Penulis memilih tema klasifikasi hadis ditinjau dari segi kwantitas dan kualitas sanad serta status wurudnya
pada makalah ini, karena disamping mengandung arti dan masalah komplek yang perlu dicermati dan
membutuhkan kreatifitas dalam memecahkannya, tetapi juga dengan adanya pengkajian ini diharapkan akan
memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat bagi eksistensi pendidikan dalam bidang agama,
khususnya pada studi hadis. Tentunya hal itu akan memperkaya pengetahuan kita tentang segala hal yang
menyangkut studi hadis, baik dimasa lampau maupun dimasa yang akan datang.
Pembagian hadis diperlukan dalam upaya untuk mengklasifikasikan hadis, dari sisi kuantitas pembagian hadis
bertujuan untuk mengetahui jumlah rawi pada tiap tingkatan sehingga muncul klasifikasi hadis
mutawattir dan hadis ahad. Sedangkan dari sisi kualitas bertujuan untuk mengetahui keontetikan hadis dilihat
dari shahih, hasan, dhaif dan sebagainya.
1. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah klasifikasi hadis dari segi kuantitasnya?
2. Apa sajakah klasifikasi hadis dari segi kualitasnya?
3. Apa sajakah klasifikasi hadis dari segi maqbul dan mardudnya?
1. Tujuan
1. Untuk mengetahui klasifikasi hadis dari segi kuantitasnya.
2. Untuk mengetahui klasifikasi hadis dari segi kualitasnya.
3. Untuk mengetahui klasifikasi hadis dari segi maqbul dan mardudnya
BAB II
PEMBAHASAN
1. Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitasnya
Maksud tinjauan hadis dari segi kuantitasnya, adalah kuantitas hadist disini yaitu dari segi jumlah orang yang
meriwayatkan suatu hadist atau dari segi jumlah sanadnya.. Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi yang
menjadi sumber berita, hadis terbagi menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
1. Hadis mutawatir
a. Pengertian Hadis mutawatir
Setiap hadis pasti mempunyai rawi yang banyak dari berbagai tingkatan. Jika sejumlah sahabat yang menjadi
rawi pertama suatu hadis itu banyak sekali, rawi yang kedua (tabi’in), ketiga (tabi’it – tabi’in) dan seterusnya
sampai pada rawi yang mendewankan (membukukan) dalam keadaan yang sama, seimbang atau bahkan
lebih banyak jumlahnya, maka termasuk Hadis mutawatir.[1]
Pada dasarnya mutawatir berarti berurutan, berkesinambungan, kontinyu (tatabu’ = )تتابع. Secara
terminologis, hadis mutawatir ( )الحديث المتواترdapat diartikan sebagai hadis yang diriwayatkan oleh banyak
perawi dalam setiap generasi sanad, mulai awal (sahabat nabi) sebagai perawi tertua (common link) hingga
akhir (perawi, penulis hadis).
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa muhadditsin mengenai hadis mutawatir, maka dapat
disimpulkan bahwa Hadis mutawatir adalah hadis yang bisa dipertanggungjawabkan keadaannya dari system
periwayatannya karena pada setiap generasi (thabaqat) sanadnya terdapat sejumlah perawi yang tidak
mungkin diantara mereka berbuat dusta atau penyelewengan terhadap hadis yang diriwayatkan.
Para ahli berbeda pendapat mengenai jumlah minimal para perawi yang meriwayatkan hadis mutawatir.
Sebagian ulama menetapkan jumlah 20 perawi, dan sebagian lagi menetapkan 40 perawi pada setiap
generasi. Namun demikian para ulama telah sepakat bahwa hadis yang diriwayatkan secara mutawatir dapat
meyakinkan penerimanya bahwa hadisnya adalah benar-benar datang dari sumbernya, rasulullah SAW. Inilah
yang disebut sebagai Qathiyyah al-Wurud ()قطعية الورود.
b. Ciri-ciri Hadis mutawatir
Setelah anda mengkaji pengertian hadis mutawatir di atas, maka akan menemukan ciri-cirinya, yaitu :
1) Jumlah perawinya banyak yang tidak mungkin berdusta
Menurut Abu Thayyib, minimal 4 orang, mengkiaskan saksi dalam persidangan. Kelompok Asy-Syafi’i
berpendapat, minimal 5 orang mengkiyaskan Nabi-nabi Ulul Azmi. Sebagian ulama lain menentukan minimal
20 orang berdasar QS. Al-Anfal 65, yang menjelaskan tentang 20 orang yang tahan uji sehingga dapat
mengalahkan 200 orang kafir. Ada pula yang menentukan minimal rawinya berjumlah 40 orang, berdasar QS.
Al-Anfal 64, yaitu jumlah orang mukmin ketika itu.
Maksudnya warta yang disampaikan itu benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri bukan
hasil pemikiran atau teori yang mereka temukan.[2]
c. Kedudukan Hadis mutawatir
Keadilan dan kedhabitan (kuat ingatan) dari para perawi hadis mutawatir itu sudah tidak diragukan lagi,
sehingga mereka tidak mungkin untuk berbohong dalam membawa berita dari Nabi SAW. Karena itu para
ulama sepakat bahwa hadis mutawatir memberi dampak pada faedah ilmu dharury, yakni keharusan untuk
menerima bulat-bulat berita dalam hadis tersebut secara pasti (qath’y wurud). Dengan demikian hadis
mutawatir menduduki tingkatan teratas dibandingkan dengan hadis-hadis yang lainnya.
d. Pembagian Hadis mutawatir
Ulama ushul membagi hadis mutawatir menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafdy dan mutawatir ma’nawy.
Adapun yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdy ( )الحديث المتواتر اللفظيadalah hadis yang diriwayatkan
secara redaksional adalah mutawatir berdasarkan sanadnya. Sejak generasi awal sanad hingga akhir matan
hadis yang diriwayatkan adalah sama, konsisten secara redaksional.
Sedang Mutawatir Maknawy, ialah hadis yang rawinya banyak, tetapi redaksi pemberitaannya berbeda-beda,
hanya prinsip dan maknanya saja yang ada kesamaan.
Contoh hadis mutawatir lafdhy, antara lain :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama
mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan redaksi dan makna
yang sama.
Kata ahad ( )احادmerupakan bentuk jamak dari kata ahad ( )أحدyang berarti tunggal (mufrad) yang
menunjukkan makna sedikit.
Hadis ahad ( )حديث اﻵحادadalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, dua atau tiga orang atau bahkan oleh
sejumlah orang tetapi tidak mencapai jumlah bilangan kemutawatiran (‘adad at-tawatur), selanjutnya masing-
masing perawi menyampaikan hadisnya kepada seorang atau dua orang saja atau sejumlah perawi tetapi
dalam setiap tahapnya jumlah perawi tersebut tidak menjadikan hadisnya terkenal sebagaimana jenis lainnya.
Hadis ahad pada dasarnya dapat diterima (maqbul) dan bisa ditolak (mardud), tergantung pada kualitas
perawinya dan atau ketersambungan sanadnya (ittishal as-sanad), bukan karena jumlah sanad pada setiap
generasi itu sendiri. Hadis ahad juga bisa dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan ajaran islam, namun
tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal i’tiqad, keyakinan.[3]
b. Klasifikasi Hadis Ahad
Berdasarkan sedikit dan banyaknya para perawi yang terdapat pada tiap-tiap tingkatan (thabaqat), maka hadis
Ahad dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib.
Hadis Masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi belum mencapai derajat
mutawatir.
Menurut ulama Fiqh, hadis Masyhur itu Murodif (disebut juga) Hadis Mustafid. Namun sebagian yang lain
berpendapat bahwa hadis Masyhur itu lebih umum daripada hadis Mustafid. Dalam hadis Mustafid jumlah rawi
harus sama dalam setiap tingkatannya, sementara pada hadis Masyhur tidak harus sama.
Dilihat dari segi makna Masyhur berarti terkenal atau populer. Maka ulama hadis membagi hadis Masyhur dari
segi maknanya menjadi tiga kelompok, yaitu :
b) Masyhur di kalangan para ahli disiplin keilmuan tertentu. Misalnya hanya terkenal di kalangan Muhadditsin,
Fuqaha’, ahli nahwu, tasawuf dan lain
Aziz secara bahasa berarti mulia atau kuat dan juga berarti jarang, menurut istilah hadis aziz adalah hadis
yang diriwayatkan dua orang perawi walaupun dua orang perawi tersebut berada dalam satu tingkatan saja.,
kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
ال يؤمن احدكم حتى أكون أحبّ اليه من والده وولده والناس أخمعين: أخبرنا عبد الرزاق معمرـ عمن سمع الحسن قال قال رسول هللا ص ّل هللا عليه وسلم
Rosulallah SAW bersabda: “Iman kalian belumlah sempurna sehingga (sebelum) mencintai lebih kepadaku
daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya)
Penyendirian dalam personalianya disebut Gharib Mutlak, sedang penyendirian mengenai sifat-sifat atau
keadaan tertentu seorang rawi. Misalnya ketsiqahan, tempat tinggal, rawi tertentu, maka disebut Gharib Nisby.
Mayoritas ulama sependapat bahwa hadis ahad yang maqbul (bisa diterima) dalam arti shahih, bisa digunakan
sebagai dasar hukum Islam, dan wajib diamalkan. Adapun yang berkaitan dengan akidah ada beberapa
pendapat yang netral, hadis ahad yang telah memenuhi syarat (shahih) dapat dijadikan hujjah / dalil untuk
masalah akidah asal hadis tersebut tidak bertentangan dengan Alquran, dan hadis-hadis lain yang lebih kuat,
dan tidak bertentangan dengan akal sehat.
Pembagian hadis dari segi kuantitas ini sekedar untuk mengetahui sedikit atau banyaknya sanad, bukan untuk
menentukan diterima atau tidaknya hadis. Karena itu kita perlu pula mengetahui materi berikutnya yang akan
membahas tentang kualitas hadis.
1. 1. Hadis Shahih
1. Pengertian Hadis Shahih
Menurut bahasa, sahih berarti sehat, bersih dari cacat, sah, atau benar, sehingga hadist sahih menurut bahasa
berarti hadist yang bersih dari cacat, atau hadist yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sedangkan batasan
tentang hadist sahih yang diberikan oleh ulama yaitu: hadist sahih adalah hadist yang susunan lafazhnya tidak
cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Qur’an), hadist mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung
serta para rawinya adil dan dhabith.
Menurut Ulama Muhadditsin, hadis shahih yaitu hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil,
sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat dan tidak janggal.
ما ا ّتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله وسلم من شذوذ وعلّة
Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung proses periwayatan oleh orang yang adil, dan kuat
daya ingatnya dari orang yang serupa sifatnya serta terbebas dari keganjilan dan cacat)
Dengan pengertian tersebut, maka ada lima syarat untuk disebut hadis shahih, yaitu :
c) Meninggalkan perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadikan
penyesalan
d) Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
a) Islam
b) Mukallaf
c) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.
Maksudnya daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadis hingga disampaikan kepada orang lain tidak ada
yang lupa. Sanggup dikeluarkan dimana dan kapan saja dikehendaki. Jika demikian, maka disebut Dhabit
Shadran. Sedang bila keutuhan hadis yang disampaikan itu berdasar pada buku catatan (teks book), maka
disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil dan Dhabit disebut “Rawi Tsiqah” (dapat
dipertanggung jawabkan).
Maksudnya sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus, karena tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan
menerima langsung dari guru yang memberinya.
Selamat dari illat (penyakit) hadis, yaitu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai kesahihan suatu
hadis. Misalnya, meriwayatkan hadis secara Muttasil (bersambung) terhadap hadis Mursal (gugur seorang
sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadis Munqathi’ (gugur salah seorang rawinya). Demikian juga
dapat dianggap illat hadis, jika ada sisipan dalam matan hadisnya.
Maksudnya hadis yang rawinya maqbul (dapat diterima periwayatannya) tersebut tidak bertentangan dengan
hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad
atau kelebihan dalam kedhabitan rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lainnya.[4]
Variasi Hadits Shohih:
2) Muqoyyad : Hadits yang keshahihannya dikenal oleh kalangan/kelompok bi Shohabi sahabat (ulama)
tertentu
Tingkat keshahihan hadist juga berbeda berdasarkan kota dimana hadist tersebut diriwayatkan. Jumhur Ulama
sepakat bahwa hadist yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian
penduduk Basrah dan kemudian penduduk Syam .
Selain perincian tersebut, ada pula penentuan urutan tingkatan hadist sahih, adalah hadist yang diriwayatkan
oleh:
4) Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5) Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6) Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
1) Shahih li-Dzatihi ()صحيح لذاته, yaitu hadis shahih yang secara sempurna terpenui kriteria persyaratan tersebut
di atas. Hadis shahih li dzatihi tingkatannya bisa turun menjadi Hasan li zatihi ketika kedhabitan seorang rawi
kurang sempurna.
2) Shahih Lighairih ()صحيح لغيره, yaitu hadis yang rawinya kurang hafizd dan dhabit (hasan Lizzatih), namun ada
sanad lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga dapat menutupi kekurangan-kekurangannya.
Di dalam hadis shahih sendiri terdapat tingakatan-tingkatan berdasarkan kedhabitan dan keadilan para
perawinya, yaitu :
1) اصح االساند (sanadnya paling shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’ dan Ibnu Umar,
bagi Imam An-Nasa’I adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab).
5) شراط البخارى ومسلم (menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim)
6). صحيح على شرط البخارى (Shahih memenuhi syarat Imam Bukhari)
7). صحيح على شرط مسلم (Shahih memenuhi syarat Imam Muslim)
8). Hadis yang ditakhrij dengan tidak menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.
1. 2. Hadis Hasan
Menurut bahasa berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadist hasan tidak mengandung illat
dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah pada keadaan rawi
yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi
(cermatnya rawi).
Menurut istilah hadis hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadnya bersambung,
tidak mengandung ilat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabit (kurang baik tingkat hapalannya).
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang kurang sempurna
kredilitasnya. Hadis hasan adalah hadis yang memenuhi semua syarat-syarat hadis shahih, hanya saja seluruh
atau sebagian perawinya kurang dhabit. Dengan demikian perbedaan hadis shahih dan hadis hasan terletak
pada tinggi atau rendahnya kedhabitan seorang rawi. Hadis hasan terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Hasan Lizzatihi. Maksudnya hadis itu telah memenuhi syarat-syarat hadis hasan.
2. Hasan Lighairihi, Maksudnya hadis itu sanadnya ada yang dirahasiakan (Mastur), tidak jelas keahliannya,
namuan mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam periwayatannya. Pada
mulanya hadis hasan ligahirih itu adalah hadis dha’if, namun karena ada dukungan sanad lain yang
memperkuat, maka naik tingkatannya menjadi hadis Hasan.
Hadis hasan ini bisa dijadikan sebagai dasar sumber hukum Islam, namun tingkatannya di bawah hadis
shahih.
1. 3. Hadis Dha’if
Dha’if artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadis dha’if adalah hadis yang kehilangan satu atau lebih syarat-
syarat hadis shahih atau hadis hasan. Adapun yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah sebagaimana
rumusan sebagai berikut :
Hadis dla’if adalah hadis yang tidak memiliki syarat sebagai hadis hasan karena hilangnya sebagian syarat).
Pada dasarnya hadis dha’if itu disebabkan dua alasan, yaitu :
Menurut para Muhadditsin, sebab-sebab tertolaknya hadis sebagai sumber hukum bisa ditinjau dari dua faktor,
yaitu Sanad dan matannya.
1. Faktor Sanad
Dari faktor sanad ini bisa karena rawinya cacat dan bisa pula tertolak karena sanadnya tidak bersambung.
1. Rawi Cacat
Rawi hadis yang cacat dari keadilan dan kedhabitan hadisnya disebut
1. Faktor Matan
Hadis yang tertolak dari faktor matan hadis, maka hadisnya bisa karena berupa hadis
Dari ketiga pendapat tersebut, yang paling selamat adalah pendapat pertama, karena penuh dengan ihtiyat
dan kehati-hatian agar tidak terjebak dalam perbuatan bid’ah.[5]
1. C. Klasifikasi Hadis dari Maqbul dan Mardudnya
Kata maqbul ( )مقبولsecara harfiah berarti “diterima”, dan kata mardud
( )مردودberarti “ditolak”.
1. 1. Hadis Maqbul
1. Klasifikasi Hadis Maqbul
1) Hadis Shahih ()الحديث الصحيح
Merupakan tingkatan hadis maqbul yang paling tinggi karena dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dari
berbagi seginya.
Merupakan hadis yang tidak memiliki syarat sebagai hadis shahih tetapi tidak terlalu rendah derajatnya.
Hadis ini seperti laiknya hadis hasan tetapi oleh karena sebab lainnya maka hadis tersebut dapat diangkat
derajatnya hingga fungsinya seperti hadis shahih sebagai sumber hukum karena tidak ditemukannya hadis
shahih ketika itu.
Merupakan hadis yang semula berstatus sebagai hadis dha’if kemudian naik derajatnya menjadi hadis hasan
karena factor-faktor tertentu yang dating, kemudian hingga menjadikannya mampu menempati posisi hadis
hasan.
Ditinjau dari segi sifatnya, hadis maqbul mempunyai sifat-sifat yang sekaligus merupakan karakteristik sebagai
hadis yang diterima, yakni tiga sifat berupa :
1) Hadis mutawatir
2) Hadis Ahad yang marfu’, musnad dan shahih
Dari ciri-ciri tersebut, dapat diketahui bahwa hadis maqbul bisa bersifat muhkam ( )محكمـjika tidak diketahui
adanya perselisihan (mukhtalif) dengan hadis lainnya, yakni pesannya wajib diamalkan (dikerjakan, yu’malu
bihi).
Tingkatan hadis maqbul ditinjau dari derajat dan fungsionalnya adalah sebagai berikut :
1) Ma’mul Bih ()المعمولـ به
yaitu hadis yang isinya tidak harus diamalkan, tetapi cukup diambil sebagai sumber informasi.
1. 2. Hadis Mardud
Hadis mardud pada dasarnya adalah hadis dha’if yang ditolak karena memiliki ciri-ciri antara lain adalah
sanadnya tidak bersambung, terputus (inqitha’) dan karena alasan lain seperti terdapat perawi yang cacat
dalam sanadnya.
Hadis mardud ditinjau dari segi fungsinya tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum (istinbath al-
hukm).
Hadis dha’if yang merupakan hadis mardud dibedakan menjadi dua karena alasan yang berbeda, yaitu hadis
dha’if karena sanadnya tidak bersambung atau terputus (munqathi’) dan hadis dha’if Karena alasan lain seperti
adanya cacat dalam sanad atau matan.
Secara harfiah, kata mursal ( )مرسلberarti dilepaskan atau dikirim. Hadis mursal ( )الحديث المرسلـadalah hadis
yang disandarkan oleh tabi’in kepada Rasulullah SAW tanpa menyebutkan nama sahabat yang membawa
hadis. Contoh :
Kata munqathi’ ( )منقطعberarti terputus, tidak tersambung, lawan dari kata muttashil ()م ّتصل. Hadis munqathi’ (
)الحديث المنقطعadalah hadis yang dalam sanadnya gugur seorang atau dua orang secara tidak berurutan.
Hadis munqathi’ adalah hadis yang dalam sanadnya terjadi hubungan yang terputus (inqitha’) atau tidak
bersambung (infishal), baik seorang atau dua orang. Adapun cara mengetahui inqitha’ adalah dengan meneliti
pertemuan atau hubungan antara perawi-perawi (murid dan guru atau sami’ dan mudi’) yang ada didalam
sanad dengan melihat riwayat hidup (tarjamah) masing-masing.
Adalah hadis yang gugur atau terputus dua perawi atau lebih di pertengahan sanad secara berurutan
(mutawaliyan). Sikap perawi dalam menggugurkan perawi dalam riwayat dinamakan I’dhal ()إعضال.
Mudallas merupakan kata dalam bentuk maf’ul yang berasal dari mashdar tadlis. Secara harfiah kata mudallas
berarti sesuatu yang dibuat menjadi gelap atau dijadikan samar-samar, atau tidak jelas.
Hadis mudallas adalah hadis yang terdapat perawi yang digugurkan oleh seorang perawi secara sengaja
dengan maksud untuk menutupi aibnya. Adapun perawi yang menutupi aib diatasnya (gurunya) dinamakan
mudallis, sedangkan perbuatannya dinamakan tadlis.
1) Hadis Mudltharib
Kata mudltharib merupakan bentuk kata pelaku (isim fa’il) dari masdar idlthirab yang berarti perubahan atau
kerusakan. Hadis mudltharib adalah hadis yang riwayatnya atau matannya berlawan-lawanan, baik dilakukan
oleh seseorang atau banyak perawi, dengan cara menambah, mengurangi ataupun mengganti.
Hadis-hadis mudltharib jumlahnya tidak sedikit. Syaikh al-Islam al-Hafidh telah mengumpulkannya dalam kitab
al-Muqtarib fi Bayan al-Mudltharib.
2) Hadis Maqlub
Maqlub berarti yang digantikan atau dibalikkan. Dia adalah kata benda dalam bentuk isim maf’ul dari kata qalb
yang berarti berubah-ubah atau berganti-ganti.
Hadis maqlub adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terjadi keterbalikan, baik
dalam sanad maupun dalam matan misalnya dengan mendahulukan bagian belakang, atau mengakhirkan
yang terdahulu.
3) Hadis Syadz
Secara harfiah kata syadz berarti seorang yang menyendiri (munfarid) dari kelompok umum (jumhur). Hadis
syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh tetapi berlainan dengan riwayat dari
kebanyakan perawi yang tsiqah pula. Kebalikan dari hadis syadz adalah hadis mahfudh.
5) Hadis Matruk
Secara harfiah, kata matruk berarti ditinggalkan. Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang
perawi yang tertuduh sebagai pendusta, baik terkait dengan masalah hadis maupun masalah lainnya, atau
tertuduh sebagai seorang fasiq, atau Karena sering lalai dan salah, ataupun banyak sangka.
6) Hadis Mu’allaq
Adalah hadis yang gugur perawinya, baik seorang, dua orang maupun semuanya pada awal sanad. Sikap
perawi dalam menggugurkan perawi sebelumnya disebut dengan terma ta’liq
BAB III
PENUTUP
1. A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas disimpulkan bahwa
1. Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadis terbagi menjadi dua
macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis Ahad.
2. Ditinjau dari segi kualitas, para ulama membagi tiga bagian, yaitu hadis Shahih, hadis Hasan dan hadis
Dha’if.
3. Ditinjau dari status wurudnya terdapat, hadis makbul dan Marsdud.
1. B. Saran
Pada penyusunan makalah ini kami sangat menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang
terdapat di dalamnya baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik
dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Al Maliki, Muhammad Alawi.2009.Ilmu Ushul Hadis.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Amru, Abdul Mun’im Salim. 1997. Tafsir Ulumul Hadis. Kairo: Maktabah Ibnu Taymiyah
As-Shalih. 2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Pustaka Firdaus: Jakarta
Asyshidieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.Jakarta : Indonesia
Ismail, M. Syuhudi.1993.Pengantar Ilmu Hadis.Bandung : Angkasa.
Majid Khon, Abdul. 2009. Ulumul Hadis. Bumi Aksara: Jakarta
Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Pustaka Setia: Bandung
Rahman, Facthur.1991. Ikhtishar Mushtalatul Hadis. Bandung: PT Alma’arif.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Bandung : Angkasa.
Zuhri, Muh.2003.Hadis Nabi Telaah dan Metodologis.Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya