Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HADIS TENTANG STRATEGI PEMBELAJARAN NABI SAW

Mata Kuliah: Hadis Tarbawi II

Dosen Pengampu: Ahmad Zamhuri M.Pd

KELOMPOK 10

Nama : Aprilia Eka Yanti (01333.111.17.2022)

Nama : Rahmat Budi Sahri (01327.111.17.2022)

STAI TUANKU TAMBUSAI

ROKAN HULU

2022/2023

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena atas rahmat,hadiah serta
kasih sayangnya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai Hadis Tentang Strategi
Pembelajaran Nabi SAW. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir,
penutup para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Zamhuri M.Pd.selaku
dosen mata kuliah Hadis Tarbawi 2.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat


kesalahan dan kekeliruan, baik yang berkenaan dengan bahan pembahasan maupun
dengan teknik pengetikan. Semoga dalam makalah ini parapembaca dapat menambah
wawasan ilmu pengetahuan dan diharapkan kritik yang bangun dari para pembaca guna
memperbaiki kesalahan sebagai mana kewajiban.

Rokan Hulu, 01 Januari 2022

Penulis

Kelompok 10

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI..................................................................................................................................... 3
BAB I ............................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................ 5
1.3 Tujuan ......................................................................................................................................... 5
BAB II .............................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 6
2.1 Teks Sanad dan Matan Hadis ....................................................................................................... 6
2.2 Makna Mufradat .......................................................................................................................... 9
2.3 Terjemahan Hadis ........................................................................................................................ 9
2.4 Ashab Al-wurud Hadis .............................................................................................................. 10
2.5 Kandungan Hadis ...................................................................................................................... 14
BAB III ........................................................................................................................................... 19
PENUTUP ...................................................................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................................... 19
3.2 Saran ......................................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 20

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadis atau sunnah 1merupakan salah satu sumber ajaran Islam yang menduduki posisi
sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural menduduki
posisi kedua setelah Alquran, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan
(eksplanasi) terhadap ayat-ayat Alquran yang bersifat ‘am (umum), mujmal (global) atau
mutlaq2. Adanya perintah agar Nabi saw. menjelaskan kapada umat manusia mengenai
Alquran, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrir-nya, dapat diartikan bahwa hadis
berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhadap Alquran. Oleh karena itu, tidaklah terlalu
berlebihan jika kemudian Imam al-Auza‘i pernah berkesimpulan bahwa Alquran
sesungguhnya lebih membutuhkan kepada hadis daripada sebaliknya. Sebab secara tafsili
(rinci) Alquran masih perlu dijelaskan dengan Hadis3. Disamping sebagai bayan terhadap
Alquran, hadis secara mandiri sesungguhnya dapat menetapkan suatu ketetapan yang belum
diatur dalam Alquran. Namun persoalannya adalah bahwa untuk memahami suatu hadis
dengan baik, tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan seperangkat metodologi dalam
memahami hadis. Ketika ada usaha memahami suatu hadis, tidak cukup hanya melihat teks
hadisnya saja, khususnya ketika hadis itu mempunyai asbab al-wurud, melainkan harus
melihat konteksnya. Dengan ungkapan lain, ketika ingin menggali pesan moral dari suatu
hadis, perlu memperhatikan konteks historitasnya, kepada siapa hadis itu disampaikan Nabi,
dalam kondisi sosio-kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya.
Meskipun demikian, perlu menjadi catatan bahwa tidak semua hadis mempunyai asbab
al-wurud. Sebagian hadis mempunyai asbab al-wurud khusus, tegas dan jelas, namun
sebagian yang lain tidak. Untuk katagori pertama, mengetahui asbab al-wurud mutlak
diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman (misunderstanding) dalam menangkap
maksud suatu hadis. Sedangkan untuk hadis-hadis yang tidak mempunyai asbab al-wurud
khusus, sebagai alternatifnya, dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis,
antropologis atau bahkan pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam memahami
hadis. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi saw. tidak mungkin berbicara dalam
kondisi yang vakum historis dan hampa kultural.

1
Jumhur ulama hadis menyamakan istilah hadis dengan sunnah, Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis
‘Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar alFikr, 1989), h. 25.
2
Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 25
3
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud Study Kritis Hadits Nabi Pendekatan
Sosio/Histories/Kontekstual (Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2001), h. 05.

4
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan teks sanad dan matan hadist?
2. Apa yang dimaksud dengan makna mufradat?
3. Apa yang dimaksud dengan terjemahan hadis?
4. Bagaimana dengan ashab al-wurud hadis?
5. Bagaimana dengan kandungan hadis?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui teks sanad dan muatan hadis
2. Untuk mengetahui makna mufradat
3. Untuk mengetahui terjemahan hadis
4. Untuk mengetahui ashab al-wurud hadis
5. Untuk mengetahui kandungan hadis

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teks Sanad dan Matan Hadis
 Pengertian Sanad
Setelah Rasulullah Saw wafat, tak pernah ada para sahabat yang meragukan sahabat
yang lainnya. Tabi’in juga tidak pernah ragu menerima hadits yang diriwayatkan para sahabat
yang mereka terima dari Rasulullah Saw. Nanti setelah fitnah melanda kaum muslimin,
muncul seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ yang menyatakan tuduhan keji yang
bertitik tolak pada pemikiran kaum Syiah yang mendewa-dewakan Sayyidina Ali RA. Ia
mulai mengadakan infiltrasi terhadap as-sunnah, dan ulahnya itu membekas, dan meningkat
pada generasi-generasi berikutnya.
Dari peristiwa tersebut sahabat dan tabi’in bertindak lebih hati-hati dalam menerima
dan menyebarkan hadits. Mereka hanya mau menerimanya apabila telah jelas jalan dan
rawinya. Mereka mulai meneliti langsung dan merunut nama-nama rawinya apakah jelas
terpercaya dan adil atau sebaliknya. Dalam hal ini terdapat kegiatan penelitian sanad, yakni
setelah kegiatan takhrij dilakukan maka seluruh sanad hadits dicatat dan dihim- pun untuk
dilakukan i‘tibar, Artinya peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk
mengetahui sesuatu yang sejenis, dengan menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu
hadits tertentu akan dapat diketahui apakah ada periwayatnya yang adil atau tidak ada un- tuk
bagian sanad hadits tersebut.
Menurut Dr. Mahmud al-Tahhan, untuk mempelajari sanad hadits berarti menuntut
adanya lima syarat, agar dapat dinilai derajat suatu hadits, yaitu:
a. Mencari biografi perawi
Dalam hal ini para ahli hadits telah berhasil menyusun kitab-kitab tentang biografi
perawi dalam berbagai macam susunan (berdasarkan urutan huruf atau bab-bab
fikih), memuat perawi secara umum, biografi perawi tsiqah atau perawi dhaif dan
sesamanya. Sehingga itu merupakan keharusan bagi orang yang hendak mengetahui
bio- grafi salah satu perwi, untuk melihat kitab-kitab tersebut seperti perawi kitab
hadits enam. Jika seorang tidak mengetahui pribadi seorang perawi, ia tetap dapat
menemukan biografinya dengan me- ngetahui namanya saja. Karena sebagian besar
kitab biografi perawi ini dalam mengemukakan nama-nama perawi menggunakan
urutan huruf mu’jam dengan memperhatikan nama perawi dan nama bapaknya.
b. Membahas keadilan dan kedlabitan perawi

6
Tahap kedua dalam mempelajari sanad hadits adalah meneliti ke- adilan dan
kedhabitan perawi dengan cara membaca dan mem- pelajari pendapat para ahli jarh
dan ta’dil yang terdapat di tengah-tengah biografi setiap perawi.
c. Membahas kemuttashilan sanad (sanad yang bersambung)
Dalam hal ini setiap sanad suatu hadits haruslah muttashil atau bersambung. (Lihat
contoh hadits pada penjelasan sebelumnya).
d. Membahas syadz dan illat hadits
Membahas syadz dan illat hadits adalah perbuatan yang sangat sulit dibandingkan
membahas keadilan dan kedhabitan perawi serta kemuttashilan sanad. Mengetahui
ada tidaknya kesesuaian antara beberapa sanad hadits dan menjelaskan ada tidaknya
syadz dan illat hadits hanya dapat dilakukan oleh orang yang menguasai
(menghapal) banyak sanad dan matan hadits. Illat hadits dapat dijelaskan dengan
cara menghimpun semua sanad dan memperhatikan perbedaan perawi hadits.
Berdasarakan uraian di atas bisa diketahui bahwa kegiatan peneli- tian sanad
ditempuh melalui jalur seluruh sanad, dalam hal ini harus jelas, sehingga dapat
dibedakan antara jalur sanad yang satu dengan jalur sanad yang lainnya. Dan nama-
nama periwayat yang dicantumkan harus dicermati, sehingga tidak mengalami
kesulitan tatkala dilakukan penelitian melalui kitabkitab rijal. Selanjutnya melihat
metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.4
 Pengertian Matan
Secara umum ada tiga langkah metologis kegeiatan penelitian matan hadits, yaitu:
a. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
Dalam penelitian hadits, ulama mendahulukan penelitian sanad atas matan. Hal ini
bukan berarti bahwa sanad lebih penting dari pada matan. Bagi ulama hadits, dua
bagian riawayat hadits itu samasama penting, hanya saja penelitian matan barulah
mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadits yang bersangkutan telah jelas dan
memenuhi syarat. Tanpa adanya sanad, maka suatu matan tidak dapat dinyatakan
sebagai berasal dari Rasulullah Saw. Ulama hadits menganggap penting penelitian
matan untuk dilaku- kan, setelah sanad bagi matan itu telah diketahui kualitasnya, da-
lam hal ini kualitas shahih, atau minimal tidak termasuk berat ke- dhaifannya. Matan
dan sanad yang sangat dhaif tidak perlu diteliti sebab hasilnya tidak akan memberi
manfaat bagi kehujaan hadits yang bersangkutan.

4
Mustafa as-Sibaiy, Hadits sebagai Sumber Hukum Islam, Cet. IV, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), h. 143.

7
b. Meneliti susunan matan semakna.
1) Terjadi perbedaan lafaz Menurut ulama hadits, perbedaan lafaz yang tidak
mengakibat- kan perbedaan makna, asalkan sanadnya samasama shahih, maka
hal itu dapat ditoleransi. Cukup banyak matan hadits yang semakna dengan
sanad yang sama-sama shahihnya tersusun de- ngan lafaz yang berbeda.
Misalnya hadits tentang niat yang ditakhrijkan oleh Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal. Hadits tersebut
menurut riwayat Bukhari terdapat tujuh matan yang tersusun lafaznya berbeda-
beda.
2) Akibat terjadinya perbedaan lafaz yaitu: menggunakan metode muqaranah
(perbandingan) Dalam hal ini metode muqaranah tidak hanya ditujukan pada
lafaz-lafaz matan saja, tetapi juga pada masingmasing sanad- nya, dengan
menempuh metode muqaranah, maka akan diketa- hui apakah terjadi perbedaan
lafaz pada matan yang masih dapat ditoleransi atau tidak. Metode ini sebagai
upaya lebih mencermati susunan matan yang lebih dapat dipertanggungja-
wabkan keasliannya.
c. Meneliti kandungan matan yaitu:
1) Kandungan matan yang sejalan Untuk mengetahui ada atau tidak adanya
matan lain yang memiliki topik masalah yang sama, perlu dilakukan takhrijul
hadits bi al-maudhu’. Apabila ternyata ada matan lain yang bertopik sama,
maka matan itu perlu diteliti sanadnya. Jika sanadnya memenuhi syarat, maka
kegiatan muqaranah perlu dilakukan.
2) Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan Dalam hal ini jika
sejumlah hadits Nabi yang tidak tampak sejalan atau tampak bertentangan
dengan hadits lain atau ayat alQuran, maka pasti ada yang
melatarbelakanginya. Dalam hal ini digunakan pendekatan-pendekatan yang
sah dan tepat se- suai dengan tuntutan kandungan matan yang bersangkutan.
3) Menyimpulkan hasil penelitian Setelah langkah-langkah di atas ditempuh,
maka langkah terakhir dalam penelitian matan ialah menyimpulkan hasil
penelitian matan. Karena kualitas matan hanya dikenal dua macam saja, yakni

8
shahih dan dhaif, maka kesimpulan penelitian matan akan berkisar pada dua
macam kemungkinan tersebut.5
2.2 Makna Mufradat
Mufradat atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan kosakata adalah gabungan dari
beberapa huruf yang menyatu dan mempunyai makna . Mufradat sendiri adalah salah satu
unsur bahasa yang keberadaannya tidak bisa lepas dari bahasa itu sendiri.

2.3 Terjemahan Hadis

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda; apabila


manusia mati maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat dan anak yang Sholeh yang selalu mendoa’akannya. (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Ghassan,dari Abu Hazim, diriwayatkan dari Abu Muhammad Bin
Yusuf al-Ashbahanm diriwayatkan dari Abu Sa’id bin al-A’rabi, dari Abu Bakar Muhammad

5
H. M. Noor Sulaiman, “Langkah-langkah Penelitian Hadits”, dalam Jurnal Hunafa, edisi No. 8, Vol. 3, 1
Desember 2000, STAIN Datokorama Palu, h. 40.

9
bin’Ubaid al-Marruwarzi dari Sa’id bin Mansur dari Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Ijlan
dari al-Qa’qa’ bin Hakim dari Abu Shalih dari Abu Hurairah R.A ia berkata: Rasulullah
SAW bersabda: Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurkan akhlak. (H.R al-
Baihaqi)
2.4 Ashab Al-wurud Hadis
Asbab wurud al-hadits merupakan susunan idafah, yang terdiri dari tiga unsur kata,
yaitu asbab, wurud dan al-hadis. Asbab adalah bentuk jam‘(fulral) dari sabab, yang berarti
dengan al-habl (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan
satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah: “Segala sesuatu yang
mengantarkan pada tujuan”. Ada juga yang mendifinisikan dengan: suatu jalan menuju
terbentuknya suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu. Sedangkan kata
wurud bisa berarti sampai, muncul dan mengalir seperti: “Air yang memancar atau air yang
mengalir. 6
Dengan demikian, secara sederhana asbab al-wurud dapat diartikan sebagai sebab-
sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadis,
maka asbab al- wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang (background)
munculnya suatu hadis. Namun ulama memberikan definisi yang beragam terhadap asbab
wurud al-hadis antara lain diungkapkan oleh al-Suyuti dengan: Sesuatu yang menjadi metode
untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat umum, khusus, mutlak, muqayyad, dan
untuk menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadis" dan sejenisnya. Jika
diteliti secara kritis definsi al-Suyuti lebih mengacuh kepada fungsi asbab wurud al-hadits.
yakni, untuk menentukan takhsis dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk
menentukan ada dan tidaknya naskh dan mansukh dalam suatu hadis dan lain sebagainya.
Tampaknya, definisi tersebut kurang tepat jika dipakai untuk merumuskan pengertian asbab
wurud al-hadits. Menurut hemat penulis perlu menoleh pada pendapat Hasbi Ash-Shiddiqy
yang mendefinisikannya sebagai berikut: Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi saw.
menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi saw menuturkannya.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa asbab wurud al-hadits adalah
konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang lainnya
yang terjadi pada saat hadis tersebut disabdakan oleh Nabi saw. ia dapat berfungsi sebagai
pisau analisis untuk menentukan apakah hadis tersebut bersifat khusus, umum, mutlak atau
muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya. Dengan demikian, dalam perspektif ini,

6
Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 38-39

10
mengetahui asbab wurud al-hadits bukanlah gayah/tujuan, melainkan hanya sebagai sarana
untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu hadis. 7
 Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut al-Suyuti, asbab al-wurud dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu:
1) sebab yang berupa ayat Alquran,
2) sebab yang berupa Hadis itu sendiri
3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan
sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat Alquran. Maksudnya, ayat Alquran itu menjadi
penyebab Nabi saw. mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman
Allah swt. yang berbunyi: Orang-orang yang beriman, dan mereka tidak
mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah
orangorang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang
mendapatkan petunjuk” (Q.S. al-An‘am: 82).
2. Sebab yang berupa hadis. Maksudnya, pada waktu itu terdapat suatu hadis
namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian
muncul hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap hadis tersebut.
Contoh hadis yang berbunyi: Sesungguhnya Allah SWT memiliki para
malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai
kebaikan dan keburukan seseorang”. (HR. al-Hakim)
Dalam memahami hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka
bertanya: Ya rasul!, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi saw. menjelaskan lewat
sabdanya yang lain sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik. Suatu ketika
Nabi saw. bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian
memberikan pujian terhadap jenazah tersebut seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar
pujian tersebut, maka Nabi saw. berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) dengan
mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian Nabi saw. bertemu lagi dengan rombongan
yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu
orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”.
 Urgensi Asbab Wurud al-Hadits

7
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, h. 7

11
Asbab wurud al-hadits mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka
memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik,
kultural, bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya
hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam
menangkap maksud suatu hadis sehingga tidak terjebak pada teksnya saja, sementara
konteksnya terabaikan atau ditetepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang mengabaikan
peranan asbab wurud al-hadits akan cenderung bersifat kaku, literalis-skriptualis, bahkan
kadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Dengan demikian, asbab wurud al-hadits memiliki urgensi, antara lain adalah untuk:
a. Mempermudah memahami hadis-hadis, khususnya yang tampak bertentangan satu
sama lain. Hal tersebut dapat terjadi karena pengetahuan terhadap sebab-sebab
terjadinya sesuatu merupakan sarana untuk mengetahui musabbab, sebagai contoh:
(Mandi pada hari jum’at wajib bagi setiap orang balig). Hadis tersebut mempunyai
sebab khusus, pada waktu itu ekonomi sahabat Nabi pada umumnya masih dalam
keadaan sulit, sehingga pada suatu jum’at, cuaca panas dan masjid masih sempit
tiba-tiba aroma keringat dari orang yang memakai baju wol kasar dan tidak mandi
itu menerpa hidung Nabi yang sedang khutbah. Nabi lalu bersabda sebagaimana
bunyi hadis di atas. Dengan demikian, hukum mandi ketika akan melaksanakan
shalat jum’at disesuaikan dengan kondisi. Hal tersebut diperkuat oleh hadis Nabi
yang mengatakan bahwa cukup dengan wudhu’ saja ke Masjid pada hari jum’at,
namun jika mandi maka itu lebih baik baginya. 8
b. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlaq. Sebagai contoh adalah hadits:
(Kalian lebih tahu tentang urusan duniawimu) Hadis ini secara sekilas dipahami
bahwa Nabi menyerahkan semua urusan duniawi kepada para sahabat dan
mendudukkan mereka sebagai orang yang lebih mengetahui akan urusan
duniawinya. Setelah dilihat asbab wurud-nya yang menjelaskan bahwa hal itu
berkaitan dengan proses pencangkokan pohon kurma, maka bukan berarti Nabi
sama sekali tidak memahami sesuatu yang bersifat duniawi.
c. Mentafsil (merinci) hadis yang masih bersifat global.
d. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalam suatu hadis.
 Cara Mengetahui Asbab Wurud al-Hadits

8
Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, Juz. II (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, t.th.), h.
369. Dan Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad ibn

12
Sedangkan cara mengetahui asbab al-wurud sebuah hadis adalah dengan melihat aspek
riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa munculnya hadis, baik yang tercantum
pada matan hadis itu sendiri atau pada hadis yang lain, maupun yang tidak tercantum, tetapi
disebutkan secara tersendiri atau ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar
pemberitaan para sahabat9. Namun secara terperinci, untuk mengetahui asbab wurud alhadits
dapat diketahui dengan beberapa cara, antara lain:
1. Melalui riwayat hadis Nabi, baik diungkapkan secara tegas dalam hadis itu
sendiri atau dalam hadis yang lain maupun dalam bentuk isyarat atau indikasi
saja. Hal tersebut diperoleh melalui riwayat-riwayat yang secara integral
merekam peristiwa, pertanyaan atau segala sesuatu yang melatarbelakangi
ucapan atau sikap Nabi saw, baik secara tegas maupun tersirat.
2. Melalui informasi (aqwal) Shahabah, riwayat-riwayat yang disandarkan pada
shahabah, mengingat mereka hidup, berinteraksi dan melihat sebagian besar
peristiwa-peristiwa yang terjadi bersama Nabi saw.
3. Melalui ijtihad: Proses ijtihad pada umumnya dilakukan dengan melakukan
takhrij hadis, untuk mencari segala informasi terkait dengan tema yang dikaji.
Adakalanya asbab wurud ditemukan dalam hadis yang berbeda periwayatnya.
Dalam hal ini menurut hemat penulis proses tersebut masih dalam tahapan
mikro. Sementara untuk mencapai konteks makro terlebih ketika sebuah
riwayat memang sama sekali tidak memiliki catatan kultural dalam kondisi apa
ia disampaikan, maka diperlukan penelitian lebih mendalam dan lebih luas
terkait dengan kondisi sosial, kultural, ekonomi, politik masyarakat Arab pada
waktu itu. Sehingga ucapan atau sikap Nabi saw, yang telah wafat 15 abad
yang lalu akan mudah dipahami dan dikontekstualisasikan pada masa sekarang
sesuai dengan semangat zaman namun tanpa mengurangi nilai-nilai profetik di
dalamnya.
 Kitab-Kitab yang Menjelaskan tentang Asbab Wurud alHadits
Ilmu mengenai asbab wurud al-hadits ini sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat.
Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab.
Demikian kesimpulan alSuyuti dalam al-Luma’ fi Asbab Wurud al-Hadits. Namun kemudian,
seiring dengan perkembangan dunia keilmuan waktu itu, ilmu asbab al-wurud menjadi
berkembang. Namun para ulama ahli hadis merasakan perlu disusun suatu kitab secara

9
Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997 M.), h. 211.

13
tersendiri mengenai asbab al-wurud. Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai
asbab alwurud antara lain adalah:
1. Asbab Wurud al-Hadits karya Abu Hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun kitab
tersebut tidak ditemukan sampai sekarang.
2. Asbab Wurud al-Hadits karya Abu Hamid ‘Abd al-Jalil alJabari. Kitab
tersebut juga belum ditemukan saat ini.
3. Asbab Wurud al-Hadits atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab Wurud
al-Hadits, karya Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman alSuyuti. Kitab tersebut sudah
ditahqiq oleh Yahya Isma‘il Ahmad.
4. Al-Bayan wa al-Ta’rif karya Ibnu Hamzah al-Husaini alDimasyqi (w. 1110
H).
2.5 Kandungan Hadis
1. Aspek-Aspek Pendidikan
Pendidikan Islam pada hakikatnya mengandung arti dan peranan yang sangat luas. Arti
dan peranan tersebut sejalan dengan aspek-aspek pengembangan menjadi saranan garapan
para pendidik Islam mempunyai pengertian yang sama bahwa Pendidikan Islam mencakup
aspek-aspek :
a. Pendidikan keagamaan,
b. Pendidikan akliah dan ilmiah,
c. Pendidikan ahlak dan budi pekerti,
d. Pendidikan jasmani dan kesehatan.
Aspek-aspek ini berperan dalam membimbing pengembangan potensi-potensi yang
dimiliki manusia yakni meliputi: Hadis Tarbawy (Pendidikan Islam Tinjauan Hadis Nabi):
a. Pengembangan kognitif yaitu kemampuan intelektual yang terus dikembangkan
melalui pendidikan Islam,
b. Pengembangan afektif adalah kekhususan mengembangkan akal melalui
pengetahuan dan pemahaman terhadap kenyataan dan kebenaran, manusia harus mengalami
proses pengembangan perasaan dan penghayatan agar menjadi lebih luas,
c. Pengembangan psikmotor adalah ilmu pengetahuan termanifestasi dalam akhlak dan
amal shaleh. Kebenaran manusia sebagai makhluk sosial merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari arti peranan Pendidikan Islam. Pendidikan Islam merupakan motor
penggerak untuk pengembangan nilai-nilai sosial dan susila manusia. Hakikat Pendidikan
Islam merupakan pembimbing menuju peningkatan harkat dan martabat manusia sesuai
dengan fitrah kejadiannya.

14
Pendidikan Islam mencakup bidang-bidang:
1. Tarbiyah ruh, pendidikan jiwa/mental spiritual,
2. Tarbiyah aqli, pendidikan akal fikiran/ilmu pengetahuan,
3. Tarbiyah Jismi, pendidikan jasmani, termasuk kesehatan.
Modal Pendidikan Islam adalah dalam lingkungan keluarga dan masjid sebagai pusat
pendidikan. Pendidikan Islam dipraktekkan melalui system pendidikan terpadu mulai dari
dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. 10 Pendidikan Islam mencakup
berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan fisik, akal, agama, dan akhlak. Pendidikan
Islam prinsipnya ada 2 yaitu materi didikan yang berkenaan dengan kedamaian dan materi
yang berkenaan dengan masalah hakikat. 11
Proses tarbiyah (pendidikan) mempunyai tujuan untuk melahirkan suatu generasi baru
dengan segala ciricirinya yang unggul dan beradab. Penciptaan generasi ini dilakukan dengan
penuh keikhlasan dan ketulusan yang sepenuhnya dan seutuhnya kepada Allah SWT melalui
proses tarbiyah. Melalui proses tarbiyah inilah, Allah SWT telah menampilkan peribadi
muslim yang merupakan uswah dan qudwah melalui Muhammad SAW. Peribadinya
merupakan manifestasi dan jelmaan dari segala nilai dan norma ajaran Al-Qur’an dan sunah
Rasulullah SAW. Islam menghendaki program pendidikan yang menyeluruh, baik
menyangkut aspek duniawi maupun ukhrowi. Dengan kata lain, pendidikan menyangkut
aspek-aspek rohani, intelektual dan jasmani. Maka hal ini, proses pendidikan sangat didukung
banyak aspek, terutama guru atau pendidik, orang tua, dan juga lingkungan.
Lingkup materi pendidikan Islam secara lengkap dikemukakan oleh Heri Jauhari
Muchtar dalam bukunya “Fikih Pendidikan”, sebagaimana dikutip dalam Sismanto (2008),
yang menyatakan bahwa pendidikan Islam itu mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
a. Pendidikan keimanan (Tarbiyatul Imaniyah)
b. Pendidikan moral/akhlak (Tarbiyatul Khuluqiyah)
c. Pendidikan jasmani (Tarbiyatul Jasmaniyah)
d. Pendidikan rasio (Tarbiyatul Aqliyah)
e. Pendidikan kejiwaan/hati nurani (Tarbiyatulnafsiyah)
f. Pendidikan sosial/kemasyarakatan (Tarbiyatul Ijtimaiyah)
g. Pendidikan seksual (Tarbiyatul Syahwaniyah)
Secara umum, keseluruhan ruang lingkup materi pendidikan Islam yang tercantum di
atas, dapat dibagi manjadi 3 materi pokok pembahasan. Ketiga pokok bahasan tersebut yakni;

10
Amiruddin Rosyda, Baihaqi Akademik, Sejerah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: 1986), hlm 76
11
Abudin Nata, op. cit., hlm. 292-293

15
Tarbiyah Aqliyah (IQ learning), Tarbiyyah Jismiyah (Physical learning), dan Tarbiyatul
Khuluqiyyah (SQ learning). Pertama, adalah Tarbiyah Aqliyah (IQ learning). Tarbiyah
aqliyah atau sering dikenal dengan istilah pendidikan rasional (intellegence question learning)
merupakan pendidikan yang mengedapan kecerdasan akal. Tujuan yang diinginkan dalam
pendidikan itu adalah bagaimana mendorong anak agar bisa berfikir secara logis terhadap apa
yang dilihat dan diindra oleh mereka. Input, proses, dan output pendidikan anak
diorientasikan pada rasio (intellegence oriented), yakni bagaimana anak dapat membuat
analisis, penalaran, dan bahkan sintesis untuk menjustifikasi suatu masalah. Misalnya melatih
indra untuk membedakan hal yang di amati, mengamati terhadap hakikat apa yang di amati,
mendorong anak bercita-cita dalam menemukan suatu yang berguna, dan melatih anak untuk
memberikan bukti terhadap apa yang mereka simpulkan.
Kedua, Tarbiyyah Jismiyah (Physical learning). Yaitu segala kegiatan yang bersifat
fisik dalam rangka mengembangkan aspek-aspek biologis anak tingkat daya tubuh sehingga
mampu untuk melaksanakan tugas yang di berikan padanya baik secara individu ataupun
sosial nantinya, dengan keyakinan bahwa dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat
“al-aqlussalim fi jismissaslim“ sehingga banyak di berikan beberapa permainan oleh mereka
dalam jenis pendidikan ini.
Ketiga, Tarbiyatul Khuluqiyyah (SQ learning). Makna tarbiyah khuluqiyyah di sini
diartikan sebagai konsistensi seseorang bagaimana memegang nilai kebaikan dalam situasi
dan kondisi apapun dia berada seperti; kejujuran, keikhlasan, mengalah, senang bekerja dan
berkarya, kebersihan, keberanian dalam membela yang benar, bersandar pada diri Dra.
Alfiah, M. Ag. sendiri (tidak bersandar pada orang lain), dan begitu juga bagaimana tata cara
hidup berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu maka pendidikan akhlak tidak dapat di
jalankan dengan hanya menghapalkan saja tentang hal baik dan buruk, tapi bagaimana
menjalankannya sesuai dengan nilai nilainya. Ada beberapa bagian dalam hal ini antara lain
Mengumpulkan mereka dalam satu kelompok yang berbeda karakter; Membantu mereka
untuk menemukan jati dirinya dengan memberikan pelatihan, ujian, dan tempaaan;
Membentuk kepribadian/mendoktrin dengan selalu menjahui hal yang jelek dan berpegang
teguh terhadap nilai kebaikan.
2. Komponen Penunjang Pendidikan Islam
Penyelesaian problem pendidikan sangat berkaitan dengan masalah bidang lainnya,
seperti ekonomi, hukum, sosial dan politik. Tidak bisa menyelesaikan masalah pendidikan
hanya dari satu sudut bidang pendidikan semata, karena hasil pendidikan siswa disekolah
sangat dipengaruhi juga oleh lingkungan dan keluarganya, maka solusinya harus bersifat

16
revolusioner yaitu merubah secara total paradigma berpikir dan bersikap dari pola pikir dan
pola sikap dari kapitalis menjadi pola berpikir islam.
Di masyarakat kita saat ini berkembang persepsi kapitalis, semisal sekolah bertujuan
dapat kerja, sekolah biar jadi orang kaya, sekolah sekedar mengisi waktu luang atau dari pada
menganggur. Pelajaran ekonomi misalnya, mengajarkan: demi keuntungan sebesar-besarnya,
dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Kerusakan yang lama ada pada pola pendidikan di negara Barat sepatutnya ditinggalkan
oleh kaum muslimin. Kerusakan tersebut timbul dikarenakan tidak adanya muatan ruhiyah
dalam penelitian dan pengembangan sains dan teknologinya. Sehingga dampak yang bisa
dirasakan, pola pendidikan tersebut menghasilkan output berpikir dan bersikap berdasarkan
pada prinsip materialisme dengan Hadis menanggalkan prinsip syari’at Islam. 12
Dari sinilah
problem sosial kemasyarakatan muncul dan kerusakan tatanan kehidupan. Membangun
kepribadian islami yang terdiri dari pola pikir dan pola jiwa bagi umat yaitu dengan cara
menanamkan tsaqofah Islam berupa aqidah, pemikiran, dan perilaku islami ke dalam akal dan
jiwa anak didik. Mempersiapkan generasi Islam untuk menjadi orang ‘alim dan faqih di
setiap aspek kehidupan, baik ilmu diniyah (Ijtihad, Fiqh, Peradilan, dll) maupun ilmu terapan
dari sains dan teknologi (kimia, fisika, kedokteran, dll). Sehingga output yang didapatkan
mampu menjawab setiap perubahan dan tantangan zaman dengan berbekal ilmu yang
berimbang baik diniyah maupun madiyah-nya.6 Kemudian tujuan dari pola pendidikan Islam
bisa terlaksana jika ditopang dengan pilar yang akan menjaga keberlangsungan dari
pendidikan Islam tersebut.
Pilar penopang pendidikan Islam yang dibutuhkan untuk bekerja sinergis terdiri dari :
a. Keluarga
Dalam pandangan Islam, keluarga merupakan gerbang utama dan pertama yang
membukakan pengetahuan atas segala sesuatu yang dipahami oleh anak-anak. Keluargalah
yang memiliki andil besar dalam menanamkan prinsip-prinsip keimanan yang kokoh sebagai
dasar bagi si anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan
mendampingi anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam koridor taqwa.
Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban tanggung jawab yang pertama untuk
membentuk pola akal dan jiwa yang Islami bagi anak. Singkatnya, keluarga sebagai
cerminketeladanan bagi generasi baru.
b. Masyarakat

12
Tim Penulis, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), hlm. 53.

17
Pendidikan generasi merupakan aktivitas yang berkelanjutan tanpa akhir dan sepanjang
hayat manusia. Oleh karena itu, pola pendidikan Islam tidak berhenti dan terbatas pada
pendidikan formal (sekolah), namun justru pendidikan generasi Islami yang bersifat non
formal di tengah masyarakat harus beratmosfer Islam pula. Kajian tsaqofah islam serta ilmu
pengetahuan dan sarana penunjangnya menuntut peran aktif dari masyarakat pula. Ada
beberapa peran yang bisa dimainkan masyarakat sebagai pilar penopang pendidikan generasi
islami yaitu sebagai controh penyelenggaraan pendidikan oleh negara dan laboratorium
permasalahan kehidupan yang kompleks.
c. Madrasah/Sekolah/Lembaga
Pendidikan Tempat untuk mengkaji keilmuan lebih intensif dan sistematis terletak pada
Madrasah. Semasa Rasulullah SAW, masjid-masjid yang didirikan kaum muslimin menjadi
lembaga pendidikan formal bagi semua manusia. Didalamnya tidak semata-mata membahas
ilmu diniyah, namun juga ilmu terapan. Rasulullah menjadikan masjid untuk menyampaikan
ajaran-ajaran Islam, tapi penyusunan strategi perang pun juga seringkali dilakukan oleh
Rasulullah SAW bersama para sahabat didalam masjid.
d. Negara
Negara sebagai pilar penopang bisa mewujudkan pola pendidikan Islami akan lebih
optimal, efektif dan sempurna jika didukung dengan semua kebijakan yang dikeluarkan
terhadap aspek kehidupan ini berlandaskan syari’at Islam.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sanad berarti keseluruhan mentah dalam suatu hadits dengan sifat dan bentuk yang
ada. Selanjutnya matan menurut bahasa berarti punggung jalan (muka jalan) tanah yang keras
dan tinggi .Mufradat atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan kosakata adalah
gabungan dari beberapa huruf yang menyatu dan mempunyai makna . Mufradat sendiri
adalah salah satu unsur bahasa yang keberadaannya tidak bisa lepas dari bahasa itu sendiri.

Asbab Wurud al-Hadits merupakan konteks historisitas yang melatar belakangi


munculnya suatu hadis. Ia dapat berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat hadis
itu di sampaikan nabi saw. Dengan lain ungkapan, asbab al-wurud adalah faktor-faktor yang
melatar belakangi munculnya sebuah hadis.

3.2 Saran
Makalah ini telah disusun dengan sumber yang ada dengan sebaik mungkin. Namun makalah
ini masih jauh dari kata sempurna sehingga kritik dan saran sangat dibutuhkan.

19
DAFTAR PUSTAKA
Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, Juz. II (Beirut: Dar Ihya’ al-
Turas al-‘Arabi, t.th.), h. 369. Dan Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad ibn
Abudin Nata, op. cit., hlm. 292-293
Amiruddin Rosyda, Baihaqi Akademik, Sejerah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
1986), hlm 76
Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997 M.), h. 211.
H. M. Noor Sulaiman, “Langkah-langkah Penelitian Hadits”, dalam Jurnal Hunafa, edisi No.
8, Vol. 3, 1 Desember 2000, STAIN Datokorama Palu, h. 40.
Jumhur ulama hadis menyamakan istilah hadis dengan sunnah, Muhammad’Ajjaj al-Khatib,
Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar alFikr, 1989), h. 25.
Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, h. 25
Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 38-39
Mustafa as-Sibaiy, Hadits sebagai Sumber Hukum Islam, Cet. IV, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1993), h. 143.
Pendekatan Sosio/Histories/Kontekstual (Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2001), h. 05.
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, Asbabul Wurud Study Kritis Hadits Nabi
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, h. 7
Tim Penulis, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), hlm. 53.

20

Anda mungkin juga menyukai