1. Hadits 3. Hadits
Mutawatir Mutawatir
Lafzhi ‘Amaly
2. Hadits
Mutawatir
Ma’nawy
1. Hadits Mutawatir Lafzhi
Yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir Lafzhi, ial;ah:
Artinya:“Hadits yang dinukilkan oleh banyak orang, yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat untuk berdusta atas kejadian yang berbeda-beda, tetapi
bertemu pada titik persamaan.”
CONTOH HADIS MUTAWATIR MANAWI
Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa.
Artinya:
Rasulullah tidak mengangkat kedua tangan beliau sampai nampak putih putih kedua ketiak
beliau dalam doa-doa beliau, kecuali doa shalat istisqa’ (HR. Bukhari Muslim)
Menurut penelitian al-Syuyuti Hadits yang semakna dengan hadits ini telah diriwayatkan
dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a dalam
berbagai kesempatan. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain.
Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir
karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang
mengangkat tangan ketika berdo’a.
3. Hadits Mutawatir ‘Amaly
Perbuatan dan pengamalan syari’ah Islamiyah yang dilakukan Nabi saw.,
secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat
adalah Mutawatir ‘amali, sebagaimana yang didefinisikan sebagian ulama
sebagai berikut:
Artinya:“Hadits yang disampaikan oleh orang banyak, akan tetapi jumlahnya tidak
sebanyakperawi Mutawatir.”25
Contoh hadis masyhur
Artinya:“Rasul saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
Artinya:“Orang Islam (yang sempurna) itu, ialah orang yang jika orang
Islam lainnya selamat dari (gangguan) lidah dan tangannya.”23
2. Hadis ‘Aziz
Kata ‘aziz dari kata ‘azza, ya’ izzu, yang berarti qalla (sedikit) atau nadara
(jarang terjadi). Bisa juga berasal dari ‘azza, ya ‘azzu yang berarti qawiyah
atau isytadda (kuat). Arti lainnya bisa juga berarti syarif (mulia atau
terhormat) dan mahbub (tercinta). Maka Hadits ‘Aziz dari sudut pendekatan
kebahasaan, bisa berarti Hadits yang mulia, Hadits yang kuat, atau Hadits yang
sedikit, atau yang jarang terjadi.
Secara terminologis, Hadits ‘Aziz didefinisikan antara lain:
Artinya:“Hadits yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang perawi, diterima dari
dua orang pula.”
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, ini merupakan definisi yang paling kuat dari
semua definisi tentang Hadits ‘Aziz.
Dengan definisi ini, menunjukkan bahwa apabila dalam salah satu thabaqah-
nya kurang dari dua perawi, Hadits tersebut akan termasuk Hadits Aziz.
Contoh Hadis ‘Aziz
Artinya:“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang diri perawi, karena tidak ada orang
lain yang meriwayatkannya, atau menyendiri dalam hal penambahan terhadap
matan atau sanadnya.”
Dalam pengertian lain disebutkan sebagai berikut:
Artinya:“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang diri perawi, karena tidak ada orang
lain yang meriwayatkannya, atau menyendiri dalam hal penambahan terhadap
matan atau sanadnya.”38
Berdasarkan definisi pertama menunjukkan, bahwa penyendirian yang dimaksud
dalam Hadits Garib, ialah penyendirian dalam perawi atau sanadnya.
Sedangkan berdasarkan definisi kedua, bahwa penyendirian dalam Hadits
Garib bukan hanya terjadi pada sanad atau perawi, akan tetapi bisa juga terjadi
pada matannya.
Artinya:“Segala amal itu hanya dengan niat, dan bagi seseorang hanya akan
mendapat apa yang ia niatkan…”
Hadits di atas diriwayatkan oleh banyak perawi, antara lain al-Bukhari, Muslim,
Abu Daud, at-Turmudzi, an-Nasa’I, dan Ibn Majah. Pada tiap-tiap thabaqahnya,
Hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi. Akan tetapi pada thabaqah
sahabat hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi, yaitu Umar bin al-
Khathab.
SEKIAN DAN TERIMAKASIH
SYARAT-SYARAT HADIS MUTAWATIR
1) Diriwayatkan oleh Banyak Perawi
Dalam hal ini, di antara para ulama ada yang menetapkan jumlah tertentu
dan ada yang tidak menetapkannya.
Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan
jumlah itu, menurut kebiasaan dapat memberikan keyakinan terhadap
kebenaran apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk
berdusta.
Sedang menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih
berselisih mengenai jumlah tertentu itu. Ada yang menyebutkan harus lebih
dari 4 orang berapapun banyaknya; ada juga yang menyebutkan dengan
jumlah yang pasti seperti 40 orang atau 70 orang, atau bahkan 313 orang
2) Adanya keyakinan bahwa mereka tidak mungkin sepakat
untuk berdusta.
Dengan syarat ini memberikan kejelasan, bahwa penentuan
jumlah-jumlah tertentu bukan merupakan ukuran pokok untuk
menetapkan suatu Hadits mutawatir. Yang menjadi ukuran, ialah
apakah dengan jumlah orang-orang yang membawa berita itu
sudah mencapai ‘ilmu dharuri (kepastian, kebenaran) atau
belum, artinya sudah memberikan kepastian atau kebenaran
berita yang dibawanya atau belum, apakah di antara mereka
mungkin melakukan kesepakatan berdusta atau tidak. Dengan
ukuran ini, maka berapapun jumlah perawinya asal dalam
kategori banyak, dapat memastikan suatu Hadits bisa
dikategorikan sebagai Hadits Mutawatir. Sebaliknya, jika ilmu
dharuri belum tercapai, betapapun banyak perawinya belum
bisa dikategorikan ke dalam kelompok Hadits ini.
3) Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah Sanad
pada tiap-tiap thabaqahnya.
Jumlah sanad Hadits mutawatir, antara satu thabaqah
dengan thabaqah lainnya harus seimbang. Misalnya,
jika sanad pada thabaqah pertama 10 orang, maka pada
thabaqah-thabaqah berikutnya juga masing- masing harus
10 atau 9 atau 11 orang. Dengan demikian, bila suatu
Hadits diriwayatkan oleh 20 oramg sahabat, kemudian
diterima olah 10 tabi’in, dan selanjutnya hanya
diterima oleh 4 tabi’ at-tabi’in, tidak dapat
digolongkan sebagai Hadits mutawatir, sebab jumlah
sanadnya tidak seimbang antara thabaqah pertama
dengan thabaqah berikutnya.
4) Berdasarkan Tanggapan Panca Indra
Berita yang disampaikan oleh perawi sebagai
pembawa berita,harus berdasarkan hasil
pengamatan panca indra. Artinya bahwa berita
yang mereka sampaikan harus benar-benar hasil
pendengarannya, penglihatannya, penciumannya,
atau sentuhannya.
Oleh karena itu, bila berita itu merupakan hasil
renungan, pemikiran atau rangkuman dari suatu
peristiwa lain ataupun hasil istinbath dari dalil yang
lain, maka tidak dapat dikatakan Hadits Mutawatir.