Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HADITS DI LIHAT DARI KUANTITAS SANAD

(Disusun sebagai bukti pengumpulan tugas mata kuliah Ulumul Hadits)

Dosen Pengajar: Nasirudin Al Ahsani, Lc., M.Ag

Disusun oleh :

Kelompok 5 / Kelas PSI 3

1. Kalinda Mayzela Sofia (232103050080)


2. Varellya Adysti Maulida (234103050034)
3. Sartika (234103050008)
4. Syahrothul Istiqomah (232103050013)

FAKULTAS DAKWAH

JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER

2023
KATA PENGANTAR

Kami selaku manusia senantiasa bersyukur kepada Allah SWT sebab rahmat
dan petunjuk-Nya, kami berhasil merampungi makalah dengan judul penelitian "Hadits
di lihat dari kuantitas sanad" sebelum tenggat waktu. Kami juga ingin menyampaikan
terima kasih sebanyak-banyaknya terhadap teman-teman, dosen pembimbing mata
kuliah pancasila, dan semua individu di sekitar saya yang telah membantu, dan
memberi panduan berharga secara detail dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami membuat makalah ini untuk meningkatkan kemampuan belajar kami
untuk berpikir secara kritis sebagai seseorang yang menempuh pembelajaran dewasa.
Kami menyadari bahwa masih ada beberapa kelemahan selama proses pembuatan
makalah ini. Akibatnya, kami senantiasa mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari
semua pihak untuk membantu kami meningkatkan makalah kami di kemudian hari atau
masa mendatang. Dengan terselesaikannya makalah ini, kami berharap dapat
membantu pembaca dalam meningkatkan pemahaman mereka.

Jember, 05 september 2023

Kelompok 5

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................II

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 2

1.3 Tujuan ................................................................................................................................. 2

1.4 Manfaat ............................................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 4

2.1 Definisi dan Jenis – Jenis Hadits Mutawatir ....................................................................... 4

2.2 Penjelasan Lebih Rinci Hadits Mutawatir .......................................................................... 7

2.3 Definisi dan Jenis – Jenis hadits ahad ................................................................................ 7

2.4 Penjelasan hadits ahad ...................................................................................................... 12

Bab III Penutup..................................................................................................................... 13

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 13

3.2 Saran ................................................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 15

III
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Umat Islam berkeyakinan bahwasannya hadits nabi sudah ada
semenjak awal keberadaan Islam1, Segala sesuatu yang dibicarakan atau
dilakukan Nabi, baik yang berkaitan dengan masalah pribadi maupun
bersama, diubah oleh tradisi selama masa Nabi. Dalam posisinya menjadi
pemimpin, panutan, dan penyalur syari'at Allah, Nabi menjadi perhatian
utama. Hampir seluruh pembicaraannya dan perbuatannya mengandung
hukum2, kecuali beberapa yang berkaitan dengan masalah duniawi.
Setelah Nabi wafat, umat Islam tidak bisa menyaksikan atau
mendengar sabda-sabdanya serta melihat kehidupan dan perbuatan Nabi
secara berkelangsungan. tindakan Nabi yang pada dasarnya didasarkan pada
ajaran Ilahi,3 sebagai periwayat pendahulu yang menyalurkan hadis kepada
umat muslim, hanya memiliki pengetahuan dari sahabatnya selain yang
dijelaskan dalam al-Qur'an. Banyak orang terlibat dalam periwayatan hadis
sejak saat itu. Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Adhabî menyatakan bahwa para
sahabat Nabi tidak mendustakan Nabi dalam situasi seperti itu. Mereka
adalah individu yang bersedia mengorbankan nyawa dan nyawa mereka
untuk menegakkan keyakinan dan mendukung penyebaran Islam.4
Sebagai contoh, hal-hal berikut menunjukkan tradisi kritis di
golongan sahabat yang sangat memperhatikan pembenaran dalam
periwayatan hadis: Pertama, golongan sahabat, seperti halnya dirintis oleh

1
Fazlur Rahman, “The Living Sunnah and al-Sunnah wa al-Jama’ah”, dalam P. K. Koya (ed.), Hadith
and Sunnah: Ideals and Realities (Kuala Lumpur: Islamic Boook Trust, 2006), 150
2
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 15-16
3
Al-Qur’an surat al-A’râf/7: 50, al-Najm/53: 4, dan Fushshilât/41: 6
4
Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Adhabî, Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘Ulama’ alHadîts al-Nabawî (Beirut:
Dâr al-Aflâq al-Jadîdah, 2007), 47

1
al-Khulafâ' al – Râsyidûn , bersikap teliti dan akurat saat menerima
periwayatan. Ini karena memperiwayatkan hadis Nabi sangat krusial untuk
patuh terhadapnya. Karena tidak seluruh periwayat dapat menerima hadis
langsung oleh Nabi, diperlukan penghubung antara periwayat sesudah
sahabat, dan bahkan diantara sahabat sendiri dan Rasulullah saw. Kedua,
mereka menyelidiki dengan teliti periwayatan dan isi riwayat itu sendiri.
Ketiga, seperti halnya dinaungi oleh Abû Bakar, para sahabat meminta
kesaksian untuk melaporkan hadis. Keempat, mereka juga memohon
periwayat hadis untuk bersumpah, seperti halnya dilaksanakan oleh "Alî ibn
Abî Thâlib." Kelima, mereka mendapatkan catatan dari satu individu yang
dapat dipercaya. Keenam, karena mereka mempunyai pedoman agama yang
kuat sehingga mustahil untuk berdusta, golongan sahabat menerima dan
mengambil hadis tanpa memeriksa apakah itu suatu kebenaran dari Nabi atau
dari orang lain.5
Dalam periwayatan hadis, terjadi kekeliruan dan pemalsuan,
yang kemudian diantisipasi oleh para ulama hadis; ini berarti bahwa tidak
semua hadis diyakini bersumber dari Nabi. Ini berbeda dengan al-Qur'an, di
mana semua ayat bersumber dari Allah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi dan jenis – jenis hadits mutawatir?
2. Bagaimana penjabaran hadits mutawatir jika dijelaskan secara
terperinci?
3. Bagaimana definisi dan jenis – jenis hadits ahad?
4. Bagaimana penjabaran hadits ahad jika dijelaskan secara terperinci?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dan jenis – jenis hadits mutawatir.

5
Ibid., 48-51

2
2. Mengetahui penjelasan terperinci terkait hadits mutawatir.
3. Mengetahui definisi dan jenis – jenis hadits ahad.
4. Mengetahui penjelasan terperinci terkait hadits ahad.

1.4 Manfaat
1. Menjadikan mahasiswa secara kritis mampu mengetahui definisi dan
jenis – jenis hadits mutawatir.
2. Menjadikan mahasiswa secara kritis mampu menjabarkan tentang
penjelasan terperinci terkait hadits mutawatir.
3. Menjadikan mahasiswa secara kritis mampu mengetahui definisi dan
jenis – jenis hadits ahad.
4. Menjadikan mahasiswa secara kritis mampu menjabarkan tentang
penjelasan terperinci terkait hadits ahad.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Jenis – Jenis Hadits Mutawatir


Kosakata "mutawâtir" berasal dari isim fâ'il dari kosakata al-
tawâtur, yang berarti "al-tat âbu'", yang berarti (beruntun)6 atau
mendatangkan sesuatu secara beruntun tanpa tiada yang menghentikannya.7
Dalam pembahasaan Arab, "tawâtar al-mathar" berarti hujan turun
berkepanjangan. Mutawâtir pada hal ini berarti sesuatu yang terus menerus,
baik berturut – turut maupun berkepanjangan tanpa penghalang.
Dihubungkan dengan hadis, pengertian etimologis ini menjabarkan bahwa
dalam hadis mutawâtir, hubungan antara pewaris yang satu dengan pewaris
yang lain pada generasi pendahulu dan di masa depan berlangsung secara
runtun dan tidak terputus-putus karena jumlah periwayat yang cukup besar
pada setiap generasi.
Hadis mutawâtir ialah hadis yang diwariskan oleh sejumlah
periwayat di tingkat sanad yang berbeda dan memiliki esensinya yang sama,
sehingga bisa dipercaya karena kemustahilan bagi mereka untuk sepakat
berdusta terkait hadis yang mereka riwayatkan. Istilah "mutawâtir"
digunakan oleh ulama hadis untuk mendefinisikan hadis ini dengan berbagai
redaksi. Mahmûd al-Thahhân mengatakan, hadis mutawâtir didefinisikan
sebagai hadis yang diwariskan oleh banyak periwayat yang, berpacu pada
tradisi, mustahil sepakat untuk berdusta tentang hadis tersebut.8 Menurut
pengertian ini, hadis atau khabar yang diwariskan oleh banyak periwayat
dari tiap thabaqah (tingkatan/generasi) sanadnya yang, berpacu pada daya

6
Mahmûd al-Thahhân, Taysîr, 19
7
Al-Hâfizh Tsanâ’ Allâh al-Zâhidi, Tawjîh al-Qâri’ ila al-Qawâ’id wa al-Fawâid al-Ushuliyyah wa al-
Hadîtsiyyah wa al-Isnâdiyyah fi Fath al-Bârî (Beirut: Dâr al-Fikr, 200), 155
8
Ibid.

4
pikir dan pembiasaan, tidak mungkin mereka setuju untuk membuat hadis
yang berkaitan. Menurut Muhammad "Ajjâj al-Khâthîb, "hadis mutawâtir"
adalah hadis yang diwariskan oleh sejumlah periwayat yang berdasarkan
kebiasaan mustahil untuk sepakat berdusta (tentang hadis yang diwariskan)
dari beberapa periwayat terkait jumlah yang selaras dari sanad pertama
sampai sanad terakhir, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap
tingkat sanadnya.9
Mengacu pada sejumlah definisi yang telah dijabarkan di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis mutawâtir adalah hadis sahih yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat pada awal, tengah, dan akhir sanad
dalam jumlah tertentu. Sumber beritanya berasal dari sensasi indera, seperti
suara, dengar, raba, cium, dan rasa. Hadis mutawâtir diyakini benar dari Nabi
Muhammad SAW karena sifatnya.

 Jenis – jenis hadits mutawatir


1. Mutawatir lafdzi, yakni perkataan Nabi Muhammad SAW.

ِّ َّ‫ي ُمت َ َع ِّمدًا فَ ْل َيتَ َب َّوأْ َم ْق َعدَهُ ِّمنَ الن‬


‫ار‬ َّ َ‫عل‬ َ َ‫َم ْن َكذ‬
َ ‫ب‬
“Barang siapa berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati
tempat duduknya di neraka.”
Lebih dari enam puluh sahabat meriwayatkan hadits ini, kata al-
Imam Abu Bakar as-Sairi. Para ulama setuju bahwasannya berdusta atas
nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah dosa besar. Bahkan
Abu Muhammad al-Juwaini sangat tegas dalam mengkafirkan mereka
yang sengaja berdusta atas namanya. Mereka juga setuju bahwa
meriwayatkan hadis maudhu‘, atau palsu, adalah haram terkecuali
disertai dengan penjelasannya, yang menunjukkan bahwa itu palsu.
Namun, sampai saat ini, hanya segelintir hadis mutawâtir lafzhî yang

9
Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthîb, Ushûl al-Hadîts, 301

5
diwariskan oleh banyak periwayat sahabat, seperti yang disebutkan
dalam hadis di atas.
2. Hadits mutawatir ma’nawi ialah hadis yang menyandang status
mutawâtir secara makna harfiah saja tidak lafalnya.10 Hadis mutawâtir
jenis ini diwariskan oleh banyak orang pada semua tingkatan sanadnya
dan disetujui secara makna bahwa mereka ditulis dengan cara yang
berbeda. Muhammad "Ajjâj al-Khâthîb" mendefinisikan hadis
mutawâtir ma'nawî dengan mengatakan bahwa meskipun
periwayatannya disertai maknanya, lafalnya tidak.11 Sebagaimana yang
telah dijelaskan, lebih banyak hadis mutawâtir ma'nawî daripada hadis
mutawâtir lafzhî. Ini karena persyaratan yang lebih ketat untuk hadis
mutawâtir lafzhî daripada untuk hadis mutawâtir ma'nawî. Selain itu,
hadis mutawâtir lafzhî harus memenuhi syarat kesamaan redaksi (lafal),
sehingga tidak mungkin ada dua hadis mutawâtir dengan redaksi yang
sama meskipun maknanya sama.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi ialah hadits-hadits yang menjabarkan
bahwasannys Nabi mengangkat tangan ketika memohon pada yang
Maha Kuasa:

‫ دعا ي‬: ‫وقال أبو موىس األشعري‬


‫النب صىل هللا عليه وسلم ثم يرفع‬
12‫إبطيه‬ ‫يديه ورأيت بياض‬
Abu Musa al-Asy’ari berbicara: Nabi Muhammad Saw. Berdo’a lalu ia
mengangkat seluruh tangannya dan aku melihat putih-putih di kedua
ketiaknya.

10
Mahmûd al-Thahhân, Taysîr, 20
11
Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthîb, Ushûl al-Hadîts, 301
12
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, h. 2335.

6
2.2 Penjelasan Lebih Rinci Hadits Mutawatir
Hadits yang diwariskan dari banyak jalan (sanad) yang lazimnya
dengan jumlah dan sifat perawi di seluruh thabaqoh (generasi perawi)
tersebut mereka mustahil bersepakat/berdusta/kebetulan bersama sama
berdusta perkara yang mereka riwayatkan adalah perkara inderawi yakni di
lihat (kami melihat si fulan..... , aku melihat.....) atau di dengar (kami
mendengar......, atau aku mendengar si fulan mengatakan......).
Nabi Muhammad pertama kali berbicara kepada para
sahabatnya tentang hadis mutawâtir. Artinya, para sahabat mendengarkan
dan menghafal hadis secara bersamaan ketika Rasulullah menyampaikan
mereka. Dalam proses periwayatan berikutnya, para sahabat menyalurkan
hadis kepada banyak tâbi’în, yang kemudian disampaikan hadis itu kepada
banyak tâbi’ al-tâbi’în, dan seterusnya hingga sampai kepada banyak
mukharrij hadis. Periwayatan hadis mutawâtir di pertegas oleh orang banyak
pada masing-masing thabaqah sanadnya dari zaman Nabi hingga zaman para
mukharrij.

2.3 Definisi dan Jenis – Jenis hadits ahad


Hadis ahâd ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja.
Istilah ini berasal dari bentuk jamak kata Arab "ahâd", yang berarti "satu".13
Menurut pendefinisian secara kebahasaan ini, hadis dikatakan sebagai ahâd
jika diwariskan dengan satu orang di salah satu tingkatan (thabaqah)
sanadnya. Sebuah contoh ialah hadis yang diwariskan oleh seorang sahabat
saja dari Nabi dan tidak ada sahabat selainnya yang mewariskannya; namun,
hadis-hadis di thabaqah berikutnya diriwayatkan pada orang banyak. Jumlah
satu pewaris bisa terjadi pada tingkat pewaris pertama, kedua, ketiga, dan
seterusnya hingga mukharrij hadis, atau dapat terjadi hanya saat salah satu
tingkatan, seperti yang ditunjukkan di atas. Hadis yang diwariskan oleh

13
Mahmûd al-Thahhân, Taysîr Musthalah al-Hadîts (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), 20

7
kedua orang perawi tiap salah satu atau seluruh thabaqah (tingkatan)
termasuk dalam kategori hadis ahâd. Hadis yang diriwayatkan oleh tiga
orang perawi pada salah satu tingkatan sanad juga termasuk dalam kategori
hadis ahâd. Hadis masyhûr juga termasuk dalam kategori hadis ahâd oleh
ulama hadis.
Berbeda dengan hadis mutawâtir, hadis ahâd didefinisikan oleh
ulama hadis sebagai hadis yang tiada menepati syarat-syarat hadis
mutawâtir.14 Maka dari itu, hadis disebut sebagai hadis ahâd jika tidak
memnepati salah satu kapabilitas hadis mutawâtir. Hadis ahâd tidak
memenuhi beberapa kualifikasi hadis mutawâtir, seperti yang akan
dijelaskan berikutnya. Oleh karena itu, hadis ahâd berlainan dengan hadis
mutawâtir atau hadis mutawâtir bukanlah hadis ahâd. Mustahil sebuah hadis
berstatus mutawâtir sekaligus berstatus ahâd. Oleh karena itu, menurut
pengertian harfiah di atas, hadis yang tidak mencukupi kualifikasi hadis
mutawâtir disebut sebagai hadis ahâd.

Jenis – jenis hadits ahad:


 Hadits Masyhur
Definisi: Masyhûr secara bahasa adalah isim maf'ûl dari kata
syahara, seperti "Aku memasyhurkan sesuatu", yang berarti
"Aku mengumumkan dan menjelaskan suatu hal".15 Hadis
masyhûr bermakna hadis yang tersohor, dikenal, atau populer di
golongan orang karena masyhûr juga berarti sesuatu yang
tersohor, dikenal, atau populer di kalangan orang. Berdasarkan
pendefinisian ini, para ulama mengakui bahwa ada sejumlah
hadis yang masyhûr (dalam arti terkenal) meskipun tidak
memiliki sanad sama sekali; ini dikenal sebagai hadis masyhûr

14
Ibid., 22
15
Ibid., 23

8
non istilah atau masyhûr ghayr isthilâhî. Ini berlainan dengan
hadis masyhûr istilah, yang membutuhkan jumlah tertentu untuk
tiap tingkatan sanadnya. Hadits yang diriwayatkan oleh tiga
perwayat atau lebih pada tiap thabaqahnya tetapi tidak sampai
pada peringkat mutawatir disebut hadits masyhur, menurut
terminologi ulama hadits.16
Oleh karena itu, hadis yang masyhûr dianggap sebagai
hadis yang diwariskan pada paling sedikit tiga periwayat pada
salah satu thabaqah-nya, walaupun banyak periwayat yang
mencapai batasan mutawâtir pada thabaqah sebelumnya atau
sesudahnya. Menurut definisi di atas, hadis masyhûr disebut
secara istilah (masyhûr isthilâhî), dan dikatakan juga sebagai
hadis yang terkenal dalam obrolan (ma isytahara ’ala al-
alsinah). Hadis-hadis ini dianggap masyhur di beberapa aspek
masyarakat tertentu tanpa memperbanyak syarat-syarat untuk
dianggap sebagai hadis masyhûr, sehingga ada beberapa hadis
dalam kriteria ini yang memenuhi syarat-syarat tersebut.17
 Hadits Masyhur
Contoh: 1. Masyhur di kalangan ahli hadits

‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع‬
Bahwasannya Rasulullah Saw. Membacakan qunut saat satu
bulan setelah ruku’. (HR. Bukhari Muslim)
2. Masyhur di kalangan ulama ahli hadits

‫المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده‬


Orang Islam (yang sempurna) itu adalah orang – orang islam
yang lainnya selamat dari lidah dan tangannya. (Muttafaq
‘alaih)

16
Ibid.
17
Mahmûd al-Thahhân, Taysîr, 24 dan Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthîb, Ushûl alHadîts, 365

9
Penjelasan: Dengan demikian, hadits masyhur itu sangat
terkenal dan popular di kalangan beberapa ulama dan ahli hadits
walaupun tidak mempunyai sanad sama sekali. Selama
jumlahnya tidak melampaui jumlah perawi hadits mutawatir
maka itu dikatakan hadits masyhur. Ada pula yang menjadi
patokan dalam hadits masyhur adalah jumlah perawi tidak
kurang dari tiga orang, jangan melebihi batasan jumlah perawi
hadits mutawatir.
 Hadits Aziz
Definisi: Dalam pembahasaan Arab, kata "azîz" bersumber dari
kata "azza ya'izzu", yang berarti "sedikit atau jarang," dan "azza
ya'azzu", yang berarti "kuat dan sangat." Disebut demikian
karena sanadnya kuat karena hadis jenis ini jarang dan sedikit.18
Menurut istilah, hadis ’azîz ialah yang ketika segala thabaqah
sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat.19 Menurut
definisi ini, tidak ada periwayat hadis azîz yang kurang dari dua.
Akibatnya, hadis azîz dinyatakan jika saat salah satu tingkatan
sanadnya berada tiga orang periwayat atau lebih, tetapi jika
kurang dari dua periwayat pada salah satu thabaqah sanadnya,
maka tidak disebut hadis azîz. Muhammad "Ajjâj al-Khâthîb"
memberikan definisi serupa. Dia menafsirkan hadis azîz terkait
hadis yang diwariskan oleh dua orang periwayat, bukan kurang
dari dua periwayat.20

Contoh: ‫أجمعين‬ ‫حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس‬

18
Ibid., 26
19
Ibid.
20
Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthîb, Ushûl al-Hadîts, 363

10
Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah
kalian beriman sampai aku menjadi yang paling ia
cintai dari kedua orang tuanya, anaknya dan semua
manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan: Hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang
di seluruh tingkatan sanadnya Karena hadits Aziz sulit
ditemukan, tidak diisyaratkan adanya keseimbangan jumlah
periwayat di setiap thabaqat.
 Hadits Gharib
Definisi: Dalam bahasa Arab, "gharîb" berarti sendirian (al-
tafarrud) atau jauh dari keluarganya. Selain kata gharîb, ada
juga kata fard, yang menurut beberapa ulama hadis merupakan
sinonim, seperti kalimat "si fulan kadang-kadang sendirian
dalam suatu hal dan " “si fulan kadang-kadang menyendiri
dalam suatu hal".21 Ulama sering menyebut hadis gharîb dan
hadis fard sebagai sinonim, menurut Mahmud al-Thahhan.
Namun, beberapa ulama membedakan keduanya.22
Menurut penjelasan yang telah dijabarkan di atas, hadis
gharîb pada dasarnya diwariskan oleh satu periwayat pada salah
satu tingkat sanadnya, apakah sanad itu satu atau banyak.
Contoh:

‫ما رواه مالك عن الزهري عن انس رضي هللا عنه أن النبي‬


‫صلى هللا عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه المغفر (اخرجه‬
)‫الشيخان‬
Hadis yang diwariskan Malik dari az-Zuhri dari Anas ra.,
bahwa Nabi Saw. menelusuri kota Makkah dan di atas

21
Shubhî al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts, 226
22
Mahmûd al-Thahhân, Taysîr, 28

11
kepalanya ada al-mighfar (alat penutup kepala). (HR. Bukhari
dan Muslim). Hadis ini hanya diriwayatkan Malik secara
sendirian dari az-Zuhri
Penjelasan: Seandainya suatu hadits di riwayatkan oleh satu
orang pada satu tingkatan sanad, sedangkan pada tingkatan yang
lain di riwayatkan oleh lebih dari satu orang, tetap saja hadits ini
tergolong gharib.

2.4 Penjelasan hadits ahad


Berdasarkan penjelasan terkait hadis ahâd di atas, kita tahu
bahwasannya prosedur periwayatan hadis tersebut berlangsung sejak masa
Nabi. Hadis tersebut disampaikan terhadap seorang atau beberapa tâbi'în,
kemudian kepada seorang atau beberapa tâbi' tâbi' al- tâbi'în, kemudian
kepada generasi berkelanjutan, dan seterusnya hingga sampai pada para
mukharrij hadis seperti Mâlik ibn Anas, Ahmad ibn Hanbal, al-Bukhârî,
Muslim, al-Tirmidzî, Abu Dâwud, al - Nasâ’î, dan sebagainya. Periwayatan
hadis terbilang iniliah dilakukan secara beruntun yang dimulai dengan
penyampaian sabda oleh Nabi kepada sahabat dan karenanya periwayat
pendahulu dalam setiap hadis yang muttasil (bersambung pada Nabi) adalah
sahabat. Demikian pula selanjutnya, para sahabat membicarakan hadis
terhadap generasi seterusnya yakni tabi’in. Seperti halnya para sahabat,
golongan tâbi’în juga sangat berhati-hat saat periwayatan hadis. Upaya yang
dilalui mengesampingkan bagaimana yang dilakukan oleh para sahabat juga
bermacam upaya yang selaras dengan perasaan nurani mereka dalam aksi
untuk mendakwahkan hadis pada generasi di masa depan secara benar dan
tidak ada kekeliruan.23

23
Muhammad ‘Ajjâj al-Khâthîb, Ushûl al-Hadîts, 92

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hadits mutawatir didefinisikan sebagai hadits yang diwariskan
oleh banyak orang pada tingkat sanadnya. Hadits-hadits ini juga banyak
diriwayatkan oleh perawi yang bisa dipercaya, yang tidak dapat berbohong
secara kolektif atau bersepakat untuk berdusta dari hadits yang diterima dari
sejumlah perawi yang sama dari awal sanad hingga akhir sanad. Hadits
mutawatir dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
1.) Hadits mutawatir lafdzi
2.) Hadits mutawatir Ma'nawiy
3.) Hadits mutawatir ‘amali
Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang atau yang jumlah rawinya tidak
menjangkau jumlah mutawatir tidak dianggap mutawatir atau memiliki
derajat mutawatir. Hadits hari Ahad dibagi menjadi beberapa bagian, seperti:
1.) Hadits Masyhur
2.) Hadits Aziz
3.) Hadits Gharib

3.2 Saran
Dalam hadits didefinisikan sebagai omongan atau perkataan,
perilaku dan ketetapan Rasulullah. Ibnul Qayyim berbicara dalam Madarijus
Salikin. "Allah tidak akan mencintaimu kecuali engkau mengikuti
Habibullah (Rasulullah) secara lahir dan batin, membenarkan sabdanya,
mentaati perintahnya, menjawab dakwahnya, mengikuti jalan hidupnya,
mendahulukan hukum beliau dibandingkan dengan hukum lain,
mendahulukan cinta kepada beliau diatas cinta kepada yang lain,
mendahulukan ketaatan kepada beliau dibandingkan kepada orang lain.
Kalau engkau tidak demikian, maka tidak ada gunanya. Coba saja lakukan

13
apa yang dapat menggapai cinta Allah menurut carumu sendiri. Engkau
mencari cahaya nama tidak akan mendapatkannya".

14
DAFTAR PUSTAKA

Bariyah, Oneng Nurul. Ilmu Hadits. Tangerang Selatan. Tunas Ilmu Jakarta:
2011.
Idri, H. Studi Komparasi Hadis Ahad & Mutawatir Menurut Ulama Hadits dan
Teri Common Link dan Implikasinya Terhadap Eksistensi Hadis Nabi.
Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2014.
Zuhri, Ahmad., Fatimah Zaharah.,Watni Marpaung. Ulumul Hadits. Medan: CV.
Manhaji. 2014.

15

Anda mungkin juga menyukai