Disusun oleh :
FAKULTAS DAKWAH
2023
KATA PENGANTAR
Kami selaku manusia senantiasa bersyukur kepada Allah SWT sebab rahmat
dan petunjuk-Nya, kami berhasil merampungi makalah dengan judul penelitian "Hadits
di lihat dari kuantitas sanad" sebelum tenggat waktu. Kami juga ingin menyampaikan
terima kasih sebanyak-banyaknya terhadap teman-teman, dosen pembimbing mata
kuliah pancasila, dan semua individu di sekitar saya yang telah membantu, dan
memberi panduan berharga secara detail dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami membuat makalah ini untuk meningkatkan kemampuan belajar kami
untuk berpikir secara kritis sebagai seseorang yang menempuh pembelajaran dewasa.
Kami menyadari bahwa masih ada beberapa kelemahan selama proses pembuatan
makalah ini. Akibatnya, kami senantiasa mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari
semua pihak untuk membantu kami meningkatkan makalah kami di kemudian hari atau
masa mendatang. Dengan terselesaikannya makalah ini, kami berharap dapat
membantu pembaca dalam meningkatkan pemahaman mereka.
Kelompok 5
II
DAFTAR ISI
III
BAB I
PENDAHULUAN
1
Fazlur Rahman, “The Living Sunnah and al-Sunnah wa al-Jama’ah”, dalam P. K. Koya (ed.), Hadith
and Sunnah: Ideals and Realities (Kuala Lumpur: Islamic Boook Trust, 2006), 150
2
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 15-16
3
Al-Qur’an surat al-A’râf/7: 50, al-Najm/53: 4, dan Fushshilât/41: 6
4
Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Adhabî, Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘Ulama’ alHadîts al-Nabawî (Beirut:
Dâr al-Aflâq al-Jadîdah, 2007), 47
1
al-Khulafâ' al – Râsyidûn , bersikap teliti dan akurat saat menerima
periwayatan. Ini karena memperiwayatkan hadis Nabi sangat krusial untuk
patuh terhadapnya. Karena tidak seluruh periwayat dapat menerima hadis
langsung oleh Nabi, diperlukan penghubung antara periwayat sesudah
sahabat, dan bahkan diantara sahabat sendiri dan Rasulullah saw. Kedua,
mereka menyelidiki dengan teliti periwayatan dan isi riwayat itu sendiri.
Ketiga, seperti halnya dinaungi oleh Abû Bakar, para sahabat meminta
kesaksian untuk melaporkan hadis. Keempat, mereka juga memohon
periwayat hadis untuk bersumpah, seperti halnya dilaksanakan oleh "Alî ibn
Abî Thâlib." Kelima, mereka mendapatkan catatan dari satu individu yang
dapat dipercaya. Keenam, karena mereka mempunyai pedoman agama yang
kuat sehingga mustahil untuk berdusta, golongan sahabat menerima dan
mengambil hadis tanpa memeriksa apakah itu suatu kebenaran dari Nabi atau
dari orang lain.5
Dalam periwayatan hadis, terjadi kekeliruan dan pemalsuan,
yang kemudian diantisipasi oleh para ulama hadis; ini berarti bahwa tidak
semua hadis diyakini bersumber dari Nabi. Ini berbeda dengan al-Qur'an, di
mana semua ayat bersumber dari Allah.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dan jenis – jenis hadits mutawatir.
5
Ibid., 48-51
2
2. Mengetahui penjelasan terperinci terkait hadits mutawatir.
3. Mengetahui definisi dan jenis – jenis hadits ahad.
4. Mengetahui penjelasan terperinci terkait hadits ahad.
1.4 Manfaat
1. Menjadikan mahasiswa secara kritis mampu mengetahui definisi dan
jenis – jenis hadits mutawatir.
2. Menjadikan mahasiswa secara kritis mampu menjabarkan tentang
penjelasan terperinci terkait hadits mutawatir.
3. Menjadikan mahasiswa secara kritis mampu mengetahui definisi dan
jenis – jenis hadits ahad.
4. Menjadikan mahasiswa secara kritis mampu menjabarkan tentang
penjelasan terperinci terkait hadits ahad.
3
BAB II
PEMBAHASAN
6
Mahmûd al-Thahhân, Taysîr, 19
7
Al-Hâfizh Tsanâ’ Allâh al-Zâhidi, Tawjîh al-Qâri’ ila al-Qawâ’id wa al-Fawâid al-Ushuliyyah wa al-
Hadîtsiyyah wa al-Isnâdiyyah fi Fath al-Bârî (Beirut: Dâr al-Fikr, 200), 155
8
Ibid.
4
pikir dan pembiasaan, tidak mungkin mereka setuju untuk membuat hadis
yang berkaitan. Menurut Muhammad "Ajjâj al-Khâthîb, "hadis mutawâtir"
adalah hadis yang diwariskan oleh sejumlah periwayat yang berdasarkan
kebiasaan mustahil untuk sepakat berdusta (tentang hadis yang diwariskan)
dari beberapa periwayat terkait jumlah yang selaras dari sanad pertama
sampai sanad terakhir, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap
tingkat sanadnya.9
Mengacu pada sejumlah definisi yang telah dijabarkan di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis mutawâtir adalah hadis sahih yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat pada awal, tengah, dan akhir sanad
dalam jumlah tertentu. Sumber beritanya berasal dari sensasi indera, seperti
suara, dengar, raba, cium, dan rasa. Hadis mutawâtir diyakini benar dari Nabi
Muhammad SAW karena sifatnya.
9
Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthîb, Ushûl al-Hadîts, 301
5
diwariskan oleh banyak periwayat sahabat, seperti yang disebutkan
dalam hadis di atas.
2. Hadits mutawatir ma’nawi ialah hadis yang menyandang status
mutawâtir secara makna harfiah saja tidak lafalnya.10 Hadis mutawâtir
jenis ini diwariskan oleh banyak orang pada semua tingkatan sanadnya
dan disetujui secara makna bahwa mereka ditulis dengan cara yang
berbeda. Muhammad "Ajjâj al-Khâthîb" mendefinisikan hadis
mutawâtir ma'nawî dengan mengatakan bahwa meskipun
periwayatannya disertai maknanya, lafalnya tidak.11 Sebagaimana yang
telah dijelaskan, lebih banyak hadis mutawâtir ma'nawî daripada hadis
mutawâtir lafzhî. Ini karena persyaratan yang lebih ketat untuk hadis
mutawâtir lafzhî daripada untuk hadis mutawâtir ma'nawî. Selain itu,
hadis mutawâtir lafzhî harus memenuhi syarat kesamaan redaksi (lafal),
sehingga tidak mungkin ada dua hadis mutawâtir dengan redaksi yang
sama meskipun maknanya sama.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi ialah hadits-hadits yang menjabarkan
bahwasannys Nabi mengangkat tangan ketika memohon pada yang
Maha Kuasa:
10
Mahmûd al-Thahhân, Taysîr, 20
11
Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthîb, Ushûl al-Hadîts, 301
12
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, h. 2335.
6
2.2 Penjelasan Lebih Rinci Hadits Mutawatir
Hadits yang diwariskan dari banyak jalan (sanad) yang lazimnya
dengan jumlah dan sifat perawi di seluruh thabaqoh (generasi perawi)
tersebut mereka mustahil bersepakat/berdusta/kebetulan bersama sama
berdusta perkara yang mereka riwayatkan adalah perkara inderawi yakni di
lihat (kami melihat si fulan..... , aku melihat.....) atau di dengar (kami
mendengar......, atau aku mendengar si fulan mengatakan......).
Nabi Muhammad pertama kali berbicara kepada para
sahabatnya tentang hadis mutawâtir. Artinya, para sahabat mendengarkan
dan menghafal hadis secara bersamaan ketika Rasulullah menyampaikan
mereka. Dalam proses periwayatan berikutnya, para sahabat menyalurkan
hadis kepada banyak tâbi’în, yang kemudian disampaikan hadis itu kepada
banyak tâbi’ al-tâbi’în, dan seterusnya hingga sampai kepada banyak
mukharrij hadis. Periwayatan hadis mutawâtir di pertegas oleh orang banyak
pada masing-masing thabaqah sanadnya dari zaman Nabi hingga zaman para
mukharrij.
13
Mahmûd al-Thahhân, Taysîr Musthalah al-Hadîts (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), 20
7
kedua orang perawi tiap salah satu atau seluruh thabaqah (tingkatan)
termasuk dalam kategori hadis ahâd. Hadis yang diriwayatkan oleh tiga
orang perawi pada salah satu tingkatan sanad juga termasuk dalam kategori
hadis ahâd. Hadis masyhûr juga termasuk dalam kategori hadis ahâd oleh
ulama hadis.
Berbeda dengan hadis mutawâtir, hadis ahâd didefinisikan oleh
ulama hadis sebagai hadis yang tiada menepati syarat-syarat hadis
mutawâtir.14 Maka dari itu, hadis disebut sebagai hadis ahâd jika tidak
memnepati salah satu kapabilitas hadis mutawâtir. Hadis ahâd tidak
memenuhi beberapa kualifikasi hadis mutawâtir, seperti yang akan
dijelaskan berikutnya. Oleh karena itu, hadis ahâd berlainan dengan hadis
mutawâtir atau hadis mutawâtir bukanlah hadis ahâd. Mustahil sebuah hadis
berstatus mutawâtir sekaligus berstatus ahâd. Oleh karena itu, menurut
pengertian harfiah di atas, hadis yang tidak mencukupi kualifikasi hadis
mutawâtir disebut sebagai hadis ahâd.
14
Ibid., 22
15
Ibid., 23
8
non istilah atau masyhûr ghayr isthilâhî. Ini berlainan dengan
hadis masyhûr istilah, yang membutuhkan jumlah tertentu untuk
tiap tingkatan sanadnya. Hadits yang diriwayatkan oleh tiga
perwayat atau lebih pada tiap thabaqahnya tetapi tidak sampai
pada peringkat mutawatir disebut hadits masyhur, menurut
terminologi ulama hadits.16
Oleh karena itu, hadis yang masyhûr dianggap sebagai
hadis yang diwariskan pada paling sedikit tiga periwayat pada
salah satu thabaqah-nya, walaupun banyak periwayat yang
mencapai batasan mutawâtir pada thabaqah sebelumnya atau
sesudahnya. Menurut definisi di atas, hadis masyhûr disebut
secara istilah (masyhûr isthilâhî), dan dikatakan juga sebagai
hadis yang terkenal dalam obrolan (ma isytahara ’ala al-
alsinah). Hadis-hadis ini dianggap masyhur di beberapa aspek
masyarakat tertentu tanpa memperbanyak syarat-syarat untuk
dianggap sebagai hadis masyhûr, sehingga ada beberapa hadis
dalam kriteria ini yang memenuhi syarat-syarat tersebut.17
Hadits Masyhur
Contoh: 1. Masyhur di kalangan ahli hadits
ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع
Bahwasannya Rasulullah Saw. Membacakan qunut saat satu
bulan setelah ruku’. (HR. Bukhari Muslim)
2. Masyhur di kalangan ulama ahli hadits
16
Ibid.
17
Mahmûd al-Thahhân, Taysîr, 24 dan Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthîb, Ushûl alHadîts, 365
9
Penjelasan: Dengan demikian, hadits masyhur itu sangat
terkenal dan popular di kalangan beberapa ulama dan ahli hadits
walaupun tidak mempunyai sanad sama sekali. Selama
jumlahnya tidak melampaui jumlah perawi hadits mutawatir
maka itu dikatakan hadits masyhur. Ada pula yang menjadi
patokan dalam hadits masyhur adalah jumlah perawi tidak
kurang dari tiga orang, jangan melebihi batasan jumlah perawi
hadits mutawatir.
Hadits Aziz
Definisi: Dalam pembahasaan Arab, kata "azîz" bersumber dari
kata "azza ya'izzu", yang berarti "sedikit atau jarang," dan "azza
ya'azzu", yang berarti "kuat dan sangat." Disebut demikian
karena sanadnya kuat karena hadis jenis ini jarang dan sedikit.18
Menurut istilah, hadis ’azîz ialah yang ketika segala thabaqah
sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat.19 Menurut
definisi ini, tidak ada periwayat hadis azîz yang kurang dari dua.
Akibatnya, hadis azîz dinyatakan jika saat salah satu tingkatan
sanadnya berada tiga orang periwayat atau lebih, tetapi jika
kurang dari dua periwayat pada salah satu thabaqah sanadnya,
maka tidak disebut hadis azîz. Muhammad "Ajjâj al-Khâthîb"
memberikan definisi serupa. Dia menafsirkan hadis azîz terkait
hadis yang diwariskan oleh dua orang periwayat, bukan kurang
dari dua periwayat.20
18
Ibid., 26
19
Ibid.
20
Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthîb, Ushûl al-Hadîts, 363
10
Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah
kalian beriman sampai aku menjadi yang paling ia
cintai dari kedua orang tuanya, anaknya dan semua
manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan: Hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang
di seluruh tingkatan sanadnya Karena hadits Aziz sulit
ditemukan, tidak diisyaratkan adanya keseimbangan jumlah
periwayat di setiap thabaqat.
Hadits Gharib
Definisi: Dalam bahasa Arab, "gharîb" berarti sendirian (al-
tafarrud) atau jauh dari keluarganya. Selain kata gharîb, ada
juga kata fard, yang menurut beberapa ulama hadis merupakan
sinonim, seperti kalimat "si fulan kadang-kadang sendirian
dalam suatu hal dan " “si fulan kadang-kadang menyendiri
dalam suatu hal".21 Ulama sering menyebut hadis gharîb dan
hadis fard sebagai sinonim, menurut Mahmud al-Thahhan.
Namun, beberapa ulama membedakan keduanya.22
Menurut penjelasan yang telah dijabarkan di atas, hadis
gharîb pada dasarnya diwariskan oleh satu periwayat pada salah
satu tingkat sanadnya, apakah sanad itu satu atau banyak.
Contoh:
21
Shubhî al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts, 226
22
Mahmûd al-Thahhân, Taysîr, 28
11
kepalanya ada al-mighfar (alat penutup kepala). (HR. Bukhari
dan Muslim). Hadis ini hanya diriwayatkan Malik secara
sendirian dari az-Zuhri
Penjelasan: Seandainya suatu hadits di riwayatkan oleh satu
orang pada satu tingkatan sanad, sedangkan pada tingkatan yang
lain di riwayatkan oleh lebih dari satu orang, tetap saja hadits ini
tergolong gharib.
23
Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthîb, Ushûl al-Hadîts, 92
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hadits mutawatir didefinisikan sebagai hadits yang diwariskan
oleh banyak orang pada tingkat sanadnya. Hadits-hadits ini juga banyak
diriwayatkan oleh perawi yang bisa dipercaya, yang tidak dapat berbohong
secara kolektif atau bersepakat untuk berdusta dari hadits yang diterima dari
sejumlah perawi yang sama dari awal sanad hingga akhir sanad. Hadits
mutawatir dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
1.) Hadits mutawatir lafdzi
2.) Hadits mutawatir Ma'nawiy
3.) Hadits mutawatir ‘amali
Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang atau yang jumlah rawinya tidak
menjangkau jumlah mutawatir tidak dianggap mutawatir atau memiliki
derajat mutawatir. Hadits hari Ahad dibagi menjadi beberapa bagian, seperti:
1.) Hadits Masyhur
2.) Hadits Aziz
3.) Hadits Gharib
3.2 Saran
Dalam hadits didefinisikan sebagai omongan atau perkataan,
perilaku dan ketetapan Rasulullah. Ibnul Qayyim berbicara dalam Madarijus
Salikin. "Allah tidak akan mencintaimu kecuali engkau mengikuti
Habibullah (Rasulullah) secara lahir dan batin, membenarkan sabdanya,
mentaati perintahnya, menjawab dakwahnya, mengikuti jalan hidupnya,
mendahulukan hukum beliau dibandingkan dengan hukum lain,
mendahulukan cinta kepada beliau diatas cinta kepada yang lain,
mendahulukan ketaatan kepada beliau dibandingkan kepada orang lain.
Kalau engkau tidak demikian, maka tidak ada gunanya. Coba saja lakukan
13
apa yang dapat menggapai cinta Allah menurut carumu sendiri. Engkau
mencari cahaya nama tidak akan mendapatkannya".
14
DAFTAR PUSTAKA
Bariyah, Oneng Nurul. Ilmu Hadits. Tangerang Selatan. Tunas Ilmu Jakarta:
2011.
Idri, H. Studi Komparasi Hadis Ahad & Mutawatir Menurut Ulama Hadits dan
Teri Common Link dan Implikasinya Terhadap Eksistensi Hadis Nabi.
Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2014.
Zuhri, Ahmad., Fatimah Zaharah.,Watni Marpaung. Ulumul Hadits. Medan: CV.
Manhaji. 2014.
15