Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERIWAYATAN HADIS BIL LAFDZI DAN BIL MAKNA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ma’anil hadis

Disusun oleh :

Khikmalia Beauty Margareta (07010520011)

Dosen pengampu :

Dr. Muhid, M.Ag

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayah nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Periwayatan Hadis Bil Lafzi dan Bil makna ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah ma’anil hadis. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
mengetahui tentang pengertian, dan pembagian dalam periwayatan hadis bil al-
lafzi dan bil al-makna.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Muhid, M.Ag selaku dosen
pengampu mata kuliah ma’anil hadis, yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami pelajari.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Karena dalam penyusunan makalah ini tentu terdapat kesalahan dan
kekurangan sebab terbatasnya kemampuan kami dalam tersusunnya makalah
ini semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, maka dari itu kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Surabaya, 09 Maret 2022

Penulis,

II
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................ I

KATA PENGANTAR ..................................................................................... II

DAFTAR ISI .................................................................................................... III

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 2

A. Pengertian Riwayat .............................................................................. 2


B. Periwayatan dengan lafaz (riwayat bil lafdzi)...................................... 3
C. Periwayatan dengan ma’na (riwayat bil ma’na) .................................. 4

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 7

A. Kesimpulan .......................................................................................... 7
B. Saran ..................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 8

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan bukti historis yang menggambarkan bahwa periwayatan dan
perkembangan hadist sejalan dengan perkembangan lainnya melihat persektif
keilmuan hadits bergambar jelas bahwa ajaran hadits ternyata mempunyai peran
yang begitu besar dalam mendorong kemajuan umat islam. Sebab hadist nabi
sebagaimana Al Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut
pengetahuan dengan demikian disiplin ilmu hadits justru menyebabkan kemajuan
umat islam.
Untuk dapat menentukan apakah sebuah Hadits layak untuk menjadi
rujukan dalam hukum islam, tentu saja memerlukan suatu cabang Ilmu yang biasa
disebut Ilmu Ushulul Hadits atau Ilmu Hadits, Dengan Ilmu tersebut kita dapat
menggali sumber-sumber Hukum Islam yang banyak terkandung dalam Hadits.
Disamping sebagai sumber kedua dalam hukum Islam Hadits juga sebagai media
dalam memahami Al Qur’an karena tidak sedikit ayat-ayat Al Qur’an yang masih
bersifat Global dijelaskan dalam Hadits Nabi.
Persoalan bentuk periwayatan hadis juga menjadi isu yang penting. Hal ini
karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu
hadis. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadis harus dengan lafadz
(riwayat bi al-lafzh) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan
maknanya (riwayat bi al-ma’na), menjadi isu penting dikalangan ulama hadis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian riwayat?
2. Apa pengertian riwayat bi Al-lafzh dan Contohnya?
3. Apa pengertian riwayat bil ma’na dan Contohnya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian riwayat.
2. Untuk mengetahui pengertian riwayat bil lafdzi dan contohnya.
3. Untuk mengetahui pengertian riwayat bil makna dan contohnya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Riwayat

Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan
zikir yang artinya adalah penyebutan. Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah
kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis.

Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian
menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian
ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang
menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada
yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan
penyampaian hadis kepada yang lain disebut periwayatan.

Seorang perawi hadis menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul atau
sahabat kepada yang lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai komentar.
Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan. Apabila ia memberi
tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab
itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya.1

Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai
berikut:

1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal


dengan rawi (periwayat).

2. Apa yang diriwayatkan.

3. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad).

4. Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal


dengan matan, dan

1
A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yokyakarta:Interpena, 2011), h.178

2
5. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian
hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).

B. Periwayatan dengan lafaz (riwayat bil lafdzi)

Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan


lafaz yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW. Dengan istilah lain yaitu
meriwayatkan hadis dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka
berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad SAW
bukan menurut redaksi mereka.2

Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat
berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan
sebuah hadis hingga yakin betul teks huruf demi huruf yang akan disampaikan itu
sama dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW.

Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih
senang jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari
kesalahan periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak
sesuai dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan dosa,
seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW.
Kekhawatiran tersebut karena didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat
kepada Nabi Muhammad SAW.3

Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang
memiliki redaksi sebagai berikut:

1. ‫( سمعت‬Saya mendengar)

Contoh:

2
Munzier Suparta, Ilmu Hadits,(Jakarta: PT raja Grafindo Persada) h.83
3
A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yokyakarta:Interpena, 2011), h.179

3
‫َح ٍد‬ ٍِ
َ ‫س َك َكذب َعلَى أ‬
ِ َّ ِ
َ ‫ إن َكذابً َعلَ َّي لَْي‬:‫ مسعت رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم يقول‬:‫عن املغرية قال‬
4
)‫ب َعلَ َّي ُمتَ َع ِّمداً فَ ْليَ تَ بَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر (رواه مسلم وغريه‬
َ ‫فَ َم ْن َك َذ‬

Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di
neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)

2. ‫( رأيت‬Saya melihat)

Contoh:

‫ رأيت عمربن اخلطّاب رضي هللا عنه يقبّل احلجر “يعىن األسود” ويقول‬:‫عن عبّاس بن ربيع قال‬
ِ
َ ُ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يُ َقبِّل‬
‫ك َما‬ َ ‫ت َر ُس ْو َل هللا‬ ِّ‫ضُّر َوالَ تَْن َف ُع َولَ ْوالَ أ‬
ُ ْ‫َّن َرأَي‬ َ ‫إِِّّن الَءَ ْعلَ ُم أَن‬
ُ َ‫َّك َح َجٌر الَت‬
5
)‫ك (رواه البخارى ومسلم‬
َ ُ‫قَبَّ ْلت‬

Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra.,
mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau
itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat.
Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan
menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa


para sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh
sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat dijadikan
hujjah.

4
Abu al hasan ibn muslim ibn al khajja>j al kusairy> annisa>bu>riy, shahi>h muslim, vol 4, (Bairu>t : da>r
al ikhya’ attara>tsi al ‘arabiy), no indeks 4, hal 10.
5
Muhammad ibn fatwakh ibn ‘abdullah ibn fatwakh ibn khami>d al azdiy al mayu>raqiy al
khamiydiy, al jam’ubayna shohihain al bukha>ri wa muslim, vol 1, (Bairu>t: da>r ibn khazm), no
indeks 42, hal 117.

4
C. Periwayatan dengan ma’na (riwayat bil ma’na)

Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan


kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya
dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz atau
susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya
ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan
masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa
yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.

Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa
akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan
makna.6

Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah


proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna
atau maksud yang dikandung oleh lafaz karena kata makna mengandung arti
maksud dari sesuatu.

Meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis


belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan
dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya
dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.

Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis


dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa
pembukuan hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan
pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis
dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna.7

6
Abdul Aziz Ahmad Jasim, Hukum Riwayat Hadis Nabawai Bil Ma’na., h.24.
7
Endang Soetari, Ulumul Hadis, (Bandung :Amal Bakti Press,1997), h.213.

5
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara
makna, seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud (wafat
32 H/652 M), Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda’ (wafat 32 H/652
M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah (wafat 58 H/678
M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadis secara makna, seperti:
Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam.8

Adapun contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:

ِ‫ َيرسو َل هللا‬:‫َّب صلَّى هللا علَي ِه وسلَّم واَراد اَ ْن ََتِب نَ ْفسهالَه فَت َقدَّم رجل فَقاَ َل‬ ِ ِ ‫جائ‬
ُْ َ َ ٌ َُ َ َ ُ ََ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ِّ ِ‫ت ا ْمَرأَةٌ ا ََل الن‬
ََْ
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم اَنْ َك ْحتُ َك َها ِِبَا‬ ِ ِ ‫اَنْ ِك ْحنِْي َها َوََلْ يَ ُك ْن َم َعهُ ِم َن الْ َم ْه ِر َغ ْ َري بَ ْع‬
ُّ ِ‫ض الْ ُق ْرآن فَقاَ َل لَهُ الن‬
َ ‫َّب‬
ِ ‫ك ِمن الْ ُق‬
‫رآن‬ ِ ِ َ ‫ قَ ْد زَّوجتُ َكها ِِبَا مع‬,‫آن وفىرواية‬
ِ ‫ك ِمن الْ ُقر‬
َ َ ‫ َزَّو ْجتُ َك َها َعلَى َم َع‬,‫ك م َن الْ ُق ْرآن وفىرواية‬ ََ َ ْ َ ْ َ َ ‫َم َع‬
9 ِ ‫ك ِمن الْ ُق‬
)‫رآن (احلديث‬ ِ
َ َ ‫ َملَكْتُ َك َها ِبَا َم َع‬,‫وفىرواية‬

Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang


bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang
laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-
laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal
sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki tersebut: Aku
nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan
ayat Alquran.

Dalam satu riwayat disebutkan:

“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa


(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

8
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h.126
9
Musya>riy sa’i>d al muthrafiy, a>ra’ Muhammad rasyi>d ridha> al ‘aqa>’idiyyah fi> asyra>th assa>’ah al
kibariy wa a>tsariha>, (al Kuwait: maktabah al ima>m addhahabiy linnasyr wa attauzi>’i) hal 325.

6
“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”

Dan dalam riwayat lain disebutkan:

“Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Alquran.” (Al-Hadis).

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan
zikir yang artinya adalah penyebutan. Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah
kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis.
Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan
lafaz yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu
meriwayatkan hadis dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW.
Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan
kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya
dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz atau
susunan redaksi mereka sendiri.
B. Saran
Demikianlah makalah ini penulis buat, berharap makalah ini bermanfaat dan
dapat memahami makalah ini dengan mudah, kritik dan saran dari pembaca
merupakan sebuah keniscayaan untuk melengkapi makalah ini.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ritonga, A.Rahman, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, 2011. Yokyakarta: Interpena.

Suparta, Munzier. 2006. Ilmu Hadit. Jakarta: PT raja Grafindo Persada.

Jasim, Abdul Aziz Ahmad. Hukum Riwayat Hadis Nabawai Bil Ma’na. Kuwait:Jami’ah
Kuwait.

Soetari, Endang. 1997. Ulumul Hadis. Bandung: Amal Bakti Press.

Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h.126

Anda mungkin juga menyukai