Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Mata Kuliah : Ilmu Hadits Diroyah


Tentang
Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan Hadits

Dosen Pengampu : M. Fadhli Habibi M.Pd.I

Disusun oleh Kelompok 1 :


Ahmad Muqoddas (201220062)
Ziadatul Hilmi (201220042)
Shevi Yani (201220064)

Kelas 2B
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN AJARAN 2023/2024
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kamipanjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah,dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang“Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan Hadits”.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagaipihak sumber makalh sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kamimenyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalampembuatan makalah ini.Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekuranganbaik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaikimakalah ini.Akhir kata kami berharap semoga
makalah tentang “Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan Hadits” ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Jambi, Maret 2023

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Penghapalan Hadits
B. Penulisan Hadits
C. Pembukuan Hadits
D. Pengumpulan Hadits
E. Penyebaran Hadits pada Masa Thabi’in
F. Pemalsuan Hadits /Sunnah Rasulullah SAW
G. Penyortiran dan Penyeleksian Hadits Shahih dan Palsu
H. Masa Pemeliharaan,Penerbitan,Penambahan, dan Penghimpunan Hadits
I. Masa Pensyarahan,Penghimpunan, dan Pentakhrijan Hadits

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
Pendahuluan
A. Latar Belakang

Agama Islam adalah agama yang begitu kamil dari agama-


agama samawiy sebelumnya, atau bisa dibilang juga bahwa Islam adalah gambaran sempurna
bagi agama-agama sebelumnya, seperti, Yahudi, dan Nashrani. Dalam Agama Islam,
menjalankan syariat adalah hal yang wajib dilakukan oleh setiap pemeluknya, karena dalam
syariat itulah terdapat petunjuk untuk mendapatkan ketenangan dalam kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat kelak.

Syariat itu sendiri hak untuk Allah subhanahu wa ta’ala semata. Namun


penafsirannya bisa kita dapatkan dari Al-Qur’an, hadits nabawiy, ima’ ulama, atau qiyas.
Maka dari itu keempat elemen ini sungguh sangat penting dalam Islam. Karena mereka
menjadi rujukan perihal syariat yang seharusnya dijalankan dan ditinggalkan oleh para
muslimin. Dari keempat elemen tersebut tertulis hadits nabawiy, atau sering kita sebut Hadits
Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam. Hadits Nabawiy adalah instrumen terkuat nomor dua
untuk mengetahui atau menafsirkan syariat Allah subahanhu wa ta’ala setelah Kalam-Nya
Sendiri, yaitu Al-Quran. Maka hal yang cukup penting bagi kita para muslimin yang hidup di
Zaman Milenial agar dapat mempelajari sejarah hadits dan mempelajari turunan ilmunya
yang lebih detil lagi. Karena memang banyak sekali kasus fiqih pada zaman ini yang dapat
kita pecahkan lewat hadits-hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Karena hadits termasuk dari elemen terkuat nomor 2 sebagai rujukan syariat
dalam agama kita setelah kalamullah, maka sudah sepatutnya bagi kita untuk mempelejarinya
leih detil lagi. Agar kita dapat mengetahui lebih dalam lagi pengetahuan tentang hadits
tersebut. Karena memang pada dasarnya pengumpulan hadits-hadits ini bukan perihal yang
mudah. Bisa kita bayangkan, bagaimana sulitnya para ulama-ulama hadits macam Imam
Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Daud, yang mengumpulkan penggalan-penggalan dari
hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam yang tersebar di seluruh penjuru Timur
Tengah.

Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW


melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran.
Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga
menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Jumhur Ulama  berpendapat bahwa hadits
Nabi Muhamma SAW yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinaskh dengan hadits-
hadits lain yang mengizinkannya. Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis
hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini
berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah
agama Islam tersiar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang
wafat.
            Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama
menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti
oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.  Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW
ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga
menghasilkan kitab-kitab yang besar. Maka mempelajari sejarah pengumpulan hadits-hadits
tersebut akan menjadi kehormatan tersendiri bagi kita para muslim di zaman ini. Agar kita
dapat mengetahui perjuangan dalam pengumpulan hadits-hadits yang dapat kita baca dan
amalkan hingga hari ini.
B.     Rumusan Masalah
·         Bagaimana sejarah penghapalan, penulisan, pembukuan dan pengumpulan hadist ?
. Bagaimana sejarah penyebaran hadits pada masa tabi’in ?
. Apa saja pemalsuan hadits/sunnah Rosulullah SAW ?
. Bagaimana penyortiran atau penyeleksian hadits shahih dan palsu ?
. Apa saja masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan,dan penghimpunan hadits ?
. Apa saja masa pensyarahan, penghimpuan, dan pentakhrijan hadits ?
·         Apa kendala pada saat pembukuan hadist dilakukan ?
C.    Tujuan
·         Untuk mengetahui sejarah penulisan dan pembukuan hadist.
·         Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kendala saat pembukuan hadist.
Pembahasan

Sebelum kita masuk ke pembahasan mengenai sejarah pengumpulan hadits. Ada


baiknya bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu pengetahuan dasar mengenai hadits itu
sendiri sebelum memulai membahas sejarah pengumpulannya. Merujuk kepada
kitab Taayysir Mustholahul Hadits karangan Dr. Mahmud At-thohan. Dijabarkan di dalam
kitab tersebut pengetahuan dasar dari hadits.

Hadits dapat didefinisikan kepada 2 aspek:

 Hadits dalam konteks bahasa berarti jadid (baru).


 Hadits dalam segi istilah dapat diartikan: segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam baik dari perkataannya, atau perbuatannya,
atau kesepakatannnya.1

Dari penjelasan yang singkat ini kita dapat menegrti bahwasanya segala sesuatu
yang besumber dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dapat kita golongkan
sebagai Hadits. Namun aspek yang penting dalam hadits bukanlah saja teks hadits itu sendiri
namun ada beberapa aspek penting yang harus ada dalam suatu hadits, ialah, isnad, sanad,
dan matan. Aspek-aspek ini wajib hukumnya ada dalam sautu hadits. Karena askpek-aspek
tersebutlah yang membuat hadits dapat dibilang benar.

Maka inilah sedikit penjelesan mengenai aspek-aspek tersebut:

 Isnad dalam segi istilah hadits berati: rantai periwayat hadits yang bersambung hingga
sumbernya (Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam)

1
Kitab Tayysir Mutholahul hadits hal. 17.
 Sanad dalam segi bahasa berati: tempat bersandar, karena memang pada dasarnya,
hadits tersebut disandarkan padanya.
 Sanad dalam segi istilah bermakna: rantai perawih yang bersambung kepada teks
hadits tersebut.
 Matan dalam hadits bermakna: teks hadits tersebut.2

1. Penghapalan Hadits

Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi SAW berpegang pada kekuatan
hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan menulis hadits dalam
buku. Karena itu kebanyakan sahabat menerima hadits melalui mendengar dengan hati-hati
yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafadz dan makna itu dalam sanubari mereka.
Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan dan mendengar pula dari orang yang
mendengarnya sendiri dari Nabi karena tidak semua dari mereka dapat mengikuti atau
menghadiri majelis nabi setiap waktu. Kemudian, para sahabat menghapal setiap apa yang
diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat yang pernah Nabi lakukan lali
menyampaikannya kepada orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang sahabat yang mencatat hadits yang didengarnya melalui
Nabi SAW. Diantara sahabat yang paling banyak menghapal atau meriwayatkan hadits
adalah Abu Hurairah. Menurut ibnu Jauzi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
berjumlah 5.374 buah hadits. Adapun sahabt yang paling banyak hapalannya sesudah Abu
Hurairah adalah:
1.      ‘Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadits
2.      Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadits
3.      Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadits
4.      ‘Abdullah Ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadits
5.      Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadits
6.      Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadits.3

2. Penulisan Hadits
Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan  membaca
dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa ummi (tidak bisa membaca dan menulis).
Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang tidak  bisa menulis dan membaca.

2
Kitab Tayysir Mutholahul hadits hal.18- 19
3
Mudasir. Ilmu hadits, Pustaka Setia, Bandung, 1999. Hal. 207
Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah
orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah
belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan
bahasa arabdalam surat yang ditujukan kepada Kaisar. Sebagian orang Yahudi juga mengajari
anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya
sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca.
Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Mekkah
hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksut bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.
Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di
Mekkah daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rosulullah kepada para
tawanan dalam Perang Badar dari Mekkah yang mampu menulis untuk mengajarkan menulis
dan membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka. Hadits atau sunnah
dalam penulisannya kurang memporoleh perhatian seperti halnya penulisan Al-Qur’an.
Penulisan hadits dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidakresmi karena tidak
diperintahkan oleh Rosul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadits-
hadits Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadits yang peernah mereka dengar dari
Rosulullah SAW.
Diantara sahabat Rosulullah SAW yang mempunyai catatan-catatan hadits
Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Amru bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang
dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatan terhadap pekerjaan yang
dilakukan Abdullah. Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu
dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalubaliau
menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka,
Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai hal trsebut, Rasulullah kemudian
bersabda :
ٌّ ‫اخ َر َج ِمنْ فَ ِم ْي ِإاَّل َ َح‬
‫ق‬ ْ ‫اُ ْكت ُْب َعنِّ ْي فَ َوالَّ ِذ‬
َ ‫ي بِيَ ِد ِه َم‬
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada ditanganNya, tidak
keluar dari mulutku, selain kebenaran.”
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa ali mempunyai sebuah Sahifah dan
Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan4.
Abu Hurairah menyatakan, “ Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih
banyak (lebih mengetahui) hadits Rasulullah SAW daripadaku, selain Abdullah bin Amru bin
Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.” Sebagian besar
4
Suyadi, Agus. Ulumul hadist. Pustaka setia. Bandung . 2008
ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits di-nasakh (di-mansukh) dengan hadits
yang memberi izin yang datang kemudian.

3.Pembukuan Hadits

A.  Pengertian Pembukuan (Tadwin) Hadits  

           Kodifikasi atau tadwin hadis artinya pencatatan, penulisan, atau pembukuan


hadis. Tadwin yang dimaksud dalam pembahasan disini ialah kodifikasi secara resmi
berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah
ini, bukan yang dilakukan oleh perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang
terjadi pada masa sebelumnya. Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin
oleh khalifah Umar bin Abd al-Aziz.

Ide pembukuan hadits-hadits nabawiy muncul pada masa Khilafah Umar bin
Abdul Aziz di kisaran tahun 99 H. Pada awalnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz khawatir
akan kepunahan perawih hadits yang terpercaya, karena semakin banyaknya para ulama dan
perawi hadits yang wafat. Maka atas dasar kemaslahatan agar hadits atau sunnah nabi
tidaklah punah dan tercampur dengan hadits dan sunnah yang palsu. Maka beliau
memerintahkan seorang gubernurnya dari Madinah yang seorang ulama juga, ia bernama Abu
Bakar Muhammad Amr bin Hazm (Ibnu Shihab Az-Zuhri).

Pada periode ini banyak melahirkan ulama hadits, seperti Ibnu Juraij (w. 179 H) di
Makkah, Ibnu Shihab Az-Zuhri (w. 124 H), Ali Ishaq (w. 151 H) dan Imam Malik (w. 179 H)
di Madinah, Ar-Rabi’ bin Shihab (w. 160 H) dan Abdurrahman Al-Auza’i (w. 156 H) di
Suriah. Selain itu juga termasuk imam Syafi’i (w. 204 H) di Mesir dan Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H) di Baghdad. 

Pada periode ini juga menghasilkan karya kitab-kitab hadits, di antaranya Al-
Musnad Imam Syafi’i, Al-Mushanaf Imam Al-Auza’i, dan Al-Muwaththa’ Imam Malik,
termasuk juga Al-Musnad Imam Ahmad. Pada zaman ini meski pembukuan telah dilakukan
namun hadits-hadits shahih masih banyak yang tercampur dengan hadits-hadits palsu, karena
memang pada masa ini belum dilaksanakan pembedahan atau penyortiran kitab-kitab hadits
yang ada. Penyortiran tersebut baru bisa terlaksana setelah Ma’mun Khalifah dari Dinasti
Bani Abbasyiyah berkuasa, tepatnya pada Abad ke-3 Hijriyyah.
B. Masa-masa Hadits di Bukukan
 Masa pembentukan hadits.
Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad SAW  itu
sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada
dalam benak atau hafalan para sahabat saja. Periode ini disebut al wahyu wa at takwin,
yaitu hadits yang penyampaiannya belum ditulis/masih lisan, hanya masih dalam benak
mereka. Periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul
hingga wafatnya ( 610 M – 632 ).

 Masa penggalian.
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi
Muhammad SAW pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadits belum ditulis
ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan
persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadits dan
menggali dari sumber-sumber utamanya.
 Masa penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak
menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang
bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat  dan
tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat
dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum  pernah dimiliki
sebelumnya, diteliti secermat-cermatnya, siapaa-siapa yang menjadi sumber dan
pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan khalifah  ‘Umar bin ‘Abdul  ‘Aziz
sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini
terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang
merupahan hadits marfu’, mana yang mauquf, dan mana yang maqthu’.
 Masa penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pentadwinan ( pembukuan ) dan penyusunan hadits.
Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai
perilaku Nabi Muhammad SAW, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan
memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ ( yang berisi perilaku Nabi
Muhammad ), mana yang mauquf ( berisi perilaku sahabat ) dan mana
yamg maqthu’ (berisi perilaku tabi’in ). Usaha  pembukuan hadits pada masa ini selain
telah dikelompokkan juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa
beritanya sebagai wujud tash-hih  (koreksi/verifikasi ) atas hadits yang ada maupun
yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan
hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai
hadits. Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab
hadits seperti menghimpun untuk memudahkan mempelajari dengan sumber utamanya
kitab-kitab hadits abad 4 H.

 Masa pembukuan hadits  ( dari abad ke-2 H – abad ke-3 H )


Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab
az Zuhri pada sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama’ hadits pada pertengahan abad
II H. Perintah kewarganegaraan  mengenai pengumpulan hadits di atas dari khalifah II
Abasyiah di Baghdad, yaitu Abu Ja’far al-Mansur yang memerintah selama 22 tahun
(136 – 158 H ). Perintah ini ditujukan kepada Malik bin Anas sewaktu berkunjung ke
Madinah dalam rangka ibadah haji. Banyak ulama’ hadits yang menghimpun bersamaan
dengan kegiatan  ulama’ dalam bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti
fiqih, kalam dan sebagainya. Karena itu masa ini dikenal  dengan “Ashrulal-
Tadwin” ( masa pembukuan ). Karya ulama’ pada masa ini masih bercampur antara
hadits rasul dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan mereka belum mengklasifikasikan
antara hadits sahih, hasan dan dlo'if.
Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai
masalah yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi
masalah lain dalam satu karangan.
Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu :
1.      Golongan politik : permulaan abad II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan lain-
lain yang bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
2.      Golongan tukang cerita : mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat
ceritanya dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
3.      Golongan zindik (kafir) : mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah
dan kekacauan di golongan umat Islam.

Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama’ pada masa ini
mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits dan
meneliti sumber-sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus hadits yang
terkenal seperti Yahya bin said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi5.

C. Kendala Pembukuan Hadits


Terdapat beberapa kendala dalam pembukuan hadits, antara lain :
1.      Karena adanya orang-orang yang membuat hadits palsu
2.     Ulama’ tidak/belum memperhatikan dhoif, shahih/hasan, yang penting itu
sumbernya dari Rasulullah SAW
3.     Memisahkan hadits maudu’ saja, yang lain tidak
4.      Untuk memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini sudah, ya sudah, yang
lain tidak diurus.
            Melihat adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat,
bergeraklah para ulama untuk membela syari’at dan memelihara agama Islam. Mereka
berusaha menyaring dan menepis hadits-hadits yang diriwayatkannya itu. Hadits-hadits
yang shahih mereka ambil dan hadits-hadits yang diduga palsu (dho’if) mereka
tinggalkan.

3. Pengumpulan Hadits

Pada awal mulanya, hadits-hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam dilarang


oleh Nabi sendiri untuk ditulis, atau dikumpulkan, sebagai pencegahan agar tidak tertukar
dengan Al-Qur’an. Sejarah ini dapat kita buktikan kebenarannya lewat hadist yang shahih
dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

) ‫(رواه مسلم‬    ‫ال تكتبوا عنى شيىأ اال القرآن ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه‬: ‫قال رسول اهللا صلى هللا عليه و سلم‬

Artinya: Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Jangan menulis sesuatu mengenai


saya kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulisnya agar menghapusnya. (HR. Muslim).6

Namun dibalik hadits yang melarang penulisan hadits tersebut, terdapat juga hadits yang
dapat menggugurkan hadits tersebut, ialah hadits yang membolehkan untuk menuliskan
hadits-hadits Nabi, dan Hadits inipun Shohih. Hadits itu berbunyi:

   ‫ أكتبوا ألبى شاة‬: ‫قال رسول اهللا صلى هللا عليه و سلم‬

5
Mudasir. Ilmu hadits, Pustaka Setia, Bandung, 1999. Hal. 209
6
Muslim, t.th.: 598
Artinya : Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “tulislah (hadis) untuk Abi
Syah” .7

Meskipun kedua hadits ini saling bertentangan dalam segi tekstual yang diambil dari matan
keduanya, namun menurut Muhammad Rasyid Ridha8, namun keduanya dapat disandingkan.
Menurutnya maksud dari hadits yang melarang tersebut ialah, larang untuk menyetarakan
kedudukan hadits dengan Al-Qur’an bukan larangan untuk menuliskannya.9

Sedangkan Abu Rayyah berpendapat bahwasanya, kedua hadis itu bertentangan,


maka yang satu merupakan nāsikh bagi yang lain. Menurutnya hadis yang menjadi nāsikh itu
adalah hadis yang melarang penulisan. Alasan yang diajukan adalah: (1) Sahabat, setelah
Nabi wafat, tidak menyenangi penulisan hadis, dan (2) Para sahabat tidak pernah
membukukan hadis. Kedua argumen itu ia perkuat dengan ucapan-ucapan Abi Sa’id, Ali, dan
Umar tentang keengganan mereka menulis hadits.10

Terlepas dari kedua pendapat tersebut. Awal mula pengumpulan hadits sudah terjadi dari
masa sahabat radhiallahu anhu. Sejarah ini diperkuat dengan adanya Shahifah yang dimiliki
sebagian sahabat, di antaranya:11

a. Shahifah Abu Bakar

Diriwayatkan dari Anas Bin Malik, sesungguhnya Abu Bakar pernah mengutusnya untuk
mengambil sedekah dari kaum muslimin, dan menuliskan di lembaran tersebut faraid sedekah
dan di sana juga terdapat cap cincin Rasulullah”12.

b. Shahifah Ali Bin Abi Thalib

Diriwayatkan oleh Abi Juhaifah

. ‫ إال كتاب هللا أو فهم أعطيه رجل مسلم أو ما في ه{{ذه الص{{حيفة‬، ‫ ال‬:‫ قلت لعلي هل عندكم كتاب ؟ قال‬:‫عن أبي جحيفة قال‬
‫ العقل وفكاك األسير وال يقتل مسلم بكافر‬:‫ قلت فما في هذه الصحيفة ؟ قال‬:‫قال‬.

7
Ahmad Ibnu Hanbal, tth: 232
8
Muḥammad Rashīd Riḍā; lahir di Suriah Utsmaniyah, 23 September 1865atau 18 Oktober 1865] – meninggal di Mesir, 22
Agustus 1935) dikenal sebagai Rasyid Ridha) adalah seorang intelektual muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan
modernisme Islam/ Sumber: Wikipedia Bahasa Indonesia.

9
Muhammad Abu Rayyah, t. Th: 48
10
Muhammad Abu Rayyah, t. Th: 49
11
Lembaran- lembaran yang bertuliskan Hadits Rosulullah
12
Sohih Bukhari Kitab Zakat, bab zakat ghanam
“Aku bertanya kepada Ali Bin Tholib, apakah engkau mempunyai sesuatu yang tertulis dari
Rasulullah?”. Ali menjawab, “ Tidak, kecuali Kitabullah, atau pemahaman yang ku berikan
kepada seorang muslim, atau yang ada di lembaran ini”.

Aku berkata, apa yang di dalam lembaran itu? Beliau menjawab,

“Al Aql, serta hukum tentang tawanan perang, dan janganlah seorang muslim membunuh
orang kafir”.13

C. Shahifah Abdullah Bin Amr Bin Ash Atau Dikenal Dengan Shahifah Shadiqoh (Lembaran


Kebenaran)

Diriwayatkan dari Mujahid, “Aku pernah mendatangi Abdullah bin Amr, kemudian aku
membaca lembaran yang berada di bawah tempat tidurnya, lalu ia melarangku, akupun
bertanya kepadanya mengapa melarangku membacanya, beliau menjawab,

‫هذه الصادقة هذه ما سمعت من رسول هللا صلى هللا عليه ليس بيني وبينه أحد‬

Ini adalah lembaran (yang berisi) kebenaran, ini adalah yang aku dengar langsung dari
Rasulullah”.14

Setelah wafatnya Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam para sahabat mulai menulis hadits-


hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam yang mereka dapatkan, lalu saling bertukar
tulisan dengan sahabat yang lain dikarenakan penyebaran dakwah Islam yang semakin
meluas ke seantero dunia. Contohnya ialah: Tulisan Jabir bin Samuroh kepada Amir bin Saad
bin Abi Waqqash, juga tulisan Usaid bin Khudoir kepada Marwan bin Hakam berisi hadist
Nabi dan beberapa keputusan atau pendapat Abu Bakar, Umar, Ustman, dan tulisan Zaid bin
Arqom kepada Anas bin Malik15.

4. Sejarah Penyebaran Hadits Pada Masa Tabi’in

Pada masa tabi’in perkembangan pesat terjadi dalam penyebraan hadits-hadits


Rasullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika Dinasti Bani Umayyah berkuasa akan khilafah,
luas kekuasan Islam terbentang hingga, Mesir, Persia, Irak, Afrika selatan, Samarkand, dan
Spanyol, di samping Madinah, Mekkah, Basroh, Syam dan Khurosan. Sejalan dengan

13
Maksudnya adalah diyat,  Shohih Bukhari Kitab Ilm, bab Kitabatul Ilm

14
Kitab Taqyiidul ilmi
15
Makanatu Sunnah DR. Umar Muslih
perkembangan pesat wilayah kekuasaan Islam pada masa itu, tersebar pula para sahabat-
sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam ke negeri-
negeri tersebut. Maka masa inipun terkenal dengan sebutan (Intisyaru Ar-riwayah ilal
Amshor ).16 Pada masa ini pula terdapat daerah daerah yang menjadi sumber untuk
periwayatan hadits- adits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam di antaranya,

1. Madinah Al Munawwaroh

Di antara tokoh-tokoh Hadits di Madinah ialah : Said, Urwah, Az-zuhry, Ubaidillah bin
Abdillah bin Utbah, Ibnu ma’id, Salim bin Abdillah bin Ibn Umar.

2. Makkah Al- Mukarromah

Di antara tokoh-tokoh hadits yang berada di Makkah Al-Mukaromah ialah, Muadz, Ibnu
Abbas, dan diantara tabi’in-tabi’in yang belajar kepada mereka ialah, Mujahid, Ikrimah, Atha
bin rabiah, Abu Az Zubair Muhammad ibn Muslim.

3. Kuffah

Diantara tokoh-tokoh hadits yang berada di kota Kuffah ialah: Abdullah bin Masud, Sa’ad
bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Salman al farisy dll. Dan di antara ulama hadits yang
berguru kepada Abdullah bin Masud ialah, Masruq, Ubaidillah al Aswad, Syuraih, Ibrahim,
Said bin Zubair.

5. Pemalsuan Hadits/Sunnah Rosulullah SAW

Karena tekhnik penyebarannya yang melalui lisan ke lisan, menjadikannya celah


yang begitu besar dalam perubahan redaksi suatu hadits, karena kemapuan menghafal setaip
sahabat pastinya berbeda. Sangat tidak mungkin apabila kekuatan hafalan Zaid bin tsabit
sama kuatnya dengan hafalan seorang Umar bin Khattab, begitu juga yang lainnya. Maka
teknik penyebaran yang seperti itu menjadi celah untuk orang-orang yang memiliki
kepentingan pribadi untuk merubah redaksi hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Saking hati-hatinya para sahabat dalam meriwayatkan hadits, mereka sering sekali
menayakan langsung kepada Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam mengenai kebenaran
suatu hadits yang mereka dapatkan dari saudaranya yang lain. Karena memang ancaman yang

16
Munzier suparta, ilmu Hadits , Jakarta. Pt. Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 56
Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam sanagtlah mengerikan bagi siapa yang menduplikasi
hadits dengan mengatas namakan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Dalam satu hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

ِ َ‫ من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار) َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم َو ْالبُخ‬: ‫(قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
ُّ‫ارى‬

Artinya : “Barang siapa berdusta terhadap diriku secara sengaja, maka dia pasti akan
disediakan tempat kembalinya di neraka”.17

Dari Hadits inipun, didapati sebagian Ulama yang menyimpulkan bahwasanya,


pemalsuan Hadits sudah banyak terjadi sejak Zaman Rosulullah shallallahu alaihi wa
sallam masih hidup. Salah satu Ulama yang berpendapat seperti ini ialah Ahmad Amin dalam
Fajr Al Islam, lalu Hasyim Ma’ruf Amin dalam al-Wadh’u wa al-Wadhdha’un (1971), lebih
tegas lagi menyatakan, bahkan meyakini, bahwa peristiwa pendustaan terhadap Rasulullah
sudah pernah tersebar di kalangan para sahabat Nabi dan terjadi semasa hidup
beliau shallallahu alaihi wa sallam. Selanjutnya dia mengatakan bahwa tidak mungkin
Rasulullah mengeluarkan pernyataan yang bernada keprihatinan, peringatan, bahkan ancaman
terhadap adanya pendustaan terhadap dirinya, kalau tidak didahului oleh adanya gerakan-
gerakan yang telah dilakukan sebelumnya oleh masyarakat generasi sahabat, dengan bentuk
membuat-buat riwayat dusta tentang Nabi.

Pendapat ini disanggah oleh Mustafa as-Siba’i, karena tidak mungkin pada masa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, seseorang ataupun sahabat memalsukan berita atas
nama beliau, dan seandainya itu terjadi, pasti secara mutawatir para sahabat akan mengoreksi
dan menuturkannya. Namun mayoritas ulama berpendapat Bahwasanya pemalsuan Hadits
mulai marak terjadi pada tahun 40H atau tepatnya pada masa kekhalifahan Ali bin Abi tahlib,
di mana Ketika itu huru hara anatara kelompok yang mendukung ali dan muawiyyah atas
kekhalifahan cukup tinggi, sehingga dari masing masing kelompok banyak yang memalsukan
hadits demi kemaslahatn kelompok mereka tersendiri.  Contoh dari hadits palsu yang
dipalsukan oleh kaum Syiah ialah:

‫علي خير البشرومن شك فيه كفر‬

17
HR : Bukhari no. 105
Artinya: “ Ali sebaik-baiknya manusia. Barang siapa yang meragukannya, maka ia telah
kafir.” 18

Kasus pemalsuan hadits ini terus saja berjalan, dimulai dari tahun 40 H sampai
masuk kepada sekitar abad ke 1 Hijriyah, lebih tepatnya tahun 99 H, di saat kekhalifahan bani
Umayyah yang dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz. Di masa kepemimpinan beliaulah mulai
bermunculan ulama-ulama hadits yang membukukan hadits, dan memilah antara hadits
shahih dan palsu, macam Imam Bukhari, dan Imam Muslim dan akhirnya pemalsuan
haditspun mulai terminimalisir.

6. Penyortiran dan Penyeleksian Hadits Shahih dan Palsu

Setelah para ulama pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz seperti Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, Imam Syafi’i dll. Berjuang dalam pembukuan hadits
yang sangat menguras waktu dan tenaga yang tidaklah sedikit. Masih ada masalah dibalik itu
semua, yaitu buku-buku mereka belumlah disortir dari Hadits- hadits yang dianggap Hadits
palsu. Maka pada periode ini, banyak sekali ulama yang mengadakan gerakan penyeleksian,
penyaringan, dan pengklasifikasikan hadits, yakni memisahkan hadits yang marfu’ dari hadits
mauquf dan maqtu’. Gerakan ini muncul pada Dinasti Bani Abasyiyah dari masa
kekhalifahan Al-Ma’mun hingga masa kekhalifahan Al-Muqtadir. Sebab gerakan ulama
dalam menyortir, menyeleksi, mengklasifikasikan hadits-hadits. Muncullah 6 kitab terkenal
yang menjadi rujukan Umat Muslim dalam bidang hadits, yang sering kita sebut
dengan Kutubusittah. Di antaranya:

1. Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari (194 – 252 H)


2. Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Muslim (204 – 261 H)
3. Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202 – 261 H)
4. Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi (200 – 279 H)
5. Sunan An-Nasa’i karya An-Nasa’i (215 – 302 H)
6. Sunan Ibnu Majah karya Ibnu Majah (207 – 273 H)
7. Masa Pemeliharaan, Penerbitan, Penambahan, dan Penghimpunan Hadits

18
Tayysir Mustholahal hadits, Mahmuf Ath thohan hal.113
Setelah para ulama sukses melakukan gerakan penyortiran dan penyeleksian
hadits shahih dan palsu hingga muncullah Kuttubusittah sebagai rujukan kaum muslimin
dalam bidang hadits. Tak berhenti sampai di sana saja, para ulama mulai melakukan gerakan
selanjutnya, yaitu, pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan penghimpunan. Gerakan ini
terbilang cukup lama dalam pelaksanaannya yaitu selama 2 setengah abad. Mulai dari abad
IV sampai pertengahan abad ke VII Hijriyah, tepatnya pada saat Dinasti Abbasiyah jatuh ke
tangan Hulagu Khan pada tahun 656 H. Karena gerakan ini tidak jauh beda dengan gerakan
sebelumnya. Maka buah hasil dari gerakan ini ialah, kelahiran para ulama hadits yang
kompeten pada masanya, mereka adalah:

1. Sulaiman bin Ahmad At-Thabari, karyanya Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-


Ausath, Al-Mu’jam Ash-Shaghir.
2. Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Ad-Daruquthni, karyanya Sunan Daruquthni.
3. Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih Ibnu Huzaimah.
4. Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-Kubra.
5. Asy-Syaukani, karyanya Nailul Authar.
6. Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, karyanya Riyadhush Shalihin, dll

8. Masa Pensyarahan, Penghimpunan, dan Pentakhrijan Hadits

Ini adalah masa atau periode terakhir dari periode-periode


pembukuan/pengumpulan hadits-hadits. Pada periode ini para ulama berjibaku dalam
mensistemasi hadits-hadits berdasarkan kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab
mustkharij dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Agar mudah dipelajari
oleh generasi-generasi yang akan datang, hingga generasi kita saat ini. Dan bisa
dibilang Kutubussittah  yang sampai pada kita hari ini ialah hasil keringat perjuangan dari
para ulama dari setiap periodenya.

Namun pada masa pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan ini sudah sangat
sedikit sekali ulama-ulama yang dapat menyebutkan hadits beserta sanadnya. Mungkin hanya
beberapa ulama yang terkenal pada masa ini yang dapat menyampaikan hadits beserta
sanadnya dengan metode hafalan, ialah:

1. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 806 H)


2. Imam Al-Iraqy (w. 852 H)
3. As-Sakhawy (w. 902 H)19

Kesimpulan

Hadits pada dasarnya adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam baik dari perkataan, perbuatan, dan persetujuan.
Syarat suatu hadits ialah sanad, isnad, dan matan. Namun itu semua belum menjamin hadits
tersebut shahih.

Pada awal mulanya para sahabat enggan untuk menuliskan hadits karena adanya hadits yang
melarang kegiatan tersebut, namun dibalik hadits tersebut, ada hadits lainnya yang
membolehkan penulisannya. Pada zaman sahabat mulai banyak tersebar Shahifah  yang
tersebar di para sahabat, di antaranya, Shahifah Abu Bakar, Shahifah Ali bin Abi Thalib,
Shahifah Abdullah bin Amr Al-Ash.

Lalu pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz atau pada awal mula abad ke-2 Hijriyyah,
khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan salah seorang gubernurnya untuk
mengumpulkan dan membukukan hadits, karena beliau khawatir sunnah-sunnah ini punah
disebabkan semakin banyaknya perawi dan ulama hadits yang wafat. Maka di tahun itu
munculah para imam hadist terkemuka yang namanya masih sering disebut hingga saat ini, di
antaranya, Imam Bukhari, Imam Muslim dll.

Setelah masa pembukuan, bukan berarti hadits-hadits dalam buku tersebut sudah aman dari
hadits-hadits palsu, karena pada dasarnya setelah pembukuan tersebut belumlah dilaksanakan
penyortiran dan penyeleksian antara hadits shahih dan palsu. Maka pada masa kekhalifahan
Dinasti Abasyiyah muncullah gerakan penyortiran dan penyeleksian hadits shahih dan palsu,
sehingga pada zaman itu muncullah kitab rujukan umat Islam dalam bidang Hadist,
yaitu Kutubusittah.

Tak berhenti di situ para ulama pada Zaman Abasyiyyah memang terkenal dengan ketamakan
mereka akan ilmu, sampai setelah gerakan penyortiran itu sukses, mereka melalukan gerakan
selanjutnya yaitu, gerakan pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan penghimpunan.
Gerakan ini yang paling lama sampai menguras waktu selama 2,5 abad mulai dari abad IV
sampai pertengahan abad ke VII Hijriyah. Tepatnya pada saat Dinasti Abbasiyah jatuh ke
tangan Hulagu Khan pada tahun 656 H.

19
Kodifikasi Hadits (Sejarah Singkat dan Padat dalam Pembukuan Hadits) oleh Muhammad Nasikhul ibad
Dan fase terakhir dalam pengumpulan dan pembukuan hadits ialah, fase pensyarahan,
penghimpunan dan pentakhrijan. Di fase itu para ulama mulai mensistemasi hadits-hadits
berdasarkan kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustkharij dengan cara
membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Agar mudah dipelajari oleh generasi-generasi
yang akan datang, hingga generasi kita saat ini.

Saran

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki
kekurangan,baik dari segi isi maupun cara penulisannya. Oleh karena itu,dengan segala
kerendahan hatipenulis sangat berharap ada kritikan dan saran yang sifatnya untuk
membangun.Terakhir penulis berharap,semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis begitu juga pembaca.
Daftar Pustaka

Dr, Mahmud At- thohan. 2010. Tayysir Mustholahul Hadist. Maktabah Al- Maarif . Riyadh,
UEA.

Usman Iskandar. 2021, Hadis pada Masa Rasulullah dan Sahabat: Studi Kritis terhadap
Pemeliharaan Hadis. Jurnal: Keluarga.

Abid Nasikhul Muhammad. 2020. Kodifikasi Hadist..

Fithoroini Dayan. 2018. Hadist Palsu Modus : Solusi

Muzakki Asgar. 2020. Sejarah pertama kali pemalsuan Hadits

Izad Rohmatul. 2018. Asal Usul Pemalsuan Hadist

Halid Muhammad. 2015. Sejarah Pemalsuan Hadist. Vol 1

Nur Rastiyani. Sejarah perkembangan Hadist pada masa Tabi’in.

Islam Mafatihatullah. 2017. Menguak Sejarah Pengumpulan Hadist. Suara Muslim.net

Wikipedia B. Indonesia. 2021. Muhammad Rasyid Ridho.

Mudasir. Ilmu hadits, Pustaka Setia, Bandung, 1999.

Suyadi, Agus. Ulumul hadist. Pustaka setia. Bandung . 2008

Anda mungkin juga menyukai