Anda di halaman 1dari 38

Tingkah Laku Keagamaan yang

Menyimpang dan Aliran Klinik dalam


Masyarakat
“Ditujukan untuk memenuhi tugas”

Mata Kuliah : Psikologi Agama


Dosen : Dra. Diah Nurita
Jurusan : Tarbiyah - PAI (IV-B)
Di susun Oleh
Kelompok 10 (Sepuluh)

- Irmayani
- Tria Tantra
- Putri Wulandari
- Nike Andayani

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM’IYAH


MAHMUDIYAH TANJUNG PURA - LANGKAT
TAHUN PERIODE : 2016- 2017
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang maha Esa


atas ridho dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah
ini dengan penuh keyakinan serta usaha maksimal. Semoga dengan
terselesaikannya tugas ini dapat memberi pelajaran positif bagi kita semua.
Selanjutnya penulis juga ucapkan terima kasih kepada ibu dosen mata
kuliah Psikologi Agama yang telah memberikan tugas Makalah ini kepada kami
sehingga dapat memicu motifasi kami untuk senantiasa belajar lebih giat dan
menggali ilmu lebih dalam khususnya mengenai “Tingkahlaku Keagamaan dan
Aliran Klinik Dalam Masyarakat ” sehingga dengan kami dapat menemukan hal-
hal baru yang belum kami ketahui.

Terima kasih juga kami sampaikan atas petunjuk yang di berikan sehingga
kami dapat menyelasaikan tugas Makalah ini dengan usaha semaksimal mungkin.
Terima kasih pula atas dukungan para pihak yang turut membantu
terselesaikannya laporan ini, ayah bunda, teman-teman serta semua pihak yang
penuh kebaikan dan telah membantu penulis.

Terakhir kali sebagai seorang manusia biasa yang mencoba berusaha


sekuat tenaga dalam penyelesaian Makalah ini,  tetapi tetap saja tak luput dari
sifat manusiawi yang penuh khilaf dan salah, oleh karena itu segenap saran
penulis harapkan dari semua pihak guna perbaikan tugas-tugas serupa di masa
datang.

Tanjung Pura, Juli 2017

i
DAFTAR IS

ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan Pembahasan......................................................................................1

BAB II......................................................................................................................2

PEMBAHASAN......................................................................................................2

A. Sikap Keberagamaan.....................................................................................2

B. Tingkah Laku Keberagamaan.......................................................................4

C. Penyimpangan Perilaku Keberagamaan........................................................5

D. Kasus Perilaku Keberagamaan Yang Menyimpang......................................6

E. Aliran Klenik Dalam Masyarakat.................................................................8

BAB III..................................................................................................................11

PENUTUP..............................................................................................................11

A. Kesimpulan.................................................................................................11

DAFTARPUSTAKA.............................................................................................12

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sikap keagamaan merupakan perwujudan dari pengalaman dan
penghayatan seseorang terhadap agama, dan agama menyangkut persoalan bathin
seseorang, karenanya persoalan sikap keagamaan pun tak dapat dipisahkan dari
kadar ketaatan seseorang terhadap agamanya.

Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara unsure


kognisi (pengetahuan), afeksi (penghayatan) dan konasi (perilaku) terhadap agama
pada diri seseorang, karenanya ia berhubungan erat dengan gejala jiwa pada
seseorang.

Sikap keagamaan sangat dipengaruhi oleh faktor bawaan berupa fithrah


beragama; dimana manusia punya naluri untuk hidup beragama, dan faktor luar
diri individu, berupa bimbingan dan pengembangan hidup beragama dari
lingkungannya.

Dalam kehidupan di masyarakat, sering ditemui perilaku/ sikap keagamaan


yang menyimpang, maka dalam makalah ini dengan kajian psikologis, akan
dibahas tentang hal tersebut, berikut dengan penyebabnya, yang diharapkan dari
sini dapat digali berbagai alternatif yang dimungkinkan untuk menghindari
penyimpangan tingkah laku keagamaan tersebut

B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana sikap keberagamaan?


b. Kasus apa saja yang termasuk prilaku menyimpang?
c. Bagaimana Aliran Klenik dalam masyarakat?

C. Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui sikap keberagamaan
b. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk prilaku menyimpang

1
c. Untuk mengetahuipengertian aliran klenik

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sikap Keberagamaan
Mengawali pembahasan mengenai sikap keberagamaan, maka terlebih
dahulu akan dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri. Dalam
pengertian umum, sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif
terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan
individu.Dengan demikian, sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman
seseorang, serta tergantung kepada objek tertentu.

Sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang


terhadap objek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi, dan
konasi.Tiga komponen psikologis yaitu kognisi, afeksi, dan konasi yang bekerja
secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap
suatu objek, baik yang berbentuk konkret maupun objek yang abstrak.

Komponen kognisi akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau


dipersepsikan tentang objek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang
dirasakan terhadap objek (senang atau tidak senang). Sedangkan komponen
konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap
objek. Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari
proses berpikir, merasa, dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi
terhadap suatu objek.

Sikap keberagamaan menekankan pentingnya dimensi personal iman.


Lihat saja perintis psikologi agama, contohnya William James, dalam bukunya
The Varieties of Religious Experience (Terj: Keberagaman Dalam Pengalaman
Keberagamaan) membedakan individu dalam berperilaku keberagamaan, sepert;
(i) mereka yang menganggap agama adalah kebiasaan yang membosankan, dan
(ii) mereka yang menganggap agama merupakan sumber semangat.1

1
Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James hingga Gordon W.
Allport, (Yogyakarta: KANISIUS, 1995), Cet.Ke-2, hal.. 26

3
Kelompok pertama, memiliki ciri dingin, menyerah-pasrah tanpa emosi,
tak bersemangat, plegmatis.Sedangkan kelompok kedua penuh gairah, terlibat,
bersemangat tinggi, dan meluap dengan vitalitas.

Dengan demikian James membedakan dua sikap keagamaan yang


berlawanan.Sikap yang pertama disebut jiwa sehat, healthy-mindedness, dan sikap
yang kedua, jiwa yang sakit, sick soul.Sikap jiwa yang sehat adalah positif,
optimistis, bahagia, spontan.Jiwa yang sakit dihinggapi oleh rasa penyesalan,
penyalahan diri, murung, tertekan.2

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keberagamaan, dapat diamati


dengan beberapa teori psikologi yang mengungkapkan mengenai perubahan sikap
tersebut,antara lain: (i) teori stimulus-respons, (ii) teori pertimbangan sosial, (iii)
teori konsistensi, dan (iv) teori pengertian.

Pertama, teori stimulus-respon yang memandang manusia sebagai


organisme yang berusaha menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar.
Menurut teori ini ada tiga variabel yang mempengaruhi terjadinya perubahan
sikap, yaitu; perhatian, mengerti, dan penerimaan.

Kedua, teori pertimbangan sosial melihat perubahan sikap dari pendekatan


psikologi sosial.Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perubahan sikap adalah;
persepsi sosial, posisi sosial dan proses belajar. Sedangkan faktor eksternal terdiri
adalah; faktor penguatan/reinforcement; komunikasi persuasif; dan harapan.

Ketiga, teori konsistensi.Menurut teori ini perubahan sikap lebih


ditentukan oleh faktor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap
dan perilaku. Inti dari teori konsistensi ini adalah bahwa perubahan sikap
merupakan proses yang terjadi pada diri seseorang dalam upaya untuk
mendapatkan keseimbangan antara sikap dan perbuatan/tingkah laku. Berdasarkan
berbagai pertimbangan, maka seseorang kemudian memilih sikap tertentu sebagai
dasar untuk bereaksi atau bertingkah laku. Pertimbangan tersebut melalui proses

2
Ibid h.29

4
dari munculnya persoalan hingga tercapainya suatu keseimbangan. Adapun
beberapa proses/fase terjadinya perubahan sikap dari teori konsistensi ini adalah;3

1. Munculnya persoalan yang dihadapi.


2. Munculnya beberapa pengertian yang harus dipilih.
3. Mengambil keputusan berdasarkan salah-satu pengertian yang diambil.
4. Terjadi keseimbangan.

Keempat, teori pengertian.“Mengerti” berarti mengetahui sebab-


musababnya. Dan karena perilaku manusia yang mau dimengerti oleh psikologi,
maka sebabmusababnya disebut “motif” atau “motivasi”, mengingat manusia itu
makhluk berbudi. Maka yang kami maksudkan di sini dengan “motif” ialah
penyebab psikologis yang merupakan sumber serta tujuan dari tindakan dan
perbuatan seorang manusia.Penyebab ini bersifat kausal dan final
sekaligus.Artinya manusia melakukan perbuatannya baik karena terdorong
maupun karena tertarik.Yang diselidiki psikologi ialah kebutuhan dan keinginan
manusia, baik keinginan yang disadari maupun yang tidak disadarinya. Adapun
beberapa motif yang dikemukakan secara psikologis, yaitu;4

1. Untuk Mengatasi frustasi


2. Untuk menjaga kesusilaan serta tata tertib masyarakat
3. Untuk memuaskan intelek/rasa ingin tahu
4. Untuk mengatasi ketakutan/fobia

B. Tingkah Laku Keberagamaan


Dalam kehidupan bermasyarakat dikenal bentuk tata aturan yang disebut
norma. Norma dalam kehidupan sosial merupakan nilai-nilai luhur yang menjadi
tolak ukur tingkah laku sosial.

Tingkah laku keberagamaan adalah segala aktivitas manusia dalam


kehidupan yang didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya.Tingkah laku

3
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012), h.286-289.
4
Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
Cet.Ke-3, hal. 72.

5
keagamaan tersebut merupakan perwujudan dari rasa dan jiwa beragama dengan
kesdaran serta pengalaman keberagamaan pada individu.5

Individu yang telah memilih sikap keberagamaan tertentu adalah sebagai


dasar untuk memunculkan sebuah reaksi/respon/perbuatan/tingkah_laku/perilaku
keberagamaan kemudian. Jadi, tingkah laku akan ada sesudah sikap diputuskan.

C. Penyimpangan Perilaku Keberagamaan


Pengertian Perilaku Menyimpang Tingkah laku keberagamaan selalu saja
mengeluarkan stereotipe indvidiual yakni; positive, neutral, dan negative.Positif
terdapat pada paradigma orang yang memahami perilaku keberagamaan sesorang
mengandung manfaat, dan netral adalah sesorang yang cenderung mengabaikan
tingkah laku keberagamaan yang diperlihatkan suatu orang tertentu. Serta negatif
tentu anggapan awal (halo effect) terhadap orang beragama yang menunjukan
suatu tingkah laku itu tidak dikehendaki, tidak bermanfaat, atau ungkapan
semacamnya.

Ada anggapan bahwa istilah “perilaku menyimpang” tidak mempunyai


nilai ilmaih. Anggapan ini berkesimpulan bahwa istilah tersebut bersama dengan
istilah “masalah-masalah sosial” dan “patologi sosial” hanya menunjuk pada
sejumlah kondisi yang ditinjau dari segi sistem nilai si-peninjau akan
menunjukkan variasi, tergantung dari saat terjadinya dan siapa yang
meninjaunya.6

Mengenai anggapan ini Cohen (1969) mengemukakan bahwa memang


benar tidak ada konsensus, dan juga bahwa istilah “perilaku menyimpang”
seringkali berkaitan dengan aturan-aturan normatif yang dianut dan dimiliki si-
penilai pada suatu saat. Tetapi berbagai interpretasi mengenai istilah tersebut perlu
difahami, dalam arti bahwa definisi-definisi, konsep-konsep, ataupun kegiatan-
kegiatan yang dibahas atau diteliti sebagai “perilaku menyimpang” menunjuk
pada ciri-ciri perilaku tertentu. Dan Cohen mendefinisikan “perilaku

5
H. Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), Cet.Ke-8, h. 100.
6
Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), h. 33

6
menyimpang” adalah tingkah laku yang melanggar, bertentangan, atau
menyimpang dari aturan-aturan normatif,pengertian-pengertian normatif maupun
dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.

Adapun berbagai istilah senada lainnya dengan “Perilaku Menyimpang”


yang seringkali menuju hal yang serupa, namun padahal hakikat istilah
masing-masing tersebut terkadang beda, berikut di antaranya:

1. Perialku Abnormal

2. Perilaku Mal-Adaptif

3. Gangguan Mental

4. Gangguan Perilaku

5. Psikopatologi

6. Penyakit Jiwa

7. Penyakit Mental

8. Ketidakwarasan

D. Kasus Perilaku Keberagamaan Yang Menyimpang


Tingkah laku keberagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap
seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya
mengalami perubahan.Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per
orang (dalam diri invidu) dan juga pada kelompok atau masyarakat.Sedangkan
perubahan sikap itu memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang mungkin
berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui area netral ke arah
negatif.Dengan demikian, perilaku keberagamaan yang menyimpang sehubungan
dengan perubahan sikap itu sendiri, dan perubahan itu tidak selalu berkonotasi
buruk atau negative.7

Perilaku beragama yang menyimpang dari tradisi keagamaan yang


cenderung keliru mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran dan gerakan

7
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012)272

7
pembaharuan,seperti contohnya Martin Luther. Dan juga Sidharta Gautama yang
meninggalkan agama Hindu kemudian menjadi pelopor pelahirnya agama
budha.Keduanya merupakan contoh dari sekian banyak kasus sikap keagamaan
yang menyimpang, namun yang positif.8

Perilaku beragama yang menyimpang seperti itu merupakan masalah yang


pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan yang negatif dari tingkat yang
terendah paling tinggi, seperti sikap regresif (menarik diri) hingga ke sikap yang
demonstratif (unjuk rasa).Sikap menyimpang seperti itu umumnya berpeluang
untuk terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada setiap agama.
Perseteruan antaragama yang terjadi seperti peristiwa perang salib, munculnya
gerakan IRA di Inggris (Irlandia Utara), hingga ke aliran-aliran keagamaan yang
dianggap menyimpang misalnya, Children of God di Amerika maupun sekte
kiamat di Jepang yang menanamkan kelompoknya Aum Sbinrikyo (kebenaran
tinggi).9

Perilaku keagamaan yang menyimpang boleh dikatakan dapat terjadi pada


hampir semua bidang kehidupan manusia dan kaitannya dengan nilai-nilai ajaran
agama.Penyimpangan tersebut mungkin menyangkut bidang keyakinan, ritual,
doktrin, ataupun perangkat keagamaan.Kehadiran aliran ataupun sekte beru, dan
keluar dari nilai-nilai dasar ajaran agama formal, dapat dianggap sebagai sebuah
penyimpangan. Penyimpangan seperti ini lazimnya akan berkembang ke bentuk
gerakan perilaku keberagamaan.

Jika tingkah laku yang diperlihatkan sesuai dengan norma yang berlaku,
maka tingkah laku tersebut dinilai baik dan diterima. Sebaliknya, jika tingkah laku
tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan norma yang berlaku, maka tingkah
laku dimaksud dinilai buruk dan ditolak.

Tingkah laku yang menyalahi norma yang berlaku ini disebut dengan
tingkah laku yang menyimpang. Penyimpangan tingkah laku ini dalam kehidupan
banyakterjadi, sehingga sering menimbulkan keresahan masyarakat.Kasus-kasus
penyimpangan tingkah laku seperti itu tak jarang pula berlaku pada kehidupan
8
Ibid h. 272
9
Ibid h.272

8
manusia sebagai individu ataupun kehidupan sebagai kelompok masyarakat.Dan
dalam kehidupan masyarakat beragama penyimpangan yang demikian itu sering
terlihat dalam bentuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang.10

E. Aliran Klenik Dalam Masyarakat


Aliran Klenik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan
dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal
(KBRI,1989:409). Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini erat
kaitannya dengan praktik perdukunan., hingga sering dikatakan dukun klenik.
Dalam kegiatannya dukun ini melakukan pengobatan dengan bantuan guna-guna
atau kekuatan ghaib lainnya.

Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib.
Bagi penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal-hal yang gaib ini
umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat
emosional , ketimbang rasional. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap
hal-hal gaib ini tenteunya tidak memiliki batas dan indikator yang jelas, karena
semuanya bersifat emosional dan cenderung berada diluar jangkauan nalar.
Karena itu tak jarang dimanipulasi dalam bentuk kemasan yang dihubungkan
dengan kepentingan tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih
diterima oleh masyarakat, sebab agama erat dengan sesuatu yang sakral.

Penyimpangan tingkah laku keagamaan yang dilakukan aliran klenik


seperti ini menurut Robert H. Thouless dapat dianalisis dengan menggunakan
pendekatan psikologi sugesti. Istilah ini digunakan oleh para ahli psikologi untuk
proses yang diamati dalam berbagai eksperimen dengan hebnotisme. Dalam
analisisnya Robert H. Thouless mencontohkan bagaimana tukang hipnotis
meyakinkan seseorang melalui persepsi yang diciptakannya.

Faktor-faktor lain yang juga mendukung timbul dan berkembangnya aliran


seperti ini adalah kekosongan spiritual dan penderitaan. Mereka yang memiliki
kesadaran beragama yang rendah atau tidak sama sekali, umumnya jika
mengalami penderitaan, cenderung akan kehilangan pegangan hidup. Di saat-saat
seperti itu pula, mereka menjadi sangat sugestibel.Oleh karena umumnya dalam
10
Jalaluddin, Psikologi Agama(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012)h.373.

9
kondisi yang putus asa seperti itu, praktik kebatinan seperti aliran klenik di
anggap dapat menjanjikan dan merupakan tempat pelarian dalam mengatasi
kemelut batin mereka.11

Klenik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan


kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal. Dalam
kehidupan masyarakat, umumnya klenik erat kaitannya dengan praktik
perdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini
melakukan pengobatan dengan bantuan guna-guna atau kekuatan gaib lainnya.

Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib.
Bagi penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal-hal yang gaib ini
umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional,
ketimbang rasional. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal gaib
ini tentunya tidak memiliki batas dan indikator yang jelas, karena semuanya
bersifat emosional dan cenderung berada di luar jangkauan nalar. Karena itu tak
jarang dimanipulasi dalam bentuk kemasan yang dihubungkan dengan
kepentingan tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih diterima oleh
masyarakat, sebab agama erat kaitannya dengan sesuatu yang sakral.

Hal inilah yang menjadikan perilaku dari seseorang menyimpang dari


aturan-aturan yang telah berlaku khususnya norma keagamaan. Agama dijadikan
alat untuk memanipulasi manusia supaya percaya dengan apa yang dilakukannya.
Penyimpangan tingkah laku keagamaan yang dilakukan aliran klenik ini  menurut
Robert H. Thouless dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi
sugesti. Dalam analisisnya mencontohkan bagaimana tukang hipnotis
menyakinkan seseorang melalui persepsi yang diciptakannya.

Dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat klenik memiliki


karakteristik yang hampir sama, yaitu:12

11
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012) h.374-378
12
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012) h.379

10
1. Pelakunya menokohkan diri selalu orang suci dan umumnya tidak
memiliki latar belakang yang jelas (asing).
2. Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah yang
berhubungan dengan hal-hal gaib.
3. Menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan
masyarakat.
4. Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.
5. Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.

Suburnya praktik ini antara lain ditopang oleh kondisi masyarakat yang
umumnya awam terhadap agama namun memiliki rasa fanatisme keagamaan yang
tinggi. Kondisi ini menjadikan masyarakat memiliki tingkat sugestibel yang
tinggi, sehingga lebih reseptif gagasan baru yang dikaitkan dengan ajaran agama.
Sebaliknya, tokoh klenik umumnya memiliki kemampuan untuk memberi sugesti.

Sugesti sebagai proses komunikasi yang menyebabkan diterima dan


disadarinya suatu gagasan yang dikomunikasikan tanpa alasan-alasan yang
rasional, tampaknya memang sering disalahgunakan dalam kasus-kasus
keagamaan, terutama oleh mereka yang memiliki tujuan-tujuan tertentu.
Fanatisme keagamaan yang tidak dilatarbelakangi oleh pengetahuan keagamaan
yang cukup tampaknya masih merupakan lahan subur bagi muncul dan
berkembangnya aliran klenik ini.

Faktor-faktor lain yang juga mendukung timbul dan berkembangnya aliran


seperti ini adalah kekosongan spiritual dan penderitaan. Mereka yang memiliki
kesadaran beragama yang rendah atau tidak sama sekali, umumnya, jika
mengalami penderitaan, cenderung akan kehilangan pegangan hidup. Di saat-saat
seperti itu pula, mereka menjadi sangat sugestibel. Oleh karena umumnya dalam
kondisi yang putus asa seperti itu, praktik kebatinan seperti aliran klenik dianggap
dapat menjanjikan dan merupakan tempat pelarian dalam mengatasi kemelut batin
mereka.13

13
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012) h.380

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku keagamaan yang menyimpang ialah suatu bentuk perilaku yang tidak
sesuai dengan norma-norma agama yang dianut oleh seseorang, kelompok, atau
masyarakat. Norma keagamaan merupakan salah satu bentuk norma yang menjadi tolok
ukur tingkah laku keagamaan seseorang, kelompok atau masyarakat yang mendasarkan
nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama.
Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada
tingkat fikir seseorang , sehingga akan mendatangkan kepercayaan atau keyakinan baru
kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok).
Individu yang tidak menyimpang tersebut adalah atas dasar pembentukan
kepribadian, perumusan sikap dan keserasian hubungan sosial atau suatu
perbuatan dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Yang transpersonal atau
supranatural.

Klenik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan


kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal. Dalam
kehidupan masyarakat, umumnya klenik erat kaitannya dengan praktik
perdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini
melakukan pengobatan dengan bantuan guna-guna atau kekuatan gaib lainnya.

12
DAFTARPUSTAKA

Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012)

Ramayulis, H. Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), Cet.ke-8

Sadli, Saparinah. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, (Jakarta:


Bulan Bintang, 1977)

Syukur Dister, Nico. Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta:


Kanisius, 1992), Cet.ke-3
W. Crapps, Robert. Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James hingga
Gordon W. Allport, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Cet.ke-2

13
B.     Tingkah Laku Keagamaan Yang Menyimpang

1.       Pengertian Perilaku Menyimpang

Perilaku menyimpang ialah perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai
yang dianut oleh masyarakat atau kelompok. Perilaku menyimpang
disebut nonkonformitas. Perilaku yang tidak menyimpang disebut konformitas,
yaitu bentuk interaksi seseorang yang berusaha bertindak sesuai dengan norma
dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari,
tidak semua orang bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang
berlaku dalam masyarakat.

Prof. Dr. Kasmiran Wuryo M.A. membagi norma sebagai tolok ukur tingkah laku
dilihat dari penduduknya, menjadi beberapa macam, antara lain: norma pribadi,
norma grup (kelompok), norma masyarakat, norma susila, dan sebagainya.
Dengan demikian, norma keagamaan merupakan salah satu bentuk norma yang
menjadi tolok ukur tingkah laku keagamaan seseorang, kelompok atau masyarakat
yang mendasarkan nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama.

Menurut Kasmiran, menurut sifat dan sumbernya norma itu dapat digolongkan
menjadi dua jenis, yaitu:

a.        Tradisional

Tradisi merupakan norma yang proses perkembangannya berlangsung secara


otomatis dan nila-nilai yang membentuknya berasal dari bawah. Karena proses
perkembangannya cukup lama, sehinnga sering tidak diketahui lagi sumber serta
alasan tentang mengapa suatu perbuatan selalu dilakukan pada waktu-waktu
tertentu yang diyakini kebenarannya. Bahkan, terkandung dibela secara fanatik,
sehingga orang menjadi takut jika tidak melakukannya. Norma yang dalam tradisi
semacam ini menurut Kasmiran Wuryo, tidak lagi bersifat rasional melainkan
sudah bersifat tradisional dogmatic dan supernatural

14
b.      Formal

Norma ini melalui pembentukan dari atas dan bersumber dari berbagai ketentuan
formal yang berlaku di masyarakat. Sumbernya dapat berupa undang-undang
peraturan ataupun kebijaksanaan formil dari pengusaha masyarakat yang
materinya merupakan norma yang dijadikan tolok ukur salah benarnya tingkah
laku dan kehidupan masyarakat.

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa, baik norma tradisional maupun formal
bersumber dari nilai-nilai luhur yang diperkirakan dapat dijadikan tolok ukur
tingkah laku. Dalam masyarakat beragama, walaupun secara tegas sulit untuk
diteliti, namun diyakini norma-norma yang berlaku dalam kehidupan tak mungkin
lepas dari nilai-nilai luhur agama yang mereka anut. Karena itu, dalam kondisi
yang bagaimanapun, bentuk tingkah laku yang menyimpang masih dapat
diketahui dan dibedakan dari norma-norma yang berlaku.

Norma dan nilai bersifat relatif dan mengalami perubahan dan pergeseran. Suatu
tindakan di masa lampau dipandang sebagai penyimpangan, tetapi sekarang hal itu
dianggap biasa. Contoh, dahulu seorang anak apabila diberi nasihat oleh orang
tuanya, hanya menunduk saja. Akan tetapi, anak sekarang ketika berinteraksi
dengan orang tuanya bisa mengemukakan pendapatnya. Begitu pula ketentuan-
ketentuan sosial di dalam suatu masyarakat berbeda, dengan ketentuan-ketentuan
sosial di dalam masyarakat lain. Akibatnya, tindakan yang bagi suatu masyarakat
merupakan penyelewengan, bagi masyarakat merupakan suatu tindakan yang
biasa. Umpamanya: Masyarakat patrilineal tidak membolehkan perkawinan yang
masih bersaudara, tetapi dalam masyarakat lainnya bisa dilaksanakan. Hal itu
berarti bahwa norma dan nilai bersifat relatif.

Perilaku menyimpang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kehidupan sosial


dalam masyarakat. Pada masyarakat tradisional, proses penyesuaian sangat kuat.
Dalam masyarakat pedesaan, tradisi dipelihara dan dipertahankan. Warga desa
cenderung tidak mempunyai pemikiran lain, kecuali menyesuaikan diri dengan
norma-norma yang berlaku, yaitu berdasarkan ukuran yang telah dijalankan oleh
nenek moyangnya.

Masyarakat perkotaan mempunyai kecenderungan berupa menyesuaikan diri


dengan perubahan-perubahan yang ada. Dengan globalisasi, komunikasi,
informasi, dan teknologi, masyarakat kota dimungkinkan melakukan
penyimpangan yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat desa. Hal ini
terjadi karena setiap individu kurang saling mengenal dan kurang adanya
interaksi, sehingga mereka tidak tahu urusan orang lain. Kontrol sosial dalam
masyarakat pedesaan tidak dapat diterapkan di masyarakat perkotaan.

15
2.      Pembentukan dan Penyimpangan Sikap Keagamaan

Dr. Mar’at mengemukakan ada 13 pengertian sikap, yang dirangkum menjadi 4


rumusan berikut:

a.       sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi
yang terus menerus dengan lingkungan (di rumah, sekolah, dll) dan senantiasa
berhubungan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide,
sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap
obyek.

b.      Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak
dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu, dengan memiliki
kadar intensitas yang tidak tentu sama terhadap obyek tertentu, tergantung pada
situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai
sedangkan di saat dan situasi berbeda belum tentu cocok.

c.       sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu, karena ia
merupakan bagian dari konteks persepsi atau pun kognisi individu.

d.      sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai


konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan, karenanya sikap
merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang
sempurna, atau bahkan tidak memadai.

Dari rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan


predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu
yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap
merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara komplek.
Komponen kognisi akan menjawab apa yang dipikirkan atau dipersepsikan
tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap
obyek. Komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk
bertindak terhadap obyek.

Faktor penentu sikap, baik sikap positif atau pun sikap negatif, adalah motif, yang
berdasarkan kajian psikologis dihasilkan oleh penilaian dan reaksi afektif yang
terkandung dari sebuah sikap. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt
behavior) sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (covert behavior).

16
Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses
berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap
sesuatu obyek. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan
pengalaman seseorang dan bukan pengaruh bawaan (factor intern) seseorang,
serta tergantung kepada obyek tertentu. Karena Sikap dipandang sebagai
perangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil
penalaran, pemahaman dan penghayatan individu.

Pemberian dasar jiwa keagamaan pada anak, tidaklah dapat dilepaskan dari peran
orang tua sebagai pendidik di lingkungan rumah tangga. Pengenalan agama sejak
usia dini, akan sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan kesadaran dan
pengalaman beragama pada anak tersebut. Karenanya adalah sangat tepat, Rasul
SAW menempatkan orang tua sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola
tingkah laku keagamaan seorang anak, sebagaimana sabdanya : “setiap anak
dilahirkan atas fithrah, dan tanggung jawab kedua orang tuannyalah untuk
menjadikan anak itu nashrani, Yahudi atau Majusi. Dimana fithrah yang dapat
diartikan sebagai potensi untuk bertauhid (dapat disebut sebagai jiwa keagamaan),
merupakan potensi physikis pada manusia, yang diakui adanya oleh para ahli
psikologi transpersonal. Aliran psikologi ini juga mencoba melakukan kajian
ilmiah terhadap demensi yang selama ini merupakan kajian dari kaum kebathinan,
rohaniawan, agamawan dan mistikus. Jadi, keluarga sebagai lingkungan yang
pertama ditemui anak, sangat berperan dalam pembentukan pola perilaku/ sikap
anak. Adanya perbedaan individu, pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan
situasi lingkungan yang dihadapi oleh masing-masing.

Karena itu, pembinaan dan pengembangan fithrah sebagai potensi psikis manusia,
untuk melahirkan sikap dan pola tingkah laku keagamaan, dapat dibentuk dengan
mengkondisikan lingkungan sesuai dengan ketentuan norma-norma agama. Dan
norma-norma tersebut akhirnya terintegrasi dalam kepribadian individu yang
bersangkutan.

Walau norma-norma agama telah menjadi bagian dari kepribadian seseorang,


pada kenyataannya sering ditemukan adanya penyimpangan-penyimpangan, yang
disebabkan oleh sikap yang bersangkutan (baik perseorangan atau kelompok)
terhadap keyakinan agamanya mengalami perubahan.

Penyimpangan sikap keagamaan dapat menimbulkan tindakan yang negatif,


apalagi penyimpangan itu dalam bentuk kelompok. Memang, penyimpangan
dalam bentuk kelompok ini, sering diawali oleh penyimpangan individual, tapi
individual tersebut mempunyai pengaruh besar. Seseorang yang mempunyai
pengaruh terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain, sebagai bagian dari

17
tingkat pikir transenden. Akan sangat berpengaruh terhadap penyimpangan
kelompok.

Sikap keagamaan sangat erat hubungannya dengan keyakinan/ kepercayaan. Dan


keyakinan merupakan hal yang abstrak dan susah dibuktikan secara empirik,
karenanya pengaruh yang ditimbulkannya pun lebih bersifat pengaruh psikologis.

Keyakinan itu sendiri merupakan suatu tingkat fikir yang dalam proses berfikir
manusia telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai
penyempurna proses dan pencapaian kebenaran dan kenyataan yang terdapat di
luar jangkauan fikir manusia. Karenanya penyimpangan sikap keagamaan
cenderung di dasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat dan
menonjol ketimbang aspek rasional.

Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada


tingkat fikir seseorang (tingkat fikir materialistik dan tingkat fikir transendental
relegius), sehingga akan mendatangkan kepercayaan/ keyakinan baru kepada yang
bersangkutan (baik indivual maupun kelompok). Jika keyakinan itu bertentangan
atau tidak sejalan dengan keyakinan ajaran agama tertentu, maka akan terjadi
sikap keagamaan yang menyimpang.

Penyimpangan sikap keagamaan ini, disamping menimbulkan masalah pada


agama tersebut, juga sering mendatangkan gejolak dalam berbagai aspek
kehidupan di masyarakat.

3.      Teori-teori Penyimpangan

Teori Differential Association (pergaulan yang berbeda) dikemukakan oleh Edwin


H. Sutherland. Ia berpendapat bahwa penyimpangan bersumber dari pergaulan
yang berbeda. Penyimpangan itu terjadi melalui proses alih budaya, yaitu proses
mempelajari budaya yang menyimpang. Contoh: proses perilaku homoseksual.
Teori lain mengenai penyebab perilaku menyimpang dikemukakan oleh Edwin M.
Lemert dengan teori Labeling. Seseorang yang baru melakukan penyimpangan
pada tahap pertama oleh masyarakat sudah diberi cap; sebagai penyimpang,
misalnya disebut penipu, pencuri, wanita nakal, dan orang gila. Dengan demikian,
pelaku akan terdorong untuk melakukan penyimpangan tahap berikutnya dan
akhirnya akan menjadi suatu kebiasaan.

18
Robert K. Merton mengemukan teori yang menjelaskan bahwa perilaku
menyimpang merupakan penyimpangan melalui struktur sosial. Dalam struktur
sosial dijumpai tujuan atau kepentingan. Tujuan tersebut adalah hal-hal yang
pantas dan baik. Cara-cara buruk seperti menipu tidak dibenarkan. Perilaku
menyimpang terjadi kalau ada ketimpangan antara tujuan yang ditetapkan dan
cara atau sarana untuk mencapai tujuan. Teori Merton adalah struktur sosial yang
menghasilkan tekanan ke arah memudamya kaidah (anomie) dan perilaku
menyimpang. Keadaan yang tanpa kaidah dapat menimbulkan sikap mental yang
negatif. Sikap mental itu misalnya usaha mencapai tujuan secepatnya tanpa
menurut kaidah yang ditentukan. Sikap itu disebut menerobos atau potong
kompas. Misalnya berusaha menjadi orang kaya mendadak dengan cara mencuri.

4.      Penyebab Terjadinya Penyimpangan Tingkah Laku Keagamaan

Perubahan sikap keagamaan adalah awal proses terjadinya penyimpangan sikap


keagamaan pada seseorang, kelompok atau masyarakat. Perubahan sikap
diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah
walaupun sulit, karenanya perubahan sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain :

i.        Adanya kemampuan lingkungan merekayasa obyek, sehingga menarik perhatian,


memberi pengertian dan akhirnya dapat diterima dan dijadikan sebagai sebuah
sikap baru.

ii.      Terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang


dilakukannya sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan mempertimbangkan
untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru. Dan ini
memungkinkan seseorang untuk bersikap yang menyimpang dari sikap
keagamaan sebelumnya yang ia yakini sebagai suatu kekeliruan tadi.

iii.    Penyimpangan sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status


sosial, dimana mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari
nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status
sosialnya.

iv.    Penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang
menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh besar),
ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan

19
masyarakat, maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk
menampilkan sikap yang sama, walau pun disadari itu merupakan sikap yang
menyimpang dari sikap sebelumnya.

a.      Aliran Klenik

Klenik dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan


akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal. Dalam kehidupan
masyarakat, umumnya klenik ini erat kaitannya dengan praktik perdukunan,
hingga sering dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini
menggunakan guna-guna atau kekuatan gaib lainnya dalam pengobatan.

Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Bagi
penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal gaib ini umumnya diterima
sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional, ketimbang
rasional. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal gaib ini
tentunya tidak memiliki batas dan indikator yang jelas, karena semuanya bersifat
emoosional dan cenderung berada di luar jangkauan nalar. Karena itu tidak jarang
dimanipulasi dalm bentuk kemasan yang dihubungkan dengan kepentingan
tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih diterima oleh masyarakat,
sebab agama erat dengan sesuatu yang sakral.

Masalah yang menyangkut sesuatu yang gaib dan nilai-nilai sakral keagamman ini
dalam kehidupan masyarakat sering pula diturunkan pada pribadi-pribadi tertentu.
Proses ini menimbulkan kepercayaan bahwa seseorang dianggap mempunyai
kemampuan luar biasa dan dapat berhubungan dengan alam gaib.

Dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat klenik memiliki


karakteristik yang hampir sama, yaitu:

1)      Pelakunya menokohkan dirinya sebagai orang suci.

2)      Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa.

3)      Ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.

4)      Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.

20
5)       Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat

b.      Konversi Agama

1)      Pengertian Konversi Agama

Konversi berasal dari kata conversion yang berarti tobat, pindah, berubah.


Sehingga convertion berarti berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke
agama lain (change from one state, or from one religius to another).

Konversi agama banyak menyangkut kepada kejiwaan dan pengaruh lingkungan


tempat dimana seseorang berada. Didalam Islam, konversi disebut dengan
Murtad, yaitu keluar dari Agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, perbuatan
yang menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali. 
Kemurtadan berarti batalnya nilai religius perbuatan orang yangb bersangkutan.
Kembali kepada kekafiran setelah setelah beriman berarti terputusnya hubungan
dengan Allah.  Menurut fakih, orang yang telah murtad kehilangan hak
perlindungannya. Jika berhasil ditangkap sebelum mengadakan perlawanan. Maka
hukumnya wajib dibunuh.

2)      Macam- Macam Konversi

Starbuck sebagaimana diungkap kembali oleh Bernard Splika membagi konversi


menjadi dua macam, yaitu :

a)      Type volitional (perubahan secara bertahap)

Yaitu konversi yang terjadi secara berproses, sedikit demi sedikit hingga
kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan ruhaniah yang baru.

b)      Type self surrender (perubahan secara drastis)

Yaitu konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami proses
tertentu tiba- tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya.
Perubahan tersebut dapat terjadi dari kondisi tidak taat menjadi taat, dari tidak
kuat keimanannya menjadi kuat keimanannya, dari tidak percaya kepada suatu
agama menjadi percaya dan sebagainya.

21
3)      Faktor- faktor yang menyebabkan konversi

Para ahli sosiologi berpendapat bahwa terjadinya konversi agama disebabkan oleh
pengaruh sosial. Dijelaskan oleh Clark, pengaruh- pengaruh tersebut antara lain:

a)      Hubungan antar pribadi, baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun yang
bersifat non agama.

b)      Kebiasaan yang rutin.

c)      Anjuran atau propaganda dari orang- orang yang dekat , seperti keluarga, sahabat
dan sebagainya.

d)     Pengaruh pemimpin agama

e)      Pengaruh perkumpulan berdasarkan hobi.

f)       Pengaruh kekuasaan pemimpin

c.       Konflik Agama

Konflik agama sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang, dapat terjadi


karena adanya “pemasungan” nilai-nilai ajaran agama itu sendiri. Maksudnya,
para penganut agama seakan “memaksakan” nilai-nilai ajaran agama sebagai
“label” untuk membenarkan tindakan yang dilakukannya. Padahal, apa yang
mereka lakukan sesungguhnya bertentangan dengan nila-nilai ajaran agama itu
sendiri. Penyimpangan itu oleh adanya sebab dan pengaruh yang
melatarbelakanginya.

1)      Pengetahuan Agama yang Dangkal

Secara psikologis, masyarakat awam cenderung mendahulukan emosi ketimbang


nalar. Kondisi ini, member peluang bagi masuknya pengaruh-pengaruh negative
dari luar yang mengatasnamakan agama. Apabila pengaruh tersebut dapat
menimbulkan respon emosional, maka konflik dapat dimunculkan. Tegasnya,
mereka yang awam  akan berpeluang diadu-domba.

22
2)      Fanatisme

Dalam kehidupan masyarakat, ketaatan beragama cenderung dipahami sebagai


“pembenaran” yang berlebihan. Pemahaman yang demikian itu akan membawa
kepada sikap fanatisme, hingga menganggap agama yang dianutnyalah yang
paling benar.

3)      Agama sebagai Doktrin

Ada kecenderungan di masyarakat, bahwa agama dipahami sebagai doktrin yang


bersifat normative. Pemahaman yang demikian, membuat ajaran agama menjadi
sempit. Hal seperti ini menjurus pada munculnya kelompok-kelompok ekstrem
dalam bentuk gerakan sempalan eksklusif. Kondisi seperti itu bagaimana pun akan
mengurangi sikap toleran yang dapat mengganggu hubungan antarsesama umat
beragama.

4)      Simbol-simbol

Dalam kajian antropologi, agama ditandai oleh keyakinan terhadap sesuatu yang
bersifat adikodrati (supernatural), ajaran, penyampai ajaran, lakon ritual, orang-
orang suci, tempat suci, dan benda-benda suci. Walaupun agama bermacam-
macam, namun komponen itu didapati disemua agama, dengan demikian, selain
merupakan keyakinan, agama juga mengandung symbol-simbol yang oleh
penganutnya dinilai sebagai sesuatu yang suci yang perlu dipertahankan.

5)      Tokoh Agama

Sebagai pemimpin agama, dia mampu mengobarkan atau menentramkan emosi


keagamaanya pengikutnya. Bila terjadi konflik sosial, yang kebetulan pihak yang
terlibat adalah bagian dari penganut agama yang berbeda, maka isu agama mudah
masuk. Tidak jarang tokoh agama ikut terpengaruh oleh isu-isu tersebut. Kalaulah
hal seperti itu terjadi, maka dikhawatirkan para tokoh agama akan ikut terlibat
dalam konflik.

6)      Sejarah

23
Dalam konteks penyiaran agama, “kufr” sering diaplikasikan sebagai “lawan
agama”, atau dipertajam lagi menjadi “musuh agama”. Dalam pandangan seperti
ini, maka golongan yang tidak beriman menjadi abash untuk diperangi.

Latar belakang sejarah agama, umumnya menimpan kasus-kasus seperti ini.


Terkadang oleh pandangan yang ekstrem yang seperti itu, pertumpahan darah
sering terjadi. Dalam kasus sosial, kadang-kadang muatan sejarah keagamaan ini
lagi-lagi dimunculkan, hingga dapat menyulut terjadinya konflik.

7)      Berebut Surga

Setiap agama mengajarkan kepercayaan akan adanya kehidupan abadi setelah


kematian, yaitu surge dan neraka. Semua manusia pasti berharap akan masuk
surge. Dalam upaya memperoleh “tiket” surge, seseorang meningkatkan kuantitas
dan kualitas ibadahnya.

Sayangnya dalam kehidupan beragama, sering terjadi kebalikannya. Peta dan


kenikmatan surgawi diperebutkan dengan mengorbankan kelompok lain. Ada
kecenderungan mendeskreditkan orang atau kelompok lain. Barangkali usaha
untuk memperebutkan akan surge akan timbul bukan saja di dalam kelompok
penganut agama yang berbeda, tetapi juga bisa terjadi dalam kelompok seagama.
Bila pandangan seperti ini meningkat pada klaim sepihak, maka konflik pun tidak
akan dapat dihindarkan. Paling tidak akan menumbuhkan rasa permusuhan.

d.      Terorisme dan Agama

Terorisme berasal dari kata terror, yang secara etimologis mencakup arti: 1.
Perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis,
dan sebagainya); 2. Usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh
seseorang atau golongan. Sedangkan terorisme berarti penggunaan kekerasan atau
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan, terutama tujuan politik.
Jadi, terorisme mungkin dilakukan oleh siapa saja, baik pemerintah, golongan
atau perorangan.

Memang secara definitif, tampaknya belum ada rumusan yang dsepakati, apa yang
dimaksud dengan terorisme. Namun, untuk sekedar member gambaran mengenai
hal itu, barangkali dapat dirujuk pendapat yang dikemukakan oleh Smit dan
jungman. Menurut mereka terorisme adalah tindakan yang dengan sengaja

24
menggunakan atau mengancam menggunakan kekerasan terhadap sipil atu sasara
sipil untuk mencapai tujuan politik. Smith dan jungman dalam definisinyalebih
menekankan pada cara, sasaran, dan tujuan. Tidak pada subjeknya. Hal ini
member kesan, bahwa terorisme dapat dilakukan oleh siapa saja. Adapun yang
penting di dalamnya termuat indikasi berupa: perbuatan sengaja (direncanakan,
sistematik, dan teroganisasi), penggunaan kekerasan (ancaman, langsung), sasaran
(sipil, non-militer), dan tujuannya terkait dengan kepentingan politik.

e.       Fatalisme

Dalam kenyataan, umumnya nilai-nilai ajaran agama sering “dimanipulasi”


hingga melahirkan pemeluk yang fatalis (berserah kepada nasib). Informasi
wahyu dan risalah kerasulan direduksi maknanya menjadi sebaliknya, sampai-
sampai para pemeluknya terbentuk menjadi kelompok yang nrimo. Mereka
dibiasakan untuk menerima keadaan sebagai “gambaran nasib” yang sudah
ditentukan dari “atas”.

Secara psikologis, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya


fatalism, yakni:

1)      Pemahaman agama yang keliru

Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang sosio-kultural,


tingkat pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam kondisi seperti itu
terbuka peluang timbulnya “salah tafsir” dalam memahami pesan-pesan dalam
kitab suci maupun risalah rasul.

2)      Otoritas Agamawan

Dalam komunitas agama selalu ada pemimpin agamayang jadi panutan


masyarakat pemeluknya. Popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai sukses
diri pribadi ini harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan lagi.

Dalam kondisi seperti ini terkadang dengan menggunakan otoritas yang


berlebihan, pemimpin agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan ajaran
agama. Ajaran agama dijadikan alat untuk “menyihir” pengikutnya. Kata-kata
yang dikeluarkan harus dianggap sebagai fatwa yang bila dilanggar akan berakibat

25
buruk. Sebaliknya “disuburkan” pula janji-janji “surgawi” yang muluk sebagai
ganjaran yang diperuntukkan kepada mereka yang patuh dan taat. Pemimpin
agama berusaha menciptakan situasi psikologis pengikutnya hingga terbentuknya
sikap penurut.

Aliran Klenik
Klenik dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan
akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal
(KBRI,1989:409). Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini erat
kaitannya dengan praktik perdukunan, hingga sering dikatakan dukun
klenik. Dalam kegiatannya dukun ini menggunakan guna-guna atau
kekuatan gaib lainnya dalam pengobatan.[2]
Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib.
Bagi penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal gaib ini
umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat
emosional, ketimbang rasional. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan
terhadap hal-hal gaib ini tentunya tidak memiliki batas dan indikator yang
jelas, karena semuanya bersifat emoosional dan cenderung berada di luar
jangkauan nalar. Karena itu tidak jarang dimanipulasi dalm bentuk
kemasan yang dihubungkan dengan kepentingan tertentu. Manipulasi
melalui kepercayaan agama lebih diterima oleh masyarakat, sebab agama
erat dengan sesuatu yang sakral.
Masalah yang menyangkut sesuatu yang gaib dan nilai-nilai sakral
keagamman ini dalam kehidupan masyarakat sering pula diturunkan pada
pribadi-pribadi tertentu. Proses ini menimbulkan kepercayaan bahwa
seseorang dianggap mempunyai kemampuan luar biasa dan dapat
berhubungan dengan alam gaib.
Dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat klenik memiliki
karakteristik yang hampir sama, yaitu:
1. Pelakunya menokohkan dirinya sebagai orang suci.
2. Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa.
3. Ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4. Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.

26
5. Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
C. Konversi Agama
Secara etimologi konversi berasal dari kata lain “Conversio” yang berarti: tobat,
pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata
Inggris Conversion yang mengandung pengertian: berubah dari suatu
keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or
from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat
disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat,
berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk ke
dalam agama.[3]
Sedangkan menurut terminologi pengertian konversi agama seperti yang
dikemukakan oleh Max Heirich. Ia mengatakan bahwa konversi agama
adalah suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang masuk
atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan
dengan kepercayaan sebelumnya.
Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan
tempat berada. Selain itu, konversi agama yang dimaksudkan uraian diatas
memuat beberapa pengertian dengan ciri-ciri:
1. Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama
dan kepercayaan yang dianutnya.
2. Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan
dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
3. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari
suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan
terhadap agama yang dianutnya sendiri.
4. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun
disebabkab faktor petunjuk dari Yang Mahakuasa.
Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama
Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya
konversi agama adalah petunjuk Ilahi. Pengaruh supernatural berperan
secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri
seseorang atau kelompok.

27
Sedangkan para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadinya
konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong
terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain:
1. Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan
maupun nonagama.
2. Pengaruh kebiasaan yang rutin.
3. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat.
4. Pengaruh pemimpin keagamaan.
5. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi.
6. Pengaruh kekuasaan pemimpin.
Lain halnya dengan para ahli psikologi, mereka berpendapat bahwa yang menjadi
pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang
ditimbulkan oleh faktor intern (kepribadian, pembawaan) maupun ekstern
(keluarga, lingkungan tempat tinggal, perubahan status, kemiskinan).
Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok
hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong
untuk mencari jalan ke luar yaitu ketenangan batin.
Satu lagi pendapat dari para ahli ilmu pendidikan yang menyatakan bahwa
konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu
sosial menampilkan data dan argumentasi, bahwa suasana pendidikan ikut
mempengaruhi konversi agama.
Proses Konversi Agama
Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah
gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan
bangunan baru yang lain yang sama dengan bangunan sebelumnya. Jadi
bila pada seseorang atau kelompok, konversi agama seperti perubahan dari
segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama, seperti harapan,
rasa bahagia, keselamatan, dan kemantapan berubah menjadi berlawanan
arah.
Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin, sehingga
untuk mengatasi kesulitan tersebut harus dicari jalan penyalurannya.
Umumnya apabila gejala tersebut sudah dialami oleh seseorang atau

28
kelompok maka dirinya menjadi lemah dan pasrah atau pun timbul
semacam peledakan perasaan untuk menghindarkan diri dari pertentangan
batin itu. Ketenangan batin akan terjadi dengan sendirinya bila yang
bersangkutan telah mampu memilih pandangan hidup yang baru.
Pandangan hidup yang dipilih tersebut merupakan petaruh bagi masa
depannya, sehingga ia merupakan pegangan baru dalam kehidupan
selanjutnya.
M.T.L. Penido berpendapat, bahwa konversi agama mengandung dua unsur, yaitu:
1. Unsur dari dalam diri, yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang atau kelompok.
2. Unsur dari luar, yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri seseorang
atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau
kelompok yang bersangkutan.
Perubahan yang terjadi tetap melalui proses pentahapan dalam bentuk kerangka
proses secara umum. Kerangka prose situ dikemukakan antara lain oleh:
a. H. Carrier, membagi proses tersebut dalam pentahapan sebagai berikut:
1. Terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat dari krisis
yang dialami.
2. Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru.
3. Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut
oleh ajarannya.
4. Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci
petunjuk Tuhan.
b. Dr. Zakiah Daradjat memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses
kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu: masa tenang, masa
ketidaktenangan, masa konversi, masa tenang dan tenteram dan terakhir
masa ekspresi konversi.
Jadi pada dasarnya proses konversi agama berlangsung secara bertahap. Dan
secara umum bisa digambarkan dari seseorang atau kelompok yang semula
tenang dalam artian acuh tak acuh terhadap agama yang dianutnya hingga
kemudian muncul masalah baru yang menyebabkan adanya goncangan
batin. Ia merasa tidak yakin dengan keyakinan yang ia anut hingga ia

29
menemukan keyakinan baru dan dengan keyakinan yang baru itulah ia
mulai menemukan ketenangan. Dengan ketenangan yang diperolehnya dari
keyakinan baru tersebut ia akan mengungkapkan sikap menerima dan
mengikuti keyakinannya itu. Segala perbuatannya didasarkan pada
keyakinan baru yang ia yakini.
D. Konflik Agama
Konflik agama sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang, dapat
terjadi karena adanya “pemasungan” nilai-nilai ajaran agama itu sendiri.
Maksudnya, para penganut agama seakan “memaksakan” nilai-nilai ajaran
agama sebagai “label” untuk membenarkan tindakan yang dilakukannya.
Padahal, apa yang mereka lakukan sesungguhnya bertentangan dengan
nila-nilai ajaran agama itu sendiri. Penyimpangan itu oleh adanya sebab
dan pengaruh yang melatar belakanginya.[4]
1. Pengetahuan Agama yang Dangkal
Secara psikologis, masyarakat awam cenderung mendahulukan emosi
ketimbang nalar. Kondisi ini, member peluang bagi masuknya pengaruh-
pengaruh negative dari luar yang mengatasnamakan agama. Apabila
pengaruh tersebut dapat menimbulkan respon emosional, maka konflik
dapat dimunculkan. Tegasnya, mereka yang awam akan berpeluang
diadu-domba.
2. Fanatisme
Dalam kehidupan masyarakat, ketaatan beragama cenderung dipahami
sebagai “pembenaran” yang berlebihan. Pemahaman yang demikian itu
akan membawa kepada sikap fanatisme, hingga menganggap agama yang
dianutnyalah yang paling benar.
3. Agama sebagai Doktrin
Ada kecenderungan di masyarakat, bahwa agama dipahami sebagai
doktrin yang bersifat normative. Pemahaman yang demikian, membuat
ajaran agama menjadi sempit. Hal seperti ini menjurus pada munculnya
kelompok-kelompok ekstrem dalam bentuk gerakan sempalan eksklusif.
Kondisi seperti itu bagaimana pun akan mengurangi sikap toleran yang
dapat mengganggu hubungan antarsesama umat beragama.

30
4. Simbol-simbol
Dalam kajian antropologi, agama ditandai oleh keyakinan terhadap sesuatu
yang bersifat adikodrati (supernatural), ajaran, penyampai ajaran, lakon
ritual, orang-orang suci, tempat suci, dan benda-benda suci. Walaupun
agama bermacam-macam, namun komponen itu didapati disemua agama,
dengan demikian, selain merupakan keyakinan, agama juga mengandung
symbol-simbol yang oleh penganutnya dinilai sebagai sesuatu yang suci
yang perlu dipertahankan.
5. Tokoh Agama
Sebagai pemimpin agama, dia mampu mengobarkan atau menentramkan
emosi keagamaanya pengikutnya. Bila terjadi konflik sosial, yang
kebetulan pihak yang terlibat adalah bagian dari penganut agama yang
berbeda, maka isu agama mudah masuk. Tidak jarang tokoh agama ikut
terpengaruh oleh isu-isu tersebut. Kalaulah hal seperti itu terjadi, maka
dikhawatirkan para tokoh agama akan ikut terlibat dalam konflik.
6. Sejarah
Dalam konteks penyiaran agama, “kufr” sering diaplikasikan sebagai
“lawan agama”, atau dipertajam lagi menjadi “musuh agama”. Dalam
pandangan seperti ini, maka golongan yang tidak beriman menjadi abash
untuk diperangi.
Latar belakang sejarah agama, umumnya menimpan kasus-kasus seperti
ini. Terkadang oleh pandangan yang ekstrem yang seperti itu,
pertumpahan darah sering terjadi. Dalam kasus sosial, kadang-kadang
muatan sejarah keagamaan ini lagi-lagi dimunculkan, hingga dapat
menyulut terjadinya konflik.
7. Berebut Surga
Setiap agama mengajarkan kepercayaan akan adanya kehidupan abadi
setelah kematian, yaitu surge dan neraka. Semua manusia pasti berharap
akan masuk surge. Dalam upaya memperoleh “tiket” surge, seseorang
meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya.
Sayangnya dalam kehidupan beragama, sering terjadi kebalikannya. Peta
dan kenikmatan surgawi diperebutkan dengan mengorbankan kelompok

31
lain. Ada kecenderungan mendeskreditkan orang atau kelompok lain.
Barangkali usaha untuk memperebutkan akan surge akan timbul bukan
saja di dalam kelompok penganut agama yang berbeda, tetapi juga bisa
terjadi dalam kelompok seagama. Bila pandangan seperti ini meningkat
pada klaim sepihak, maka konflik pun tidak akan dapat dihindarkan.
Paling tidak akan menumbuhkan rasa permusuhan.
E. Fatalisme
Dalam kenyataan, umumnya nilai-nilai ajaran agama sering
“dimanipulasi” hingga melahirkan pemeluk yang fatalis (berserah kepada
nasib). Informasi wahyu dan risalah kerasulan direduksi maknanya
menjadi sebaliknya, sampai-sampai para pemeluknya terbentuk menjadi
kelompok yang nrimo. Mereka dibiasakan untuk menerima keadaan
sebagai “gambaran nasib” yang sudah ditentukan dari “atas”.[5]
Secara psikologis, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya
fatalism, yakni:
1. Pemahaman agama yang keliru
Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang sosio-
kultural, tingkat pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam
kondisi seperti itu terbuka peluang timbulnya “salah tafsir” dalam
memahami pesan-pesan dalam kitab suci maupun risalah rasul.
2. Otoritas Agamawan
Dalam komunitas agama selalu ada pemimpin agamayang jadi panutan
masyarakat pemeluknya. Popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai
sukses diri pribadi ini harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu
ditingkatkan lagi.
Dalam kondisi seperti ini terkadang dengan menggunakan otoritas yang
berlebihan, pemimpin agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan
ajaran agama. Ajaran agama dijadikan alat untuk “menyihir” pengikutnya.
Kata-kata yang dikeluarkan harus dianggap sebagai fatwa yang bila
dilanggar akan berakibat buruk. Sebaliknya “disuburkan” pula janji-janji
“surgawi” yang muluk sebagai ganjaran yang diperuntukkan kepada

32
mereka yang patuh dan taat. Pemimpin agama berusaha menciptakan
situasi psikologis pengikutnya hingga terbentuknya sikap penurut.

33

Anda mungkin juga menyukai