Selain itu, Allah SWT tidak melarang Makhluknya yakni manusia untuk memiliki dan
memanfaatkan Harta untuk dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Dalam Islam
kedudukan Harta menurut Hadist adalah sejatinya milik Allah SWT, Titipan untuk Manusia
dan Sebagai bekal untuk Beribadah kepada Allah SWT.
Ḥadīṡ ini memberikan pengertian bahwa negara di mana pun adalah milik Allah, oleh karena
itu manusia bisa tinggal di manapun yang ia suka, tentu saja dengan aturan-aturan yang
berlaku, orang seharusnya boleh memilih kewarganegaraan, bekerja ke luar negeri untuk
mencari penghasilan dan lain sebagainya, begitu pula hamba atau manusia milik Allah, tidak
ada perbedaan derajat di antara mereka kecuali taqwa.
b. Harta Sebagai Titipan dari Allah SWT kepada Manusia
Dari Ḥadīṡ ini mengingatkan kepada manusia bahwa harta merupakan amanah yang harus
hati-hati dalam mencarinya dan harus benar dalam menggunakannya, karena di hari kiamat
akan ada pertanggung jawaban dalam mengelola harta, bila keliru dalam mencarinya dan
tidak benar dalam menggunakannya, maka harta akan membuat manusia celaka di akhiratnya.
Dalam Ḥadīṡ ini Rasul SAW menjelaskan bahwa harta tidak langsung mempunyai manfaat
dan madharat, harta ibarat sebilah pisau, ia akan bermanfaat jika yang memegangnya adalah
koki untuk memasak masakan. Akan tetapi jika pisau dipegang oleh orang jahat, pisau akan
menjadi alat untuk menakut-nakuti, melukai, bahkan membunuh manusia. Artinya jika harta
dimiliki oleh orang ṡālih harta akan sangat bermanfaat sebagai wasilah menunaikan ibadah
dan kemaslahatan umum. Namun bila harta dimiliki oleh orang jahat harta akan sangat
berbahaya, karena bisa merusak sendi-sendi perekonomian dan kemaslahatan masyarakat.
Intinya, bahwa kedudukan harta adalah sebagai amanah atau titipan Allah SWT kepada
manusia. Dan karena itu adalah titipan, maka manusia berkewajiban untuk menggunakan
harta tersebut sebesar besarnya untuk mengabdi kepada Allah. Tidak diperbolehkan untuk
maksiat, tidak boleh membelanjakannya secara berlebihan (boros, mubadzir) atau
menelantarkannya sehingga tidak bermanfaat. Manusia harus memastikan agar hartanya itu
digunakan untuk taqarrub ilalAllah (mendekatkan diri kepada Allah) atau berfungsi untuk
kemaslahatan dunia dan akhirat.
2. Ekonomi Islam menimbulkan berbagai kesan yang beragam, bagi sebagian kalangan, kata
Islam memposisikan ekonomi Islam pada tempat yang sangat ekslusif sehingga
menghilangkan nilai kefitraannyan sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi sebagian
lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis
dan sosialis, sehingga ciri khas khusus yang dimiliki oleh ekonomi Islam itu sendiri hilang,
padahal yang sesungguhnya ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan
ciri khasnya sekaligus.
Nilai-nilai dasar ekonomi antara lain dijelaskan dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan dari
Abu Sa’id al-Khudzri, yaitu:
Hadits diatas menjelaskan tentang pedagang, pebisnis, atau pengusaha yang jujur lagi
terpercaya nanti pada hari kiamat akan bersama dengan para nabi, para shiddiqin (orang-
orang yang jujur) dan syuhada (orang-orang yang mati syahid). Dalam hadits diatas terdapat
nilai-nilai dasar ekonomi, yaitu:
a. Kejujuran
Dengan aktivitas ekonomi yang dilandasi dengan kejujuran, manusia akan saling
mempercayai dan terhindar dari penipuan. Kejujuran dapat membawa pada kebajikan
dan kebajikan dapat membawa pada surga.
ِدي ِإلَىyْبر يَهyبرِّوِإ َّن الy ِدي ِإلَى الyْق يَه ِّ ِإ َّن:ا َلyَصلَى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم ق
َ دyص ِ ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َِن النَّبِي
ِ ع َِن اب ِْن َم ْسعُوْ ٍد َر
َ yور وَِإ َّن الفُ ُجy
ِ َّ ِدي ِإلَى النyور يَ ْهy
ار ِ yب يَ ْه ِدي ِإلَى الفُ ُج ْ
َ وَِإ َّن ال َك ِذ.ص ِّد يقًا هَّللا َ ق َحتَّى يُ ْكت
ِ ِ َب ِع ْن َد ُ الجنَّ ِة وّ ِإ َّن ال َّرج َُل لَيَص ُد
َ
َ ٌ َ َّ َّ هَّللا ْ
)َب ِعن َد َ كَذابًا ( ُمتفق َعل ْي ِه ْ َّ ْ َ َّ
َ وِإنال َّرج َُل ليَك ِذبُ َحت يُكت. َ
Dari Ibn Mas’ud r.a., dari Nabi SAW ia bersabda, ‘Sesungguhnya kejujuran
membawa pada kebajikan dan kebajikan membawa pada surga dan sesungguhnya
seseorang benar-benar jujur sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Sesungguhnya kebohongan membawa pada keburukan dan keburukan itu membawa
pada neraka dan sesungguhnya seseorang benar-benar dusta sehingga dicatat oleh
Allah sebagai pendusta. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
b. Amanah
Orang yang tidak amanah disebut pengkhianat, termasuk salah satu ciri orang
munafik.
c. Ketuhanan
Konsep ketuhanan dalam ekonomi Islam dapat digambarkan bahwa tujuan Allah
menciptakan manusia di muka bumi tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya.
d. Kenabian
Ada beberapa model perilaku ekonomi yang dicontohkan Nabi, misalnya cara
menjual barang dengan benar, melakukan gadai, berserikat dalam bisnis, dan
sebagainya juga pandangan Nabi tentang harta dan kekayaan.
ُس ( َر َواه ِ ض َولَ ِك َّن ال ِغنَى النَّ ْف َ yر ِة ْال َعy
ِ رy َ yْس ْال ِغنَى ع َْن ك َْث
َ لَي:لَ َمy ِه َو َسyلَى هَّللا ُ َعلَ ْيyص
َ ِ و ُل هَّللاyال َر ُسy َ yع َْن َأبِى هُ َر ْي
َ yَرةَ قy
)ُم ْسلِ ٌم
Dari Abu Hurairah r.a. katanya, Rasulullah SAW bersabda, “(Yang disebut) kaya
bukanlah karena banyaknya harta benda tetapi (yang disebut) kaya adalah kaya jiwa.
(HR.Muslim)
e. Pertanggungjawaban
Setiap sistem ekonomi memiliki nilai instrumental tertentu berdasarkan pada landasan filosofis yang
dianutnya. Sistem ekonomi kapitalis, nilai instrumentalnya adalah kebebasan, sedangkan system
ekonomi sosialis nilai instrumentalnya ialah perencanaan ekonomi terpusat, sistem komando. Dalam
sistem ekonomi Islam, terdapat lima nilai instrumental strategis yang memengaruhi tingkah laku
ekonomi seorang Muslim, masyarakat dan pembangunan ekonomi pada umumnya. Nilai-nilai
instrumental tersebut adalah zakat, larangan riba, kerja sama, jaminan sosial dan peranan negara.
a) Zakat
Zakat adalah kewajiban keagamaan yang dibebankan atas harta kekayaan yang dimilik seseorang
menurut aturan tertentu yang harus didistribusikan kepada delapan kelompok sasaran (asnaf).
Dasarnya tertera dalam Hadist;
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
Artinya :
"Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang
berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat;
menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan."
Nabi SAW bersabda ketika memerintahkan pada Mu’adz yang ingin berdakwah ke Yaman,
تُْؤ َخ ُذ ِم ْن َأ ْغنِيَاِئ ِه ْم َوتُ َر ُّد َعلَى فُقَ َراِئ ِه ْم، ص َدقَةً فِى َأ ْم َوالِ ِه ْم َ فَِإ ْن هُ ْم َأطَاعُوا لِ َذلِكَ فََأ ْعلِ ْمهُ ْم َأ َّن هَّللا َ ا ْفت ََر
َ ض َعلَ ْي ِه ْم
Artinya :
"… Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan Allah dan menunaikan shalat),
maka ajarilah mereka sedekah (zakat) yang diwajibkan atas mereka di mana zakat tersebut
diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian disebar kembali oleh orang
miskin di antara mereka."
b) Larangan Riba
1) Rasullah Melaknat Orang-orang yang terlibat dalam Riba
لَّىyصَ ِ و ُل هَّللاy لَعَنَ َر ُس:ا َلyyَ ق، ع َْن َأبِي ِه، َح َّدثَنِي َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َم ْسعُو ٍد،ك َ َُح َّدثَنَا َأحْ َم ُد بْنُ يُون
ٌ َح َّدثَنَا ِس َما،ٌ َح َّدثَنَا ُزهَ ْير،س
ُ َو ُمْؤ ِكلَهُ َوشَا ِه َدهُ َوكَاتِبَه،هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم آ ِك َل ال ِّربَا
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah
menceritakan kepada kami Simak, telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Abdullah bin
Mas’ud, dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang
makan riba, orang yang memberi makan riba, saksinya dan penulisnya.(HR. Abu Dawud)
َ ِإ َذا ظَهَ َر ال ِّزنا َ َوال ِّربَا فِي قَرْ يَ ٍة فَقَ ْد َأ َحلُّوْ ا بَِأ ْنفُ ِس ِه ْم َع َذ
ِاب هللا
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk
negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim)
Sehingga dapat disimpilkan bahwa Riba adalah sesuatu yang Allah sangan larang dan apabila
dikerjakan maka Allah akan memberikan azab yang berat.
3) Kerjasama Ekonomi
Kerjasama ekonomi merupakan watak masyarakat ekonomi menurut Islam. Kerjasama
ekonomi harus dilaksanakan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi
barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama ekonomi yang sesuai dengan ajaran
Islam adalah qiradh mudarabah dan murabahah. Salah satu Hadist menerangkan tentang
pentingnya Mudarabah;
Nabi bersabda : ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
4) Jaminan Sosial
Di dalam al-Qur’an dan Hadist banyak dijumpai ajaran yang mengatur kehidupan sosial
masyarakat, termasuk ajaran yang bertujuan untuk menjamin tingkat dan kualitas hidup
minimum bagi seluruh masyarakat. Berikut hadist yang menerangkan tentang keutamaan
Jaminan Sosial;
5) Peran Negara
Campur tangan negara sebagai pemilik manfaat sumber-sumber daya, produsen,
distributor dan sebagai lembaga pengawasan kehidupan ekonomi melalui lembaga hisbah
(pengawasan). Peranan negara diperlukan dalam instrumentasi dan fungsionalisasi nilai-
nilai ekonomi Islam dalam aspek legal, perencanaan dan pengawasannya dalam
pengalokasian sumber-sumber daya maupun dana, pemerataan pendapatan dan kekayaan,
serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
"Barangsiapa yang memegang kuasa tentang sesuatu urusan kaum muslimin, lalu dia
memberikan suatu tugas kepada seseorang, sedangkan dia mengetahui bahwa ada
orang yang lebih baik daripada orang itu, dia telah mengkhianati Allah, RasulNya
dan kaum muslimin." (Hadis Riwayat Al-Hakim).
Dalam pandangan Islam, Negara juga berperan menyediakan kesempatan pelatihan dan
mmenciptakan peluang pekerjaan. Negara membuat program membantu pengangguran.
Negara berperan memberdayakan orang miskin, anak yatim, janda, manula, orang cacat
dan seluruh rakyat yang tak memiliki kemampuan untuk memenuhi keperluannya sendiri.
4. Faktor dan Produksi dalam Islam, Produksi dapat meningkatkan kesejahteraan manusia
dimuka bumi. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan ekonomi diukur dengan uang,
sedangkan dalam Islam kesejahteraan ekonomi terdiri dari bertambahnya pendapatan yang
diakibatkan oleh meningkatnya produksi dan keikutsertaan sejumlah orang dalam proses
produksi.
Produksi dalam bahasa arab adalah al-intaajdari akar kata nataja, tetapi dalam istilah fiqih
lebih dikenal dengan kata tahsil,yaitu mengandung arti penghasilan atau menghasilkan
sesuatu. Begitupun dengan Ibnu Khaldun, menggunakan kata tahsil untuk produksi ketika ia
membahas pembagian spesialisasi tenaga kerja. Sebagaimana tertulis dalam Hadist tentang
keutamaan produksi;
Artinya : “ Dari Jabir RA berkata, Rasulullah SAW bersabda : barang siapa mempunyai
sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya. Jika ia tidak bisa atau tidak mampu
menanami, maka hendaklah diserahkan kepada orang lain (untuk ditanami) dan janganlah
menyewakannya (HR. Muslim).
Sehingga pada prinsipnya, produksi dalam ekonomi Islam harus memperhatikan
kemashlahatan (manfaat), yakni:
Sedangkan Faktor produksi dibedakan menjadi empat golongan yaitu, tanah, tenaga kerja,
modal, dan kewirausahaan.
5. (HADIST)
a) Barang yang diperjual belikan itu merupakan barang yang secara mutlak boleh
dimanfaatkan menurut syari’at dalam segala kondisi. Ini berarti, jual-beli barang yang
diharamkan menurut syari’at itu tidak sah. Misalnya jual beli khamr, babi, alat-alat
musik, bangkai dan lain sebagainya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi
dan patung [Muttafaq ‘alaih]
َ ِإ َّن هَّللا َ َح َّر َم ْال َخ ْم َر َوثَ َمنَهَا َو َح َّر َم ْال َم ْيتَةَ َوثَ َمنَهَا َو َح َّر َم ْال ِخ ْن ِز
ُير َوثَ َمنَه
Juga tidak boleh memperjualbelikan minyak yang najis ataupun yang tercampur najis.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ُِإ َّن هَّللا َ َع َّز َو َج َّل ِإ َذا َح َّر َم َش ْيًئا َح َّر َم ثَ َمنَه
b) Barang yang diperjualbelikan itu bisa diserahterimakan. Karena menjual barang yang
tidak bisa diserahterimakan sama saja dengan tidak ada, sehingga tidak sah
diperjualbelikan. Misalnya, jual-beli binatang yang lepas, burung di udara, barang
yang dirampas, sementara yang memiliki tidak mampu mengambilnya.
c) Barang dan alat tukarnya sudah diketahui oleh dua orang yang melakukan transaksi
jual-beli. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah mengatakan,
“Banyak cara untuk mengetahui sesuatu; bisa dengan melihat, mendengar, mencium,
mencicipi, menyentuh dan menjelaskan sifat-sifatnya[6].
Jika terjadi transaksi, padahal salah satu pelaku transaksi tidak mengetahui barangnya
atau alat tukarnya, berarti ada ketidaktahuan dan ketidaktahuan (ketidakjelasan) itu
adalah gharar. Sementara jual-beli yang mengandung unsur gharar yang berpotensi
menimbulkan perselisihan dilarang dalam Islam dan tidah sah. Namun jika unsur
gharar (ketidakjelasan-pent) ini sedikit, sehingga tidak berpotensi menimbulkan
permasalahan di masa yang akan datang, maka jual-beli itu sah.