Anda di halaman 1dari 23

MEMAHAMI MAQAMAT DAN

AHWAL DALAM ILMU TASAWUF

Dosen Pengampu : Juliana Nasution, ME

Prodi / Kelas : Manajemen IV F

Oleh Kelompok :3

 Ayu Widyastuti Rafisa


 Nurhafifah Saragih

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam

Universitas Islam Negeri

Sumatera Utara

Medan

2021

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Akhlak Tasawuf tentang “Memahami Maqamat Dan Ahwal Dalam Ilmu
Tasawuf”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari Ibu Juliana
Nasution, ME. selaku dosen pengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf prodi
Manajemen kelas IV F.

Kami menyadari masih ada kesalahan dan kekurangan, baik dalam


penyusunan kata, bahasa, dan sistematika pembahasannya. Oleh sebab itu kami
sangat mengharapkan masukan atau kritikan serta saran yang bersifat
membangun untuk mendorong kami menjadi lebih baik kedepan nya.
Akhir kata, kami dari kelompok 3 ingin mengucapkan terimakasih
kepada pembaca yang sudah berkenan membaca makalah ini. Semoga makalah
ini dapat memberikan motivasi dan menambah wawasan serta bermanfaat,
khususnya bagi kami dan pembaca. Aamiin.

Medan, 01 Mei 2021

Tim Penulis

2
Daftar Isi
Kata Pengantar ……………………………………………………………... 2
Daftar Isi……………………………………………………………………. 3

Bab I Pendahuluan …………………………………………………………. 4


A. Latar Belakang……………………………………………………… 4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………… 4
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………… 4

Bab II Pembahasan………………………………………………………….. 5
A. Sejarah Maqamat…………………………………………………….. 5
B. Definisi Maqamat……………………………………………………. 6
C. Macam-Macam Maqamat…………………………………………… 9
D. Pengertian Ahwal……………………………………………………. 17
E. Tingkatan Ahwal…………………………………………………….. 21

Bab III Penutup……………………………………………………………… 22


A. Kesimpulan………………………………………………………… 22
B. Saran……………………………………………………………….. 22

Daftar Pustaka………………………………………………………………. 23

3
BAB I
PENDAHULU
A. Latar Belakang
Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan maqamat dan ahwal.
Keduanya dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak mungkin ada
tasawuf, baik ia sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai amalan, tanpa kehadiran
maqamat dan ahwal.

Dalam menjalani proses maqamat yang maha berat itu, jiwa seseorang sufi
terbang mengembara mencari dan menemukan hakikat hidup, manusia dan Tuhan
Yang Maha agung dan indah. Pada saat yang sama, ia juga mengalami ahwal;
merasakan nikmatnya berada puncak spiritual yang tak terkatakan dan tak bisa
dilukiskan keindahannya. Setiap sufi memiliki nama-nama atau istilah sendiri
untuk melukiskan nikmat dan indahnya bertemu Sang Kekasih, walaupun kata-
kata itu sebenarnya tidak dapat menggambarkan sejatinya pertemuan itu karena
keterbatasan-keterbatasan (bahasa) manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dari Maqamat?
2. Apa definisi dari Maqamat?
3. Apa saja macam-macam dari Maqamat?
4. Apa pengertian dari Ahwal?
5. Apa saja tingkatan dari Ahwal?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui sejarah dari maqamat.
2. Mahasiswa mengetahui definisi dari maqamat.
3. Mahasiswa mengetahui macam-macam dari maqamat.
4. Mahasiswa mengetahui penngertian dari ahwal.
5. Mahasiswa mengetahui tingkatan dalam ahwal.

4
BAB I

PEMBAHASAN

A. Sejarah Maqamat

Secara historis konsep maqamat diduga muncul pada abad pertama hijriyah
ketika para sahabat nabi masih banyak yang hidup, sosok yang memperkenalkan
konsep tersebut adalah menantu Rasulullah saw yaitu sahabat Ali bin Abi Thalib.
Hal ini dapat ditemukan dalam satu informasi bahwa suatu ketika Ali bin Abi
Thalib ketika ditanya, “Apa makna Iman?” Dia menjawab, “Iman dibangun di atas
empat Pilar: kesabaran, keyakinan, keadilan, dan perjuangan.” kemudian Ali bin
Abi Thalib menguraikan makna masing-masing hingga membentuk 10 bentuk
kedudukan hamba (maqamat). Hal ini setidaknya menjadi bukti kuat bahwa
sumber tasawuf sudah dapat dilihat pada masa Nabi Muhammad saw. 1 Jelaslah
bahwa maqamat sebetulnnya sudah lama dipraktikkan.

Mengomentari penyataan ini, al-Thusi menegaskan, “jika riwayat itu benar,


maka Ali bin Abi Thalib yang pertama kali membicarakan tentang ahwal dan
maqamat.” Pendapat lain mengatakan bahawa Imam Jaafar al-Saddiq yang
pertama.2 Berlaku sedikit dalam menetapkan tokoh yang pertama kali
membicarakan perihal maqamat, namun secara hakikatnya ia sudah pun di
amalkan sejak zaman para sahabat nabi lagi.

Tokoh populer yang mewakili aliran ini dapat ditunjukkan Hasan al-bashri
(110 H) yang mengembangkan doktrin al-zuhd dan khauf, raja, Rabiah al-
Adawiyah (185 H) dengan Al-hubb atau Mahabbah. Ma'ruf al-kharki (200 H)
dengan al-syauq sebagai pedomannya. Maka disimpulkan bahwa ketiga tokoh
tersebut sangat mempengaruhi dunia tasawuf dari zaman berzaman.

Sementara itu, pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama kali
berkata tentang tingkatan Maqamat Wilayah dan Ahwal ialah Zu al-Nun al-Misri
1
Ibnu Farhan, Konsep Maqamat Dan Ahwal Dalam Perspektif Para Sufi, Yaqzhan Volume 2,
Nomor 2, December 2016, hlm 158-159
2
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni Dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf Di Indonesia, (Tangerang:
Pustaka IIman, 2009) Cetakan I, hlm 133

5
ra. Ia adalah salah satu sufi yang masyhur yang lahir di Mesir selatan dan
meninggal pada tahun (245 H/859 M). Pada abad ke-3 Hijriyah muncul seorang
Sufi yang dikenal dengan sebutan nama Abu Yazid Al-Bustami (260 H) yang
berada pada tingkatan lebih tinggi dengan doktrin AlIttihad melalui Al-fana,
setelah itu tasawuf semakin berkembang pesat hingga terjadi pergerakan yang
pada tujuannya ialah ke tingkatan yang lebih tinggi. Maka pada zaman ini juga
konsep tasawuf itu mula dikembangkan oleh beberapa tokoh seperti yang telah
dijelaskan di atas.

Dalam pandangan tasawuf, cinta (mahabbah) merupakan pijakan bagi


segenap kemuliaan hal, sama seperti taubat yang meru-pakan dasar bagi
kemuliaan maqam. Bagi kaum sufi, cinta (mahabbah) pada dasarnya adalah
anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal. Kaum sufi menyebutnya
sebagai anugerah-anugerah (mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan hati
untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan3.

Tafsir Sufi berbeda dangan tafsir-tafsir corak lainnya, bukan hanya dalam
metodologi penafsirannya tetapi juga dalam banyak hal. Perbedaan ini muncul
sebagai akibat dari paradigma yang dijadikan landasan tafsir oleh para sufi
berbeda dari paradigm mufassir lainnya. Kecuali itu, juga para sufi berbeda dari
ahli-ahli keislaman lainnya dalam hal memandang Al-Qur’an, termasuk cara
bagaimana memahami Al-Qur’an4.

B. Definisi Maqamat

Maqam dalam terminologi tasawuf sangat berbeda dengan makam dalam


istilah umum yang berarti kuburan. Definisi maqam dengan bentuk jama’
maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti
kedudukan spiritual (English: Station). Maqam arti dasarnya adalah “tempat
berdiri”. Kaum sufi telah merumuskan teori-teori tentang jalan menuju Allah
SWT, yakni menuju ke suatu tahap ma’rifaullah (mengenal Allah SWT dengan
3
Agus Susanti, “Penanaman Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Pembinaan Akhlak”. Jurnal Pendidikan
Islam. Volume 7, November 2016, hal. 127
4
M. Kodir, “Istiqamah”. Jurnal Ilmu Tasawuf, Vol. 1 No. 2. Juli – Desember 2020, hal. 123

6
hati). Secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan maqam
(jama’ maqamat) yang berahir dengan ma’rifah kepada Allah SWT.5

Dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di


hadapan Allah SWT pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Maqamat
adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi untuk
memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual
yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia
yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju
Tuhan. Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk berpindah dari satu
maqam ke maqam lain memerlukan waktu bertahun-tahun.

Sifat kasih sayang (rahmat) dalam dunnia tasawuf (sufi) adalah salah satu
konsep yang urgen. Selain memang sifat tersebut identik dengan sifat Allah, tetapi
sifat kasih sayang juga termanifestasi dalam sikap manusia. Dalam kajian sufi
esksitensi dasar rahmat adalah pemberian napas dalam diri manusia. Pada wilayah
yang sama, Allah mengutus nabi sebagai bentuk rahmat pada makhluk-Nya6.

Al Kalabadhi (990/5) didalam kitabnya “Al-Taaruf li Madzhab Ahl Tasawuf”,


sebuah kitab yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Arthur John
Arberry dengan judul “The doctrine of the Sufi” 3) menjelaskan ada sekitar 10
maqamat: Taubat - zuhud sabar - faqir - dipercaya - tawadhu (rendah hati) -
tawakal - ridho - mahabbah (cinta) -dan ma’rifat. Ibn Arabi dalam kitab Al futuhat
Al Makiyah (The Meccan Revalation) bahkan menyebutkan enam puluh maqam
tetapi tidak memperdulikan sistematika maqam tersebut. Sedangkan maqâm
menurut Ibn Atha’illah ada 9 tahapan, yaitu: taubat, zuhud, shabar, syukur, khauf,
raja’, ridha, tawakkal, mahabbah dan Taubat.

Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa maqam adalah tingkatan


seseorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa
yang dilakukannya. Maqam diperoleh melalui usaha-usaha yang dilakukan
5
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhul ila al-Tashawwuf alIslami, terj. Ahmad Rifa’i
Usmani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 35.
6
Moh. Matador, “Rethingking of Islamic sufism: sufisme sebagai solusi alternative atas kekesaran
sosial”. Jurnal Akhlak dan Tasawuf, vol 4 nomor 1, 2017, Hal. 41

7
seorang hamba. Inilah mungkin yang membedakan antara Maqamat dan al-Ahwal
yang diperoleh melalui anugerah dari Allah SWT.

Sementara pada tingkatan urutan maqamat, para sufi berbeda pandangan


mengenai hal ini, antara lain:

a. Al-Qusyairi berpendapat bahwa maqam seorang sufi ada pada enam


tingkatan, yaitu: Taubat, Wara’, Zuhd, Tawakkal, sabar dan Ridha7
b. At-Thusi mengatakan ada tujuh tingkatan maqam seorang sufi, yaitu:
Taubat, Wara’, Zuhd, Fakir, Sabar, Tawakkal dan Ridha
c. Al-Ghazali mengemukakan ada sepuluh tingkatan maqam seorang
sufi, yaitu: Taubat, Sabar, Sukur, Harap, Takut, Zuhd, Cinta, ‘Asyaq,
Ansu dan Ridha
d. Al Kalabadhi berpendapat bahwa maqam seorang sufi ada sepuluh
yaitu; Taubat - zuhud - sabar - faqir - dipercaya - tawadhu (rendah
hati) - tawakal - ridho - mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
e. Ibn Atha’illah ada 9 tahapan, yaitu: taubat, zuhud, shabar, syukur,
khauf, raja’, ridha, tawakkal, mahabbah, Taubat.
f. Harun Nasution berpendapat bahwa maqamat meliputi beberapa hal,
yaitu: Taubat, Zuhd, Sabar, Tawakkal dan Ridha.

Maqam-maqam diatas harus dilalui oleh seorang sufi yang sedang


mendekatkan diri kepada Tuhannya. Karena urutan masing-masing ulama sufi
dalam menentukan urutan seperti yang tersebut di atas tidak seragam sehingga
membingungkan murid, biasanya Syaikh (guru) tasawuf akan memberikan
petunjuknya kepada muridnya.8

Maqâm merupakan tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang


salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal
maqâm taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqâm ini ketika dia telah
bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk maksiat
7
Zulkifli & Jamaludin. AKHLAK TASAWUF: Jalan Lurus Mensucikan Diri. Kalimedia. Riau.2018.Hal
85
8
Zulkifli & Jamaludin. AKHLAK TASAWUF: Jalan Lurus Mensucikan Diri. Kalimedia. Riau.2018.Hal
86

8
dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqâm adalah suatu keadaan tertentu yang
ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa
nafsu). Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu maqâm
hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya (isqath al-
iradah wa altadbir).

C. Macam-macam Maqam

Berbagai bentuk maqam tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut:

 Maqam Taubat
At-Taubah dapat diartikan memohon ampun atas segala
dosa dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan, disertai janji-jani
yang sunggu-sungguh untuk tidak mengulangi dosa-dosa atau
kesalahan serupa, kemudian disertai dengan amal sholeh. Di
kalangan sufi taubat juga dimaknai “keharusan untuk memohon
ampunan dari rasa dengki, riya, kelalaian mengingat Allah SWT
dan penyakit hati lainnya.9
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang
salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa
mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir
tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan
bertafakkur dan berkhalwat. Sedang tafakkur itu sendiri adalah
hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua
perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya
tersebut berupa ketaatan kepada Allah SWT, maka hendaknya dia
bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal
perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera
beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.

9
HM. Jamil, Cakrawala Tasawuf; Sejarah, Pemikiran dan Kontektualitas (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2004), hal. 48

9
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus
meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah SWT
meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik,
keadaan lupa kepadaNya, dan nafsu syahwatnya, semua atas
kehendak-Nya. Bertaubah adalah suatu ibadah yang diperintahkan
baik di dalam al-Qur’an maupun dalam sunnah Rasulullah SAW.
Dan Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah SWT hai
orangorang yang beriman supaya kamu beruntung. (Al-Qur’an
surat an-Nur ayat: 31.)
Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah SWT yang
maksum (terbebas dari berlaku salah) bersabda: “Wahai manusia
bertaubatlah dan memohon ampunan kepada Allah SWT,
sesungguhnya saya bertaubat dalam sehari seratus kali”
 Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Atâ’illah, zuhd ada dua macam;
Zuhd Zahir Jalî seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam
perkara halal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang
tergolong dalam perhiasan duniawi. Dan Zuhd Bâtin Khafî seperti
zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir,
dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Pada tingkatan zuhud yang tertinggi adalah ketika seorang sufi
memandang segala sesuatu di dunia ini tidak ada artinya, kecuali
Allah SWT. Pada tingkatan ini seorang sufi meninggalkan
kehidupan dunia bukan dikarenakan imbalan ahirat, tapi karena
kecintaannya kepada Allah SWT semata.10
Hal yang dapat membangkitkan maqâm zuhd adalah
dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sâlik benar-benar
merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya
sebagai tempat bagi yang selain Allah SWT, dia akan
mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau

10
HM. Jamil, Cakrawala Tasawuf, hal. 50

10
sudah demikian, maka sâlik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak
akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang
menipu.11
Maqâm zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sâlik
masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa hasud kepada
manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa
yang dikatakan oleh Ibn ‘Atâ’illah ”Cukuplah kebodohan bagimu
jika engkau hasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia.
Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia
yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada
mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan
yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa
yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa
bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak
bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama
sekali tidak memiliki apaapa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada
dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan
dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu
didapat oleh sâlik, maka dia akan menghargainya dengan
bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah
SWT. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa
nyaman, tenang dan tidak sedih.
 Maqam Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi tiga macam:
1. Sabar terhadap perkara haram,
2. Sabar terhadap kewajiban, dan

11
Zulkifli & Jamaludin. AKHLAK TASAWUF: Jalan Lurus Mensucikan Diri. Kalimedia. Riau.2018.Hal
90

11
3. Sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan
usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-
hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar
terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada
Allah SWT. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah
kepada Allah SWT akan melahirkan bentuk sabar, yang ketiga
yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala
bentuk angan-angan kepada-Nya. Sabar atas keharaman adalah
sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah
sabar atas kewajiban ibadah. Semua hal yang termasuk dalam
kewajiban ibadah kepada Allah SWT mewajibkan pula atas salik
untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah SWT”.
Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha
salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan
Allah SWT kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap
kepastian dan ketentuan Allah SWT, serta menanggalkan segala
bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.12
 Maqam Syukur
Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3
macam; pertama syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan
secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, syukur
dengan anggota tubuh, yaitu syukur yang diimplementasikan
dalam bentuk ketaatan. Ketiga, syukur dengan hati, yaitu dengan
mengakui bahwa hanya Allah SWT Sang Pemberi Nikmat, segala
bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia sematamata dari-
Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:

12
Zulkifli & Jamaludin. AKHLAK TASAWUF: Jalan Lurus Mensucikan Diri. Kalimedia. Riau.2018.Hal
94

12
“Dalam syukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga
bagian; shukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang
lain), shukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada
Allah SWT, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah SWT
semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari
seseorang adalah semata-mata dari Allah SWT.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk syukur orang
yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan
untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan
bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah
dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan.
Bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan
kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan
kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam
kekuasaannya.
Manfaat dari syukur adalah menjadikan anugerah
kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin
bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik
tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiapsiaplah untuk
menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia
menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat
kenikmatan tersebut.

 Maqam Khauf
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila
dia merasa takut atas sirnanya hal dan maqamnya, karena dia tahu
bahwa Allah SWT memiliki kepastian hukum dan kehendak yang
tidak dapat dicegah. Ketika Allah SWT berkehendak untuk
mencabut suatu maqâm dan hal yang ada pada diri salik, seketika
itu juga Allah SWT akan mencabutnya. Bukti dari makna ini
mengharuskan maqâm khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika

13
dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia
tak akan terputus maqâm khauf ini, serta dia tidak terpedaya
dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak
Allah SWT terwujud.
Ibn ‘Atâ’illah menyatakan bahwa jika sâlik ingin agar
dibuka baginya pintu rajâ’ maka hendaknya dia melihat apa yang
diberikan Allah SWT kepadanya berupa anugerah maqâm, hal dan
berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka
baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia
berikan kepada Allah SWT berupa peribadatan dan ketaatan penuh
pada-Nya.13
 Maqam Ridha dan Tawakkal
Rida dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan
secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah SWT. Hal ini
didasarkan pada QS. al-Mâ’idah ayat 119:
Allah SWT rida terhadap mereka, dan mereka ridha
kepada Allah SWT.
Dan juga sabda Rasulullah SAW:
Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang
yang ridha kepada Allah SWT.
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha
salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan
Allah SWT. Jika maqam ridha sudah ada dalam diri sâlik, maka
sudah pasti maqâm tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu,
ada hubungan yang erat antara maqâm ridha dan maqâm tawakkal.
Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah SWT,
dia akan menjadikan Allah SWT sebagai penuntun dalam segala
urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin
bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.

13
Zulkifli & Jamaludin. AKHLAK TASAWUF: Jalan Lurus Mensucikan Diri. Kalimedia. Riau.2018.Hal
95

14
Maqâm tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang
sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah SWT.
Sebagaimana termaktub dalam QS. Hûd ayat 123 Allah SWT
berfirman:
Kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka
sembahlah Dia, dan bertawakkAllah SWT kepada-Nya.
Sebagaimana maqâm-maqâm lainnya, maqâm ridha dan
tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan.
Ibn ‘Atâ’illah menyatakan bahwa anganangan itu bertentangan
dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada
Allah SWT, dia akan menjadikan Allah SWT sebagai
penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala
urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala
bentuk angan-angan.
 Maqam Mahabbah
Bahagian terpentig dari tujuan sufi adalah memperoleh
hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga dirasakan dan
disadari berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu
diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan hakiki.14 Akan
tetapi dalam mengartikan hadirat Tuhan itu ternyata terdapat
perbedaan konseptuan. Perbedaan itu bersumber dari
ketidaksamaan konsepsi mereka mengenai hakikat Tuhan dan
manusia. Sebagian sufi berpendapat bahwa Allah SWT adalah
puncak kecantikan dan kesempurnaan, sementara yang
menyatakan sebagai iradah, nurul anwar dan juga disebut ilmu dan
ma’rifah. Di pihak lain, diyakini sebagai masinis dan alam ini
adalah mazahir atau radiasi dari hakikat Tuhan, jiwa atau roh
manusia adalah pancaran dari nurul anwar.
Al-Hub atau mahabbah adalah satu istilah yang selalu
berdampingan dengan ma’rifat, karena nampaknya manifestasi

14
M. Mujeeb, The Indian Moslem (London: tt., t.th), hal. 114

15
dari mahabbah itu adalah tingkat pengenalan kepada Tuhan yang
disebut dengan ma’rifat. Al-Hubb mengandung pengertian
terpadunya seluruh kecintaan hanya kepada Allah SWT yang
menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya. Seluruh jiwa
dan segenap ekspresinya hanya diisi oleh rasa cinta dan rindu
kepada Allah SWT, rasa cinta dan rindu yang tumbuh karena
keindahan dan kesempurnaan zat Allah SWT, tanpa motivasi lain
kecuali hanya kasih Allah SWT
Imam al-Ghazâlî berpendapat bahwa maqâm mahabbah
adalah maqâm tertinggi dari sekian maqâmmaqâm dalam tarekat.
Dia menggambarkan bahwa mahabbah adalah tujuan utama dari
semua maqâm, dia adalah gerbang tertinggi untuk mencapai
ma’rifat kepada Allah SWT.
Mahabbah (cinta) kepada Allah SWT adalah tujuan luhur
dari seluruh maqâm, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi
maqâm setelah mahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari
seluruh maqâm, menjadi akibat dari seluruh maqâm, seperti rindu,
senang, ridha dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqâm sebelum
mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh
permulaan maqâm, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain
sebagainya...”

 Maqam Hakikat
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti
kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang
digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Hakikat yang
didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan
selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa
yang dihadapinya.
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi,
melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan

16
ma’rifat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf,
sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.
 Maqam Marifat
Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan
dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma’rifat di sini berarti
mengenal Allah SWT ketika Shufi mencapai maqam dalam
Tasawuf. Dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat
jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari.
Karena jelas dan pastinya pengetahuan itu, menyebabkan seorang
merasa haru dengan yang diketahuinya itu.15
Sejak perkembangannya ma’rifat dan hakikat di kalangan
sufi, mejadikan konsep ini sebagai salah satu ajaran pokok dalam
tasawwuf. Bahkan kemampuan seseorang untuk mencapai
tingkatan ini menjadi tolak ukur bagi seseorang apakah ia sudah
berhak disebut sufi atau belum. Dengan kata lain, bahwa seorang
zahid atau salik disebut sufi apabila telah mencapai kedekatan dan
keakrapan dengan Tuhan tanpa penghalang tabir. Makin tinggi
kelas seorang salik, maka makin tinggi pula ma’rifatnya.16

D. Pengertian Ahwal

Ahwal adalah jamak daripada kata hal yang secara literal dapat diartikan
dengan keadaan17, yakni keadaan hati yang dialami oleh para ahli sufi dalam
menempuh jalan untuk dekat dengan Tuhan. Ahwal juga bisa diartikan dengan
situasi kejiwaan yang diperoleh oleh seorang sufi sebagai suatu karunia Allah
Swt, bukan dari hasil usahanya. Ahwal atau hal, merupakan keadaan mental
seperti perasaan senang, sedih, perasaan takut dan sebagainya. Dapat pula

15
Abu Bakar al-Kalabazi, al-Ta’arruf li MAzhab Ahli al-Shufiyyah (Kairo: Maktab al-Zariyah, 1969),
hal. 149.
16
A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, hal. 131.
17
Farhan, Ibnu, “Konsep Maqamat dan Ahwal Dalam Perspektif Para Sufi”. Yaqzhan bol 2, no. 2,
Des 20166, Hal. 158

17
diartikan dengan keadaan-keadaan spiritual. Sebagai anugerah dan karunia Allah
Swt kepada hati para penempuh jalan spiritual. Ahwal dan hal, merupakan suatu
anugerah dan rahmat dari Tuhan, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi
seorang sufi dalam perjalanannya mendekatkan diri dengan Tuhan. Kata Imam
Qusyairi menjelaskan: “Maka setiap hal merupakan karunia, dan setiap maqam
adalah upaya. Pada Al-hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam,
menempati maqamnya dan orang-orang yang berada dalam hal, bebas dari
kondisinya.” Meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia (mawahib)
namun seseorang yang ingin memperolehinya tetap harus melalui upaya dengan
memperbanyak amal baik atau ibadah.18

Ada ulama yang berpendapat bahwa ilmu-ilmu sufi itu adalah ilmu-ilmu
mengenal keadaan-keadaan ruhani, dan bahwa keadaan-keadaan ini merupakan
warisan dari tindakan-tindakan, dan hanya dialami oleh orang-orang yang
tindakan-tindakannya benar. Langkah pertama menuju perbuatan yang benar
adalah mengetahui ilmu yang menyangkut dengan masalah itu yaitu
peraturanperaturan yang sah yang terdiri atas prinsip-prinsip hukum (fiqih) yang
mengatur cara-cara shalat, berpuasa dan tugas-tugas keagamaan lainnya, juga
mengetahui ilmu-ilmu sosial yang mengatur perkawinan, perceraian,
transaksitransaksi dagang, dan masalah-masalah lain yang mempengaruhi
kehidupan manusia, yang oleh Tuhan telah ditetapkan dan ditentukan sebagai hal-
hal yang diwajibkan. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ahwal adalah
suatu kondisi jiwa yang diperoleh melalui kesucian jiwa. Hal merupakan sebuah
pemberian dari Allah Swt. Bukan sesuatu yang dihasilkan oleh usaha manusia,
berbeda dengan yang disebut dengan maqamat19.

Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan jiwa, seperti perasaan


senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut
sebagai hal adalah takut (alkhauf), rendah hati (al-tawadhu), ikhlas (al-ikhlas),
rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-syukr). 20
18
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, hlm 7-8
19
Asnawiyah. “Maqam Dan Ahwal: Makna Dan Hakikatnya Dalam Pendakian Menuju Tuhan”.
Substantia, Volume 16, Nomor 1, April 2014, hal. 82
20
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta : Rajawali Pers,2013), hlm 177

18
Menurut At-Thusi, ahwal adalah apa yang di dalam hati karena ketulusannya
dalam mengingati Allah, senada dengan At-Thusi yaitu Al-Junaidi menjelaskan
hal adalah sesuatu yang datang dan singgah ke dalam hati, namun tidak pernah
menetap.

Sebagai konsekuensi dari perolehan maqomat yang bersifat konstan,


seorang Sufi akan mengalami ahwal yaitu kondisi spiritual yang menyelimuti
Qolb, bersifat spontan dan tidak langgeng. ahwal merupakan ekspresi
ketulusan seorang sufi dalam mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak
dapat diraih melalui jalan ibadah, riyadlah ataupun mujahadah. kehadiran ahlal
semata-mata karena karunia Allah SWT. diantara ahwal itu adalah: al-
muraqabah (visi), al-qurb (kedekatan), al-muhabbah (kecintaan), al-khawf
(segan), ar-raja’ (optimistis), asy-syawq (kerinduan), al-uns (harmoni), al-
musyahadah (persaksian) an.  dan al-yaqin (keteguhan).

Ahwal yang menyelimuti para salik (pelaku jalan tasawuf) pada


dasarnya merupakan proses revolusi kalbu yang mengandung dua substansi:

Pertama, takhalli yaitu upaya membersihkan jiwa kita dari sifat-sifat


basyariyah (kelezatan kemanfaatan, nafsu dan hasrat, serta kekuatan dan
kelemahan). Upaya ini menyentuh aspek lahiriyah dan jasmani kemanusiaan. 

Kedua, tahalli, yaitu upaya menghias diri dengan sifat-sifat insaniah. ini
menyentuh aspek spiritual dan rohani kemanusiaan seseorang21.

Ahwal merupakan pemberian Allah dan maqom adalah dengan usaha.


Artinya, ahwal merupakan pemberian Allah sebagai balasan dari pahala amal.
Apabila amal terus dilakukan hingga bertemu ahwal maka akan menjadi
maqom. Ahwal akan berubah-ubah, datang dan pergi. Apabila hati tenang
maka akan menjadi maqom dan maqom ini dihasilkan dari istiqomah dalam
melakukan amal22.
Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh
ahwal yang sering disebut adalah: takut, syukur, rendah hati, ikhlas, takwa,
21
Aqil, Said. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. (Bandung:PT Mizan Pustaka, 2006). Hal. 93
22
Fuad, Bahrudin. Terjemah Kitab Hikam Dan Penjelasannya. Jawa Timur. hal. 238

19
gembira. Walaupun definisi yang diberikan sering berlawanan makna, namun
kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan
berlangsung sebentar dan diperoleh bukan atas dasar usaha sadar dan perjuangan
keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah
(divine flashes), yang biasa disebut “lama’at”.

Tentang “Hal”, dapat diambil contoh beberapa item yang diungkapkan oleh al-
Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori hâl yaitu:

- Al-murâqabat (rasa selalu diawasi oleh Tuhan)


- Al-qurb (perasaan dekat kepada Tuhan)
- Al-mahabbah (rasa cinta kepada Tuhan)
- Al-khauf wa al-rajâ’ (rasa pengharapan kepada Tuhan)
- Al-syawq (rasa rindu)
- Al-uns (rasa berteman)
- Al-thuma’nînat (rasa tenteram)
- Al-musyâhadat (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati)
- Al-yaqîn (rasa yakin).

Kembali kepada masalah Al-Maqamat dan AlAhwal, yang dapat


dibedakan dari dua segi:

Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh


dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh.
Sedangkan ahwal, di samping dapat diperoleh manusia yang
mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya karena
anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak pernah
mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguhsungguh.
Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau
bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada
pada diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat
Ulama Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama

20
pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat yang
membedakannya beserta alasanalasannya.

E. Tingkatan Ahwal

Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh,
sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh. Sedangkan mengenai tingkatan hal (al-
ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat dikemukakan sebagai berikut;

- Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)


- Tingkatan kedekatan diri (Al-Qurbu)
- Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
- Tingkatan takut (Al-Khauf)
- Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
- Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
- Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
SWT (Al-Unsu).
- Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
- Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
- Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin)

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam
mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki. Sementara
itu dalam pengertian terminologi istilah maqam mengandung pengertian
kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba dalam
mendekatakan diri kepada Allah. Sedangkan, ahwal ialah keadaan atau
keadaan kondisi psikologisyang dirasakan ketika seorang sufi mencapai
maqam tertentu.

Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui


waktunya. Dengan demikian Ahwal adalah pemberian dari Allah ketika sang
sufi menapaki jalan menuju Allah. Secara mendasar, perbedaan maqamat dan
ahwal ini baik dari cara mendapatkannya maupun pelangsungannya yaitu
Maqamat berupa tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih
diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada
hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang untuk melawan
hawa nafsu, ego manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling
besar yang dimiliki manusia dan hal itu menjadi kendala menuju Tuhan.

B. Saran

Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat hendaknya


tidak hanya tertumpu pada satu literature saja. Oleh karena itu makalah ini
semoga menjadi pemacu orang-orang yang belum memahami ilmu tasawuf.

C.

22
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Farhan, Konsep Maqamat Dan Ahwal Dalam Perspektif Para Sufi, Yaqzhan
Volume 2, Nomor 2, December 2016, hlm 158-159

Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni Dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf Di
Indonesia, (Tangerang: Pustaka IIman, 2009) Cetakan I, hlm 133

Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhul ila al-Tashawwuf al-Islami, terj.


Ahmad Rifa’i Usmani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1985), hal.
35.
Zulkifli & Jamaludin. Akhlak Tasawuf: Jalan Lurus Mensucikan Diri. Kalimedia.
Riau.2018.Hal 85
HM. Jamil, Cakrawala Tasawuf; Sejarah, Pemikiran dan Kontektualitas (Jakarta:
Gaung Persada Press, 2004), hal. 48
M. Mujeeb, The Indian Moslem (London: tt., t.th), hal. 114
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf. hlm 7-8

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali


Pers,2013), hlm 177
Aqil, Said. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. (Bandung:PT Mizan Pustaka, 2006).
Hal. 93
Fuad, Bahrudin. Terjemah Kitab Hikam Dan Penjelasannya. Jawa Timur. hal. 238
Agus Susanti, “Penanaman Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Pembinaan Akhlak”.
Jurnal Pendidikan Islam. Volume 7, November 2016, hal. 127
Moh. Matador, “Rethingking Of Islamic Sufism: Sufisme Sebagai Solusi
Alternative Atas Kekesaran Sosial”. Jurnal Akhlak dan Tasawuf, vol 4 nomor 1,
2017, Hal. 41
M. Kodir, “Istiqamah”. Jurnal Ilmu Tasawuf, Vol. 1 No. 2. Juli – Desember 2020,
hal. 123
Asnawiyah. “Maqam Dan Ahwal: Makna Dan Hakikatnya Dalam Pendakian
Menuju Tuhan”. Substantia, Volume 16, Nomor 1, April 2014, hal. 82

23

Anda mungkin juga menyukai