- Irmayani
- Tria Tantra
- Putri Wulandari
- Nike Andayani
Terima kasih juga kami sampaikan atas petunjuk yang di berikan sehingga
kami dapat menyelasaikan tugas Makalah ini dengan usaha semaksimal mungkin.
Terima kasih pula atas dukungan para pihak yang turut membantu
terselesaikannya laporan ini, ayah bunda, teman-teman serta semua pihak yang
penuh kebaikan dan telah membantu penulis.
i
DAFTAR IS
ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan......................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................2
A. Sikap Keberagamaan.....................................................................................2
BAB III..................................................................................................................11
PENUTUP..............................................................................................................11
A. Kesimpulan.................................................................................................11
DAFTARPUSTAKA.............................................................................................12
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sikap keagamaan merupakan perwujudan dari pengalaman dan
penghayatan seseorang terhadap agama, dan agama menyangkut persoalan bathin
seseorang, karenanya persoalan sikap keagamaan pun tak dapat dipisahkan dari
kadar ketaatan seseorang terhadap agamanya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui sikap keberagamaan
b. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk prilaku menyimpang
1
c. Untuk mengetahuipengertian aliran klenik
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sikap Keberagamaan
Mengawali pembahasan mengenai sikap keberagamaan, maka terlebih
dahulu akan dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri. Dalam
pengertian umum, sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif
terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan
individu.Dengan demikian, sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman
seseorang, serta tergantung kepada objek tertentu.
1
Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James hingga Gordon W.
Allport, (Yogyakarta: KANISIUS, 1995), Cet.Ke-2, hal.. 26
3
Kelompok pertama, memiliki ciri dingin, menyerah-pasrah tanpa emosi,
tak bersemangat, plegmatis.Sedangkan kelompok kedua penuh gairah, terlibat,
bersemangat tinggi, dan meluap dengan vitalitas.
2
Ibid h.29
4
dari munculnya persoalan hingga tercapainya suatu keseimbangan. Adapun
beberapa proses/fase terjadinya perubahan sikap dari teori konsistensi ini adalah;3
3
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012), h.286-289.
4
Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
Cet.Ke-3, hal. 72.
5
keagamaan tersebut merupakan perwujudan dari rasa dan jiwa beragama dengan
kesdaran serta pengalaman keberagamaan pada individu.5
5
H. Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), Cet.Ke-8, h. 100.
6
Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), h. 33
6
menyimpang” adalah tingkah laku yang melanggar, bertentangan, atau
menyimpang dari aturan-aturan normatif,pengertian-pengertian normatif maupun
dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.
1. Perialku Abnormal
2. Perilaku Mal-Adaptif
3. Gangguan Mental
4. Gangguan Perilaku
5. Psikopatologi
6. Penyakit Jiwa
7. Penyakit Mental
8. Ketidakwarasan
7
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012)272
7
pembaharuan,seperti contohnya Martin Luther. Dan juga Sidharta Gautama yang
meninggalkan agama Hindu kemudian menjadi pelopor pelahirnya agama
budha.Keduanya merupakan contoh dari sekian banyak kasus sikap keagamaan
yang menyimpang, namun yang positif.8
Jika tingkah laku yang diperlihatkan sesuai dengan norma yang berlaku,
maka tingkah laku tersebut dinilai baik dan diterima. Sebaliknya, jika tingkah laku
tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan norma yang berlaku, maka tingkah
laku dimaksud dinilai buruk dan ditolak.
Tingkah laku yang menyalahi norma yang berlaku ini disebut dengan
tingkah laku yang menyimpang. Penyimpangan tingkah laku ini dalam kehidupan
banyakterjadi, sehingga sering menimbulkan keresahan masyarakat.Kasus-kasus
penyimpangan tingkah laku seperti itu tak jarang pula berlaku pada kehidupan
8
Ibid h. 272
9
Ibid h.272
8
manusia sebagai individu ataupun kehidupan sebagai kelompok masyarakat.Dan
dalam kehidupan masyarakat beragama penyimpangan yang demikian itu sering
terlihat dalam bentuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang.10
Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib.
Bagi penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal-hal yang gaib ini
umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat
emosional , ketimbang rasional. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap
hal-hal gaib ini tenteunya tidak memiliki batas dan indikator yang jelas, karena
semuanya bersifat emosional dan cenderung berada diluar jangkauan nalar.
Karena itu tak jarang dimanipulasi dalam bentuk kemasan yang dihubungkan
dengan kepentingan tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih
diterima oleh masyarakat, sebab agama erat dengan sesuatu yang sakral.
9
kondisi yang putus asa seperti itu, praktik kebatinan seperti aliran klenik di
anggap dapat menjanjikan dan merupakan tempat pelarian dalam mengatasi
kemelut batin mereka.11
Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib.
Bagi penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal-hal yang gaib ini
umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional,
ketimbang rasional. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal gaib
ini tentunya tidak memiliki batas dan indikator yang jelas, karena semuanya
bersifat emosional dan cenderung berada di luar jangkauan nalar. Karena itu tak
jarang dimanipulasi dalam bentuk kemasan yang dihubungkan dengan
kepentingan tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih diterima oleh
masyarakat, sebab agama erat kaitannya dengan sesuatu yang sakral.
11
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012) h.374-378
12
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012) h.379
10
1. Pelakunya menokohkan diri selalu orang suci dan umumnya tidak
memiliki latar belakang yang jelas (asing).
2. Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah yang
berhubungan dengan hal-hal gaib.
3. Menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan
masyarakat.
4. Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.
5. Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
Suburnya praktik ini antara lain ditopang oleh kondisi masyarakat yang
umumnya awam terhadap agama namun memiliki rasa fanatisme keagamaan yang
tinggi. Kondisi ini menjadikan masyarakat memiliki tingkat sugestibel yang
tinggi, sehingga lebih reseptif gagasan baru yang dikaitkan dengan ajaran agama.
Sebaliknya, tokoh klenik umumnya memiliki kemampuan untuk memberi sugesti.
13
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012) h.380
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku keagamaan yang menyimpang ialah suatu bentuk perilaku yang tidak
sesuai dengan norma-norma agama yang dianut oleh seseorang, kelompok, atau
masyarakat. Norma keagamaan merupakan salah satu bentuk norma yang menjadi tolok
ukur tingkah laku keagamaan seseorang, kelompok atau masyarakat yang mendasarkan
nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama.
Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada
tingkat fikir seseorang , sehingga akan mendatangkan kepercayaan atau keyakinan baru
kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok).
Individu yang tidak menyimpang tersebut adalah atas dasar pembentukan
kepribadian, perumusan sikap dan keserasian hubungan sosial atau suatu
perbuatan dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Yang transpersonal atau
supranatural.
12
DAFTARPUSTAKA
13
B. Tingkah Laku Keagamaan Yang Menyimpang
Perilaku menyimpang ialah perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai
yang dianut oleh masyarakat atau kelompok. Perilaku menyimpang
disebut nonkonformitas. Perilaku yang tidak menyimpang disebut konformitas,
yaitu bentuk interaksi seseorang yang berusaha bertindak sesuai dengan norma
dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari,
tidak semua orang bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang
berlaku dalam masyarakat.
Prof. Dr. Kasmiran Wuryo M.A. membagi norma sebagai tolok ukur tingkah laku
dilihat dari penduduknya, menjadi beberapa macam, antara lain: norma pribadi,
norma grup (kelompok), norma masyarakat, norma susila, dan sebagainya.
Dengan demikian, norma keagamaan merupakan salah satu bentuk norma yang
menjadi tolok ukur tingkah laku keagamaan seseorang, kelompok atau masyarakat
yang mendasarkan nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama.
Menurut Kasmiran, menurut sifat dan sumbernya norma itu dapat digolongkan
menjadi dua jenis, yaitu:
a. Tradisional
14
b. Formal
Norma ini melalui pembentukan dari atas dan bersumber dari berbagai ketentuan
formal yang berlaku di masyarakat. Sumbernya dapat berupa undang-undang
peraturan ataupun kebijaksanaan formil dari pengusaha masyarakat yang
materinya merupakan norma yang dijadikan tolok ukur salah benarnya tingkah
laku dan kehidupan masyarakat.
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa, baik norma tradisional maupun formal
bersumber dari nilai-nilai luhur yang diperkirakan dapat dijadikan tolok ukur
tingkah laku. Dalam masyarakat beragama, walaupun secara tegas sulit untuk
diteliti, namun diyakini norma-norma yang berlaku dalam kehidupan tak mungkin
lepas dari nilai-nilai luhur agama yang mereka anut. Karena itu, dalam kondisi
yang bagaimanapun, bentuk tingkah laku yang menyimpang masih dapat
diketahui dan dibedakan dari norma-norma yang berlaku.
Norma dan nilai bersifat relatif dan mengalami perubahan dan pergeseran. Suatu
tindakan di masa lampau dipandang sebagai penyimpangan, tetapi sekarang hal itu
dianggap biasa. Contoh, dahulu seorang anak apabila diberi nasihat oleh orang
tuanya, hanya menunduk saja. Akan tetapi, anak sekarang ketika berinteraksi
dengan orang tuanya bisa mengemukakan pendapatnya. Begitu pula ketentuan-
ketentuan sosial di dalam suatu masyarakat berbeda, dengan ketentuan-ketentuan
sosial di dalam masyarakat lain. Akibatnya, tindakan yang bagi suatu masyarakat
merupakan penyelewengan, bagi masyarakat merupakan suatu tindakan yang
biasa. Umpamanya: Masyarakat patrilineal tidak membolehkan perkawinan yang
masih bersaudara, tetapi dalam masyarakat lainnya bisa dilaksanakan. Hal itu
berarti bahwa norma dan nilai bersifat relatif.
15
2. Pembentukan dan Penyimpangan Sikap Keagamaan
a. sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi
yang terus menerus dengan lingkungan (di rumah, sekolah, dll) dan senantiasa
berhubungan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide,
sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap
obyek.
b. Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak
dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu, dengan memiliki
kadar intensitas yang tidak tentu sama terhadap obyek tertentu, tergantung pada
situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai
sedangkan di saat dan situasi berbeda belum tentu cocok.
c. sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu, karena ia
merupakan bagian dari konteks persepsi atau pun kognisi individu.
Faktor penentu sikap, baik sikap positif atau pun sikap negatif, adalah motif, yang
berdasarkan kajian psikologis dihasilkan oleh penilaian dan reaksi afektif yang
terkandung dari sebuah sikap. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt
behavior) sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (covert behavior).
16
Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses
berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap
sesuatu obyek. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan
pengalaman seseorang dan bukan pengaruh bawaan (factor intern) seseorang,
serta tergantung kepada obyek tertentu. Karena Sikap dipandang sebagai
perangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil
penalaran, pemahaman dan penghayatan individu.
Pemberian dasar jiwa keagamaan pada anak, tidaklah dapat dilepaskan dari peran
orang tua sebagai pendidik di lingkungan rumah tangga. Pengenalan agama sejak
usia dini, akan sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan kesadaran dan
pengalaman beragama pada anak tersebut. Karenanya adalah sangat tepat, Rasul
SAW menempatkan orang tua sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola
tingkah laku keagamaan seorang anak, sebagaimana sabdanya : “setiap anak
dilahirkan atas fithrah, dan tanggung jawab kedua orang tuannyalah untuk
menjadikan anak itu nashrani, Yahudi atau Majusi. Dimana fithrah yang dapat
diartikan sebagai potensi untuk bertauhid (dapat disebut sebagai jiwa keagamaan),
merupakan potensi physikis pada manusia, yang diakui adanya oleh para ahli
psikologi transpersonal. Aliran psikologi ini juga mencoba melakukan kajian
ilmiah terhadap demensi yang selama ini merupakan kajian dari kaum kebathinan,
rohaniawan, agamawan dan mistikus. Jadi, keluarga sebagai lingkungan yang
pertama ditemui anak, sangat berperan dalam pembentukan pola perilaku/ sikap
anak. Adanya perbedaan individu, pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan
situasi lingkungan yang dihadapi oleh masing-masing.
Karena itu, pembinaan dan pengembangan fithrah sebagai potensi psikis manusia,
untuk melahirkan sikap dan pola tingkah laku keagamaan, dapat dibentuk dengan
mengkondisikan lingkungan sesuai dengan ketentuan norma-norma agama. Dan
norma-norma tersebut akhirnya terintegrasi dalam kepribadian individu yang
bersangkutan.
17
tingkat pikir transenden. Akan sangat berpengaruh terhadap penyimpangan
kelompok.
Keyakinan itu sendiri merupakan suatu tingkat fikir yang dalam proses berfikir
manusia telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai
penyempurna proses dan pencapaian kebenaran dan kenyataan yang terdapat di
luar jangkauan fikir manusia. Karenanya penyimpangan sikap keagamaan
cenderung di dasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat dan
menonjol ketimbang aspek rasional.
3. Teori-teori Penyimpangan
18
Robert K. Merton mengemukan teori yang menjelaskan bahwa perilaku
menyimpang merupakan penyimpangan melalui struktur sosial. Dalam struktur
sosial dijumpai tujuan atau kepentingan. Tujuan tersebut adalah hal-hal yang
pantas dan baik. Cara-cara buruk seperti menipu tidak dibenarkan. Perilaku
menyimpang terjadi kalau ada ketimpangan antara tujuan yang ditetapkan dan
cara atau sarana untuk mencapai tujuan. Teori Merton adalah struktur sosial yang
menghasilkan tekanan ke arah memudamya kaidah (anomie) dan perilaku
menyimpang. Keadaan yang tanpa kaidah dapat menimbulkan sikap mental yang
negatif. Sikap mental itu misalnya usaha mencapai tujuan secepatnya tanpa
menurut kaidah yang ditentukan. Sikap itu disebut menerobos atau potong
kompas. Misalnya berusaha menjadi orang kaya mendadak dengan cara mencuri.
iv. Penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang
menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh besar),
ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan
19
masyarakat, maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk
menampilkan sikap yang sama, walau pun disadari itu merupakan sikap yang
menyimpang dari sikap sebelumnya.
a. Aliran Klenik
Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Bagi
penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal gaib ini umumnya diterima
sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional, ketimbang
rasional. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal gaib ini
tentunya tidak memiliki batas dan indikator yang jelas, karena semuanya bersifat
emoosional dan cenderung berada di luar jangkauan nalar. Karena itu tidak jarang
dimanipulasi dalm bentuk kemasan yang dihubungkan dengan kepentingan
tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih diterima oleh masyarakat,
sebab agama erat dengan sesuatu yang sakral.
Masalah yang menyangkut sesuatu yang gaib dan nilai-nilai sakral keagamman ini
dalam kehidupan masyarakat sering pula diturunkan pada pribadi-pribadi tertentu.
Proses ini menimbulkan kepercayaan bahwa seseorang dianggap mempunyai
kemampuan luar biasa dan dapat berhubungan dengan alam gaib.
20
5) Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat
b. Konversi Agama
Yaitu konversi yang terjadi secara berproses, sedikit demi sedikit hingga
kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan ruhaniah yang baru.
Yaitu konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami proses
tertentu tiba- tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya.
Perubahan tersebut dapat terjadi dari kondisi tidak taat menjadi taat, dari tidak
kuat keimanannya menjadi kuat keimanannya, dari tidak percaya kepada suatu
agama menjadi percaya dan sebagainya.
21
3) Faktor- faktor yang menyebabkan konversi
Para ahli sosiologi berpendapat bahwa terjadinya konversi agama disebabkan oleh
pengaruh sosial. Dijelaskan oleh Clark, pengaruh- pengaruh tersebut antara lain:
a) Hubungan antar pribadi, baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun yang
bersifat non agama.
c) Anjuran atau propaganda dari orang- orang yang dekat , seperti keluarga, sahabat
dan sebagainya.
c. Konflik Agama
22
2) Fanatisme
4) Simbol-simbol
Dalam kajian antropologi, agama ditandai oleh keyakinan terhadap sesuatu yang
bersifat adikodrati (supernatural), ajaran, penyampai ajaran, lakon ritual, orang-
orang suci, tempat suci, dan benda-benda suci. Walaupun agama bermacam-
macam, namun komponen itu didapati disemua agama, dengan demikian, selain
merupakan keyakinan, agama juga mengandung symbol-simbol yang oleh
penganutnya dinilai sebagai sesuatu yang suci yang perlu dipertahankan.
5) Tokoh Agama
6) Sejarah
23
Dalam konteks penyiaran agama, “kufr” sering diaplikasikan sebagai “lawan
agama”, atau dipertajam lagi menjadi “musuh agama”. Dalam pandangan seperti
ini, maka golongan yang tidak beriman menjadi abash untuk diperangi.
7) Berebut Surga
Terorisme berasal dari kata terror, yang secara etimologis mencakup arti: 1.
Perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis,
dan sebagainya); 2. Usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh
seseorang atau golongan. Sedangkan terorisme berarti penggunaan kekerasan atau
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan, terutama tujuan politik.
Jadi, terorisme mungkin dilakukan oleh siapa saja, baik pemerintah, golongan
atau perorangan.
Memang secara definitif, tampaknya belum ada rumusan yang dsepakati, apa yang
dimaksud dengan terorisme. Namun, untuk sekedar member gambaran mengenai
hal itu, barangkali dapat dirujuk pendapat yang dikemukakan oleh Smit dan
jungman. Menurut mereka terorisme adalah tindakan yang dengan sengaja
24
menggunakan atau mengancam menggunakan kekerasan terhadap sipil atu sasara
sipil untuk mencapai tujuan politik. Smith dan jungman dalam definisinyalebih
menekankan pada cara, sasaran, dan tujuan. Tidak pada subjeknya. Hal ini
member kesan, bahwa terorisme dapat dilakukan oleh siapa saja. Adapun yang
penting di dalamnya termuat indikasi berupa: perbuatan sengaja (direncanakan,
sistematik, dan teroganisasi), penggunaan kekerasan (ancaman, langsung), sasaran
(sipil, non-militer), dan tujuannya terkait dengan kepentingan politik.
e. Fatalisme
2) Otoritas Agamawan
25
buruk. Sebaliknya “disuburkan” pula janji-janji “surgawi” yang muluk sebagai
ganjaran yang diperuntukkan kepada mereka yang patuh dan taat. Pemimpin
agama berusaha menciptakan situasi psikologis pengikutnya hingga terbentuknya
sikap penurut.
Aliran Klenik
Klenik dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan
akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal
(KBRI,1989:409). Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini erat
kaitannya dengan praktik perdukunan, hingga sering dikatakan dukun
klenik. Dalam kegiatannya dukun ini menggunakan guna-guna atau
kekuatan gaib lainnya dalam pengobatan.[2]
Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib.
Bagi penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal gaib ini
umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat
emosional, ketimbang rasional. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan
terhadap hal-hal gaib ini tentunya tidak memiliki batas dan indikator yang
jelas, karena semuanya bersifat emoosional dan cenderung berada di luar
jangkauan nalar. Karena itu tidak jarang dimanipulasi dalm bentuk
kemasan yang dihubungkan dengan kepentingan tertentu. Manipulasi
melalui kepercayaan agama lebih diterima oleh masyarakat, sebab agama
erat dengan sesuatu yang sakral.
Masalah yang menyangkut sesuatu yang gaib dan nilai-nilai sakral
keagamman ini dalam kehidupan masyarakat sering pula diturunkan pada
pribadi-pribadi tertentu. Proses ini menimbulkan kepercayaan bahwa
seseorang dianggap mempunyai kemampuan luar biasa dan dapat
berhubungan dengan alam gaib.
Dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat klenik memiliki
karakteristik yang hampir sama, yaitu:
1. Pelakunya menokohkan dirinya sebagai orang suci.
2. Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa.
3. Ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4. Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.
26
5. Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
C. Konversi Agama
Secara etimologi konversi berasal dari kata lain “Conversio” yang berarti: tobat,
pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata
Inggris Conversion yang mengandung pengertian: berubah dari suatu
keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or
from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat
disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat,
berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk ke
dalam agama.[3]
Sedangkan menurut terminologi pengertian konversi agama seperti yang
dikemukakan oleh Max Heirich. Ia mengatakan bahwa konversi agama
adalah suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang masuk
atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan
dengan kepercayaan sebelumnya.
Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan
tempat berada. Selain itu, konversi agama yang dimaksudkan uraian diatas
memuat beberapa pengertian dengan ciri-ciri:
1. Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama
dan kepercayaan yang dianutnya.
2. Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan
dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
3. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari
suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan
terhadap agama yang dianutnya sendiri.
4. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun
disebabkab faktor petunjuk dari Yang Mahakuasa.
Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama
Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya
konversi agama adalah petunjuk Ilahi. Pengaruh supernatural berperan
secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri
seseorang atau kelompok.
27
Sedangkan para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadinya
konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong
terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain:
1. Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan
maupun nonagama.
2. Pengaruh kebiasaan yang rutin.
3. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat.
4. Pengaruh pemimpin keagamaan.
5. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi.
6. Pengaruh kekuasaan pemimpin.
Lain halnya dengan para ahli psikologi, mereka berpendapat bahwa yang menjadi
pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang
ditimbulkan oleh faktor intern (kepribadian, pembawaan) maupun ekstern
(keluarga, lingkungan tempat tinggal, perubahan status, kemiskinan).
Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok
hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong
untuk mencari jalan ke luar yaitu ketenangan batin.
Satu lagi pendapat dari para ahli ilmu pendidikan yang menyatakan bahwa
konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu
sosial menampilkan data dan argumentasi, bahwa suasana pendidikan ikut
mempengaruhi konversi agama.
Proses Konversi Agama
Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah
gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan
bangunan baru yang lain yang sama dengan bangunan sebelumnya. Jadi
bila pada seseorang atau kelompok, konversi agama seperti perubahan dari
segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama, seperti harapan,
rasa bahagia, keselamatan, dan kemantapan berubah menjadi berlawanan
arah.
Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin, sehingga
untuk mengatasi kesulitan tersebut harus dicari jalan penyalurannya.
Umumnya apabila gejala tersebut sudah dialami oleh seseorang atau
28
kelompok maka dirinya menjadi lemah dan pasrah atau pun timbul
semacam peledakan perasaan untuk menghindarkan diri dari pertentangan
batin itu. Ketenangan batin akan terjadi dengan sendirinya bila yang
bersangkutan telah mampu memilih pandangan hidup yang baru.
Pandangan hidup yang dipilih tersebut merupakan petaruh bagi masa
depannya, sehingga ia merupakan pegangan baru dalam kehidupan
selanjutnya.
M.T.L. Penido berpendapat, bahwa konversi agama mengandung dua unsur, yaitu:
1. Unsur dari dalam diri, yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang atau kelompok.
2. Unsur dari luar, yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri seseorang
atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau
kelompok yang bersangkutan.
Perubahan yang terjadi tetap melalui proses pentahapan dalam bentuk kerangka
proses secara umum. Kerangka prose situ dikemukakan antara lain oleh:
a. H. Carrier, membagi proses tersebut dalam pentahapan sebagai berikut:
1. Terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat dari krisis
yang dialami.
2. Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru.
3. Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut
oleh ajarannya.
4. Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci
petunjuk Tuhan.
b. Dr. Zakiah Daradjat memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses
kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu: masa tenang, masa
ketidaktenangan, masa konversi, masa tenang dan tenteram dan terakhir
masa ekspresi konversi.
Jadi pada dasarnya proses konversi agama berlangsung secara bertahap. Dan
secara umum bisa digambarkan dari seseorang atau kelompok yang semula
tenang dalam artian acuh tak acuh terhadap agama yang dianutnya hingga
kemudian muncul masalah baru yang menyebabkan adanya goncangan
batin. Ia merasa tidak yakin dengan keyakinan yang ia anut hingga ia
29
menemukan keyakinan baru dan dengan keyakinan yang baru itulah ia
mulai menemukan ketenangan. Dengan ketenangan yang diperolehnya dari
keyakinan baru tersebut ia akan mengungkapkan sikap menerima dan
mengikuti keyakinannya itu. Segala perbuatannya didasarkan pada
keyakinan baru yang ia yakini.
D. Konflik Agama
Konflik agama sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang, dapat
terjadi karena adanya “pemasungan” nilai-nilai ajaran agama itu sendiri.
Maksudnya, para penganut agama seakan “memaksakan” nilai-nilai ajaran
agama sebagai “label” untuk membenarkan tindakan yang dilakukannya.
Padahal, apa yang mereka lakukan sesungguhnya bertentangan dengan
nila-nilai ajaran agama itu sendiri. Penyimpangan itu oleh adanya sebab
dan pengaruh yang melatar belakanginya.[4]
1. Pengetahuan Agama yang Dangkal
Secara psikologis, masyarakat awam cenderung mendahulukan emosi
ketimbang nalar. Kondisi ini, member peluang bagi masuknya pengaruh-
pengaruh negative dari luar yang mengatasnamakan agama. Apabila
pengaruh tersebut dapat menimbulkan respon emosional, maka konflik
dapat dimunculkan. Tegasnya, mereka yang awam akan berpeluang
diadu-domba.
2. Fanatisme
Dalam kehidupan masyarakat, ketaatan beragama cenderung dipahami
sebagai “pembenaran” yang berlebihan. Pemahaman yang demikian itu
akan membawa kepada sikap fanatisme, hingga menganggap agama yang
dianutnyalah yang paling benar.
3. Agama sebagai Doktrin
Ada kecenderungan di masyarakat, bahwa agama dipahami sebagai
doktrin yang bersifat normative. Pemahaman yang demikian, membuat
ajaran agama menjadi sempit. Hal seperti ini menjurus pada munculnya
kelompok-kelompok ekstrem dalam bentuk gerakan sempalan eksklusif.
Kondisi seperti itu bagaimana pun akan mengurangi sikap toleran yang
dapat mengganggu hubungan antarsesama umat beragama.
30
4. Simbol-simbol
Dalam kajian antropologi, agama ditandai oleh keyakinan terhadap sesuatu
yang bersifat adikodrati (supernatural), ajaran, penyampai ajaran, lakon
ritual, orang-orang suci, tempat suci, dan benda-benda suci. Walaupun
agama bermacam-macam, namun komponen itu didapati disemua agama,
dengan demikian, selain merupakan keyakinan, agama juga mengandung
symbol-simbol yang oleh penganutnya dinilai sebagai sesuatu yang suci
yang perlu dipertahankan.
5. Tokoh Agama
Sebagai pemimpin agama, dia mampu mengobarkan atau menentramkan
emosi keagamaanya pengikutnya. Bila terjadi konflik sosial, yang
kebetulan pihak yang terlibat adalah bagian dari penganut agama yang
berbeda, maka isu agama mudah masuk. Tidak jarang tokoh agama ikut
terpengaruh oleh isu-isu tersebut. Kalaulah hal seperti itu terjadi, maka
dikhawatirkan para tokoh agama akan ikut terlibat dalam konflik.
6. Sejarah
Dalam konteks penyiaran agama, “kufr” sering diaplikasikan sebagai
“lawan agama”, atau dipertajam lagi menjadi “musuh agama”. Dalam
pandangan seperti ini, maka golongan yang tidak beriman menjadi abash
untuk diperangi.
Latar belakang sejarah agama, umumnya menimpan kasus-kasus seperti
ini. Terkadang oleh pandangan yang ekstrem yang seperti itu,
pertumpahan darah sering terjadi. Dalam kasus sosial, kadang-kadang
muatan sejarah keagamaan ini lagi-lagi dimunculkan, hingga dapat
menyulut terjadinya konflik.
7. Berebut Surga
Setiap agama mengajarkan kepercayaan akan adanya kehidupan abadi
setelah kematian, yaitu surge dan neraka. Semua manusia pasti berharap
akan masuk surge. Dalam upaya memperoleh “tiket” surge, seseorang
meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya.
Sayangnya dalam kehidupan beragama, sering terjadi kebalikannya. Peta
dan kenikmatan surgawi diperebutkan dengan mengorbankan kelompok
31
lain. Ada kecenderungan mendeskreditkan orang atau kelompok lain.
Barangkali usaha untuk memperebutkan akan surge akan timbul bukan
saja di dalam kelompok penganut agama yang berbeda, tetapi juga bisa
terjadi dalam kelompok seagama. Bila pandangan seperti ini meningkat
pada klaim sepihak, maka konflik pun tidak akan dapat dihindarkan.
Paling tidak akan menumbuhkan rasa permusuhan.
E. Fatalisme
Dalam kenyataan, umumnya nilai-nilai ajaran agama sering
“dimanipulasi” hingga melahirkan pemeluk yang fatalis (berserah kepada
nasib). Informasi wahyu dan risalah kerasulan direduksi maknanya
menjadi sebaliknya, sampai-sampai para pemeluknya terbentuk menjadi
kelompok yang nrimo. Mereka dibiasakan untuk menerima keadaan
sebagai “gambaran nasib” yang sudah ditentukan dari “atas”.[5]
Secara psikologis, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya
fatalism, yakni:
1. Pemahaman agama yang keliru
Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang sosio-
kultural, tingkat pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam
kondisi seperti itu terbuka peluang timbulnya “salah tafsir” dalam
memahami pesan-pesan dalam kitab suci maupun risalah rasul.
2. Otoritas Agamawan
Dalam komunitas agama selalu ada pemimpin agamayang jadi panutan
masyarakat pemeluknya. Popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai
sukses diri pribadi ini harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu
ditingkatkan lagi.
Dalam kondisi seperti ini terkadang dengan menggunakan otoritas yang
berlebihan, pemimpin agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan
ajaran agama. Ajaran agama dijadikan alat untuk “menyihir” pengikutnya.
Kata-kata yang dikeluarkan harus dianggap sebagai fatwa yang bila
dilanggar akan berakibat buruk. Sebaliknya “disuburkan” pula janji-janji
“surgawi” yang muluk sebagai ganjaran yang diperuntukkan kepada
32
mereka yang patuh dan taat. Pemimpin agama berusaha menciptakan
situasi psikologis pengikutnya hingga terbentuknya sikap penurut.
33