Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

HUKUM SYARA’ DAN KLASIFIKASINYA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

Dosen pengampu : Dr Jamal Ma'mur, MA

Disusun oleh:
Ahmad Sholahul Fuad (22.32.00233)
Azkiya Luthfan Hakim (22.32.00167)
Irvan Jalalil Ikrom (22.32.00119)
Rahma Aulia Wirda (22.32.00071)
Fathimah zahroil Bathul (22.32.00242)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH
PATI
2023

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Setiap amal perbuatan manusia di bumi ini terutama umat islam
diatur dengan hukum – hukum Allah SWT. Dalam agama islam, hukum-
hukum Allah SWT tersebut biasa dikenal dengan hukum syara’. Dengan
adanya hukum-hukum ini, diharapkan umat islam dimuka bumi ini dapat
beribadah sesuai dengan syariat atau tuntunan islam yang benar yaitu
sesuai dengan dasar hukum islam yang berlaku yakni Al Qur’an, Al-hadits
maupun sumber hukum islam yang lain seperti Ijma’ dan Qiyas.
Hukum syara’ ini sangat penting untuk dipelajari karena
peraturannya yang bersifat mengikat bagi seluruh umat islam di dunia
terutama bagi mereka yang sudah mampu untuk dikenai kewajiban
menunaikan ibadah sesuai dengan syariat islam (baligh).
Umat islam supaya amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT,
hendaknya kita mau belajar untuk lebih memahami tentang hukum-hukum
islam yang berlaku. Agar kita termasuk ke dalam hamba Allah yang
senantiasa bertaqwa yaitu menjalankan segala apa yang diperintahkan oleh
Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hukum Syara’ ?
2. Apa Macam-Macam Hukum Syara’ ?
3. Apa perbedaan dari hukum taklifi dengan hukum wadh’i ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu hukum Syara’.
2. Untuk mengetahui pembagian dari hukum Syara’.
3. Untuk Mengetahui beberapa Perbedaan dari Hukum syara’.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syara’


Hukum secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti
“mencegah” atau memutuskan.
َ ‫ِخطَا‬
‫ب الشارع المتعلق بأفعال المتكلفين باالقتضاء أو التخيير أوالوضع‬

Secara terminologi ushul fiqh, hukum berarti khitab (kalam) Allah yang
mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan,
anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan, takhyir
(kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan
tidak melakukan, dan atau wad’I (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau mani’ atau penghalang).
Pembuat hukum syara’ adalah Allah Swt., oleh sebab itu para
ulama ushul sepakat bahwa definisi hukum syara’ ada- lah kitab (firman)
Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf baik dalam
bentuk perintah, pilihan, atau pene- tapan sesuatu.(Misbahuddin, 2013)
Ini diperkuat dengan firman Allah dalam QS. al-An’am [6]: 57:
ِ g‫ ا‬gَ‫ ف‬g‫ ْل‬g‫ ا‬g‫ر‬gُ g‫ ْي‬g‫ َخ‬g‫و‬gَ gُ‫ ه‬g‫و‬gَ gۖ g‫ق‬
g‫ َن‬g‫ ي‬gِ‫ ل‬g‫ص‬ َّ g‫ َح‬g‫ ْل‬g‫ ا‬g‫ص‬
gُّ gُ‫ ق‬gَ‫ ي‬gۖ gِ ‫ ِإ اَّل هَّلِل‬g‫ ُم‬g‫ ْك‬g‫ ُح‬g‫ ْل‬g‫ ا‬g‫ن‬gِ ‫ِإ‬
Artinya : Menetapkan hukum itu hak Allah Dia menerangkan yang
sebenarnya dan pemberi keputusan yang paling baik.
Fuqaha ( Menurut istilah )’ hukum syara’ adalah dampak atau
akibat dari khitab Allah pada setiap perbuatan mukallaf seperti wajib,
haram, dan mubah. Mengetahui hukum syara’ merupakan inti daripada
ilmu fikih dan ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu fikih memang
mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan perbu- atan mukallaf.
Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum
syara’ dari segi metodologi dan sumbernya. Sementara Ilmu Fikih
meninjau dari segi hasil penggalian hukum1

1
Dr Hj Darmawati Sag, Ushul Fikih, edisi pertama.(Jakarta:Prenadamedia group,2019), 112

2
Wabah az-zuhaili memasukkan sahih,fasid/batal,azimah,dan
rukhsah kedalam Hukum Wad’I.
Dari uraian penjelasan di atas ada beberapa kata yang perlu diperjelas
maksudnya.
1. ‫خطا ب الشا رع‬
Yaitu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui kitab
sucinya yaitu Al-Qur’an dengan perbuatan mukallaf seperti hukum
suatu perbuatan yang haram, makruh, mubah, shahih, batil, syarat,
sebab, atau penghalang. Khitob Allah itu ada yang bersifat langsung
yaitu ayat-ayat al-Qur’an ,yang disebut juga dengan kalam lafzi (lawan
dari kalam nafsi yang ada pada Allah yang tidak berhuruf dan tidak
bersuara). Dan kalam Allah yang melaui perantara ,yaitu sunnah dan
ijma’ yang bersumber kepada al-Qur’an serta dalil-dalil syariat yang
diakui .Sunah disebut juga sebagai khitob Allah ,hal ini didasari oleh
ayat al-qur’an yang menyatakan bahwa nabi tidak berkata berdasarkan
nafsu tetapi didasari oleh wahyu :
٤ ۙ‫ اِ ۡن هُ َو ِااَّل َو ۡح ٌى ي ُّۡو ٰحى‬٣ ؕ‫ق ع َِن ۡالهَ ٰوى‬
ُ ‫َو َما يَ ۡن ِط‬
Artinya :Dan tiadalah yang diucapkan itu (al-Qur’an )menurut
kemaun hawa nafsunya .Ucapannya itu tiadak lain hanyalah wahyu
yang diwahyuka (kepadanya).(QS,An-Najm /53;3-4)
Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa rasulullah tidak
mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan
wahyu.Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran baik
al-Qur’an atau sunnah Rasulullah Saw.Sama halnya dengan itu dali-
dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagi dasar hukum kecuali
setelah diketaahui adanya pengakuan dari wahyu.
Ijma dikatakan khitob Allah karena ijma’ tidak lepas dari dalil al-
Qur’an dan sunnah,begitu juga dalil syara’ yang juga disebut khitob
Allah dan menjelalskan hukum sesuatu yang tidak ada dalilnya.2

2
Saipuddin Shidiq,Ushul Fiqh,(Jakarta:Prenada media Group,2014),cet.ke-2,hlm.121.

3
2. ‫( االتضاء‬Tuntutan)
Tuntutan disini bisa berupa tuntutan untuk mengerjakan secara
pasti (harus) yang kemudian disebut hukum wajib. Dan bisa berupa
tuntutan untuk meninggalkan secara pasti (harus) yang kemudian
disebut dengan hukum haram.
3. ‫ ( التخيير‬Memilih )
Yaitu artinya memilih,artinya Allah memperbolehkan kepada manusia
untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan .Contohnya makan dan
tidur diwaktu tertentu.
4. ‫( الوضع‬Sesuatu Pengikat )
sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai pengikat atau dua
perkara yang terkait dengan mukallaf. Ketentuan yang mengikat ini
berupa tiga perkara yaitu sebab ,Syarat, atau mani’.Contohnya hak
waris dan kematian, dari dua perkara itu kematian dijadikan oleh
syara’ sebagai sebab pembagian waris oleh ahli waris .Syarat,
contohnya Wudhu dan sholat,dari dua perkara ini maka wudhu
dijadikan syarat shnya sholat. Contoh mani’adalah haid dan kewajiban
sholat bagi Wanita, dari dua perkara ini haid dijadikan penghalang
kewajiban sholat bagi wanita.
Untuk lebih jelasnya tentang hukum syariat yang berisi tentang
tuntutan,suruhan,dan ketetapan (sebab,syarat,dan mani’),dapat kita
lihat dan perhatikan dalam contoh berikut ini :
a. Contoh hukum yang beupa Tuntutan :
1. Pertama tuntutan untuk mengerjakan,firman allah SWT
}1{...‫يأيها الذين ءا منوا أوفوا بالعقود‬

Artinya ; Hai orng –orang yang beriman,penuhilah


aqad-aqad itu (janji). (QS.al-Maidah/5:1)
Ayat di atas mengandung tuntutan kewajiban menepati
janji jika telah menyatakan janji kepada orang lain.

4
2. kedua tuntutan untuk meninggalkan .Firman allah
SWT:

‫يأ يها الذين ءا منوا ال يسخر قوم من قومزز‬

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman ,janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain. (QS.al-hujurat/49;11)
Ayat diatas mengandung tuntutan kepad agar kita
menjauhi perbuatan saling mengolok –olok satu sama
lain,karena yang demikian itu akan menyakitkan
perasaan satu sama lain.
b. Contoh hukum yang berupa alternatif untuk memilih.firman
Allah SWT:
}60{‫كلوا و اشربوا من رزق هللا و ال تعثوا فى اآلرض مفسدين‬

Artinya: Makan dan Minumlah dari rezki yang telah


diberikan allah kepadamu ,dan janganlah kamu berkeliaran
di muka bumi dengan berbuat
kerusakan .(QS.al-Baqarah/2;60)
Ayat dia atas mengandung tawaran pilihan kepada kita
untuk memilih makan dan minum sesuatu yang halal selam
tidak berlebihan
c. Contoh hukum yang berupa ketetapan (sebab,syarat,atau
mani’), contoh tentang sebab yang terkandung dalam sabda
Nabi :
‫ث ْالقَاتِ َل‬
ُ ‫اَل يَ ِر‬

Artinya :”Tidaklah mendapatkan hak waris yang membunuh.”


Hadis di atas menetapakan hukum yang harus dipatuhi oleh
ahli waris yang menjadi penyebab kemtian (membunuh)orang
yang mewariskan seperti ayahnya ,bahwa ia (ahli waris )
kehilangan haknya untuk memperoleh warisan.

5
Nas atau ayat al-Qur’an maupun hadis yang menunjukkan
perintah ,suruhan untuk memilih atau berupa ketetapan sebagaimana
dijelaskan di atas,semuanya merupakn pengertian hukum Syari’at menurut
ulama ushul fiqh.. Adapun hukum syariat menurut ulama’ fiqh adalah efek
yang dikhendaki oleh allah dalam perbuatan Mukallaf seperti
Wajib,haram, dan Mubah.Maka kalu kita tampilkan ayat.
‫ اَوفوا بِ ْالعُقود‬Artinya : Tepatilah janji. ayat ini menurut ulama usul fiqh
berarti menghendaki keharusan memenuhi janji .menurut ulama fiqh
adalah efek atau konsekuensi yang di khendaki oleh nas al-Qur’an di atas
adalah kewajiban untuk memenuhi janji.contoh lain pada potongan ayat
‫التقربوالزنا‬, artinya: janganlah kamu semua mendekati zina .hukum menurut
ulama ushul fiqh apa yang terkandung dalam nas tersebut yaitu berupa
larangan mendekati zina. Adapun menurut ulama fiqh adalah “haram
hukum”mendekati zina.3
B. Pembagian Hukum Syara'
Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum menjadi
dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh‟i. Hukum taklifi
menurut ahli Ushul Fiqh adalah:
‫هو ما اقتضى طلب ثعل من المكلف أو كفه عن فعل أو تخييره بين الفعل والكف عنه‬
Artinya;
Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan
langsung dengan perbuatan mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran
untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam
bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.
a. Hukum Taklifi yaitu perkara yang menuntut untuk melakukan,
meninggalkan atau kebebasan untuk memilih antara melakukan atau
tidak melakukan .

3
Satria Efendi,Ushul fiqh,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2012),cet.ke-4,hlm.37.

6
Contoh firman Allah yang bersifat menuntut untuk dikerjakan :

Artinya : Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan


menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha
Mendengar Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah ayat 103)

Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Rasul,


supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nur : 56)
Contoh hukum Taklifi yang menuntut kepada mukallaf untuk
dilakukannya;
a. Mukallaf wajib berpuasa di bulan Ramadhan.
b. Mukallaf melakukan ibadah haji bagi yang mampu.
Contoh firman Allah SWT yang dilarang untuk dikerjakan

Artinya: “Dan janganlah kamu memakan harta diantara kamu


dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta
itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan
sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui. (QS. Al-Baqarah ayat 188)

7
Contoh hukum Taklifi yang menuntut kepada mukallaf untuk
meninggalkan perbuatan:
a. Mukallaf tidak boleh memakan bangkai, darah, daging babi,
mencuri, membunuh, dan berzina.
b. Mukallaf tidak boleh berkata tidak sopan kepada kedua orang
orang tua.
Contoh hukum Taklifi yang boleh bagi si mukallaf untuk memilih
antara mengerjakan atau meninggalkannya :
a. Mukallaf bisa memilih antar bertebaran atau tidak bertebaran
setelah melakukan shalat jumat.
b. Mukallaf boleh mengqasar shalat ketika berpergian jauh.
A. Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi
Seperti dikemukakan sebelumnya, istilah hukum dalam kajian
Ushul pada asalnya adalah teks ayat atau hadits hukum. Teks ayat hukum
dan hadits hukum yang berhubungn dengan hukum taklifi terbagi kepada
lima bentuk
1. Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang
mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya ayat yang
memerintahkan untuk melakukan shalat dan menunaikan zakat.
2. Nadb yaitu titah Allah SWT yang tidak bersifat memaksa atau
mengikat, melainkan hanya sebagai anjuran, sehingga tidak ada
larangan bagi seseorang yang meninggalkannya. Orang yang
meninggalkan tidak dikenai sanksi.
3. Tahrim yaitu titah Allah SWT yang menunjukkan adanya larangan
dalam melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa
atau larangan yang pasti. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan
perbuatan yang dilarang atau dituntut itu disebut haram. Misal firman
Allah dalam surah Al-An’am ayat 151.

8
Artinya : “Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang
diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadapkedua
orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena
takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada
mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji,
baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan
oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).” (QS. Al-An’am
: 151)

4. Karahah yaitu titah Allah SWT atau tuntutan yang menunjukkan adanya
larangan mengerjakan sesuatu dengan larangan yang tidak pasti atau tidak
memaksa. Seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang disini tidak
dikenai sanksi. Akibat dari tuntutan ini disebut karahah. Karahah ini
merupakan kebalikan dari nadb. Misal hadist Nabi Muhammad SAW :
Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.
(H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim)

5. Ibahah yaitu titah Allah SWT yang bersifat fakultatif, yaitu memberikan
kebebasan kepada mukallaf antara melakukan perbuatan atau tidak
melakukan perbuatan semua itu sama saja. Akibat titah Allah ini disebut
dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih disebut mubah. Misalnya
firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 2

9
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang- binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari
Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah ayat 2)

c.  Pembagian Hukum Taklifi


Dari sisi ini hukum taklifi, seperti dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf,
terbagi kepada lima macam, yaitu: a) wajib; b) mandub; c) haram; d) makruh; dan
e) mubah. Dasar pembagian tersebut adalah bahwa ketentuan Allah dan Rasul-
Nya yang berupa perintah terhadap suatu perbuatan maka perbuatan itu hukumnya
wajib, ketentuan yang berupa anjuran untuk melakukan menimbulkan hukum
mandub, suatu larangan menimbulkan haram, anjuran untuk meninggalkan
perbuatan menimbulkan hukum makruh, ketentuan yang member kebebasan
untuk melakukan dan tidak melakukan menimbulkan hukum mubah. Masing-

10
masing dari beberapa istilah hukum di atas akan dijelaskan secara ringkas
dibawah ini.
 Wajib ialah ketentuan suatu perintah itu harus dilakukan oleh
mukallaf sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan.
Konsekuensi dari hukum wajib ini akan mendatangkan pahala jika
dilakukan dan akan mendatangkan dosa jika ditinggalkan. Contoh
sesuatu yang hukumnya wajib seperti : Shalat, berpuasa, membayar
zakat, menunaikan haji bagi orang yang mampu, dan berbakti
kepada orang tua.
Definisi wajib menurut syara’ ialah
‫ب َعلَى َوجْ ِه اللُّ ُزوْ ِم فِ ْعلِه‬
َ َ‫َماطَل‬
sesuatu yang diperintah oleh Allah agar dikerjakan secara pasti

َ‫ن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعل َّ ُك ْم تَتَّقُون‬gْ ‫ين ِم‬


gَ ‫ب َعلَى ال َّ ِذ‬
َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬ gَ ‫ ال َّ ِذ‬g‫يَا َأيُّهَا‬
َ ِ‫ين آ َمنُوا ُكت‬

Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa “


sebagaimana diwajibkan sebagaimana diwajibkan atas orang orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa”(QS. Al Baqaroh 2:183

:Lalu wajib dibagi menjadi beberapa macam


1. Wajib Dari Segi Waktu
a. Wajib Muaqqot
Yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk me-
ngerjakannya dan waktunya sudah ditentukan. Contoh:
shalat, puasa ramadhan dan lain-lain.
b. Wajib Mutlak
Yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang wak- tunya
belum ditentukan. Contoh: haji yang diwajib- kan bagi yang
mampu dan waktunya ini belum jelas.
2. Wajib Dari Segi Orang yang Mengerjakan
a. Wajib ‘aini

11
Yaitu perkara wajib yang harus dikerjakan oleh tiap- Tiap
individu yang tidak boleh diwakilkan pada orang lain.
Contoh: shalat, dan puasa.(Bahrudin, 2019)

b. Wajib kifai
Yaitu wajib yang dibebankan pada sekelompok orang dan
kalau salah seorang ada yang mengerjakan gu- gur
kewajiban yang lain. Contoh shalat mayit , amar ma’ruf
nahi mungkar dan lainnya,
3. Wajib Dari Segi Kadar Tuntuta
a. Wajib Mukhaddat Yaitu perkara yang sudah ditentukan
syara’ bentuk perbuatan yang diwajibkan dan mukallaf
dianggap belum melaksanakan kewajiban sebelum
melaksana- kan seperti apa yang diwajibkan syara’. Contoh
sha- lat, zakat, dan lainnya.
b. Wajib Ghoiru Mukhaddat
Yaitu perkara wajib yang tidak ditentukan cara pe-
laksanaannya dan waktunya, dan diwajibkan atas mukallaf
tanpa paksaan. Contoh: infaq di jalan Allah, menolong
orang kelaparan, dan lainnya.
4. Wajib juga dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Mua’yan
Yaitu kewajiban melakukan sejenis perbuatan tertentu
seperti shalat, puasa, dan lainnya. Dan mukallaf belum
gugur kewajibannya sebelum melaksanakannya.
b. Mukhoyar
Yaitu sebuah kewajiban untuk melakukan beberapa ma- cam
perbuatan tertentu dengan memilih salah satu dari yang
ditentukan. Contoh melanggar sumpah, maka ka- farot-nya
ialah memberi makan sepuluh orang miskin atau pakaian
ataupun juga memerdekakan budak.

12
 Mandub (sunah), secara bahasa mandup adalah sesuatu yang
dianjurkan. Secara istilah ialah perintah yang datang dari Allah
untuk yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh mykallaf secara
tidak tegas atau harus. Konsekuensi dari mandup ini jika dilakukan
akan mendapatkan pahala dan tidak mendapat siksa atau celaan
bagi orang yang meninggalkannya. Contoh dari perkara mandup
(sunah) seperti : mencatat utang, shalat sunah, dan mengucapkan
salam.
Hukum sunnah menurut Abdul Karim Zaidan :
1. Sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), yaitu
perbuatan yang biasanya dilakukan oleh Rasulullah dan
jarang ditinggalkan. Misalnya : shalat fajar
2. Sunnah ghairumuakkadah (sunnah biasa), yaitu
perbuatan yang dilakukan Rasulullah, namun bukan
menjadi kebiasaannya. Misalnya : shalat sunnah dua
rakaat sebanyak dua kali sebelum shalat zuhur.

3. Sunnah al-Zawait (sunnah tambahan), yaitu meliputi


kebiasaan sehari-hari Rasululla sebagai manusia biasa.
Misalnya : adab – adab yang dicontohkan Rasulullah
sebelum makan , sebelum tidur maupun ketika
berpakaian

   Haram, secara bahasa berarti sesuatu yang lebih banyak


kerusakannya dan sesuatu yang dilarang. Konsekuensi dari haram
ini ialah bagi sesorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan
kehinaan dan bagi yang meninggalkannya akan mendapat pahala
dan kemuliaan. Contohnya seperti : berzina, mencuri, minum

13
khamar, membunuh tanpa hak, memakan harta orang dengan
zalim, dan lain-lain.
Haram yaitu khitab syari’ yang menuntut untuk meninggalkan
suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Orang yang
melakukan akan mendapat dosa sedang yang meninggalkan akan
mendapat pahala. Haram terbagi menjadi dua yaitu :
a. Haram lidzatih, yaitu sesuatu yang keharaman melakukannya
telah ditetapkan, karena mengandung kemudharatan. Contoh
larangan berzina dalam QS. Al-Isra: 32.
b. Haram lighairih, yaitu sesuatu yang keharamannya tidak
ditetapkan, tapi ada sesuatu yang menyebabkannya haram.
Contoh jual beli pada waktu adzan sholat Jum’at, mentalak
istri di waktu haid, jual beli dengan menipu.

   Makruh, ialah berasal dari kata kariha yaitu sesuatu yang tidak


disenangi, dibenci atau sesuatu yang dijauhi. Secara istilah makruh
ialah sesuatu yang dituntut syara’ kepada mukallaf untuk
meninggalkannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.
Contohnya seperti : larangan Allah kepada manusia untuk tidak
bertanya tentang sesuatu yang apabila dijelaskan akan
menyusahkan kamu,  dan menghamburkan harta.
Menurut ulama Hanafiyah makruh terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Makruh tahrim, yaitu tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti tetapi didasarkan pada
dalil yang zhanni. Menurut mayoritas ulama, makruh ini sama
dengan haram dari segi sama - sama diancam dengan siksaan.
Misalnya : larangan meminang wanita yang sedang dalam
pinangan orang lain, larangan memakai sutera dan perhiasan
emas bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Keduanya ini (emas dan sutra) haram bagi umatku yang laki –
laki dan halal bagi wanita. (H.R. Abu Daud, An-Nasai’, Ibn
Majah dan Ahmad Ibn Hanbal)

14
b. Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan untuk
meninggalkannya. Contoh memakan daging kuda disaat sangat
membutuhkannya ketika perang, sebagian kalangan hanafiyah,
berpendapat bahwa pada dasarnya memakan daging kuda
hukumnya haram, karena sangat butuh dalam perang, maka
hukumnya makruh.
  Mubah, secara bahasa yaitu melepaskan dan memberitahukan.
Secara istilah, mubah ialah suatu perbuatan yang diberi
kemungkinan kepada mukallaf antara memperbuat dan
meninggalkan. yang mengandung pilihan antara mengerjakan atau
meninggalkannya. Orang yang mengerjakan maupun meninggalkan
tidak mendapat pahala maupun dosa. Abu Ishaq dalam bukunya
membagi mubah menjadi tiga yaitu :
1. Mubah yang menjadikan seseorang wajib untuk melakukannya,
seperti makan dan minum hukumnya mubah akan tetapi
menjadi wajib karena untuk memperoleh energi untuk
beribadah kepada Allah SWT.
2. Sesuatu dianggap hukumnya mubah apabila dilakukan sekali-
kali bukan setiap waktu seperti bermain dan mendengarkan
nyayian akan tetapi menjadi haram hukumnya jika
menghabiskan waktu seharian hanya untuk bermain dan
mendengarkan nyanyian.
3. Mubah yang berfungsi untuk mencapai sesuatu yang mubah
pula. Seperti membeli perabotan rumah tangga untuk
kesenangan.

Hidup senang hukumnya mubah, untuk mencapai kesenangan


itu harus dengan cara yang mubah pula bukan dengan jalan
yang haram untuk dilakukan.
Hukum mubah menurut Ulama Ushul Fiqh, dari segi
kemudharatan dan kemanfaatannya :

15
1. Mubah yang jika dilakukan tidak mengandung mudharat.
Misalnya makan dan minum.
2. Mubah yang jika dilakukan tidak mengandung mudharat
tetapi pada dasarnya itu haram dilakukan. Misalnya :
seseorang dalam keadaan terdesak memakan daging babi
karena tidak ada makanan lain selain itu, jika tidak
memakannya orang tersebut bisa meninggal. Selain itu
hukumnya menjadi mubah ketika meninggalkan sesuatu
yang pada dasarnya wajib dilakukan karena darurat .
Misalnya : berbuka puasa bagi ibu hamil, musafir, maupun
ibu yang menyusui anaknya.
3. Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudharat tidak boleh
dilakukan oleh syara’ tetapi karena Allah memaafkannya
maka hukumnya menjadi mubah. Misalnya : mengerjakan
perbuatan haram sebelum islam meliputi menikahi dua
orang wanita yag bersaudara, menikahi ibu tiri, memiliki
istri lebih dari empat, meminum khamr dan sebagainya.
Kemudian turunlah ayat Alqur’an yang mengharamkan
perbuatan tersebut dan Allah memaafkannya. Sesuai
firman Allah :

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-


perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali
(kejadian) pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS.An-Nisa’ : 22).

b. Hukum Wadh’i

16
Hukum wadh’i ialah khitab yang menjadikan sesuatu sebagai sebab
adanya yang lain (musabab), atau sebagai syarat yang lain.yaitu sebab, syarat,
mani, ruhksah dan azimah. Ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum wadh’i
sebagi berikut : “hukum yang menghendaki sesuatu itu sebagi sebab bagi sesuatu
yang lain atau sebagai syarat atau sebagai penghalang atau sebagai sesuatu yang
memperkenankan keringanan atau rukhsah atau sebagi pengganti hukum
keretapan pertama(azimah) atau sebagai yang sahih dan tidak sahih” Berikut
penjelasan dari setiap pembagianya :
 Sebab, dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Secara istilah, sebab
didefinisikan sebagai sesuatu yang dijadikan syariat, sebagai tanda bagi
adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya
hukum.
Contohnya seperti masuknya bulan Ramadhan menjadi petanda
datangnya kewajiban puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan
adalah suatu yang jelas dan dapat diukur, apakah bulan Ramadhan sebab,
sedangkan datangnya kewajiban berpuasa Ramadhan disebut musabbab
atau hukum atau disebut juga sebagai akibat.
1. Ulama ushul fiqh membagi sebab menjadi dua, yaitu :
a. Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan berada
diluar kemampuannya. Contoh datangnya hilal ramadhan menjadi
sebab kewajiban berpuasa, kekerabatan menjadi sebab adanya
hak saling mewarisi.
b. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas
kemampuannya. Contoh perjalanan jauh menjadi sebab bolehnya
berbuka puasa disiang hari pada bulan ramadhan, pembunuhan
menjadi sebab adanya qishash, akad nikah menjadi sebab
halalnya hubungan suami istri.

 Syarat ialah sesuatu yang menjadi syarat sah bagi yang lain atu harus
ada sesuatu tersebut untuk menjalankan sebuah hukum, misalnya whudu

17
adalah syarat sahnya shalat jika tidak berwhudu maka tidak sahlah shalat
tersebut contoh lainnya ,
‫النكاح اال بولي وشاهدي عدل‬
“sahnya suatu pernikahan hanya dengan adanya seorang wali dan dua
orang saksi “ Tanpa seorang wali dan dua orang saksi maka tidak sahlah
pernikahan tersebut.
Syarat, menurut bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya
sesuatu yang lain atau sebagai tanda. Para ulama ushul membagi
syarat menjadi dua, yaitu

1. Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat itu
sendiri (ditetapkan oleh Allah SWT). Contoh : keadaan suci
merupakan syarat sahnya shalat seperti pada QS. Al-Maidah ayat 6,
Keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan
sehingga tidak menjadi mubadzir) bagi seorang anak yatim,
dijadikan oleh syariat sebagai syarat wajib menyerahkan harta
miliknya sebagaimana terdapat pada QS. An-Nisa ayat 6.

2. Syarat Ja’ly (syarat buatan), yaitu syarat yang datang dari kemauan
mukallaf itu sendiri. Contoh : syarat antara penjual dan pembeli
untuk mengantarkan barang sampai tujuan tanpa tambahan biaya,
seorang suami berkata kepada istrinya “jika engkau memasuki
rumah si fulan, maka jatuhlah talak mu 1”, dan seperti pada
pernyataan seseorang bahwa ia bersedia menjamin membayarkan
utang si fulan dengan syarat si fulan tidak mampu membayar
utangnya.

 Mani’(penghalang), secara bahasa kata mani’ yaitu penghalang. Dalam


istilah ushul fiqh mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan Syara’ sebagai
penghalang bagi adanya hukum atau berfungsinya sebab (batalnya
hukum). Contohnya seorang anak berhak mendapatkan warisan dari

18
ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi kemudian si anak diputuskan
tidak mendapat warisan dari peninggalan ayahnya karena ada penghalang
(mani’). Penghalang itu bisa berupa karena si anak itu murtad atau
kematiaan ayahnya ternyata karena dibunuh oleh anak itu sendiri.
Ulama Hanafi membagi mani’ menjadi lima macam:
1. Mani’ yang menghalangi sah sebab hukum. Seperti men- jual orang
merdeka.
2. Mani’ yang jadi penghalang kesempurnaan sebab. Contoh orang yang
punya utang mencegah wajibnya zakat
3. Mani’ yang menjadi penghalang berlakunya hukum. Se- perti khiyar
syarat, penjual menghalangi pembeli meng- guanakan haknya
terhadap barang yang dibelinya selama masa khiyar berlaku.
4. Mani’ yang menghalangi sempurnanya hukum seperti khi- yar
ru’yah. Khiyar rukyah ini tidak menghalangi lahirnya hak milik
namun hak milik itu dianggap sempurna sebe- lum melihat barangnya
walau sudah di tangan pembeli.
5. Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum, seperti aib.
   Rukhsah dan Azimah, Rukhsah ialah keringan hukum yang diberikan
oleh Allah kepada mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan
Azimah ialah hukum yang berlaku secara umum yang telah disyariatkan
oleh Allah sejak semula dimana tidak ada kekhususan karena suatu
kondisi. Contoh seperti : shalat lima waktu yang diwajibkan kepada
semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi, begitu juga kewajiban
zakat, puasa. Semua kewajiban ini berlaku untuk semua mukallaf dan
tidak ada hukum yang mendahului hukum wajib tersebut.
Secara umum Definisi azimah adalah hukum yang disyariatkan Allah se-
menjak aslinya, bersifat umum yang tidak dikhususkan pada satu
keadaan atau kasus tertentu, dan bukan pula belaku pada mukallaf
tertentu. Dan yang dimaksud rukhsah adalah hukum yang telah di-
tetapkan oleh Allah untuk memberikan kemudahan pada mu- kallaf pada
keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan. Rukhsah.

19
Rukhsah dibagi menjadi empat macam:
1. Dibolehkannya perkara yang dilarang ketika darurat atau hajat.
Contoh ketika orang yang dalam keadan yang sangat lapar
2. Dibolehkan meninggalkan wajib jika ada udhur. Contoh barangsiapa
yang sakit di Bulan Ramadhan atau dalam perjalanan maka
dibolehkan berbuka.
3. Dibolehkannya akad yang dibutuhkan manusia yang yang bersamaan
bedanya dengan akad yang ditetapkan. Contoh akad menjual barang
yang tidak diketahui barangnya, karena kebutuhan manusia maka
dibolehkan.
4. Menasah hukum-hukum yang berlaku pada masa Nabi- nabi sebelum
kita, seperti memotong bagian yang terkena najis.

Para ulama kalangan Syafi’i membagi rukhsah menjadi dua yaitu:

1. Rukhsah tarfiyah yaitu hukum azimah tetap berlaku dan dalilnya tetap
berlaku namun mukallaf diberi keringanan untuk tidak tidak
melakukannya. Contoh berbuka pada siang hari di Bulan Ramadhan itu
haram namun nash memberi keringanan dan tidak menghapus hukum ha-
ramnya.
2. Rukhsah irqath hukum azimahnya berubah dan rukhsah merubah hukum
azimah, hukum yang berlaku hukum rukhsah. Contoh kebolehan memakan
bangkai dan lain- lain.

    Sah dan Batal, 


secara etimologi kata sah atau shihhah merupakan lawan saqam yang
berarti sakit. Istilah sah dalam syara’ digunakan dalam ibadah dan akad
maumalat. Yaitu suatu perbuatan dipandang sah apabila sejalan dengan
kehendak Syara’, atau perbuatan mukallaf disebut sah apabila terpenuhi
rukun dan syaratnya. Sedangkan istilah batal, tidak tecapainya suatu
perbuatan yang memberikan pengaruh secara syara’. Yaitu suatu

20
perbuatan yang dikerjakan mukallaf apabila tidak memenuhi ketentuan
yang ditetapkan syara’, maka perbuatan disebut batal. Dengan kata lain,
suatu perbuatan yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya, maka
perbuatan itu menjadi batal.

C. AL Hakim
Al Hakim adalah zat yang mengeluarkan hukum. Dialah yang
menyuruh, melarang, mewajibkan,mengharamkan dan memberi pahala
atau siksa dengan demikian al hakim iyalah Allah SWT. Para mujatahid
sepakat akan hal ini dan tidak ada perselisihan. Tidak ada hukum kecuali
apa yang diputuskan-Nya, tidak ada syari’at kecuali apa yang disyariatkan-
Nya. Hal tersebut didasarkan pada alquran Allah SWT berfirman dalam
surat al Anam ayat 57 sebagai berikut :
َّ ‫اِ ِن الحُك ُم اِالَّهلِل يَقُصُّ ْال َح‬.
َ‫ق و هوخيرالفا َ ِسقُون‬
“menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah ia menerangkan yang
sebenarnya dan ia pemberi keputusan yang baik ” (QS. Al –an’am /6:57)

Berdasarkan dalil diatas, tidak ada kekuasan kekuasaan mengeluarkan


hukum selain Allah. Tugas rasul hanya menyampaikan hukum hukum
Allah.hal yang menjadi perselisihan antara umat islam terletak pada cara
bagaimana hukum Allah itu didapat. Apkah hukum Allah dapat diketahui
dengan sendirinya melalui akal tanpa perlu ada perantara rasul ataukah
hukum Allah hanya akan diketahui melalui rasul dengan kata lain akal
tidak tidak dapat mengetahui hukum Allah. Hal ini menjadi perdebatan
diantara

ulama berikut ini akan dibahas pendapat para imam mazhab :


1. Mazhab Asy’ariyah
Golongan asy’ariyah(Abu Hasan Al Asyhari ) dan para
pengikutya berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tentag
perbuatan mukhalaf tidk mungkin diketahui kecuali dengan

21
perantaraan para rasul dan kitab-kitabNya. akal akan berbeda
dalam menanggapi soal perbuatan dalam hal baik an buruk suatu
perbuatan akal sering kali dipengaruhi oleh nafsu oleh karena itu,
tidak dapat dikatakan sesuatu yang dipandang oleh akal itu baik
maka baik juga menurut Allah dan sesuatu yang dipandang jelek
oleh akal jelek juga menurut Allah. Maka konsekuensinya tidaklah
manusia itu dibebani oleh Allah untuk mengerjakan sesuatu atau
meningglkannya kecuali apabila dakwah rasul dan apa yang telah
disyariatkan oleh Allah telah sampai kepadanya.
2. Mazhab Muktazilah
Golongan muktazilah (washil bin Atha’) beserta para
pengikutnya berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tentang
perbuatan orang mukalaf dapat diketahui dengan akal tanpa
perantaan para rasul dan kitab-kitabnya. Karena setiap perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang mengandung sifat dan pengaruh
yang dapat diukur oleh akal apakah perbuatan ini membahayakan
atau memberi manfaat. Sehingga apa yang dipandang oleh akal
itu jelek, maka sesuatu itupun jelek disisi Allah dan sesuatu yang
dipandang baik oleh akal maka itu baik menurut Allah juga.

3. Mazhab Al-Maturidiyah
Para pengikut Abu Mansyur Al-Maturidi. Mazhab ini
dinilailebih moderat dan netral. Mazhab ini berusaha untk
mencari titik temu antara mazhab sebelumnya. Mazhab ini
berpendapat bahwa perbuatan mukalaf mempunyai kekhususan
dan berpengaruh dan menghendaki kebaikan dan kejelekan.
Berdasarkan kekhususan pengaruh itu akal dapat memutuskan
bahwa perbuatan itu baik atau jelek. Tetapi juga hukum tentang
perbuatan seseorang tidak mesti selalu dengan jangkauan akal
manusia berupa kebaikan dan kejelekannya, karena akal
terkadang salah dan ketika akal mengetahui hukum sesuatu, maka

22
tidak ada jalan untuk mengetahui hukum perbuatan itu kecuali
melalui syariat yang dibawa oleh rasul.

D. Perbedaan Hukum Takhlifi dan Wadh’i


Berikut ini tabel perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum
wadh’i :

No Hukum Taklifi Hukum Wadh’i

Mengandung tuntutan
Mengandung keterkaitan (hanya
(melaksanakan dan
menghubungkan) antara dua persoalan
1 meninggalkan ) maupun
yang salah satu diantara nya bisa dijadikan
pilihan dalam melakukan
sebab, penghalang, atau syarat.
perbuatan.

Merupakan tuntutan
langsung untuk Tidak untuk langsung dilaksanakan.
dilaksanakan, ditinggalkan Tetapi hukum ini ditetapkan oleh syari’
2
atau memilih antara agar hukum taklifi dapat dilaksanakan.
dilaksanakan atau
ditinggalkan

Ada yang berada dalam kesanggupan


Berada dalam kesanggupan
3 mukallaf. Dan ada yang di luar
dan kemampuan mukallaf
kesanggupan mukallaf.

23
Ditujukan kepada para Ditujukan kepada seluruh umat manusia
4 mukallaf (orang-orang yang baik mukallaf atau belum (anak kecil
sudah baligh dan berakal) dan orang gila).

Pembagian ayat hukum dan Hadis Hukum


Pembagian ayat hukum dan hadits hukum kepada beberapa
kategori tersebut sekaligus memberikan informasi tentang ciri ayat ahkam dan
hadits ahkam. Artinya, untuk membedakan mana yang ayat ahkam atau hadits
ahkam dan mana yang bukan, bisa dengan menggunakan ciri-ciri tersebut. Dua hal
yang perlu digaris bawahi adalah:
Pertama, bahwa dalam pemakaiannya dikalangan ahli Ushul Fiqh, istilah
hukum disamping digunakan untuk menyebut teks-teks ayat atau hadits-hadits
hukum, juga digunakan untuk menyebut sifat perbuatan yang menjadi objek dari
hukum itu. Dalam pembagian di atas, perbuatan yang diperintahkan seperti
melakukan shalat sifatnya wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang
dianjurkan sifatnya mandub, yang dianjurkan untuk ditinggalkan sifatnya makruh,
dan yang dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah. Maka sifat wajib, haram,
mandub, makruh, dan mubah yang merupakan sifat dari perbuatan itu dikenal
dengan hukum syara‟. Dengan demikian hukum shalat, misalnya, adalah wajib
dan meminum khamr adalah haram. Ada dua bentuk pemakaian tersebut tidak
perlu dipertentangkan. Sebab, pemakaian istilah hukum kepada teks ayat atau
hadits karena melihat kepada dalil dan proses terbentuknya hukum. Sedangkan
pemakaiannya kepada sifat perbuatan mukalaf yang terkena hukum karena
melihat kepada hasilnya.
Penggunaan istilah hukum kepada teks ayat ahkam dan hadits ahkam dapat
dilihat ketika membicarakan dalil-dalil hukum, seperti pembicaraan tentang al-
Qur‟an dan Sunnah. Sedangkan pemakaian istilah hukum kepada sifat perbuatan
mukalaf dapat dilihat ketika membicarakan pembagian hukum takhlifi dan
wadh‟i. dalam perkembangannya, kalangan Hanafiyah, seperti dikemukakan
Wahbah az-Zuhaili, lebih cenderung mengartikan hukum dengan sifat perbuatan
mukalaf tersebut, sehingga apa yang disebut hukum takhlifi menurut mereka

24
adalah wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. Kecenderungan ini diikuti
pula oleh ahli-ahli fiqhi dari kalangan mayoritas ulama. Dibawah ini akan
diuraikan pembagian hukum bila dilihat kepada hasilnya.
Perbedaan pendapat tersebut bukan tidak mempunyai akibat hukum.
Sebab, menurut mayoritas ulama hukum adalah qadim karena merupakan kalam
nafsi Allah yang merupakan salah satu sifat- Nya. Sedangkan menurut kalangan
Hanafiyah, hukum adalah baru karena merupakan pengaruh kalam Allah terhadap
perbuatan manusia.
Kedua, seperti dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan hukum adalah
teks ayat ahkam atau hadits ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang
disebut hukum hanya terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul Wahhab Khallaf
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-
Nya itu ada yang secara langsung ditunjukkan oleh teks al-Qur‟an dan Sunnah
dan ada pula yang secara tidak langsung ditunjukkan oleh teks, tetapi oleh
substansi ayat atau hadits yang disimpulkan oleh ahlinya (mujtahid) dengan
kegiatan ijtihad, seperti hukum yang ditetapkan dengan ijma‟‟, qiyas, dan dalil-
dalil hukum lainnya seperti akan datang penjelasannya. Ketentuan-ketentuan
seperti itu adalah ketentuan Allah dan Rasul-Nya juga karena bersumber dari al-
Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.

25
BAB II
PENUTUP
A. Kesinpulan
Hukum syara’ berati khitab Allah SWT, yang bersangkutan dengan
perbuatan mukalaf baik berupa tuntutan (perintah maupun
larangan ),ataupun anjuran unutk meninggalkan dan melakuan, dan juga
berupa kebebasan memilih takhyir.
Hukum syara’ dibagi menjadi dua yaitu Taklifi dan Wadh’i, hukum
taklifi iyalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu
perbuatannya atau meningkalkan suatu perbuatan dan disuruh memilih
antara melakukan atau meningalkannya pembagian hukum taklifi yaitu
wajib,sunah, mubah, makruh, haram.
Yang kedua Hukum wadh’i ialah khitab yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab adanya yang lain (musabab), atau sebagai syarat yang
lain.Kemudian pembagian hukum wadh’i yaitu sebab, syarat,mani,
rukhsah, dan azimah.
Hakim adalah pembuat hukum jelas bahwa hakim disini ialah
Allah SWT.kemudian mahkum fih, mahkum fih ialah objek hukum atau
sesuatu yang dierintahkan oleh Allah untuk dikerjakan maupun
ditinggalkan, kemudian mahkum alaih, mahkum alaih adalah mukalaf
yang dikenai khitab namun ada sesuatu yang menjadi penghalang yaitu

26
(awarid ), awarid adalah keadaan dimana dimana mukalaf tidak dapat
melaksanakan hak dan kewajiban yang ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Beni Ahmad Saibani, M.Sidan Drs. H. Januri M.Ag, Fiqh dan Ushul Fiqh,
Pustaka Setia Bandung ;2009
Drs. Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih,PT. Al Ma’arif Bandung 1973
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A.,Ushul Fiqh, Kencana Jakarta 2014
Prof. Dr. H. Satyria Efendi. M. Zein, MA.,Ushul Fiqh , kencana Jakarta 2012
Suratno dan Anang Zamori. Mendalami Ushul Fiqih ,Aqila Solo 2015
Bahrudin, M. (2019). Ilmu Ushul Fiqh. In Journal of Chemical Information and
Modeling (Vol. 53, Issue 9).
Misbahuddin. (2013). Ushul Fiqh I. Alauddin University Press, Makassar., 247.
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/380/

27

Anda mungkin juga menyukai