Disusun oleh :
ALI KUSNUDIN
NIM. 5321019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan islam sebagai pendidikan yang didasari pengembangan
akal dan wahyu, adalah kombinasi pendidikan yang istimewa. Dalam filsafat,
Selain hal-hal yang termasuk dalam ontologi dan epistimologi, terdapat
pembahasan yang lebih tinggi yaitu aksiologi. Aksiologi adalah cabang filsafat
yang membahas tentang tujuan dari hakikat. Jika dihubungkan dengan
pendidikan Islam, maka dibahas tentang tujuan dari hakikat pendidikan Islam.
Diantara hal-hal yang dibahas dalam aksiologi adalah etos, khususnya etos
keilmuan. Etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu
masyarakat. Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma sosial
masyarakat itu.
Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan perilaku
diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar dalam kehidupan
masyarakat. Karena etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia,
maka etos juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai
dalam kehidupan masyarakat.. Berdasarkan teori aksiologi etos keilmuan
dalam pendidikan Islam mempunyai pembahasan khusus dengan tiga teori.
Diantaranya pragmatisme, positivisme, renaissance dan humanisme.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian etos keilmuan dan pendidikan islam?
2. Bagaimanakah hubungan etos keilmuan dan pendidikan islam?
3. Bagaimanakah etos keilmuan dalam pendidikan Islam?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian etos keilmuan dan pendidikan islam.
2. Untuk mengetahui hubungan etos keilmuan dan pendidikan islam.
3. Untuk mengetahui etos keilmuan dalam pendidikan Islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian etos keilmuan dan pendidikan islam
Kata “etos“, Sebagaimana di uraikan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, memiliki pengertian: pandangan hidup yang khas dari suatu
golongan sosial. Dari kata ini, muncul antara lain istilah etos
kebudayaandan etos kerja. Etos kebudayaan memiliki arti : sifat, nilai, dan
adat istiadad khas yang memberi watak kepada kebudayaan suatu golongan
sosial dalam masyarakat. Sementara istilah etos kerja memiliki
arti :semanangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau
suatu kelompok.1
Secara sederhana, etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari
suatu masyarakat. Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur
dan norma social masyarakat itu.
Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan perilaku
diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar dalam kehidupan
masyarakat. Karena etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia,
maka etos juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai
dalam kehidupan masyarakat.2 Etos itu muncul karena adanya kemampuan
pada diri sendiri dan pada sistem keyakinan yang menjadi anutannya, dan ini
melahirkan sikap tidak khawatir dan tidak cemas untuk menghadapkan
keyakinan itu kepada pengujian ilmiah.3
Etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu
masyarakat. Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma sosial
masyarakat itu.
Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan perilaku
diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar dalam kehidupan
masyarakat. Karena etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia,
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Ke Empat , Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008
2
Irham , Mochammad, Etos Kerja Dalam Prespektif Islam, Jurnal Subtantia, Vol. 14, No. 1, April 2012.
3
Madjid , Nurcholish, Islam Komodernan dan Ke Indonesiaan, Mizan Pustaka, Bandung, 2008
3
maka etos juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai
dalam kehidupan masyarakat.
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Ke Empat , Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008
5
Madjid , Nurcholish, Islam Komodernan dan Ke Indonesiaan, Mizan Pustaka, Bandung, 2008
6
Monib , Mohammad dan Islah Bahrawi, Islam & Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, PT. Gramedia
Pustaka Utama , Jakarta, 2011
4
Pendidikan islam hakikatnya adalah seluruh hal yang menyangkut 3 hal:
1. ta’lim
2. tarbiyah
3. ta’dib
Memberikan bekal pengetahuan, pembinaan dan pengarahan
pembentukan kepribadian & mental dan pembinaan sikap moral manusia
agar menjadi lebih baik berdasarkan dasar alqur’an hadits yang diterapkan
dalam kehidupan
Etos dalam kajian filsafat merupakan bagian dari aksiologi karena etos
berbicara tentang tujuan yang hendak dicapai dari segala sesuatu. Jika dalam
ontologi dipertanyakan apa hakikat sesuatu.
Hubungan etos keilmuan dan pendidikan islam seperti halnya hubungan etos
dan ilmu, diantaranya:
1. Ilmu bebas nilai (value free) Paradigma ilmu bebas nilai (value free)
mengatakan bahwa ilmu itu bersifat otonom yang tidak memiliki
keterkaitan sama sekali dengan nilai. Bebas nilai artinya setiap kegiatan
ilmiah harus didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu
pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara
hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penganut paradigma ini
menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik
secara ontologis maupun aksiologis.Dalam hal ini, ilmuwan hanyalah
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik
atau sebaliknya.
2. Ilmu tidak bebas nilai (value bound) Paradigma ilmu yang tidak bebas
nilai (value bound) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai
dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai.
Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai,
5
kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis,
dan sebagainya.
3. Ilmu bebas nilai sedangkan aplikasi ilmu dan ilmuwannya terikat nilai
Pendapat ini mengatakan bahwa ilmu bebas nilai hanya terbatas dari segi
ontologinya, sedangkan penggunaannya tidak bebas nilai karena harus
berdasarkan asas-asas nilai. Mereka berpendirian bahwa masalah nilai
tidak terlepas sama sekali dengan fitrah manusia. Manusia adalah makhluk
yang selalu menilai untuk menemukan kebenaran dan mempertemukan
kebenaran. Sejarah manusia penuh dengan peristiwa-peristiwa yang dihiasi
kerelaan mengorbankan nyawa dalam mempertahankan apa yang mereka
anggap benar. Tanpa dasar nilai moral, ilmuwan mudah sekali tergelincir
dalam melakukan prostitusi intelektual.7
Dari paparan tiga paradigma tentang ilmu dan nilai diatas, dapat
disimpulkan bahwa netralitas ilmu hanya terletak pada epistemologinya
saja, artinya tanpa berpihak pada siapapun selain kebenaran yang nyata.
Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai
mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan
ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat.
7
Ramayulis H. dan Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2009
6
perbuatan dari dampak materiil yang ditimbulkannya, misalnya lembaga
pendidikan dibangun dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil dari
sumbangan orang tua murid pada pemerintah. Filusuf yang terkenal sebagai
tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey.8
Pandangan filsafat William James diantaranya tiada kebenaran
yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas
dari akal yang mengenal. Sebab, pengalaman kita berjalan terus dan segala
sesuatu yang kita anggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu
senantiasa berubah karena di dalam praktik, apa yang kita anggap benar bisa
saja dikoreksi oleh pengalaman berikutnya
a. Prinsip-prinsip pragmatisme
1. Pragmatisme mengakui bahwa dalam diri manusia terdapat
kemampuan moralitas dan spiritualitas.
2. Manusia ideal adalah manusia yang mampu merealisasikan utilitas
dirinya dan masyarakat melalui ilmu yang dimiliki.
3. Ukuran baik buruk, benar salah, didasarkan kemanfaatan tingkah
laku manuia dalam masyarakat
4. Ukuran moral bersifat tidak permanent Ukuran kebenaran adalah
pengalaman yang berguna bagi manusia
5. Menggunakan pengalaman sebagai upaya mencapai kebenaran
yang hakiki
6. Menggunakan metode ilmiah
7. Pertumbuhan pengetahuan diperoleh melalui jalan keahlian.
(Ramayulis & Nizar, 2010:35)9
b. Etos pregmatisme dalam pendidikan islam
Berbicara tentang etos keilmuan, apabila menggunakan
perspektif pragmatisme, etos keilmuan dapat diatur menurut nilai-nilai
dan etos pragmatisme. Dalam filsafat pendidikan Islam, pragmatisme
tentu ada karena tujuan pendidikan Islam adalah membentuk anak didik
8
Alavi Zianuddin, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, Bandung, Angkasa, 2003
9
Ramayulis H. dan Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2009
7
yang bertakwa kepada Allah, berkepribadian luhur, berilmu
pengetahuan yang luas, terampil, dan dapat diamalkan dalam
kehiudupan sehari-hari.
Dengan tujuan itulah pragmatisme menegaskan bahwa
pendidikan Islam diberikan kepada anak didik agar memiliki keahlian
duniawi dan ukhrawi. Keduanya harus memberikan keuntungan. Tokoh
pragmatisme kedua adalah John Dewey. Sebagai pengikut filsafat
pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah
memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut
dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada
faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan
mengolahnya secara kritis. Menurutnya, tidak ada sesuatu yang tetap.
Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika kesulitan, segera
berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh karena itu, berpikir tidak
lain sebagai alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari
pengertian dapat dilihat dari berhasil tidaknya mempengaruhi
kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur
pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah
metode induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi fisika, melainkan
juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.
Secara umum, pragmatisme berarti hanya idea yang dapat
dipraktikkan yang benar dan berguna. Idea-idea yang hanya ada di
dalam idea (seperti idea pada plato, pengertian umum pada socrates,
definisi pada aristoteles), juga kebimbangan terhadap realitas objek
indra (pada descartes), semua itu nonsense bagi pragmatisme. Yang ada
ialah apa yang real ada, demikian kata james tatkalaia membantah Zeno
yang mengaburkan arti gerak. Apabila filsafat pendidikan Islam
berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin
dicapai dalam pendidikkan adalah segala sesuatu ynag sifatnya nyata,
bukan hal yang ada di luar jangkauan panca indra.10
10
Alavi Zianuddin, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, Bandung, Angkasa, 2003
8
Etos keilmuan berkaitan pula dengan kode etik bagi para
pendidik. Akan tetapi, dalam perspektif filsafat, pendidikan etos
pendidikan itu membahas pula masalah yang berkaitan dengan
substansi etos yang dimiliki oleh pendidikan Islam, terutama berkaitan
dengan hal-hal di bawah ini:
1) keilmuan yang bersumber kepada wahyu Al-Quran dan As-
Sunnah.
2) Keilmuan yang berbasis kepada pola pola pendidikan tradisional
Islam seperti Pondok Pesantren Salafiah
3) Keilmuan sebagai alat merumuskan prinsip-prinsip pendidikan
dengan mempertimbangkan istilah-istilah terminologi dalam
Islam
4) Keilmuan yang mengarahkan pendidikan pada tujuan umum
dalam beragama islam, yaitu tujuan utama pendidikan islam
adalah membentuk anak didik yang beriman dan bertakwa.
Tujuan ini merupakan tujuan umum dalam Islam
5) Keilmuan yang mengacu pada doktrin agama islam dan
kebergantungan pada tokoh agama, kebesaran seorang pengasuh
pondok pesantren dan kharismatik kyai. Etos keilmuan dalam
pendidikan Islam diatas jumlahnya masih banyak karena etos
yang dipertahankan tidak akan mudah runtuh, apalagi pendidikan
yang demikian sebagai salah satu karakteristik mutlak dalam
pendidikan Islam.
2. Posistivisme dalam etos keilmuan
Positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte yang tertuang
dalam karya utamanya cours de philosophic positive. dalam etos
keilmuan yang menganut Positivisme akan mempertegas tentang
kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta yang Konkret dan
indrawi.
Pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta. Konsepnya
tentang pengalaman yang terletak pada pengalaman indrawi yang
9
mengharuskan pembuktian melalui alat bantu dan diperkuat dengan
eksperimen dan perlunya ukuran-ukuran yang jelas sangat berpengaruh
dalam perkembangan dunia sains. Ini sangat mendukung kemajuan di
bidang sains, karena paham ini berusaha mencari dasar-dasar tentang
sesuatu beserta pembuktiannya berdasarkan metode-metode ilmiah.
Positivisme hanya membatasi pada perjalanan obyektif saja, sehingga
pengalaman-pengalaman batiniyah tidak termasuk di dalamnya.
Pendidikan islam sebenarnya tidak sesuai dengan pendapat aliran
positivisme ini, karena positivisme tidak mengakui pengalaman
batiniah. padahal manusia tidak hanya berupa materi saja, yang hanya
dapat dijangkau pengalaman indrawi. Tapi juga terdiri dari jiwa atau
rohani.11
Di dalam pendidikan ditanamkan tentang iman kepada hal-
hal yang gaib, hari kiamat dan sebagainya yang tentu saja tidak dapat
dijangkau dengan pengalaman lahiriah saja, tapi juga batiniah.
Disamping itu sumber ajaran islam yang berupa wahyu pun
merupakan hal yang gaib. etosKeilmuan yang dibangun oleh filsafat
pendidikan Islam tidak menganut paham positivisme, meskipun
mengenal kebenaran yang menggunakan paham tersebut. Dalam islam,
kebenaran yang hakiki hanya kebenaran tuhan, selain kebenaran tuhan,
hanyalah kebenran yang nisbi. Akan tetapi, setiap kebenaran nisbi
diyakini oleh umat islam sebagai cara menuju kebenaran hakiki.
Betapapun positivisme tidak sesuai dengan ajaran islam, masih
terdapat beberapa sisi kebenaran yang sesuai dengan aliran ini, yaitu
prinsipnya tentang suatu pengetahuan harus ada dasarnya dan harus
dilakukan usaha-usaha untuk membuktikannya. Ini juga
mengisyaratkan bahwa islam juga mendukung kemajuan sains. Hukum
itu menyatakan bahwa umat manusia berkembang melalui tiga tahap
hidup. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang
dominan, Teologis, metafisik, dan positif. Tahap teologis merupakan
11
Supriadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung, CV Pustaka Setia, 2009
10
periode yang paling lama dalam sejarah manusia, karena bentuk
pemikiranya yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi bahwa
semua benda memiliki kelengkapan hidupnya sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
11
Etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu
masyarakat. Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma sosial
masyarakat itu. Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan
perilaku diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar dalam
kehidupan masyarakat. Karena etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia,
maka etos juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai dalam
kehidupan masyarakat.
Istilah keilmuan merupakan bentuk derivasi dari kata “ilmu”. Kata “Ilmu“
sendiri memiliki arti : ( 1 ) Pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode – metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu, dan ( 2 ) Pengetahuan
atau kepandaian ( tentang soal duniawi ) akhirat, lahir, dan batin dan lain –lain.
Pendidikan islam hakikatnya adalah seluruh hal yang menyangkut 3 hal:
ta’lim ,tarbiyah , ta’dib
Hubungan etos keilmuan dan pendidikan islam sepertihalnya hubungan
etos dan ilmu, diantaranya:
a. Ilmu bebas nilai (value free)
b. Ilmu tidak bebas nilai (value bound)
c. Ilmu bebas nilai sedangkan aplikasi ilmu dan ilmuwannya terikat
nilai.
12
4. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, Edisi Ke Empat , Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008
13