Anda di halaman 1dari 16

ULUMUL HADITS

“SANAD”
Dosen Pembimbing
Dr. Kholis Thohir, MA

D
i
S
u
s
u
n
OLEH
KELOMPOK 9
Leo Prayoga Harefa : 21.01.16.029
Legiyo Susanto :
Hafizurrahman :

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


AL WASHLIYAH BINJAI
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, atas segala
karunia dan inayah-Nya, kelompok 9 dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul Sanad: Pengertian, Peranannya Dalam Pendokumentasian Hadis
Dan Dalam Penentuan Kualitas Hadis. Shalawat dan salam semoga selamanya
tercurahkan kepada Rasul saw, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya. Ilmu
Hadis merupakan disiplin ilmu yang sangat penting, karena tanpa ilmu hadis
maka mustahil hadis bisa dipelajari dan dikaji dengan benar sesuai dengan
metodologinya. Dari fungsinya terhadap hadis, dapat diibaratkan bagaikan ilmu
tafsir terhadap Al-Qur’an. Pemahaman Al-Qur’an tanpa menggunakan ilmu tafsir
akan sulit untuk dilakukan. Demikian juga ilmu hadis terhadap hadis.
Makalah ini disusun berdasarkan sumber bacaan yang kelompok 9 baca
dan pelajari, dengan segala keterbatasannya. Sehingga di dalamnya masih banyak
kesalahan dan kekurangan. Semoga dengan dibuatnya makalah ini bisa membawa
manfaat untuk melihat secara dengan lebih universal dengan kajian teks, reflektif
dan filosofis. Kelompok 9 meminta saran dan kritik yang kontruktif jika terdapat
kesalahan di dalam makalah ini. Kami ucapkan terimakasih

Binjai, 30 November 2021

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i


DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................2
A. Pengertian Sanad .............................................................................2
B. Peranan Sanad Dalam Pendokumentasian Hadist .......................2
C. Peranan Sanad Dalam Penentuan Kualitas Hadist ......................5
Macam-Macam Hadis dari Segi Kualitas.......................................5
a. Hadist Shohih ............................................................................5
b. Hadist Hasan .............................................................................8
c. Hadist Dha’if .............................................................................9
BAB III PENUTUP................................................................................................12
Kesimpulan..............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Hadits merupakan sumber hukum kedua dalam islam setelah al-Qur’an.


Karena itu, hadits memiliki posisi yang sangat strategis bagi kaum muslimin
dalam memahami, meyakini dan melaksanakan ajaran-ajaran agama. Namun,
tidak sepertial-Qur’an yang periwayatannya bersifat qoth’I (absolut), sebagian
hadits diriwayatkan dengan redaksional yang berbeda. Sejak jaman rasulullah
saw pun tidak semua hadits terdokumentasikan. Dan, hadits pun sempat menjadi
alat propaganda dalam perselisihan politik ummat islam. Karenanya, ummat
islam pun diingatkan untuk bersikap kritis dalam menerima suatu hadits.
Secara historis, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya
Islam. Selanjutnya unsur sanad dari hadis, kumpulan silsilah atau rangkaian
nama-nama rawi dari Musaddad hingga kepada Anas bin Malik. Sanad inilah
yang akan menentukan kualitas dari hadis apakah sahih, hasan, atau dhaif. Akan
tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadis-hadis Nabawi,
yaitu segala hal yang disandarkan (idlafah) kepada Nabi SAW. Sedangkan hadis
sendiri berarti berbicara, perkataan, percakapan. Hadis disebut juga 'Sunnah',
yang secara istilah berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan landasan syariat Islam.
Pentingnya posisi sanad dalam ilmu hadis menurut para ulama untuk
mengetahui otensitas suatu sumber. Bagaimana asal riwayat sumber tersebut yang
menyandarkan konteksnya kepada Nabi Muhammad SAW, haruslah dapat
dipertanggungjawabkan.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sanad
Sanad adalah silsilah atau kumpulan rawi dari sahabat hingga orang
terakhir yang meriwayatkannya. Sesuai dengan makna bahasa, yaitu sandaran,
pegangan, referensi, pengaman dan benteng, sanad adalah pengayom matan
hadis. Namun secara terminologi, sanad adalah rangkaian para perawi yang
memindahkan matan dari sumber primernya.
Dalam hal ini, artinya sanad adalah orang-orang yang meriwayatkan hadis
dari tingkatan sahabat hingga hadis itu sampai kepada kita. Matan sendiri
menurut bahasa adalah mairtafa'a min al-ardi atau tanah yang meninggi.
Sedangkan menurut istilah adalah "kalimat tempat berakhirnya sanad".

B. Peranan Sanad Dalam Pendokumentasian Hadist


Sejarah penghimpunan dan pengkodifikasian Hadits, terlihat bahwa begitu
besarnya peranan yang dimainkan oleh masing-masing perawi Hadits dalam
rangka mencatat dan memelihara keutuhan Hadits Nabi SAW. Kegiatan
pendokumentasian Hadits, terutama pengumpulan dan penyimpanan Hadits-
Hadits Nabi SAW, baik melalui hafalan maupun melalui tulisan yang dilakukan
oleh para Sahabat, Tabi'in, Tabi'i al-Tabi'in, dan mereka yang datang sesudahnya,
rangkaian mereka itu disebut dengan sanad, sampai kepada generasi yang
membukukan Hadits-Hadits tersebut, seperti Malik ibn Anas, Ahmad ibn Hanbal,
Bukhari, Muslim, dan lainnya, telah menyebabkan terpeliharanya Hadits-Hadits
Nabi SAW sampai ke tangan kita seperti sekarang ini.
Berdasarkan sejarah periwayatan Hadits, para perawi, mulai dari tingkatan
Sahabat sampai kepada Ulama Hadits masa pembukuan Hadits, telah melakukan
pendokumentasian Hadits melalui hafalan dan tulisan. Bahkan, menurut Al-
Azami, pada tingkatan Sahabat pengumpulan dan pemeliharaan Hadits dilakukan
dengan tiga cara,1 yaitu:
1. Learning by memorizing, yaitu dengan cara mendengarkan setiap perkataan
dari Nabi SAW secara hati-hati dan menghafalkannya.

1
M.M. Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature (Indianapolis: American Trust
Publications, 1413 H/1992 M), h. 13-14

2
2. Learning through writing, yaitu mempelajari Hadits dan menyimpannya
dalam bentuk tulisan. Dalam cara ini, yaitu menyimpan dan menyampaikan
Hadits dalam bentuk tulisan, terdapat sejumlah Sahabat, yaitu seperti Abu
Ayyub al-Anshari (w. 52 H), Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H), Abd Allah ibn
'Abbas (w. 68 H), 'Abd Allah ibn 'Umar (w. 74 H), dan lain-lain.
3. Learning by practice, yaitu para Sahabat mempraktikkan setiap apa yang
mereka pelajari mengenai Hadits, yang diterimanya baik melalui hafalan
maupun melalui tulisan.
Demikianlah cara-cara para Sahabat dalam menerima dan memelihara
Hadits-Hadits Nabi SAW. Cara yang demikian tetap dipertahankan oleh para
Sahabat dan Ulama yang datang setelah mereka, setelah wafatnya Nabi SAW.
Khusus mengenai kegiatan penulisan Hadits yang dilakukan oleh masing-masing
generasi periwayat Hadits, mulai dari generasi Sahabat, generasi Tabi'in, Tabi'i
al-Tabi'in, sampai para Ulama sesudah mereka.
Dalam perkembangan berikutnya, proses pendokumentasian Hadits
semakin banyak dilakukan dengan tulisan. Hal ini terlihat dari delapan metode
mempelajari Hadits yang dikenal di kalangan Ulama Hadits, tujuh di antaranya,
yaitu metode kedua sampai kedelapan, adalah sangat tergantung kepada materi
tertulis, bahkan sisanya yang satu lagi pun, yaitu yang pertama, juga sering
berkaitan dengan materi tertulis. Kedelapan metode tersebut adalah:
a. Sama', yaitu bacaan guru untuk murid-muridnya. Metode ini berwujud dalam
empat bentuk, yakni: bacaan secara lisan, bacaan dari buku, tanya jawab, dan
mendiktekan.
b. 'Ardh, yaitu bacaan oleh para murid kepada guru. Dalam hal ini para murid
atau seseorang tertentu yang disebut Qari', membacakan catatan Hadits di
hadapan gurunya, dan selanjutnya yang lain mendengarkan serta
membandingkan dengan catatan mereka atau menyalin dari catatan tersebut.
c. Ijazah, yaitu memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan sebuah
Hadits atau buku yang bersumber darinya, tanpa terlebih dahulu Hadits atau
buku tersebut dibaca di hadapannya.

3
d. Munawalah, yaitu memberikan kepada seseorang sejumlah Hadits tertulis
untuk diriwayatkan/disebarluaskan, seperti yang dilakukan oleh Al-Zuhri (w.
124 H) kepada Al-Tsauri, Al-Auza'i, dan lainnya.
e. Kitabah, yaitu menuliskan Hadits untuk seseorang yang selanjutnya untuk
diriwayatkan kepada orang lain.
f. I'lam, yaitu memberi tahu seseorang tentang kebolehan untuk meriwayatkan
Hadits dari buku tertentu berdasarkan atas otoritas Ulama tertentu.
g. Washiyyat, yaitu seseorang mewasiatkan sebuah buku atau catatan tentang
Hadits kepada orang lain yang dipercayainya dan dibolehkannya untuk
meriwayat-kannya kepada orang lain.
h. Wajadah, yaitu mendapatkan buku atau catatan seseorang tentang Hadits
tanpa mendapatkan izin dari yang bersangkutan untuk meriwayatkan Hadits
tersebut kepada orang lain. Dan, cara yang seperti ini tidak dipandang oleh
para Ulama Hadits sebagai cara untuk menerima atau mempelajari Hadits.

Melalui cara-cara di atas, masing-masing sanad Hadits secara


berkesinambungan, mulai dari lapisan Sahabat, Tabi'in, Tabi'i al-Tabi'in, dan
seterusnya sampai terhimpunnya Hadits-Hadits Nabi SAW di dalam kitab-kitab
Hadits seperti yang kita jumpai sekarang, telah memelihara dan menjaga
keberadaan dan kemurnian Hadits Nabi SAW, yang merupakan sumber kedua
dari ajaran Islam. Kegiatan pendokumentasian Hadits yang dilakukan oleh
masing-masing sanad tersebut di atas, baik melalui hafalan maupun melalui
tulisan, telah pula didokumentasikan oleh para Ulama dan para peneliti serta
kritikus Hadits. Kitab-kitab Hadits yang muktabar dan standar, seperti Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, dan lainnya, di dalam menuliskan Hadits juga
menuliskan secara urut nama-nama sanad Hadits tersebut satu per satu, mulai dari
sanad pertama sampai sanad terakhir.2
Selain Alquran, sanad inilah yang menjadi ukuran sebuah hadis benar dan
valid, shahih, hasan, dhaif atau palsu. Inilah keunggulan ajaran Islam. Demi
menjaga keutuhan umat dari kesesatan, setiap yang diajarkan harus selalu ada
rujukannya sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dalam dunia

2
Telaah Santri, 2015. “http://telaahsantri.blogspot.com/2015/06/peranan-sanad-dalam-
pendokumentasian.html (diakses, 30 November 2021).

4
akademis disebut ilmiah. Tak boleh satupun pernyataan dalam tesis atau disertasi
tanpa referensi.3

C. Peranan Sanad Dalam Penentuan Kualitas Hadist


Fungsi sanad adalah untuk mengetahui derajat kesahihan suatu hadis.
Apabila ada cacat dalam sanadnya baik itu karena kefasikannya, lemahnya
hafalan, tertuduh dusta atau selainnya maka hadits tersebut tidak dapat mencapai
derajat sahih.4
Macam-Macam Hadis dari Segi Kualitas
a. Hadist Shohih
Kata shahih menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang
benar, yang sah dan yang sempurna. Para ulama biasa menyebut kata shahih
ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit). Maka kata hadiys shahih menurut
bahasa, berarti hadits yang sah, hadits yang sehat atau hadits yang selamat.5
Secara terminologis, shahih didefinisikan oleh Ibn Shalah sebagai
berikut:

“Hadits yang disandarkan kepada nabi SAW, yang sanadnya bersambung,


diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad,
tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat.”6
Ibn Hajar al Asqalani mendefinisikannya dengan lebih ringkas yaitu:
“Hadits yang diriwayatkan oleh orang adil, sempurna kedhabitannya,
bersambung sanadnya, tidak ber’illat”. Al Qasimi juga mengemukakan
definisi yang cukup ringkas, yang hampir sama dengan yang dikemukakan
oleh al Asqalani. Menurutnya, hadits shahih adalah: “hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan dan diterima dari perawi yang adil lagi
dhabit, serta selamat atau terhundar dari kejanggalan kejanggalan dan ‘illat”7

3
Liputan6, 2021. “https://id.berita.yahoo.com/sanad-adalah-orang-yang-meriwayatkan-
094014319.html (diakses, 30 November 2021).
4
Ibid.
5
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis (Yogyakarta: IAIN PO Press, 2018), hlm.136-137.
6
Ibn Al-Sholah, Ulum al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih, (Mekkah : alMuktabat al-Tijariah
Musthafa Ahmad al-Baz, 1993), 10.
7
Khusniati Rofiah, hlm. 137.

5
Imam al-Nawawi mendefenisikan hadis shahih sebagai berikut:

“Yaitu hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang-


orang yang, adil dan dhabit, terhindar dari syuduz dan illat”.8
Menurut defenisi di atas terdapat lima syarat hadis shahih, yaitu:9
1. Bersambung Sanad (ittishal al-Sanad), yaitu setiap perawi dalam sanad
menerima langsung hadis dari perawi terdekat sebelumnya, begitu
seterusnya sampai kepada2 Nabi. Hadis yang tidak bersambung
sanadnya tidak tergolong shahih seperti hadis Munqathi'Mu'adal,
Muallaq, dan Mudallas.
2. Periwayat yang adil (at-'adalat). Rumusan "'adil" masih diperselisihkan
oleh para Muhaddisin, tetapi pada pokoknya menyangkut pada
persoalan moral islami sang perawi. Dalam hal ini, Muhanunad Ajaj al-
Khatib mengemukakan empat persyaratan agar seorang perawi
dinamakan 'Adil, yaitu memelihara muru'ah, tekun dalam beragama,
tidak berbuat Fasiq, dan baik akhlaknya. Bila perawinya tidak memiliki
sifat-sifat demikian, maka hadis yang dikemukakan tergolong hadis
Maudhu'.
3. Periwayat yang dhabit (al-tam dhabth). Istilah dhabith berarti setiap
hafalannya (dhabith sadr) dan atau baik catatannya (dhabith kitab),
sehingga bila dan dimana saja hadis tersebat dapat disampaikan dengan
sempurna. Pengertian ini juga memerlukan seorang perawi tidak
memiliki sifat lalai dan lupa baik ketika shighat al-tahamul maupun
shighat al-ada'. Dengan demikian dhabith bukan saja harus kuat
hafalan, tetapi ia juga memiliki pemahaman terhadap apa yang
dihafalnya itu. Bila adil saja tetapi kurang dhabit disebut shaduq dan

8
Alfiah. Dkk, Studi Ilmu Hadis (Riau: Kreasi Edukasi, 2016), hlm. 119.
9
Ibid, hlm.119-120.

6
menempati peringkat kedua dalam sanad. Sedang perawi yang adil dan
dhabith, menempati peringkat tertinggi dalam sanad.
4. Tidak ada kejanggalan (adam al-syuduz). Disebut syadz apabila
seorang perawi yang tsiqat, meriwayatkan hadis yang bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqat, atau
oleh beberapa perawi yang tergolong tsiqat, dan hadis tersebut tidak
mungkin dikompromikan.
Bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari
segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka
para rawi yang lain yang lebih kuat itu harus diunggulkan.
5. Tanpa cacat (Adam illat). Hadis ber-’illat adalah hadis-hadis yang cacat
atau terdapat penyakit tersembunyi atau samar-samar, yang dapat
merusak kesahihan hadis. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat
dari segi lahiriah hadis tersebut terlihat sahih. Adanya kesamaran pada
hadis tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak sahih.
‘Illat hadis dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling
banyak terjadi adalah pada sanad.

Klasifikasi Hadis Sahih


1) Sahih li Zatihi Hadis
Sahih li Zatihi adalah suatu hadis yang sanadnya bersambung dari
permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil,
dabith yang sempurna, serta tidak ada Syazz dan ‘Illat yang tercela.10
2) Sahih li Ghairihi
Hadis Sahih li Ghairihi adalah hadis hasan yang didukung oleh hadis
lain yang lebih kuat sehingga kekuatannya meningkat menjadi sahih.11

b. Hadist Hasan
Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan
oleh seorang yang adil tetapi kurang dhabit, tidak terdapat di dalamnya suatu
kejanggalan (Syazz) dan tidak juga terdapat cacat (‘Illat). Sehingga

10
A Qadir Hassan, Ilmu Musthalahul Hadits, Bandung: Diponegoro, 2007, hlm. 29
11
ALAMSYAH, ILMU-ILMU HADIS (Lampung: CV. Anugrah Utama Raharja, 2013) hlm. 70.

7
pengertian hadis hasan oleh para ulama ahli hadis didefinisikan sebagai
berikut:

“Hasan ialah hadis yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh
dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadis itu diriwayatkan
tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.”
Jadi perbedaan mendasar antara hadis hasan dan hadis sahih adalah
pada daya kekuatan hapalan periwayatnya. Pada hadis hasan, hafalan
perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Sedangkan syarat-syarat
lainnya tidak ada perbedaan antara hadis hasan dengan hadist sahih.12
Macam-macam hadis hasan:13
1. Hadis Hasan li Zatih
Hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang
adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir
sanad tanpa ada kejanggalan (Syazz) dan cacat (‘Illat) yang merusak
hadis.
2. Hadis Hasan li Ghairih
Hadis Hasan li Ghairih adalah hadis yang pada sanadnya ada
perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi dia bukanlah orang
yang terlalu benyak kesalahan dalam meriwayatkan hadis, kemudian
ada riwayat dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya.
Hadis hasan li ghairihi pada dasarnya adalah hadis dha’if.
Kemudian ada petunjuk lain yang memperkuatnya, sehingga ia
meningkat menjadi hadis hasan. Jika tidak ada hadis lain yang yang
memperkuat maka hadis tersebut akan tetap berkualitas dha’if.

12
Ibid, hlm. 70
13
Ibid, hlm. 71

8
c. Hadist Dha’if

“hadis dha’if adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadissahih dan
juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan”.

Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadis itu
menjadi tidak sahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai
dua atau tiga syarat maka hadis tersebut dapat dinyatakan sebagai hadis
dhai’if yang sangat lemah. Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama
tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.14
Klasifikasi Hadis Dha’if
1) Dha’if karena tidak bersambung sanadnya
a) Hadis Munqathi’
Hadis yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada
sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.
b) Hadis Mu’allaq
Hadis yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal
sanadnya secara berturut-turut.
c) Hadis Mursal
Hadis yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan
gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal
sahabat adalah orang yang pertama menerima hadis dari Rasul saw.
d) Hadis Mu’dhal
Hadis yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut,
baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun
dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.
e) Hadis Mudallas
yaitu hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan
bahwa hadis itu tidak terdapat cacat.15

14
Ibid, hlm. 72
15
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung: al-Maarif, tt), hlm. 204-224.

9
2) Dha’if karenatidak memenuhi syarat adil
a) Hadisal-Maudhu’
Hadis yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya
dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja
maupun tidak.
b) HadisMatruk dan Hadis Munkar
Hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta
(terhadap hadis yang diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya,
baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau orang yang banyak
lupa maupun ragu.
3) Dha’if karena Tidak Dabith
a) Hadis Mudraj
hadis yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan
(bagian dari) hadis.
b) Hadis Maqlub
hadis yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau
sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya, yang
seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan
penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan
diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
c) Hadis Mudhtharib
hadis yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari
satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang
berdekatan tidak bisa ditarjih.
d) Hadis Mushahhaf dan Muharraf
Hadis Mushahhaf yaitu hadis yang perbedaannya dengan hadis
riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk
tulisannya tidak berubah. Hadis Muharraf yaitu hadis yang
perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata
sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.

10
4) Dha’if karena Kejanggalan dan kecacatan
a) Hadis Syazz
Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang
kualitasnya lebih utama.
b) Hadis Mu’allal
Hadis yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan
penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat.
5) Dha’if dari segi matan
a) Hadis Mauquf
Hadis yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya
bersambung maupun terputus.
b) Hadis Maqthu’
Hadis yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya,
baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadis
maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.

11
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sebab utama Rasulullah besama para sahabat melakukan hijrah ke Madinah
dikarenakan perbedaan iklim di kedua kota mempercepat dilakukannya hijrah.
Iklim Madinah lembut dan watak rakyatnya yang tenang sangat mendorong
penyebaran dan pengembangan agama islam. Sedangkan kota Mekah sebaliknya.
Nabi-Nabi umumnya tidak dihormati di negara-negaranya sehingga Nabi
Muhammad tidak diterima oleh kaumnya sendiri. Tantangan yang nabi hadapi
tidak sekerasas di Mekkah. Dalam periode ini\, pengembangan islam lebih
ditekankan pada dasar-dasar pendidikan masyarakat islam dan pendidikan sosial
kemasyarakatan. Oleh karena itu, Nabi kemudian meletakkan dasar-dasar
masyarakat islam di Madinah, sebagai berikut:
a. Mendirikan Masjid untuk mempersatukan umat islam dalam satu majlis.
b. Mempersatukan dan mempersaudarakan antara kaum Anshar dan Muhajirin
c. Perjanjian saling membantu antara sesama kaum muslimin dan bukan
muslimin.
d. Meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru.
e. Mengadakan perjanjian dengan seluruh penduduk Madinah, baik yang sudah
masuk islam maupun yang belum masuk islam. Perjanjian ini secara garis
besar menyangkuit masalah-masalah yang berkaitan dengan seluruh aspek
kehidupan manusia, yaitu bidang politik, bidang keamanan, bidang social,
bidang ekonomi, dan bidang keagamaan.16

16
Anwar Sewang, Sejarah Peradaban Islam (Sulawesi Selatan: STAIN Prepare, 2017) hlm.
88-92.

12
DAFTAR PUSTAKA

Nasution Syamruddin, 2021. Sejarah Peradaban Islam. Pekan Baru: Yayasan


Pusaka Riau.
Sewang Anwar, 2017. Sejarah Peradaban Islam. Sulawesi Selatan: STAIN
Prepare.
Ali Salama Ummu. 2017. “Peradaban Islam Madinah (Refleksi terhadap
Primordialisme Suku Auz dan Khazraj)”, dalam Kalimah : Jurnal Studi
Agama-Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 15, No. 2 (hlm. 1)
Zubaidah Siti, 2016. Sejarah Peradaban Islam. Medan: Perdana Mulya Sarana.
Fu’ad Zakki. Sejarah Peradaban Islam: Paradigma Teks, Reflektif, dan filosofis.

13

Anda mungkin juga menyukai