Anda di halaman 1dari 17

Pemahaman Hadis dari Segi Sumber

Diajukan untuk Memenuhi Tugas yang diberikan Dosen pada Mata Kuliah Hadis
Analitik/Fiqh al-Hadis

Dosen Pengampuh:
Al-Ustadz Munandar M.TH.I

Oleh:
Kelompok 2
MUHAMMAD IKHSAN DAFANI (0406192012)
HASNAH (0406192032)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
PROGRAM STUDI ILMU HADIS
SEMESTER VII-A
T.A 2022-2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya


Penulis dapat menyelesaikan tugas ini, yang berjudul “Pemahaman Hadis dari Segi
Sumber”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, hal ini dikarenakan keterbatasan
waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki Penyusun, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk
perbaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini, Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas ini, semoga Allah Subhanahu
Wata’ala membalas amal kebaikannya. Aamiin.
Dengan segala pengharapan dan doa semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi Penyusun khususnya dan bagi Para Pembaca umumnya.

Medan, 20 September 2022

Penyusun,
Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan ................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Lafzhiy (Pengertian dan Langkah-langkahnya ....................................... 2
B. Maknawiy (Pengertian dan Langah-langkahnya) ................................... 7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................. 13
B. Saran ....................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Macam-macam periwayatan hadis saat ini menjadi banyak perdebatan
Ulama. ketika itu, akan kebolehan dan ketidak bolehan mengaplikasikannya
dalam periwayatan hadis. Hal ini dipandang bahwa pembahasan ini patut dikaji
secara mendalam agar dapat diketahui bagaimana cara penyampaian hadis
setelah Nabi meninggal, juga tentang apa dan bagaimana periwayatan hadis
lafdzi dan ma`nawi. Melalui pengkajian secara mendalam, periwayatan lafdzi
merupakan periwayatan hadis yang redaksi atau matannya sama persis seperti
yang diwurudkan Rasulullah. Periwayatan hadis secara lafdzi ini tentu untuk
hadis-hadis qawliyah (sabda) saja. Sedangkan, Periwayatan ma`nawi adalah
periwayatan hadis yang disampaikan oleh sahabat dengan mengemukakan
maknanya saja, tidak menurut lafaz-lafaz seperti yang diucapkan oleh Rasul.
Jadi, bahasa dan lafazh hadis disusun oleh sahabat sendiri, sedangkan isinya
berasal dari Nabi. Oleh karena itu, banyak hadis yang memiliki maksud yang
sama tetapi dengan redaksi matan yang berbeda. Hadis-hadis yang fi`liyah dan
taqririyah, karena sifatnya, disampaikan secara ma`nawi
Dalam kajian ilmu hadis penyampaian hadis bukan hanya dikenal lafdzi
saja, juga secara ma`nawi. Macam-macam periwayatan hadis inilah yang
nantinya menjadi perdebatan ulama ketika itu, akan kebolehan dan ketidak
bolehan mengaplikasikannya dalam periwayatan hadis. Berangkat dari latar
belakang inilah penulis memandang bahwa pembahasan ini patut dikaji secara
mendalam agar dapat diketahui bagaimana cara penyampaian hadis setelah Nabi
wafat juga tentang apa dan bagaimana periwayatan hadis lafdzhi dan maknawi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Lafdzhi dan bagaimana langkah-langkahnya?
2. Apa pengertian Maknawiy dan bagaimana langkah-langkahnya?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian Lafdzhi dan langkah-langkahnya.
2. Untuk mengetahui pengertian Maknawi dan Langkah-langkahnya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Lafdzhi dan Langkah-langkahnya


Pengertian Lafdzhi

Periwayatan lafdzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau


matannya persis seperti yang diwurudkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang
disabdakan Rasululullah shallahu ‘alaihi wasallam. Kebanyakan dari Para
Sahabat menempuh periwayatan hadis melalui cara ini. Mereka berusaha agar
periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut ‘Ajjaj Al-Khathib,
sebenarnya, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi
bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka secara ketat melarang
meriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun
tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang
disebut rasul di belakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya
tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin Khattab pernah berkata:

“Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasul saw kemudian ia


meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”.

Di antara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan


hadis dengan jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang
membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah
didengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang
dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat
menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa
Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya
pada urutan ke empat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.

2
Selanjutnya Ulama Ahli Hadis sepakat akan keharusan periwayatan
hadis secara lafal untuk hadis-hadis berikut ini:1

1) Hadis-hadis yang berkaitan dengan penyebutan-penyebutan nama-nama


Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka memandangnya sebagai sebagai suatu hal
yang tauqifiy dan tidak boleh diganti dengan kalimat atau kata lain walaupun
sepadan.
2) Hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah
(ta’abbudiya) misalnya hadis-hadis do’a.
3) Hadis-hadis tentang jawami’ al-kalim, yakni ungkapan pendek sarat makna
yang mengandung nilai balaghoh yang tinggi dan periwayatannya secara
makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh kandungan makna hadis yang
dimaksud.
4) Hadis-hadis yang berkaitan dengan lafal-lafal ibadah, misalnya hadis tentang
azan, iqamat, takbir, shalat, sighat syahadat, dan sighat akat.

Perlu ditegaskan pula, ulama’ ahli hadis sepakat bahwa menjaga lafal
hadis, menyampaikannya sesuai dengan lafal yang diterima dan didengarnya,
tanpa merubah, mengganti huruf atau kata, adalah lebih utama daripada
periwayatannya secara makna. Hal ini karena kalam Nabi adalah perkataan yang
mengandung fashahah dan balaghah yang tidak ada bandingannya. Dan
periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi (dari
redaksi semula dan antara periwayat yang berbeda).Bahkan redaksi hadis ini ada
yang menyebabkan perbedaan makna atau maksud hadis.

Periwayatan Lafdzhi

Untuk menyampaikan wahyu al-Qur’an, para sahabat menyampaikannya


secara lafzhi (secara harfiyah) sebagaimana yang mereka terima dari Nabi.
Sedang, untuk menyampaikan hadis tidak demikian. Hal ini disebabkan karena
ayat al-Qur’an adalah wahyu Allah dan mu`jizat yang harus dipelihara, bukan

1
Umi, Kajian Kritik Ilmu Hadis cetakan pertama, (Kairo: Malang, UIN Malili Press, 2010), h. 134

3
hanya dari segi makna-maknanya saja, tetapi juga susunan kalimat dan kata-
katanya. Hal ini dapat berlangsung, karena mukjizat al-Qur’an itu telah dijamin
pemeliharaan orisinilitas periwayatannya oleh Allah SWT. Sebagaimana dalam
firman Allah surat al-Hijr ayat 9-4. Adapun penyampaian atau periwayatan hadis
ada dua cara; periwayatan lafdzi dan periwayatan maknawi. Dalam sejarah
perjalanan hadis diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, periwayatan hadis itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan yang
bukan dari Nabi tetapi disandarkan kepada Nabi. Di samping itu, periwayatan
hadis harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan dan
diharapkan redaksi hadis tidak mengalami perubahan. Dalam proses penerimaan
dan periwayatan hadis, para ulama selalu bersikap hati-hati. Kehati-hatian para
ulama ini dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara autentisitas dan
orisinilitas hadis. Kehati-hatian itu pula yang menyebabkan para sahabat tidak
gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka meyakini kebenaran lafaz
dan ketepatan huruf serta maknanya.2

Di antara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis


dengan lafdzhi adalah Ibn `Umar. Ia sering menegur sahabat yang membacakan
hadis yang berbeda dengan apa yang didengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, seperti yang dilakukannya terhadap `Ubayd bin `Amir. Suatu ketika
seorang menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan puasa
Ramadan pada urutan ketiga. Ibn `Umar serentak menyuruh ia meletakkannya
pada urutan keempat, sebagaimana yang didengar dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Periwayatan hadis secara lafdzi ini tentu untuk hadis-hadis
qawliyah (sabda) saja. Sedang, hadis-hadis yang fi`liyah dan taqririyah, karena
sifatnya, tidak dapat disampaikan secara lafdziyah. Hadis yang dalam bentuk
sabda pun sangat sulit seluruhnya diriwayatkan secara lafdzi, terkecuali untuk
sabda-sabda tertentu.

2
Muhid, dkk. Hadis Nabi (Sejarah dan Metodologinya), cetakan pertama, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2013). h, 72

4
Kesulitan periwayatan secara lafdzi bukan hanya disebabkan karena tidak
mungkin seluruh sabda itu dihafal secara harfiyah, melainkan juga karena
kemampuan hafalan itu dan tingkat kecerdasan sahabat Nabi tidak sama.
Walaupun tidak mungkin seluruh sabda Nabi dihafal oleh para sahabat, tetapi
tidak berarti bahwa tidak ada sabda Nabi yang telah berhasil dihafal dan
kemudian diriwayatkan secara harfiyah oleh para sahabat. Ada beberapa kondisi
tertentu yang memberi peluang sehingga sahabat dapat menghafal dan
meriwayatkan sabda Nabi secara harfiyah. Diantara kondisi itu adalah: Nabi
dikenal fasih dalam berbicara dan isi pembicaraannya berbobot.

Pada zaman Nabi, umumnya mereka masih buta huruf. Bagi orang-orang
yang buta huruf, bahasa tutur menjadi sangat dominan. Karenanya tidaklah
mengherankan jika pada zaman Nabi tidak sedikit jumlah sahabat yang dengan
mudah menghafal Qur’an dan hadis Nabi. Kekuatan hafalan orang-orang Arab
tersebut memberikan peluang akan banyaknya hadis Nabi yang diriwayatkan
secara lafazh oleh para sahabat. Kalangan sahabat Nabi ada yang telah dikenal
dengan sungguh-sungguh berusaha menghafal hadis Nabi secara lafdzi.
Misalnya `Abd al Lah bin `Umar bin al Khatab. Hal ini memberi petunjuk
adanya sabda Nabi yang diriwayatkan secara lafdzi. Madzhab yang
mengharuskan periwayatan hadis secara lafdzhi adalah:3
Dari golongan sahabat
a. `Abd al Lah bin `Umar. Dia ketat (mutashaddid) dalam menjaga lafaz
hadis Nabi, sehingga dia tidak menambah dan mengurangi huruf atau
kata, ia tidak pula mendahulukan atau mengakhirkannya dalam
periwayatan. Diriwayatkan dari Abu Ja`far Muhammad bin `Ali, dia
berkata: “tidak ada satupun dari sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam ketika mendengar hadis, yang tidak menambah ataupun
mengurangi dan tidak pula meringkasnya seperti `Abd al Lah bin `Umar.
Dalam suatu riwayat, dia pernah menegur sahabat `Ubayd al Lah bin

3
Muh Zuhri, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. cetakan pertama. (Jakarta: PT Bulan Bintang. (Bandung: Angkasa,
1997), h. 64

5
`Umar yang mengganti lafazh al Shat al `A’irah (domba yang cacat)
dengan lafazh al Shat al Rabidah (domba yang lemah).
b. Abu Umamah diriwayatkan dari Habib bin `Ubayd “sesungguhnya Abu
Umamah telah menyampaikan hadis kepada kita sesuai apa yang
didengarnya.”
c. `Umar bin al Khatab. Dia berkata “barang siapa yang mendengar hadis
dan menyampaikannya sesuai dengan apa yang didengarnya, maka dia
akan selamat.”
Dari golongan tabi’in, yaitu: Al Qasim bin Muhammad bin Abi
Bakr, ia dididik oleh Aishah, maka ia termasuk perawi yang paling
mengetahui hadis dari Aishah. Tabi` berikutnya, Muhammad bin Sirin Raja’
bin Haywah dan Tawus bin Kaysan. Dari golongan atba` tabi, yaitu Imam
Malik bin Anas, Hammad bin Zayd, Ahmad bin Hanbal dan Khalid bin
Harith. Sebagai konsekuensi dari ragam periwayatan yang dipilih, para
sahabat di atas lebih memilih diam –tidak meriwayatkan- jika mereka
dihadapkan pada keraguan akan suatu hadis mengingat kerasnya ancaman
Rasulullah terhadap orang yang melakukan manipulasi hadis.
Dalam konteks kehati-hatian meriwayatkan hadis yang dilakukan
oleh para sahabat ini, dapat disebut sebagai contohnya. Adapun usaha-usaha
mereka dalam menjaga matan hadis di antaranya:
 Mengulang-ulang hadis dari gurunya, agar hafalan mereka kuat.
 Membagi hadis yang panjang dan hadis yang pendek agar mudah
dihafal.
 Membaca hadis di depan gurunya untuk mentashih hadis dan
menguatkannya
 Meninggalkan hadis-hadis yang terdapat keraguan
 Menulis hadis dan memperlihatkannya kepada gurunya.
 Karena berhati-hati, mereka tidak memberikan hadis kecuali ada
tulisannya, mereka takut adanya wahm dan percampuran dalam
periwayatnnya.

6
B. Pengertian Maknawi dan Langkah-langkahnya
Pengertian
Menurut Syuhudi Ismail, Periwayatan maknawi adalah periwayatan
hadis yang disampaikan oleh sahabat dengan mengemukakan maknanya saja,
tidak menurut lafazh-lafazh seperti yang diucapkan oleh Rasul, tanpa ada
sedikitpun yang menyimpang. Jadi, bahasa dan lafaz hadis disusun oleh sahabat
sendiri, sedangkan isinya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, banyak hadis yang
memiliki maksud yang sama tetapi dengan redaksi matan yang berbeda.
Misalnya dalam mendeskripsikan tingkah laku Nabi yang disaksikan oleh para
sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda, meski maksudnya sama.
Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda,
maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda. Ada golongan yang
membolehkan periwayatan hadis bi al ma`na secara mutlak. Golongan ini
termasuk golongan mutashil, dan pendapat ini yang dilarang karena tidak
adanya kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis bisa menimbulkan perubahan-
perubahan lafaz yang menyebabkan perubahan makna. Perawi yang termasuk
golongan ini adalah Hasan al Basri, al Sha`bi dan Ibrahim al Nakha`i.
Ulama mempersoalkan boleh tidaknya selain sahabat Nabi
meriwayatkan hadis secara makna. Abu Bakr bin `Arabi berpendapat selain
sahabat Nabi tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Menurut
Ibn `Arabi, sahabat Nabi diperbolehkan meriwayatkan hadis secara makna.
Karena mereka memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al fasahah wa
al balaghah) dan menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi. Ulama
lainnya yang juga dikenal sangat ketat berpegang pada periwayatan secara
lafazh yakni Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad,
Tha`lab bin Nahwi, dan Abu Bakr al Razi. Tetapi kebanyakan ulama hadis
membolehkan periwayatan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan.
Ketentuan itu cukup beragam. Walaupun demikian, ada beberapa ketentuan
yang disepakati, yakni:
1. Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang
benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam Dengan

7
demikian, periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan,
misalnya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
2. Periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa, misalnya
karena lupa susunan secara harfiyahnya.
3. Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk
bacaan yang sifatnya ta`abudi, misalnya dzikir, doa, azan, takbir dan
syahadat, serta bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami` al kalim.
4. Periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna, atau yang mengalami
keraguan akan susunan matn hadis yang diriwayatkan, agar menambah
kata-kata atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan matn hadis
yang bersangkutan.
5. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa
sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa
pembukuan (tadwin) hadis yang dimaksud, periwayatan hadis harus secara
lafazh.
6. Mengetahui tema hadis dan maksud ucapan (hadis) Nabi, sehingga dia
yakin bahwa memang itulah yang dimaksud, bukan hanya sekadar dugaan.
7. Hendaknya periwayat mendalami ilmu syari’ah, fiqh dan uslubnya, agar
mampu memahami hadis yang mengandung persoalan syar`i. Al Shafi`i
menyifati periwayat yang meriwayatkan hadis dengan maknanya haruslah
periwayat yang thiqah dalam agamanya, mengetahui kebenaran hadis yang
disampaikan, latar belakang hadis, dan mengetahui apa saja yang bisa
merubah arti dari lafaz-lafaz yang dipakai. Jumhur Muhadditsin dan fuqaha
juga berpendapat demikian. Ketentuan yang disebutkan ini banyak
disinggung oleh ulama baik oleh kalangan ulama al muta’akhkhirin
maupun kalangan mutaqaddimin. Sedangkan syarat-syarat yang berkaitan
dengan matan adalah Hadis yang diriwayatkan secara makna harus sama
dengan aslinya tanpa ada penambahan dan pengurangan yang
mempengaruhi atau merubah makna. Sedangkan, perbedaan dari segi
susunan lafaz merupakan suatu kewajaran sebagai konsekuensi adanya
penggantian lafaz, dan ini bukan yang dimaksud dalam hal ini. Antara
hadis yang diriwayatkan secara makna dengan lafaz hadis asalnya harus

8
sama dalam hal mengenai sesuatu yang tampak dan yang samar dalam
kandungan hadis.
Periwayatan secara makna juga bukan hanya mengakibatkan terjadinya
perbedaan redaksi semata, melainkan juga mengakibatkan timbulnya
perbedaan penggunaan kata-kata. Karenanya, dapat saja terjadi ada kata-kata
tertentu yang termaktub dalam suatu hadis di kitab-kitab hadis belum pernah
dikenal pada zaman Nabi. Kata-kata itu muncul dalam riwayat hadis, karena
periwayat hadis yang hidup sesudah lama Nabi wafat, memakai kata-kata yang
diduga memiliki kesamaan arti yang berasal dari zaman Nabi. Al Mawardi
mengatakan bahwa riwayat bi al ma`na dibolehkan jika periwayat yang
bersangkutan lupa lafaznya karena hadis mencakup lafazh dan makna, dan
ketika seseorang lupa dengan salah satu lafaz, maka harus disampaikan dengan
lafaz lainnya. Jika seseorang tidak menyampaikan apapun tentang hadis Nabi
maka seseorang itu dianggap menyembunyikan ilmu dan hukum. Namun jika
tidak lupa, maka tidak boleh menyampaikan kecuali dengan lafaz sebagaimana
yang ia dengar. Hal itu karena kalam Nabi mengandung fasahah yang tidak
seperti kalam yang lainnya.
Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa rukhsah riwayat
bi al ma`na hanya dikhususkan untuk sahabat Nabi, dengan alasan bahwa
sahabat dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah termasuk orang-orang
yang fasih dalam berbahasa dan mengetahui peristiwa yang dimaksudkan oleh
hadis. Tampaknya ulama sepakat bahwa sedapat mungkin riwayat hadis itu bi
al lafdzi, tidak bi al ma`na. Mereka juga sependapat bahwa riwayat bi al ma`na
dilarang apabila periwayat tidak mengerti hal-hal yang mengubah makna.
Sementara untuk orang yang memenuhi syarat seperti yang disebutkan di atas,
dibolehkan riwayat bi al ma`na, dengan catatan, riwayat bi al lafzi lebih
diutamanakan. Artinya, apabila sanggup riwayat bi al lafzi, tidak perlu riwayat
bi al ma`na.
Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al Tirmidhi, al Nasa’i, Ibn Majah,
dan lain-lain, telah meriwayatkan hadis tersebut. Nama sahabat Nabi yang
berstatus sebagai saksi pertama untuk seluruh sanad hadis itu adalah `Umar bin
al Khatab. dalam Sahih al Bukhari, hadis yang dimaksud termuat di tujuh

9
tempat. Nama-nama periwayatnya untuk ketujuh sanad sama di tabaqah
(tingkat) pertama sampai dengan tabaqah keempat. Yakni 1) `Umar bin al
Khatab, 2) `Alqamah bin Waqqas al Laythi, 3) Muh{ammad bin Ibrahim bin
al Harith al Taymi, dan 4) Yahya bin Sa`id al Ansari. Kemudian di tabaqah
kelima terjadi perbedaan nama periwayat. Yakni 1) Sufyan bin `Uyaynah, 2)
Ma>lik bin Anas, 3) `Abd al Wahhab, dan 4) Hammad bin Zayd. Di tabaqah
keenam, yakni sebelum al Bukhari, nama-nama periwayatnya di ketujuh sanad
tersebut berbeda juga. Yakni: 1) al Humaydi `Abd al Lah bin al Zubayr, 2)
`Abd al lah bin Maslamah, 3) Muhammad bin kathir, 4) Musaddad, 5) Yahya
bin Qaz`ah, 6) Qutaybah bin Sa`id, dan Abu Nu`man. Ternyata, matan hadis
dari ketujuh sanad al Bukhari tersebut terdapat perbedaan-perbedaan redaksi.
Periwayatan secara makna juga bukan hanya mengakibatkan terjadinya
perbedaan redaksi semata, melainkan juga mengakibatkan timbulnya
perbedaan penggunaan kata-kata. Karenanya, dapat saja terjadi ada kata-kata
tertentu yang termaktub dalam suatu hadis di kitab-kitab hadis belum pernah
dikenal pada zaman Nabi. Kata-kata itu muncul dalam riwayat hadis, karena
periwayat hadis yang hidup sesudah lama Nabi wafat, memakai kata-kata yang
diduga memiliki kesamaan arti yang berasal dari zaman Nabi. Adapun dalil
pembolehan riwayat bi al ma`na menurut al Shafi`i adalah sebagai berikut: Al-
Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah apa-apa yang mudah dari
al-Qur’an. Al Shafi`i berkata: Allah berbelas kasih kepada manusia dengan
menurunkan al-Qur’an dengan tujuh huruf untuk memudahkan bacaannya
walaupun dengan lafazh yang berbeda-beda. Perbedaan itu boleh dilakukan
selama tidak merubah makna.4
Dikarenakan kitab-kitab hadis yang dibukukan telah menjadi patokan
dalam meriwayatkan hadis sebagaimana pendapat an-Nawawi: “Ketika
seseorang ingin meriwayatkan hadits secara makna, apabila ia tidak
memahami lafaz-lafaznya serta maksudnya serta ia tidak mengetahui cara
menguraikan maknanya maka ia tidak boleh meriwayatkan secara makna dan
ia harus meriwayatkan peris sebagaimana lafaz yang ia terima, menurut

4
M. Syuhudi Ismail, al Sunnah al Nabawiyah: bayna ahl al fiqh wa ahl al hadis. terj. Muhammad
al Baqir. cetakan kelima. (Bandung: Mizan, 1988), h. 87

10
kesepakatan para ulama. Bahkan walaupun ia seorang yang mengetahui seluk-
beluk hadits, menurut sebagian ulama ahli hadis, ahli fiqih, serta ahli ushul fiqh
tetap tidak diperbolehkan (meriwayatakan hadits secara makna) secara mutlak.
Sebagian yang lain berpendapat ia diperbolehkan (meriwayatakan
hadis secara makna) pada selain hadis Rasulullah. Sedangkan menurut
mayoritas ulama salaf (ulama periode terdahulu) dan khalaf (periode ulama
setelah zaman ulama salaf) memperbolehkan meriwayatkan hadits secara
makna ketika ia meyakini bahwa ia menyampaikan sesuai dengan makna
hadis. Dan inilah pendapat shawab (pendapat yang mendekati kebenaran)
sebagaimana kondisi para sahabat dan generasi setelahnya yang mana mereka
meriwayatkan hadits dengan lafaz yang berbeda-beda. Akan tetapi hukum ini
adalah bagi hadits yang bukan diriwayatkan dari kitab-kitab karya ulama.
Adapun hadits yang diambilkan dari kitab-kitab ulama maka tidak boleh
diriwayatkan secara makna”.5
Langkah-langkah dalam Meriwayatkan Hadis secara Makna
Adapun langkah-langkah dalam meriwayatkan syarat hadis secara makna
sebagaimana yang diutarakan oleh Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi dalam
kitab Ushul al-Sarkhasi, oleh Fakhruddin Muhammad ar-Razi dalam kitab Al-
Mahshul fi Ilm Ushul al-Fiqh, oleh Muhammad bin Ali asy-Syaukani dalam
kitab Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min Ilm al-Ushul adalah sebagaimana
berikut:
1) Perawi harus memberikan ganti lafaz yang semakna dengan lafaz hadits
yang ia terima tanpa menambahkan atau mengurangi makna yang dituju
seperti contoh mengganti lafaz al-qudrah dengan lafaz al-istitha’ah yang
sama-sama bermakna mampu.
2) Perawi memberikan ganti lafaz yang sepadan menurut susunan bahasa
Arab. Oleh karena itu, perawi tidak boleh menempatkan lafaz yang
bermakna muthlaq pada tempatnya lafaz yang bermakna muqayyad
(terbatasi) dan sejenisnya.

5
An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2012), vol. 1
hal. 40

11
3) Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz yang bermakna mutasyabbihat (samar
maknanya). Menurut as-Sarkhasi, “Kita diperintahkan untuk tidak
meneliti makna lafaz mutasyabbihat, bagaimana mungkin kita boleh
meriwayatkannya secara makna?”
4) Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz hadits yang dihitung ibadah dengan
melafazkannya seperti contoh lafaz dalam azan, dzikr, tasyahhud, dan
sejenisnya.
5) Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz hadits yang terhitung Jawami’ al-
Kalim (lafaz-lafaz yang fashih dan yang diucapkan oleh Rasulullah). Hal
ini dikarenakan mengubah lafaz hadits yang bernilai Jawami’ al-Kalim
akan menghilangkan segi keindahan lafaznya seperti contoh hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Inilah saat panasnya
tungku api.” Menurut Ibnu Atsir, ini adalah ungkapan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat indah dalam menggambarkan
bergejolaknya perang Hunain. Dan ungkapan ini belum pernah diucapkan
seorang pun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan
belum dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya.
6) Perawi hanya boleh meriwayatkan hadits secara makna dalam hadits-
hadis yang panjang sebagai sebuah kemurahan. Akan tetapi, perawi tidak
boleh meriwayatkan hadits secara makna dalam hadis-hadis yang pendek.
Dalam hal ini asy-Syaukani menyatakan, “Tidak ada toleransi sedikit pun
dalam hadis-hadis yang pendek.” Dalam hal ini, ada golongan ulama yang
menolak seluruh periwayatan hadits secara makna. Di antara mereka
adalah mazhab Abu Dawud adz-Dzahiri, Ahmad bin Yasar asy-Syaibani,
Abu Bakar al-Jasshash, Ibrahim an-Nakha’i.6

6
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Beirut: Darul Kutub al-
Islamiyyah, 2011), vol. 2 hal. 98

12
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Kesimpulan Dari beberapa lembar pembahasan di atas, dapat diketahui
bahwa; Periwayatan lafzi adalah periwayatan hadis yang lafaz matannya sama
persis seperti yang disabdakankan Rasulullah. Periwayatan hadis dengan lafzi
ini hanya untuk hadis-hadis qawliyah (sabda). Sedangkan, Periwayatan
ma`nawi merupakan periwayatan hadis yang disampaikan oleh sahabat dengan
menyiratkan maknanya saja, tidak menurut redaksi seperti yang disabdakan
oleh Rasul. Jadi, bahasa dan lafaz hadis disusun oleh sahabat sendiri, sedangkan
isi hadis atau komponennya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, banyak hadis
yang memiliki maksud yang sama dengan redaksi matan yang berbeda. Hadis-
hadis yang fi`liyah dan taqri>riyah, karena sifatnya, disampaikan secara
ma`nawi.
b. Saran
Alhamdulillah, Akhirnya dengan do’a dan usaha, penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Penulis berharap supaya makalah ini dapat berguna
dan dapat dimanfaatkan oleh kalangan banyak. Dan penulis berharap kritik dan
saran dari dosen pembimbing dan teman-teman sekalian. Terima kasih.

13
DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazali Muhammad, 1996. Ilmu Hadis: Historis & Metodologis. cetakan


pertama. Surabaya: Pustaka al-Muna.
M. Syuhudi Ismail, 1988. al Sunnah al Nabawiyah: bayna ahl al fiqh wa ahl al
hadis. terj. Muhammad al Baqir. cetakan kelima. Bandung: Mizan. Ismail.
Zuhri Muh, M. Syuhudi Ismail, 1997. Ilmu Sejarah. cetakan pertama. Jakarta: PT
Bulan Bintang
Dkk, Muhid, 2013. Hadis Nabi (Sejarah dan Metodologinya), cetakan pertama.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Umi, 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis cetakan pertama. Malang, UIN Maliki Press.

14

Anda mungkin juga menyukai