Anda di halaman 1dari 15

i

RINGKASAN MATERI

MAKALAH

Dipresentasikan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ulumul Hadits II

Dosen pengampu : Dr. Linda Suanti,M,A

Disusun Oleh: Kelompok 12

Ramadhani Arsyad 2021.2970

Ummi Salamah 2021.2972

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

PENGEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN

SUMATERA BARAT

2022 M / 1444 H

i
ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PEMBAHASAN...............................................................................................1
A. Ilmu Ma’ani al-Hadits......................................................................................1
1. Pengertian Ilmu Ma’ani al-Hadits..............................................................1
2. Tujuan Ilmu Ma’ani al-Hadits....................................................................1
3. Metode Ilmu Ma’ani al-Hadits....................................................................2
B. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits............................................................................2
1. Pengertian Asbab Wurud al-Hadits..............................................................2
2. Pembagian Asbab Wurud al-Hadits.............................................................3
3. Fungsi Asbab Wurud al-Hadits.....................................................................4
C. Ilmu Mukhtalif Hadits......................................................................................5
1. Pengertian Hadits Mukhtalif........................................................................5
2. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif.......................................................5
D. Ilmu Mukhtalif Hadits (al-Jam’u Wa at-Taufiq)............................................6
1. Pengertian al-Jam’u Wa at-Taufiq...............................................................6
2. Metode al-Jam’u Wa at-Taufiq....................................................................6
E. Ilmu Nasikh al-Hadits Wa Mansukh................................................................9
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh.................................................................9
2. Syarat Nasikh dan Mansukh........................................................................9
3. Contoh Nasikh dan Mansukh.....................................................................10
F. Pandangan Orientalis Terhadap Hadits.......................................................10
1. Pengertian Orientalis..................................................................................10
2. Tokoh-Tokoh Orientalis.............................................................................11
3. Pandangan Orientalis Terhadap Hadits...................................................11
4. Bantahan Ulama Terhadap Orientalis......................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................12

ii
1

BAB I
PEMBAHASAN

A. Ilmu Ma’ani al-Hadits


1. Pengertian Ilmu Ma’ani al-Hadits
Ilmu ma’anil hadits sendiri adalah ilmu yang mengkaji tentang bagaimana
memahami hadits nabi dengan mempertimbangkan struktur teks hadits, konteks
ilmu pengetahuan hadits (asbab wurud), kedudukan Nabi saat menyampaikan
hadits, dan bagaimana menghubungakan teks hadits masa lalu dengan konteks
kekinian, sehingga memperoleh pemahaman yang relatif tepat, tanpa kehilangan
relefansinya dengan konteks kekinian.
2. Tujuan Ilmu Ma’ani al-Hadits
Dalam tinjauan ilmu al-Hadits berfungsi sebagai media pembantu dalam usaha
memakai atau memahami ungkapan hadits. kegunaan seperti ini bermaksud agar
pengkaji mengetahui maksud dari ungkapan suatu hadis dengan pemaknaan yang
tepat dan pemahaman yang memadai. dengan adanya pemaknaan kita berharap
agar semakin banyak yang mengetahui inti ajaran syariat yang diambil dalam
pemahaman terhadap hadis nabi shallallahu alaihi wasallam sehingga dengan
adanya hal tersebut membuka selebar peluang untuk mampu mengambil nilai
keteladanan dari kehidupan nabi dan tuntunan yang sempurna melekat pada diri
nabi shallallahu alaihi wasallam sehingga pemahaman melalui pemahaman
tersebut dalam mengkaji suatu hadis nabi seorang pergaji harus memiliki bekal
wawasan yang terjamin valid hal ini dimaksudkan agar pengkaji mampu
mengungkapkan kata-kata yang gharib dalam ungkapan hadis.

1
2

3. Metode Ilmu Ma’ani al-Hadits


Dalam permasalahan mengenai matan hadits melahirkan beberapa pendekatan
dan metode untuk memecahkan masalah tersebut. Sehingga pengkaji hadir terlebih
dahulu harus melakukan takhrij hadis terhadap hadis yang diteliti.
Adapun metode takhrij hadits menurut syuhudi Ismail mengemukakan bahwa
metode takhrij ini ada dua metode:
1) Takhrij berdasarkan pada lafal sehingga dalam metode ini menitikberatkan
pengkaji dalam memahami lafal yang akan dijadikan sebagai sampel takhrij.
2) Takhrij berdasarkan tema atau topik permasalahan yang sedang dikaji dalam
metode ini pengkajian berdasarkan kepada pengenalan akan tema hadis setelah
menentukan tema hadis yang akan dikaji maka langkah selanjutnya adalah
menyimpulkan tema hadis tersebut untuk dicari pada kitab-kitab yang
menggunakan metode ini

B. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits


1. Pengertian Asbab Wurud al-Hadits
Secara bahasa, Asbabul Wurud terdiri dari dua kata, yaitu: asbab dan wurud.
Asbab merupakan jamak dari sabab. Artinya: sebab.
Wurud: mashdar dari warada-yaridu-wurudan. Artinya: datang, hadir, tiba,
datang.
Secara istilah, para ulama merumuskan definisi Asbabul Wurud sebagai berikut:
“Asbabul Wurud yaitu: ilmu yang membahas sebab-sebab yang membuat Nabi
Muhammad Saw. menyampaikan suatu perkataan. Yang adakalanya Asbabul
Wurud itu berupa pertanyaan, peristiwa atau kisah.”
Dengan kata lain, Asbabul Wurud adalah suatu pertanyaan, peristiwa atau kisah
yang melatarbelakangi perkataan yang disampaikan Nabi Muhammad Saw.

2
3

2. Pembagian Asbab Wurud al-Hadits


1) Pertama, sebab yang berupa ayat Al-Qur’an.
Maksud dari yang berupa ayat Al-Qur’an adalah ayat Al-Qur’an menjadi
penyebab Nabi Saw mengeluarkan sabdanya. Bentuk pertama ini muncul
karena adanya ayat Al-Qur’an yang memiliki bentuk umum, tetapi sebenarnya
ayat itu memiliki bentuk khusus.
2) Kedua, sebab yang berupa hadits itu sendiri.
Sebab yang berupa hadis maksudnya pada waktu itu terdapat sebuah hadis,
namun sebagian sahabat kesulitan memahaminya. Maka kemudian, muncul
hadits lain yang memberikan penjelasan hadits tersebut.
3) Ketiga, sebab ada satu perkara yang terjadi pada sahabat.
Sebagai contoh adalah, persoalan yang berkaitan dengan sahabat yang
melafazkan nazar ketika penaklukan kota Mekah. Dari Jabir bin ‘Abdullah
bahwa ada seseorang berkata pada waktu penaklukan kota Mekah: wahai
Rasulullah Saw, aku telah bernazar bila Allah menaklukan kota Mekah kepada
baginda, aku akan shalat di Baitul Maqdis. Beliau bersabda: Shalatlah disini.
Orang tersebut bertanya lagi dan beliau bersabda: Shalatlah di sini. Orang itu
masih bertanya lagi, maka beliau bersabda: kalau begitu terserah engkau.
Hadist itu muncul karena terdapat kesulitan dalam memahami sebuah hadits.
Sehingga, akan memerlukan penjelasan dari hadits yang lain. Bagi sebab yang
berkaitan dengan sahabat, hadis itu muncul tidak lain hanyalah ingin
menjelaskan suatu perkara yang lebih diutamakan dan bisa jadi itu bertujuan
untuk memberi sarana ataupun sebagai teguran.

3
4

3. Fungsi Asbab Wurud al-Hadits


1) Takshish Al-Amm, (pengkhususan terhadap lafaz umum)
Misalnya, terdapat hadits yang mengatakan, “Shalatnya orang yang duduk
itu setengah (pahalanya) dari shalatnya orang yang berdiri.” Hadits tersebut
berlaku umum untuk setiap orang yang mengerjakan shalat. Namun, ada sebab
munculnya hadits yang menjelaskan bahwa makna hadits ini berlaku khusus
bagi orang yang mampu memaksakan diri untuk berdiri, tetapi lebih
mengutamakan cara yang lain yaitu duduk.
2) Taqyid Al-Muthlaq, (pembatasan terhadap lafaz mutlak (tanpa batasan)
Terkadang, ada sebuah kata dalam hadits yang maknanya masih mutlak
sehingga harus dibatasi agar makna kata tersebut bisa dipahami dengan lebih
tepat.
3) Tafshil Al-Mujmal (perincian terhadap lafaz mujmal (garis besar)
Misalnya, terdapat sebuah hadits yang tidak sesuai dengan apa yang
disepakati oleh mayoritas ulama, sehingga untuk mengetahui sebab munculnya
hadits tersebut harus melihat hadits lain. Setelah memperhatikan asbabul wurud
dalam hadits tersebut, hilanglah kemujmalan dalam hadits sebelumnya dan
menjadi dasar mayoritas ulama dalam mengeluarkan pendapat mereka.
4) Menetapkan terjadinya naskh (penghapusan hukum), serta menjelaskan hadits
yang nasikh dan mansukh
Misalnya, ada beberapa hadits yang menjelaskan penghapusan hukum
berpuasa. Namun, masih belum bisa dipastikan hadits mana yang menghapus
hukum hadits lainnya
5) Penjelasan mengenai illat (alasan) hukum
Sebuah hadits dapat menjelaskan sebab adanya suatu hukum dalam hadits
lain.
6) Menjelaskan lafaz musykil (pelik)

4
5

C. Ilmu Mukhtalif Hadits


1. Pengertian Hadits Mukhtalif
Menurut bahasa: Merupakan isim fa'il dari kata ikhtalafa, artinya lawan dari
sepakat (ittifaq). Makna dari hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang sampai
kepada kita, namun satu sama lain saling bertentangan maknanya. Dengan kata
lain, maknanya saling kontradiktif.1
Menurut istilah: Hadits maqbul yang bertentangan dengan hadits lain yang
semisal, namun memiliki peluang untuk di-jama' (dikompromikan) diantara
keduanya. Yaitu (bisa berupa) hadits shahih atau hadits hasan, lalu ada hadits lain
yang derajat dan kekuatannya sama, akan tetapi secara zhahir maknanya
bertentangan. Bagi orang yang berilmu dan memiliki pemahaman kritis, amat
memungkinkan kedua dalil tersebut digabungkan dalam bentuk yang dapat
diterima.2

2. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif


Berikut langkah-langkah dalam menyelesaikan hadits mukhtalif :
1) Jika keduanya memungkinkan untuk dikompromikan, maka langkah kompromi
segera di tetapkan dan dijalankan terhadap keduanya. Atau disebut juga dengan
al-Jam’u Wa at-Taufiq.3
2) Jika keduanya tidak mungkin dikompromikan dengan berbagai alasan, maka:
a) Jika diketahui salah satu diantara kedua hadits itu merupakan nasikh, maka
hadits nasikh lebih didahulukan dan diamalkan. Sedangkan hadits yang
mansukh kita tinggalkan. Metode Nasikh Mansukh.4

1
Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010), Hal: 64.
2
Ibid.
3
Ibid, Hal: 67.
4
Ibid.

5
6

b) Jika kita tidak mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh, maka
kita harus mentarjih salah satu diantara kedua hadits tersebut dengan
memperhatikan berbagai (prinsip) tarjih yang mencakup lima puluh jenis
atau lebih. Kemudian kita mengamalkan hadits yang rajih (terkuat). At-
Tarjih.5
c) Dan jika terhadap kedua hadits itu tidak bisa dilakukan proses tarjih -dan hal
ini merupakan kebuntuan- maka kita tawaqufkan (bekukan) kedua hadits
tersebut, hingga tampak bagi kita mana hadits yang lebih rajih.6

D. Ilmu Mukhtalif Hadits (al-Jam’u Wa at-Taufiq)


1. Pengertian al-Jam’u Wa at-Taufiq
Jam’u wa taufiq adalah mengumpulkan dua hadis yang bertentangan secara
lahiriyah, apabila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengompromikan
antara keduanya (hadis yang terkesan bertentangan), maka keduanya
dikompromikan dan wajib diamalkan.
2. Metode al-Jam’u Wa at-Taufiq
Ada Beberapa cara dalam menyelesaikan Jam’u wa taufiq, diantaranya :
1) Penyelesaian Berdasarkan Pemahaman Dengan pendekatan kaedah ushul
Contohnya :
Hadis dari Salim ibn 'Abdullah, dari bapakrya, dari Nabi SAW, beliau
bersabda, "hasil pertanian yang diairi dengan air hujan, dengan mata air atau
genangan (sumber) air alami lainnya, zakatnya sepuluh persen. Dan yang
diairi (disirami) dengan menggunakan bantuan unta, zakatnya lima persen."
Hadis riwayat al-Bukhariy.
Dan hadits dari Abu Said al khudary,dari Nabi SAW,beliau bersabda,”
tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang tidak mencapai lima wasq.
Hadits Riwayat al-Bukhoriy.

5
Ibid.
6
Ibid.

6
7

Hadis-hadis di atas sama-sama menyangkut masalah zakat hasil


pertanian. Keduanya sama-sama shahih, oleh karena itu sama-sama merupakan
hujah. Akan tetapi, dari kedua hadis tersebut bisa timbul kesimpulan yang
saling bertentangan, yakni apabila masing-masingnya dipahami sendiri-sendiri,
secara terpisah dan hanya dengan memperhatikan makna lahiriahnya saja.
Hadis pertama menyatakan wajib zakat hasil pertanian secara umum, baik
hasilnya banyak maupun sedikit, tanpa ada perbedaan atau batasan. Hal ini
tampak bertentangan dengan hadis kedua yang menyatakan tidak ada wajib
zakat pada hasil pertanian yang banyaknya tidak mencapai lima wasq.
Sebaliknya, kesimpulan yang mengandung pertentangan tersebut tidak
akan terjadi apabila diperhatikan keterkaitan keduanya sebagai 'am dan khash,
dan dipahami sesuai kaidah ushul terkait seperti disebut sebelum ini, yakni
men-takhshish-kan umum hadis pertama dengan hadis kedua. Jadi, umum hadis
pertama diberlakukan terhadap hasil pertanian yang melebihi batasan yang
disebut hadis kedua (lima wasq ke atas). Dengan demikian, hadis-hadis tersebut
dapat ditemukan pengompromiannya dengan menarik suatu kesimpulan bahwa
hasil pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang banyaknya
mencapai lima wasą ke atas (berdasarkan hadis pertama), dan tidak wajib zakat
jika hasilnya tidak mencapai lima wasq (berdasarkan hadis kedua).
Oleh karena itu, dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan hadis-
hadis mukhtalif perlu diperhatikan redaksi yang digunakan dalam hadis-hadis
lain.

7
8

2) Penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual


Contohnya : Hadis dari Abu Ayyub al-Anshariy, Nabi SAW. pernah
bersabda, "janganlah kamu menghadap arah kiblat atau membelakanginya
ketika buang air besar atau buang air kecil, akan tetapi menghadaplah ke arah
timur atau ke arah barat (yang bukan arah kiblat)" Kata Ayyub, "kemudian
kami memasuki kota Syam (Siria) dan kami temukan banyak kamar kecil telah
selesai dibangun orang (dengan arah kiblat), lantas kami mengubah posisi atau
arah kami (ke arah yang bukan arah kiblat) sambil memohon ampunan kepada
Allah. Hadis riwayat Muslim.
Dan dari Hadis dari 'Abdullah ibn 'Umar, dia berkata, "banyak orang
mengatakan, apabila anda hendak buang air, janganlah ambil posisi
menghadap arah kiblat dan jangan pula arah Bait al-Maqdis (membelakangi-
nya)". Akan tetapi, kata Abdullah, "aku pernah naik ke atas atap rumah kami,
lantas akupun melihat Rasulullah sedang (duduk) di atas dua bata untuk buang
hajat dengan posisi menghadap Bait al-Maqdis. Hadis riwayat al-Syafi'iy.
Hadis-hadis di atas sama-sama menyangkut masalah etika buang hajat,
keduanya sama-sama sahih, berarti sama-sama dapat dijadikan hujah. Akan
tetapi, keduanya tampak mengandung pertentangan. Hadis pertama
mengandung larangan buang hajat dengan posisi menghadap atau
membelakangi kiblat (Kakbah). Sedangkan hadis kedua, seperti dijelaskan Ibn
Umar, bahwa Rasulullah sendiri buang hajat dengan posisi membelakangi
kiblat, yang berarti membolehkan-nya.
3) Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif
Contohnya : Hadis dari Abu Hurayrah, bahwasanya Rasulullah SAW.,
melarang salat setelah salat Ashar hingga matahari terbenam, dan setelah
salat Subuh hingga matahari terbit. Hadis riwayat al-Syafi'iy.

8
9

Dan dari Hadis dari Ibn Umar, bahwa sanya Rasulullah SAW, bersabdda,
"jangan ada di antara kamu yang berkeinginan melakukan salat pada waktu
terbit dan tenggelamnya matahari. Hadis riwayat al-Syafi'iy.
Dan pada Hadis dari Ibn Musayyab, bahwasanya Rasulullah SAW,
bersabda, "barang siapa yang lupa mengerjakan salat, maka hendaklah segera
la laksanakan pada saat ia ingat, karena Allah SWT berfirman, dirikanlah
salat untuk mengingatku." Hadis riwayat al-Syafi'iy,
Dan dari Hadis dari Jubair ibn Muth'im, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda, "wahai bani Abdi Manaf barang siapa di antara kalian yang menjadi
pemimpin, maka sekali-kali janganlah melarang seseorang melakukan tawaf di
Baitullah dan melakukan salat kapan pun dia mau, baik siang atau pun malam
hari, Hadis riwayat al- Syafi’iy.
Bila diperhatikan makna lahiriah hadis-hadis di atas, jelas tampak bahwa
hadis-hadis tersebut saling bertentangan. Dalam dua hadis pertama, Rasulullah
melarang melakukan salat pada waktu-waktu: 1) setelah selesal salat Asar
sampai matahari terbenam, dan; 2) setelah selesai salat Subuh sampai matahari
terbit. Sedangkan dalam dua hadis yang terakhir, Rasulullah menyatakan boleh
bagi seseorang melaksanakan salat kapan saja, baik siang maupun malam,
dengan sendirinya termasuklah dua Batasan waktu yang disebut dalam dua
hadits pertama.

E. Ilmu Nasikh al-Hadits Wa Mansukh


1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Menurut bahasa memiliki dua arti: al-izalah (meng-hilangkan), dan an-naqlu
(memindahkan). Jadi nasikh itu menghilangkan yang mansukh, atau
memindahkannya pada hukum yang lain.7

Kemudian terdapat tiga istilah dalam nasikh dan Mansukh ;


7
Ibid, Hal: 69.

9
10

1) An-Nasikh (yang menghapus)


2) Al-Mansikh (yang dihapus)
3) Nasakh (menghapus) / proses
Menurut istilah: as-Syari' (pembuat hukum) mengangkat hukum yang
terdahulu (sebelumnya) dengan hukum baru (yang terakhir).
2. Syarat Nasikh dan Mansukh
1) Terjadi di masa Rasulullah masih hidup
2) Hanya Rasul yang boleh melakukannya
3) Nasikh datang lebih akhir daripada Mansukh
3. Contoh Nasikh dan Mansukh
Dapat dilihat dari hadits di bawah ini:
ِ ‫ول اهلل صلى اهلل علَي ِه وسلَّم َعن ز َّوار‬
‫ات ال ُقبُور‬ َّ ،‫عن أيب هريرة‬
َ ‫أن َر ُس‬
َ َ ََ َ َ َ َْ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
melaknat para peziarah kubur.” (H.R. Tirmidzi) Hadits diatas kemudian di
naskh dengan hadis berikut:

‫ارة‬$$ $‫ كنت هنيتكم عن زي‬: ‫لم‬$$ $‫ه وس‬$$ $‫لى اهلل علي‬$$ $‫ول اهلل ص‬$$ $‫ال رس‬$$ $‫ ق‬:‫ال‬$$ $‫دة ق‬$$ $‫عن بري‬
)‫القبور أال فزوروها (رواه مسلم‬
Dari Buraidah, ia berkata, "Rasulullah SAW berdoa, "dulu, Aku pernah
melarang kamu menziarahi kuburan, sekarang ziarahilah" (H.R. Muslim).
Rasulullah SAW pernah melarang untuk berziarah kubur pada awal hingga
pertengahan islam di masa beliau. Hal itu dikarenakan iman para sahabat masih
kurang kuat, di mana adat dan budaya jahiliyyah masih melekat di kalangan
sahabat, jadi dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang menyimpang dari syariat saat
berziarah.

10
11

F. Pandangan Orientalis Terhadap Hadits


1. Pengertian Orientalis
Istilah orientalis berasal dari kata “ orien” yang berarti timur kata “ism” yang
berarti paham. Jadi secara bahasa orientalis adalah paham tentang dunia timur atau
ketimuran.
Secara istilah, orientalisme di artikan sebagai Kegiatan penyelidikan ahli
ketimuran di Barat tentang agama- agama di Timur, khususnya tentang agama
Islam juga. Sehingga yang dijadikan obyek studi gelombang pemikiran yang
mencerminkan berbagai studi ketimuran yang Islami, mencakup peradaban,
agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaan. Dengan beberapa bertujuan,salah
satunya untuk menghancurkan agama islam melalui ghazul fikri ( perang dalam
pemikiran ) atau hanya sebatas mempelajari saja.
2. Tokoh-Tokoh Orientalis
Diantara tokoh-tokoh Orientalis yang cukup concern dalam melakukan studi
terhadap hadis adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht.

3. Pandangan Orientalis Terhadap Hadits


Hadits adalah segala sesuatu yang mengandung ucapan, perbuatan atau
ketentuan-ketentuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, Sehingga bagi
orientalis hadis adalah merupakan kajian yang mudah bagi mereka untuk memutar
balikkan kebenaran hadits secara keseluruhan.
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka
terhadap al-Hadis, yaitu tentang kepribadian Nabi Muhammad, yang meliputi
Aspek Asanid (Rangkaian perawi hadis), Aspek Matan dan Aspek Pribadi Nabi
Muhammad.

11
12

Argumen pertama orientalis meragukan otentisitas hadits adalah bahwa hadis-


hadis itu buatan manusia dan bukan wahyu. Menurut orientalis pribadi
Muhammad perlu dipertanyakan. mereka membagi status Muhammad menjadi
tiga, sebagai rasul, kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana orang
kebanyakan. Sesuatu yang didasarkan dan Nabi Muhammad baru disebut hadis
jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan. karena jika tidak
hal itu tidak layak disebut hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status
lain seorang Muhammad.
4. Bantahan Ulama Terhadap Orientalis
Kritikan terhadap hadis dari kalangan orientalis tidak membuat ulama Islam
berdiam diri, setidaknya ada tiga ulama kontemporer yang menangkal teori-teori
ketiga orientalis di atas, mereka adalah Prof. Dr. Musthofa as Siba'iy dalam
bukunya as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri'il Islam, Prof. Dr. 'Ajjaj al Khatib
dalam bukunya as Sunnah Qabla Tadwin, dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami
dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.

12
13

DAFTAR PUSTAKA

Thahhan, Dr. Mahmud. 2010. Ilmu Hadits Praktis Terj. Abu Fuad. Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah.

13

Anda mungkin juga menyukai