Anda di halaman 1dari 25

MATERI MENGENAI MU'AMALAH

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah


“PENDIDIKAN AGAMA”
Semester I Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
Tahun Akademik 2023

Oleh:

Sonia Eka Lestari


NIM. 80300223024

Dosen Pengampu Mata Kuliah:

Dr. Hj. Risna, Lc. M. Th. I.

PROGRAM PASCA SARJANA (S2)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
ALAUDDIN MAKASSAR

i
ii

DAFTAR ISI

SAMPUL....................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1

A. Latar Belakang................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.............................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 4

A. Bentuk-bentuk periwayatan Hadis dari Nabi..................................... 4

B. Periwayatan lafzi dan maknawi Hadis................................................ 7

C. Tahamul wa ada’ al-Hadith............................................................... 17

BAB III KESIMPULAN.............................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 23

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam yang penting, selain

Alqur'an. Keduanya berfungsi sebagai panduan dan pengawas bagi perilaku dan

tindakan manusia. Alqur'an dianggap sebagai sumber mutlak kebenaran, sedangkan

status periwayatan Hadis Nabi masih perlu dipertimbangkan apakah berasal dari Nabi

atau tidak.1

Walaupun begitu, Hadis memiliki peran yang signifikan dalam menjelaskan

ayat-ayat Alqur'an yang memiliki karakteristik yang berbeda, seperti yang bersifat

Muhkamat maupun Mutasabiat. Oleh karena itu, Hadis memiliki nilai penting sebagai

penjelasan tambahan dalam memahami ajaran Islam. Namun, dalam praktiknya,

seringkali manusia menghadapi Hadis yang tidak memenuhi kriteria tertentu, yang

dikenal sebagai Hadis lemah atau tertolak, baik dari segi Sanad (rantai perawi)

maupun Matan (isi). Perbedaan ini disebabkan oleh keragaman orang yang menerima

dan meriwayatkan Hadis Rasulullah. Berbagai macam Hadis telah menimbulkan

kontroversi di kalangan umat Islam, dengan kritik dan protes yang terus muncul

karena berbagai analisis atas keabsahan Hadis, baik dari segi kejelasan Sanadnya

maupun tumpang tindih maknanya dalam Matan.2

Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana periwayatan Hadis oleh

Nabi kepada sahabat, serta cara sahabat-sahabat meriwayatkannya. Hal ini akan

1
M. Ichsan dan E. Dewi, Hukum Islam Sebagai Monitoring Perubahan Sosial (Al-Mashadir:
Jurnal Ilmu Hukum dan Ekonomi Islam, 2023), hal. 71-82.
2
M. Ichsan dan E. Dewi, Hukum Islam Sebagai Monitoring Perubahan Sosial, hal. 71-82.

1
2

membantu kita membedakan mana Hadis yang sahih dan mana yang tidak sahih

dalam ajaran Islam.

Proses dalam konteks sebuah Hadis adalah periwayatannya, yaitu bagaimana

sebuah Hadis dapat dilestarikan mulai dari masa Nabi hingga saat ini. Tentu saja, ada

metode dan teknik khusus yang digunakan oleh perawi untuk menerima dan

menyampaikan Hadis tersebut. Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan lebih

lanjut mengenai proses periwayatan Hadis.3

Banyak di antara kita hanya mengenal isi atau matan dari sebuah Hadis, tanpa

memahami bagaimana Hadis tersebut disampaikan, mulai dari zaman Nabi hingga

saat para ulama mengkompilasi Hadis tersebut dalam buku-buku. Karena banyaknya

orang yang kurang akrab dengan aspek periwayatan Hadis, makalah ini akan

membahas topik tersebut dengan judul “teknik periwayatan Hadis”.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah tersebut dan untuk memfokuskan

pembahasan ini, maka dipandang perlu untuk merumuskan permasalahan yang

terkait, yaitu:

1. Bagaimana bentuk-bentuk periwayatan Hadis dari Nabi?

2. Bagaimana periwayatan lafzi dan maknawi Hadis?

3. Bagaimana tahamul wa ada’ al-Hadith?

3
S. S. Ummah, Digitalisasi Hadis (Studi Hadis Di Era Digital) (Diroyah: Jurnal Studi Ilmu
Hadis, 2019), hal. 41.

2
3

C. Tujuan Penulisan

Sehubungan dengan pemaparan materi dan rumusan masalah di atas maka

kami melakukan penulisan makalah ini dengan tujuan:

1. Mengetahui bentuk-bentuk periwayatan Hadis dari Nabi.

2. Mengetahui periwayatan lafzi dan maknawi Hadis.

3. Mengetahui tahamul wa ada’ al-Hadith.

3
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Bentuk-bentuk Periwayatan Hadis dari Nabi

Periwayatan Hadis adalah langkah di mana seorang Rawi menerima Hadis

dari seorang guru, lalu setelah memahaminya, menghafalnya, merenungkannya,

mengaplikasikannya dalam kehidupan, mendokumentasikannya, dan kemudian

menyampaikannya kepada orang lain sebagai murid dengan mencantumkan sumber

informasi riwayat tersebut.4

Dalam bahasa Indonesia, kata “riwayat”, yang berasal dari bahasa Arab,

memiliki beberapa makna, seperti cerita, sejarah, dan tambo. Namun, dalam konteks

Ilmu Hadis, istilah “riwayat” merujuk pada proses penerimaan dan penyampaian

Hadis, serta pengaitan Hadis tersebut ke dalam rangkaian periwayatan dengan format

tertentu. Sedangkan menurut Ilmu Hadis yang dimaksud periwayat adalah kegiatan

penerimaan dan penyampaian Hadis, serta penyandaran Hadis itu kepada rangkaian

para periwayatan dengan bentuk-bentuk tertentu, orang yang telah menerima Hadis

dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan Hadis itu pada orang lain

maka dia disebut periwayat, sekiranya orang tersebut menyampaikan Hadis yang

telah diterimanya oleh orang lain, tetapi ketika menyampaikan Hadis itu dia tidak

menyebutkan rangkaian para periwayatnya maka orang tersebut juga tidak dapat

dikatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan Hadis.5

4
C. Fauziah, I ‘Tibār Sanad dalam Hadis (Al-Bukhari: Jurnal Ilmu Hadis, 2018), hal. 123-
142.
5
M. Asrullah, Teknik Periwayatan Hadits (IQRA: Jurnal Magister Pendidikan Islam, 2023),
hal. 96-107.

4
5

Jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan Hadis yakni:6

1. Kegiatan menerima Hadis dari periwayat Hadis.

2. Kegiatan menyampaikan hadis itu kepada orang lain.

3. Ketika hadis itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.

Cara periwayatan memperoleh dan menyampaikan Hadis pada zaman Nabi

tidaklah sama dengan zaman sahabat Nabi. Demikian pula periwayatan pada zaman

sahabat tidak sama dengan periwayatan pada zaman sesudahnya. Cara periwayatan

Hadis-hadis pada zaman Nabi lebih terbatas dari syarat-syarat tertentu bila

dibandingkan dengan periwayatan pada zaman sesudahnya. Hal ini disebabkan

karena pada zaman Nabi selain tidak ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya

pemalsuan Hadis. Juga karena pada zaman itu seseorang akan lebih mudah

melakukan pemeriksaan. Sekiranya ada Hadis yang diragukan kesahihannya. Makin

jauh jarak waktu dan Masa hidup Nabi, makin sulit pengujian kebenaran suatu Hadis.

Pada umumnya Ulama membagi tata cara atau sistem penerimaan dan

penyampaian hadis kepada delapan macam yaitu:7

1. “Sama Min Lafadz al-Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan

gurunya, baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dibaca

dari tulisannya, maupun mendengar dari balik hijab, asal berkeyakinan

bahwa suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian dia sampaikan

kepada orang lain. Cara “sama” oleh mayoritas ulama dinilai tinggi

kualitasnya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan

riwayah. Lafazh-lafazh yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan

Hadis atas dasar “sama” adalah:

6
M. Asrullah, Teknik Periwayatan Hadits, hal. 96-107.
7
M. Asrullah, Teknik Periwayatan Hadits, hal. 96-107.

5
6

a. ‫ اخبر نى‬- ‫ = اخبر نا‬Seorang telah mengabarkan kepadaku/kami.

b. ‫ حد ثنى‬- ‫ = حد ثنا‬Seorang telah bercerita kepadaku/kami.

c. ‫ سمعت‬- ‫ = سمعنا‬Saya telah mendengar, kami telah mendengar.

2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh (‘aradh) yakni murid membaca Hadis didepan

gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar dan yang

meriwayatkan.

a. ‫ = قر ات عليه‬saya membacakan dihadapannya.

b. ‫ = ق]]رئ على فالن وان]]ا اس]]مع‬Dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru)

sedang saya mendengarkannya.

c. ‫ = حدثنا واخبر نا قرا ءة عليه‬Telah mengabarkan/menceritakan padaku secara

pembacaan dihadapannya.

3. Ijazah yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk

meriwayatkan Hadis darinya atau dari kitab-kitabnya. Hal ini dibagi dalam

tiga kategori yakni:

a. Izin untuk meriwayatkan suatu yang tertentu kepada orang tertentu.

b. Izin untuk meriwayatkan suatu yang tidak tertentu kepada orang tertentu.

c. Izin untuk meriwayatkan suatu yang tidak tertentu kepada orang yang

tidak tertentu.

4. Munawalah yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada

muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkannya.

5. Mukhtabah yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang

lain untuk menulis beberapa Hadis kepada orang ditempat lain atau yang ada

dihadapannya.

6
7

6. Wijadah yaitu memperoleh tulisan Hadis orang lain yang tidak

diriwayatkandengan sama’, qira’ah maupun selainnya, dari pemilik Hadis

atau pemilik tulisan tersebut.

7. Wishilah yaitu pesan seseorang dikala akan meninggal atau bepergian

dengan sebuah kitab atau tulisan supaya diriwayatkan.

8. I’lam yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa Hadis yang

diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru

dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.

B. Lafzi dan Maknawi Hadis

Kata al-Riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti al-naql

(penukilan), al-istisqa (pemberian minum sampai puas), al-dzikr (penyebutan).

Dalam bahasa Indonesia kata riwayat yang berasal dari bahasa Arab itu mempunyai

arti antara lain: cerita, sejarah, dan tambo.8

Al-Riwayat menurut istilah ilmu Hadis berarti kegiatan penerimaan dan

penyampaian Hadis, serta penyandaran Hadis itu kepada rangkaian para perawinya

dengan bentuk-bentuk tertentu. Berangkat dari latar belakang inilah penulis

memandang bahwa pembahasan ini patut dikaji secara mendalam agar dapat

diketahui bagaimana cara penyampaian hadis setelah Nabi meninggal, juga tentang

apa dan bagaimana periwayatan hadis lafzi dan maknawi.

1. Periwayatan lafzi
8
H. Nadhiran, Periwayatan Hadis Bil Makna: Implikasi dan Penerapannya sebagai
‘Uji’Kritik Matan di Era Modern (Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena
Agama, 2023), hal. 187-207.

7
8

Periwayatan lafzi merupakan periwayatan hadis yang redaksi atau

matannya sama persis seperti yang diwurudkan Rasulullah. Tentu saja para

sahabat bisa melakukan ini, di samping karena bersentuhan langsung dengan

sahib al hadith, juga karena mereka diberikan kecakapan langsung oleh Allah

SWT untuk mengingatnya, mengulang-ulangnya, dan disertai dengan rasa ta`zim

terhadap ajaran yang diajarkannya.9

Kebanyakan sahabat pada dasarnya mengharuskan periwayatan hadis

melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi

Rasulullah SAW, bukan menurut redaksi mereka. Bahkan, seperti dikatakan

`Ajjaj al Khatib bahwa sebenarnya, seluruh sahabat menginginkan agar

periwayatan itu dengan lafzi, bukan dengan maknawi.10

Di antara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis

dengan lafzi adalah Ibn `Umar. Ia sering menegur sahabat yang membacakan

hadis yang berbeda dengan apa yang didengar dari Rasulullah SAW, seperti yang

dilakukannya terhadap `Ubayd bin `Amir. Suatu ketika seorang menyebutkan

hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan puasa Ramadan pada urutan

ketiga. Ibn `Umar serentak menyuruh ia meletakkannya pada urutan keempat,

sebagaimana yang didengar dari Rasulullah SAW.11

Periwayatan hadis secara lafzi ini tentu untuk hadis-hadis qawliyah (sabda)

saja. Sedang, hadis-hadis yang fi`liyah dan taqririyah, karena sifatnya, tidak

dapat disampaikan secara lafziyah. Hadis yang dalam bentuk sabda pun sangat

9
F. Nafsiyah, Periwayatan Hadis Lafzi Vs MaNawi (Al-Thiqah: Jurnal Ilmu
Keislaman, 2019), hal. 50-71.
10
F. Nafsiyah, Periwayatan Hadis Lafzi Vs MaNawi, hal. 50-71.
11
Mu’awanah, Perkembangan Hadis pada Masa Sahabat: (Taqlil wa Tathabbut min al-
Riwayah) (Kaca (Karunia Cahaya Allah): Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin, 2019), hal. 126-147.

8
9

sulit seluruhnya diriwayatkan secara lafzi, terkecuali untuk sabda-sabda tertentu.

Kesulitan periwayatan secara lafz bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin

seluruh sabda itu dihafal secara harfiyah, melainkan juga karena kemampuan

hafalan itu dan tingkat kecerdasan sahabat Nabi tidak sama.12

Walaupun tidak mungkin seluruh sabda Nabi dihafal oleh para sahabat,

tetapi tidak berarti bahwa tidak ada sabda Nabi yang telah berhasil dihafal dan

kemudian diriwayatkan secara harfiyah oleh para sahabat. Ada beberapa kondisi

tertentu yang memberi peluang sehingga sahabat dapat menghafal dan

meriwayatkan sabda Nabi secara harfiyah. Diantara kondisi itu adalah:13

Pertama, Nabi dikenal fasih dalam berbicara dan isi pembicaraannya

berbobot. Nabi berusaha menyesuaikan sabdanya dengan bahasa (dialek),

kemampuan intelektual, dan latar belakang budaya audience-nya. Sekadar contoh

dapat dikemukakan dua riwayat berikut:

a. Ketika `Asim al Ash`ari bertanya kepada Nabi tentang hukum berpuasa

bagi orang yang dalam perjalanan, Nabi menjawab dengan dialek si

penanya, yakni dialek suku al Ash`ari:

‫ليس من أم بٌر أم صيام في أم سفر‬

Dalam riwayat lain, Nabi menyampaikan sabda yang sama dengan dialek

bahasa baku (fushah):

‫ليس من البٌر الصيام في السفر‬

Bukanlah suatu kebajikan orang berpuasa dalam perjalanan.

b. Seorang laki-laki mengingkari anak yang dilahirkan oleh istrinya, karena

anak itu berkulit hitam legam yang berbeda dengan kulitnya. Orang itu

12
F. Nafsiyah, Periwayatan Hadis Lafzi Vs MaNawi, hal. 50-71.
13
F. Nafsiyah, Periwayatan Hadis Lafzi Vs MaNawi, hal. 50-71.

9
10

mengadu dan bertanya kepada Nabi. Dalam memberikan jawaban, Nabi

mengajak orang itu untuk memikirkan apakah mungkin seekor unta yang

berkulit merah, seperti halnya unta yang dimiliki oleh orang itu, dapat

melahirkan unta yang berkulit hitam, apabila nenek moyang unta itu ada

yang berkulit hitam. Orang itu membenarkan kemungkinan terjadinya.

Dengan demikian, apa yang disabdakan oleh Nabi memiliki kesan yang

dalam bagi pendengar dan sekaligus dimungkinkan mudah dihafalnya.

Kedua, Untuk sabda-sabda tertentu Nabi menyampaikannya dengan

diulang tiga atau dua kali. Tidak jarang, Nabi menyampaikan sabdanya dengan

cara merinci masalah yang sedang diterangkannya. Kesemuanya itu dimaksudkan

agar para sahabat yang mendengarnya dapat memahami dan mengingatnya

dengan baik. Dengan demikian, para sahabat akan mudah menghafal dan

menyampaikan sabda itu kepada yang tidak hadir.

Ketiga, tidak sedikit sabda Nabi yang disebutkan dalam bentuk jawami` al

kalim, yakni ungkapan pendek tetapi sarat makna. Misalnya sabda Nabi yang

menyatakan ‫( الحرب خد عة‬perang itu siasat). Ungkapan-ungkapan yang demikian

ini mudah dipahami dan dihafal secara lafzi oleh para sahabat.

Keempat, di antara sabda Nabi ada yang disampaikan dalam bentuk doa,

dzikir dan bacaan tertentu dalam ibadah. Sabda-sabda itu tidak hanya

disampaikan satu kali saja, tetapi berkali-kali, bahkan ada yang disabdakan setiap

hari. Sekiranya bacaan itu pun tidak diulang-ulang oleh Nabi, niscaya para

sahabat yang mendengarnya akan mudah juga memahami dan menghafalnya.

Sebab, kalimat-kalimat dari sabda itu menyentuh langsung hubungan manusia

sebagai hamba dengan Allah sebagai Yang Maha Kuasa.

10
11

Kelima, orang-orang Arab sejak dahulu sampai sekarang dikenal sangat

kuat hafalannya. Pada zaman Nabi, umumnya mereka masih buta huruf. Bagi

orang-orang yang buta huruf, bahasa tutur menjadi sangat dominan. Karenanya

tidaklah mengherankan jika pada zaman Nabi tidak sedikit jumlah sahabat yang

dengan mudah menghafal Qur’an dan hadis Nabi. Kekuatan hafalan orang-orang

Arab tersebut memberikan peluang akan banyaknya hadis Nabi yang

diriwayatkan secara lafaz oleh para sahabat.

Mahzab yang mengharuskan periwayatan hadis secara lafzi adalah:14

a. Dari golongan sahabat

1) `Abd al Lah bin `Umar. Dia ketat (mutashaddid) dalam menjaga lafaz

hadis Nabi, sehingga dia tidak menambah dan mengurangi huruf atau

kata, ia tidak pula mendahulukan atau mengakhirkannya dalam

periwayatan. Diriwayatkan dari Abu Ja`far Muhammad bin `Ali, dia

berkata: “tidak ada satupun dari sahabat Nabi SAW ketika mendengar

hadis, yang tidak menambah ataupun mengurangi dan tidak pula

meringkasnya seperti `Abd al Lah bin `Umar. Dalam suatu riwayat, dia

pernah menegur sahabat `Ubayd al Lah bin `Umar yang mengganti

lafaz al Shat al `A ’irah (domba yang cacat) dengan lafaz al Shat al

Rabidah (domba yang lemah).

2) Abu Umamah diriwayatkan dari Habib bin `Ubayd “sesungguhnya

Abu Umamah telah menyampaikan hadis kepada kita sesuai apa yang

didengarnya.”

14
M. Ariffin, Manhaj Al-Imam Al-Shafi'i Dalam Periwayatan Hadith: Penelitian Terhadap
Karya Ikhtilaf Al-Hadith (ALBASIRAH JOURNAL, 2022), hal. 1-11.

11
12

3) `Umar bin al Khattab. Dia berkata “barang siapa yang mendengar

hadis dan menyampaikannya sesuai dengan apa yang didengarnya,

maka dia akan selamat.”

b. Dari golongan tabi’in, yaitu:

Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr (106 H), ia dididik oleh Aishah,

maka ia termasuk perawi yang paling mengetahui hadis dari Aishah.

Tabi` berikutnya, Muhammad bin Sirin (110 H), Raja’ bin Haywah dan

Tawus bin Kaysan (724 H).

c. Dari golongan atba` tabi, yaitu Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zayd,

Ahmad bin Hanbal dan Khalid bin Harith.

Adapun usaha-usaha mereka dalam menjaga matan hadis di antaranya: 1)

Mengulang-ulang hadis dari gurunya, agar hafalan mereka kuat; 2) Membagi

hadis yang panjang dan hadis yang pendek agar mudah dihafal; 3) Membaca

hadis di depan gurunya untuk men-tashih hadis dan menguatkannya; 4)

Meninggalkan hadis-hadis yang terdapat keraguan; 5) Menulis hadis dan

memperlihatkannya kepada gurunya; 6) Karena berhati-hati, mereka tidak

memberikan hadis kecuali ada tulisannya, mereka takut adanya wahm dan

percampuran dalam periwayatnnya.15

2. Periwayatan Maknawi

Periwayatan maknawi adalah periwayatan hadis yang disampaikan oleh

sahabat dengan mengemukakan maknanya saja, tidak menurut lafaz-lafaz seperti

15
F. Nafsiyah, Periwayatan Hadis Lafzi Vs MaNawi, hal. 50-71.

12
13

yang diucapkan oleh Rasul, tanpa ada sedikitpun yang menyimpang. Jadi, bahasa

dan lafaz hadis disusun oleh sahabat sendiri, sedangkan isinya berasal dari Nabi.

Oleh karena itu, banyak hadis yang memiliki maksud yang sama tetapi dengan

redaksi matan yang berbeda.16

Misalnya dalam mendeskripsikan tingkah laku Nabi yang disaksikan oleh

para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda, meski maksudnya

sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat

berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda.

Para sahabat Nabi umumnya membolehkan periwayatan hadis dengan

makna. Di antara mereka ialah `Ali bin Abi Talib, `Abd al Lah bin `Abbas, `Abd

al Lah bin Mas`ud, Anas bin Malik, Abu Darda’, Abu Hurayrah, dan `Aishah.

Sebagian kecil saja dari kalangan sahabat cukup ketat berpegang pada

periwayatan dengan lafaz. Walaupun demikian, mereka yang ketat berpegang

pada periwayatan secara lafaz tidak melarang secara tegas sahabat lain

meriwayatkan hadis secara makna. Tampaknya mereka memahami bahwa

bagaimanapun juga memang sangat sulit seluruh apa yang disabdakan Nabi

diriwayatkan secara lafaz.17

Ulama mempersoalkan boleh tidaknya selain sahabat Nabi meriwayatkan

hadis secara makna. Abu Bakr bin `Arabi (573 H) berpendapat selain sahabat

Nabi tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Menurut Ibn

`Arabi, sahabat Nabi diperbolehkan meriwayatkan hadis secara makna. Karena

mereka memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al fasahah wa al

16
F. Nafsiyah, Periwayatan Hadis Lafzi Vs MaNawi, hal. 50-71.
17
Abdul Majid Khan, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Bumi Aksara, 2014),
hal. 30.

13
14

balaghah) dan menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi. Ulama

lainnya yang juga dikenal sangat ketat berpegang pada periwayatan secara lafaz

yakni Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, Tha`lab

bin Nahwi, dan Abu Bakr al Razi. Tetapi kebanyakan ulama hadis membolehkan

periwayatan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan. Ketentuan itu cukup

beragam. Walaupun demikian, ada beberapa ketentuan yang disepakati, yakni:18

a. Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang

benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Dengan

demikian, periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan,

misalnya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

b. Periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa, misalnya

karena lupa susunan secara harfiyahnya.

c. Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk

bacaan yang sifatnya ta`abudi, misalnya dzikir, doa, azan, takbir dan

syahadat, serta bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami` al kalim.

d. Periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna, atau yang mengalami

keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkan, agar menambah

kata-kata ‫ أو كما قل‬atau ‫ أو نحو ذالك‬atau yang semakna dengannya, setelah

menyatakan matan hadis yang bersangkutan.

e. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa

sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa

pembukuan (tadwin) hadis yang dimaksud, periwayatan hadis harus

secara lafaz.

18
Abdul Majid Khan, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal. 32.

14
15

f. Mengetahui tema hadis dan maksud ucapan (hadis) Nabi, sehingga dia

yakin bahwa memang itulah yang dimaksud, bukan hanya sekadar

dugaan.

g. Hendaknya periwayat mendalami ilmu syari’ah, fiqh dan uslubnya, agar

mampu memahami hadis yang mengandung persoalan syar`i. Al Shafi`i

menyifati periwayat yang meriwayatkan hadis dengan maknanya haruslah

periwayat yang thiqah dalam agamanya, mengetahui kebenaran hadis

yang disampaikan, latar belakang hadis, dan mengetahui apa saja yang

bisa merubah arti dari lafaz-lafaz yang dipakai.

Periwayatan hadis dengan makna, tanpa meriwayatkan lafaz asli termasuk

haram untuk orang yang tidak mengerti maksud Sabda Nabi. Adapun bagi orang

yang mengerti dan memahami dengan baik maksud Sabda, mengetahui

perbedaan antara hadis yang muhtamal dan ghayr al muhtamal, sabda yang jelas

dan lebih jelas, yang umum dan lebih umum, maka diperbolehkan meriwayatkan

hadis dengan makna.

Periwayatan secara makna juga bukan hanya mengakibatkan terjadinya

perbedaan redaksi semata, melainkan juga mengakibatkan timbulnya perbedaan

penggunaan kata-kata. Karenanya, dapat saja terjadi ada kata-kata tertentu yang

termaktub dalam suatu hadis di kitab-kitab hadis belum pernah dikenal pada

zaman Nabi. Kata-kata itu muncul dalam riwayat hadis, karena periwayat hadis

yang hidup sesudah lama Nabi wafat, memakai kata-kata yang diduga memiliki

kesamaan arti yang berasal dari zaman Nabi.19

19
Kusroni, Mengenal Tuntas Seluk Beluk Periwayatan Hadis (Riwayah: Jurnal Studi
Hadis, 2018), hal. 273.

15
16

Adapun dalil pembolehan riwayat bi al ma`na menurut al Shafi`i adalah

sebagai berikut:20

‫أنزل القرٱن على سبعة أحرف فاقرْو ا ماتيسرمنه‬


Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah apa-apa yang
mudah dari al-Qur’an.
Al Shafi`I berkata: Allah berbelas kasih kepada manusia dengan

menurunkan al-Qur’an dengan tujuh huruf untuk memudahkan bacaannya

walaupun dengan lafaz yang berbeda-beda. Perbedaan itu boleh dilakukan

selama tidak merubah makna.

Al Mawardi mengatakan bahwa riwayat bi al ma`na dibolehkan jika

periwayat yang bersangkutan lupa lafaznya karena hadis mencakup lafaz dan

makna, dan ketika seseorang lupa dengan salah satu lafaz, maka harus

disampaikan dengan lafaz lainnya. Jika seseorang tidak menyampaikan apapun

tentang hadis Nabi maka seseorang itu dianggap menyembunyikan ilmu dan

hukum. Namun jika tidak lupa, maka tidak boleh menyampaikan kecuali dengan

lafaz sebagaimana yang ia dengar. Hal itu karena kalam Nabi mengandung

fasahah yang tidak seperti kalam yang lainnya. Namun demikian, ada juga yang

berpendapat bahwa rukhsah riwayat bi al ma`na hanya dikhususkan untuk

sahabat Nabi, dengan alasan bahwa sahabat dan Nabi SAW adalah termasuk

orang-orang yang fasih dalam berbahasa dan mengetahui peristiwa yang

dimaksudkan oleh hadis.

Ada satu hal yang perlu diperhatikan dan diingat, yaitu bahwa perbedaan

pendapat sehubungan dengan periwayatan hadis dengan makna itu hanya terjadi

pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadis. Setelah hadis

20
Kusroni, Mengenal Tuntas Seluk Beluk Periwayatan Hadis, hal. 273.

16
17

dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan

periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis dalam kitab-kitab itu,

karena tidak perlu lagi menerima periwayatan hadis dengan makna.

C. Tahamul Wa Ada’ Al-Hadith

Tahamnul wa ada' al-Hadis adalah kegiatan atau tata cara penerimaan. dan

penyampaian riwayat Hadis. Pada umumnya ulama membagi tata cara penerimaan

riwayat Hadis kepada delapan macam.21

1. Al-Sama' ( ‫) الس]]ماع‬, yaitu cara penerimaan Hadis melalui pendengaran.

Dengan cara ini biasanya ulama Hadis menyampaikan Hadis Nabi kepada

murid-muridnya secara lisan sementara muridnya mendengarkan, baik

Hadis-hadis itu yang sudah ada dalam hafalan syeikh ataupun dengan

membacakan Hadis-hadis yang sudah ditulisnya dalam suatu kitab. Menurut

jumhur ulama cara penerimaan Hadis dengan al-sama ' mi merupakan cara

yang tertinggi kualitasnya. Namun ada ulama yang berpen- dapat bahwa

yang tertinggi adalah Hadis dengan al-sama' wa alkitabat ( ‫ ) السماع والكتابة‬jadi

bukan semata-mata dengan al-sama' saja.

2. Al-Qira 'ah ( ‫) الق]]راءة‬, yaitu cara menerima Hadis dengan membacanya

sendiri di hadapan guru. Sementara guru memperhatikan dengan seksama

serta· mengadakan perbaikan jika diperlukan. Penerimaan Hadis dalam

bentuk ini tidak selamanya yang bersangkutan harus membacakan Hadis itu,

tapi bisa saja orang lain yang membacakan selain gurunya.

21
B. Gani, Periwayatan Hadis dengan Makna Menurut Muhadditsin (Jurnal Ilmiah Al-Mu
ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif, 2019), hal. 32-44.

17
18

Ada yang berpendapat bahwa cara penerimaan Hadis model ini lebih baik

dari pada al-sama'. Karena dengan teknik ini, guru secara langsung dapat

membetulkan muridnya jika terjadi kesalahan, sementara dengan teknik al-sama'

tidak ada orang yang membetulkan jika salah dalam menyampaikan Hadis.

Dengan demikian barangkali dapat dikatakan bahwa penerimaan. riwayat

dengan al-qira 'ah pada dasamya lebih korektif dari pada penerimaan riwayat

dengan cara al-sama’. Kata-kata atau istilah yang dipakai untuk periwayatan cara

al-qira'ah, yang disepakati ulama, adalah:

a. ‫ق]]رأت على فالن‬, kata-kata ini dipakai bila periwayat membaca sendiri di

hadapan guru Hadis yang menyimaknya.

b. ‫ق]]رأت على فالن وإن اس]]مع فاقرب]]ه‬, kata-kata ini dipakai bila periwayat tidak

membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan bacaan orang lain, sedang

guru Hadis menyimaknya.

3. Al-Ijazah ( ‫) اإلجازة‬, yaitu suatu cara di mana seorang guru mengijazahkan

yang diriwayatkannya kepada murid-muridnya untuk meriwayatkan Hadis

dari padanya. Dengan cara ini, guru cukup mengucapkan

‫اجزتكم رواية‬

‫كتابالجيوع من صحيح البخارى عنى‬

misalnya, yang berarti bahwa guru tadi telah mengizinkan murid-muridnya

meriwayatkan Hadis Bukhari secara keseluruhan atau sebahagiannya.

4. Al-Munawalah ( ‫) لمناولة‬, yaitu bila seorang muhadisin memberikan Hadis

atau kitab Hadis kepada muridnya untuk diriwayatkan. la mengatakan hadza

min Hadisi

18
19

‫ هذا من حديثى‬atau ‫ هذا من س]ما ع]]تى‬. Periwayatan dengan bentuk ini dibedakan

kepada dua macam, yaitu ada yang berbentuk murni, dalam arti ia

memberikan Hadis itu tanpa pemberian ijazah. Dan ada pula pemberian itu

disertai dengan pemberian ijazah.

5. Al-Kitabah ( ‫) الكتا بة‬, yaitu cara penerimaan Hadis di mana seorang guru

menuliskan Hadis-hadisnya untuk diberikan kepada orang yang hadir

maupun tidak hadir, baik Hadis itu ditulisnya sendiri atau ia memerintahkan

orang Iain untuk menulisnya. Periwayatan dengan al-Kitabah ada dua

macam. Pertama, penulisan yang disertai ijazah, dan kedua penulisan yang

tidak disertai ijazah.

6. Al-i'lam ( ‫) االعالم‬, yaitu cara di mana guru memberitahukan muridnya bahwa

Hadis, kitab Hadis tertentu merupakan bagian dari riwayatnya; tetapi dalam

pemberitahuan ini ia tidak memberikan ijazah kepada muridnya. Jumhur ahli

Hadis berpendapat bahwa periwayatan seperti ini dibolehkan. Sebab

pemberitahuan guru pada muridnya berarti pemberian ijazah kepadanya,

sebab hal itu merupakan suatu indikator bahwa guru rela bila muridnya

menyampaikan Hadis-hadisnya. lni adalah pendapat sebagian mutaqaddirnin

seperti ibn Jurajj dan mayoritas ulama mutaakhirin. Dan ada juga pendapat

lain yang mengatakan bahwa penerimaan Hadis dalam bentuk al-I'lam harus

disertai dengan pemberian ijazah, jika tidak maka periwayatan Hadis itu

tidak sah.

7. Al-Washiyyah ( ‫) الو صية‬, yaitu jika seseorang mewasiatkan Hadis atau kitab

Hadis yang diriwayatkannya kepada orang lain karena berbagai sebab seperti

ia wafat atau melakukan perjalanan dan lain-lain. Sebagian ulama salaf

19
20

berpendapat bahwa cara penerimaan Hadis seperti ini boleh meriwayatkan

Hadis-Hadis yang telah diperolehnya itu. Namun Jalaluddin as-Suyuthi tidak

membolehkannya. Penerimaan Hadis seperti ini sebenarnya jarang terjadi.

8. Al-Wijdah ( ‫) الو جلة‬, yaitu cara penerimaan Hadis melalui tulisan-tulisan,

shahifah maupun buku- buku. Dalam hal ini biasanya seseorang memperoleh

Hadis Nabi dalam kitab yang ditulis oleh ulama yang sejaman dengannya

atau tidak. Apabila penerima Hadis ini tidak sejaman dengannya, maka al-

Wijdah baru dibenarkan jika si penemu sudah dapat membuktikan secara

benar bahwa tulisan tersebut tulisan Syeikh Umar umpamanya. Oleh karena

itu al-Wijdah harus diteliti kebenarannya baik melalui kabar mutawatir,

kesaksian ataupun karena kepopuleran kitab tersebut.

20
21

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Cara periwayatan memperoleh dan menyampaikan Hadis pada zaman Nabi

tidaklah sama dengan zaman sahabat Nabi. Demikian pula periwayatan pada

zaman sahabat tidak sama dengan periwayatan pada zaman sesudahnya.


Cara periwayatan Hadis-hadis pada zaman Nabi lebih terbatas dari syarat-

syarat tertentu bila dibandingkan dengan periwayatan pada zaman

sesudahnya. Hal ini disebabkan karena pada zaman Nabi selain tidak ada

bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan Hadis. Juga karena pada

zaman itu seseorang akan lebih mudah melakukan pemeriksaan. Sekiranya

ada Hadis yang diragukan kesahihannya.

2. Periwayatan lafzi merupakan periwayatan hadis yang redaksi atau matannya

sama persis seperti yang diwurudkan Rasulullah. Tentu saja para sahabat

bisa melakukan ini, di samping karena bersentuhan langsung dengan sahib

al hadith, juga karena mereka diberikan kecakapan langsung oleh Allah

SWT untuk mengingatnya, mengulang-ulangnya, dan disertai dengan rasa

ta`zim terhadap ajaran yang diajarkannya. Sedangkan periwayatan maknawi

adalah periwayatan hadis yang disampaikan oleh sahabat dengan

mengemukakan maknanya saja, tidak menurut lafaz-lafaz seperti yang

diucapkan oleh Rasul, tanpa ada sedikitpun yang menyimpang.

21
22

3. Tahamnul wa ada' al-Hadis adalah kegiatan atau tata cara penerimaan. dan

penyampaian riwayat Hadis. Pada umumnya ulama membagi tata cara

penerimaan riwayat Hadis kepada delapan macam.

22
23

DAFTAR PUSTAKA

Ariffin, M. Manhaj Al-Imam Al-Shafi'i Dalam Periwayatan Hadith: Penelitian


Terhadap Karya Ikhtilaf Al-Hadith. ALBASIRAH JOURNAL, 2022.
Asrullah, M. Teknik Periwayatan Hadits. IQRA: Jurnal Magister Pendidikan Islam,
2023.
Fauziah, C. I ‘Tibār Sanad dalam Hadis. Al-Bukhari: Jurnal Ilmu Hadis, 2018.
Gani, B. Periwayatan Hadis dengan Makna Menurut Muhadditsin. Jurnal Ilmiah Al-
Mu ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif, 2019.
Ichsan, M. dan E. Dewi. Hukum Islam Sebagai Monitoring Perubahan Sosial. Al-
Mashadir: Jurnal Ilmu Hukum dan Ekonomi Islam, 2023.
Kusroni. Mengenal Tuntas Seluk Beluk Periwayatan Hadis. Riwayah: Jurnal Studi
Hadis, 2018.
Majid Khan, Abdul. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Bumi Aksara,
2014.
Mu’awanah. Perkembangan Hadis pada Masa Sahabat: (Taqlil wa Tathabbut min
al-Riwayah). Kaca (Karunia Cahaya Allah): Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin,
2019.
Nadhiran, H. Periwayatan Hadis Bil Makna: Implikasi dan Penerapannya sebagai
‘Uji’Kritik Matan di Era Modern. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin,
Pemikiran, Dan Fenomena Agama, 2023.
Nafsiyah, F. Periwayatan Hadis Lafzi Vs MaNawi. Al-Thiqah: Jurnal Ilmu
Keislaman, 2019.
Ummah, S. S. Digitalisasi Hadis (Studi Hadis Di Era Digital). Diroyah: Jurnal Studi
Ilmu Hadis, 2019.

23

Anda mungkin juga menyukai