengajar
sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid.
4) Pendidikan jasmani (Kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan pakaian,
badan dan tempat kediaman.
Manusia merupakan khalifah yang dimuliakan di muka bumi.
Sesungguhnya Allah SWT. memberikan kepada manusia nikmat yang
banyak. Dan mengutus para rasul untuk menjelaskan kepada manusia hanya
beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukannya. Yakni melakukan
amal shaleh dan menjauhi segala kemungkaran dalam segala usaha yang
dilakukan untuk mencapai kebahagiaan. (Mistu, 2012: 139) Tiada sesuatu
perbuatan yang bisa dilakukan dengan benar kecuali dengan ilmu yang
dimiliki.
Dari penjelasan diatas maka sejalan dengan Tujuan pendidikan dalam
pandangan Al-Ghazali, menurut Abidin Ibnu Rusn ada dua tujuan, yaitu
tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan pendidikan jangka
panjang adalah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya
harus mengerahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan
diri kepada tuhan pencipta alam. Tujuan jangka pendek adalah diraihnya
profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Lebih jauh lagi
menarik kiranya bila kita kutip rumusan dari tujuan pendidikan menurut Al-
Ghazali seperti yang ditulis Abidin:
Bahwa tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah sebagai berikut: (Dra.
Alfiah, 2011: 132)
1) Mendekatkan diri kepada Allah yang wujudnya adalah kemampuan dan
dengan kesadaran diri melaksakan ibadah wajib dan sunnah.
2) Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3) Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan
dengan sebaik-baiknya.
4) Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan
budi dan sifat-sifat tercela.
5) Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi
manusia yang manusiawi.
Hampir senada dengan itu, Ibnu Khaldun, Seperti yang tulis Abidin
Nata, melihat bahwa dalam proses pendidikan (belajar) atau menuntut ilmu
pengetahuan, manusia disamping itu harus bersungguh-sungguh juga harus
memiliki bakat. Dan berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu atau
disiplin memerlukan pengajaran.
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram,
dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter
Islami. Pertama, berkepribadian Islam yaitu konsekuensi keimanan seorang
Muslim, intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang
fundamental, yaitu pola pikir dan pola jiwa yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangan kepribadian Islam, paling tidak ada 3 langkah
yang harus kita tempuh sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Saw.
1) Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai
dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai akidah ‘aqliyah: akidah
yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
2) Menanamkan sikap konsisten dan istiqamah pada orang yang sudah
memiliki akidah Islam agar cara berfikir dan berprilakunya tetap berada di
atas pondasi akidah yang diyakininya.
3) Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang
dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh, mengisi
pemikirannya dengan tsaqafah Islamiyyah dan mengamalkan ketaatan
kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai perangkat ilmu dan pengetahuan yang (Tsaqafah)
Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu.
Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut Al-Ghazali, ilmu dibagi dalam
2 kategori, yaitu:
1) Ilmu yang termasuk fardu’ain (kewajiban individual), artinya wajib
dipelajari setiap muslim, yaitu Tsaqafah Islam yang terdiri dari konsepsi,
ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa arab, sirah Nabi SAW, ulumul
Qur’an, Tahfidz Al-Qur’an, Ulumul hadis, Ushul Fiqh, dll.
2) Ilmu yang dikategorikan fardu khifayah (kewajiban kolektif); biasanya
ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta terapan keterampilan
seperti biologi, fisika, kedokteran, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (ilmu pengetahuan , teknologi,
seni dan IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu
mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai
khalifah Allah di muka bumi dengan baik.
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-
ilmu teknik dan praktis serta latihan, keterampilan dan keahlian merupakan
salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam, dalam
rangka melaksanakan tugasnya sebagai Khalifah Allah, Islam juga
menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardu Khifayah, yaitu jika
keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri,
penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
Penentuan tujuan mempunyai arti yang sangat penting dalam proses
pendidikan Islam. Adapun tujuan tertinggi pendidikan Islam sebagaimana
dikatakan oleh Abu Ahmadi pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita
ajaran Islam itu sendiri, yang membawa kesejahteraan umat manusia di
Dunia dan Akhirat. Tujuan tertinggi bersifat mutlak, tidak mengalami
perubahan dan berlaku umum, karena sesuai dengan konsep Allah Swt, yang
mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan ini pada akhirnya
sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah
swt, yaitu ;
1) Menjadi hamba Allah. Artinya pendidikan yang diberikan kepada anak
didik harus memungkinkan untuk memahami dan menghayati tentang
Allah SWT, sedemikian rupa, sehingga peribadatannya dilakukan dengan
penuh penghayatan dan kekhusu’an terhadap Allah, melakukan seremoni
ibadah dan tunduk senantiasa pada syari’ah dan petunjuk Allah. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-dzariat ayat 56.
2) Mengantarkan subjek didik menjadi khalifah yang mampu memakmurkan
bumi dan melestarikan serta mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya,
sesuai dengan tujuan penciptaannya, dan sebagai konsekuensi setelah
menerima Islam sebagai pedoman hidup. Indikasi ini dinyatakan Allah
dalam al-qur’an;
3) Untuk memperoleh kesejahteraan yaitu kebahagiaan hidup di dunia
sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat. (Nita, 2014)
C. PENERAPAN HADITS TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN
PADA MASA SEKARANG
Dalam Islam, tujuan diselenggarakan pendidikan ialah untuk memperbaiki
diri agar semakin dekat dengan Allah Swt., dan menghindarkan diri supaya tidak
terjerumus ke kubangan kebodohan. Orang yang bodoh tidak akan mampu
mendekati kebenaran (Allah Swt) karena ia terhijab. Pada gilirannya, kebodohan
akan menjadikan kehidupan manusia gelap. Perkara yang haq dianggap batil,
sementara perkara yang batil justru dianggap haq. Karena itu, tujuan sebagai salah
satu unsur penting pendidikan Islam, harus benar-benar dipertegas dan diperjelas.
(Rasyid, 2017: 20)
Tujuan pendidikan dalam Islam ialah terciptanya manusia yang berakhlak
mulia. Itulah tujuan dasar dan utama pendidikan mesti diselenggarakan. (Rasyid,
2017: 24) Adapun tujuan-tujuan lainnya hanya bersifat sekunder alias bukan pokok.
Dengan akhlak yang mulia (akhlaqul karimah), sangat dimungkinkan seseorang
melakukan perubahan revolusioner, tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga
terhadap lingkungannya.
Penguatan akhlak itulah yang diisyaratkan Rasulullah Saw. dalam sabda.