PENDAHULUAN
Kajian-kajian ilmiah menunjukkan bahwa bangsa Arab telah mengenal tulisan
sebelum kedatangan Islam. Mereka mencatat peristiwa penting di atas bebatuan.
Penelitian-penelitian terhadap benda-benda purbakala memberikan bukti kuat
akan hal tersebut, yang merujuk kepada abad III masehi. Sehingga dapat
dikatakan bahwa ketika Islam datang, telah banyak mereka yang bisa menulis.
Tidak bisa diragukan lagi, bahwa tradisi tulis sudah tersebar pada masa nabi
Muhammad SAW dalam cakupan yang lebih luas daripada masa pra Islam. Ini
dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti bahwa ketika nabi masih hidup, para
sahabat banyak yang mencatat hal-hal yang didiktekan beliau kepada mereka.
Ada juga sejumlah sahabat yang menyimpan surat-surat Nabi SAW atau
salinannya. Ḥudzaifah RA menuturkan bahwa Nabi Muhammad SAW meminta
untuk dituliskan nama orang-orang yang masuk agama Islam, maka Ḥudzaifah
pun menuliskannya sebanyak 1.500 orang. Selain itu ada juga aturan registrasi
nama orang-orang yang mengikuti perang. Selanjutnya, seperempat abad
sesudah Nabi SAW wafat, di Madinah sudah terdapat gudang kertas yang
berhimpitan dengan rumah ‘Utsmân bin ‘Affân. Lalu menjelang akhir abad
pertama pemerintah pusat membagi-bagi kertas kepada para gubernur.
Jumlah penulis bertambah banyak setelah hijriah, tatkala pemerintahan Islam
telah stabil. Sembilan masjid yang ada di Madinah, di samping masjid Rasul,
menjadi pusat kegiatan kaum Muslim. Mereka mempelajari Al-Qur’an, ajaran-
ajaran Islam, membaca dan menulis. Yang paling terkenal di antara pengajar-
pengajar masa awal itu adalah Sa’ad bin Ar-Rabî’ Al-Khazrajî, Busyair bin Sa’ad
bin Tsa’labah, Abbân bin Sa’îd bin Al-’Âsh, dan lainnya.
Semakin lama dan berkembangnya agama Islam di dunia, maka mulai pula
upaya untuk menulis dan membukukan hadis, atau juga disebut kodifikasi hadis.
Yang dimaksud dengan kodifikasi hadis atau tadwîn hadis pada periode ini
adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala negara, dengan
melibatkan beberapa sahabat yang ahli di bidangnya.
Pada abad pertama hijriah, yakni masa Rasulullah SAW, Khulafâ` Ar-Râsyidîn,
dan sebagian besar masa Bani Umayyah hingga abad pertama hijriah, hadis-
hadis terus berpindah dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing
perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya.
Hapalan mereka terkenal kuat hingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis
yang pernah di rekam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis nabi secara
tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah ‘Umar bin Khaththâb.
Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh ‘Umar, karena khawatir bila umat
Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.
Untuk lebih jelas dalam memahami perihal kodifikasi hadis ini, maka pada
makalah ini akan dibahas mengenai kodifikasi hadis, dan sejarah penulisan
hadis serta pembukuannya.
1. Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka dengar dari
Rasulullah SAW.
2. Dengan makna saja, yakni hadis tersebut disampaikan dengan mengemukakan
makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi SAW.
Kecuali, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadis-hadis beliau
seperti ‘Abd Allâh bin ‘Amr, dan pernah suatu waktu
Rasulullah SAW berkhutbah, setelah seorang dari Yaman datang dan
berkata, “Ya Rasulullah tuliskanlah untukku”, Rasul menjawab, “Tulislah Abû
Syah ini”.
Kembali kepada pelarangan Rasulullah SAW dalam penulisan hadis. Tujuan
Rasulullah SAW adalah agar Al-Qur’an tidak bercampur dengan apapun,
termasuk perkataan beliau sendiri. Ketika menemukan ternyata ada shaḥîfah–
shaḥîfah berisi hadis pada masa Rasulullah SAW, maka tidak akan berani
dikatakan bahwa para sahabat menghiraukan perintah Rasulullah SAW.
Periode Kedua (Masa Khulafâ` Ar-Râsyidîn)
Pada masa perintahan Abû Bakar RA dan ‘Umar bin Khaththâb RA,
pengembangan hadits tidak begitu pesat, hal ini disebabkan kebijakan kedua
khalifah ini dalam masalah hadis, mereka menginstruksikan agar berhati-hati
dalam meriwayatkan hadis. Bahkan khalifah ‘Umar bin Khaththâb RA dengan
tegas melarang memperbanyak periwayatan hadis. Hal ini dimaksudkan agar Al-
Qur’an terpelihara kemudiannya dan umat Islam memfokuskan diri dalam
pengkajian Al-Qur’an dan penyebarannya.
Lain halnya pada masa khalifah ‘Utsmân bin ‘Affân RA dan ‘Alî bin Abî
Thâlib RA, mereka sedikit memberi kelonggaran dalam mengembangkan hadis
tetapi mereka masih sangat berhati-hati agar tidak bercampur dengan Al-Qur’an,
Khalifah ‘Alî bin Abî Thâlib RA melarang penulisan selain Al-Qur’an,
sesungguhnya hanya ditujukan untuk orang-orang awam, karena beliau sendiri
memiliki shaḥîfah yang berisi kumpulan hadis.
Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tâbi’în Besar)
Setelah berakhirnya masa pemerintahan ‘Alî bin Abî Thâlib RA, umat Islam
dilanda fitnah besar, di mana mereka terpecah menjadi tiga golongan: (1)
Golongan pendukung ‘Alî (Syi’ah), (2) Golongan pendukung Muâwiyah dan (3)
Golongan Khawârij.
Dalam perkembangannya golongan-golongan ini mulai memalsukan hadis
dengan tujuan membenarkan golongan mereka dan menjatuhkan golongan yang
lain. Hal ini mendorong para sahabat dan tâbi’în lebih berhati-hati dalam
meriwayatkan dan mengumpulkan hadis. Tapi, bagaimanapun belum ada
kodifikasi secara formal.
Periode At-Tâbi’în
Pada tahun 100 H, Khalifah ‘Umar bin ‘Abd Al-’Azîz memerintahkan kepada
Gubernur Madinah, Abû Bakar bin Muḥammad bin Amîr bin Ḥazm untuk
membukukan hadis-hadis nabi dari para penghapal.
ُهللا صلَّى هللا عليه َو سلَّم َفاجْ َمعُوه
ِ رسول
ِ َ
حديث ُ ا ْن
ظرُوا
Artinya: “Lihatlah Hadis Rasulullah kemudian himpunlah ia.”
Selain kepada gubernur Madinah, Khalifah juga menulis surat kepada gubernur
lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis
surat kepada Abû Bakar Muḥammad bin Muslim bin ‘Ubaidillâh bin Syihâb Az-
Zuhrî. Kemudian, Syihâb Az-Zuhrî mulai melaksanakan perintah khalifah
tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali membukukan
hadis.
Setelah generasi Az-Zuhrî (w. 124 H), pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibnu
Juraij (w. 150 H), Ar-Rabî’ah bin Shâbih (w. 160 H), dan masih banyak lagi
ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai
sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna.
Pada masa pemerintahan bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H,
dilakukan upaya penyempurnaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif
untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukukan dan penulisan
hadis Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga
sekarang dan sampai kepada pembaca, antara lain Al-Muwaththâ` oleh Imâm
Malik dan Al-Musnad oleh Imâm Asy-Syâfi’î.
Periode Tâbi’ At-Tâbi’în
Periode Tâbi’ At-Tâbi’în artinya periode pengikut Tâbi’în yakni pada abad III dan
IV Hijriah. Pada periode abad 3 H ini disebut masa kejayaan sunnah, karena
pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya
mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa.
Pembukuan hadis itu dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis,
seperti Bukhârî, Muslim, Tirmidzî, Nasâ`î, Abû Dâwud, Ibnu Mâjah, dan lain-lain.
Metode SHAḤÎFAH
Shaḥîfah berasal dari kata shaḥf atau bisa diartikan lembaran-lembaran. Ada
beberapa sahabat yang menulis beberapa hadis nabi SAW, atas izin dari beliau
sendiri. Shaḥîfah berisikan beberapa hadis nabi yang para sahabat catat.
Namun saat ini tidak bisa diketahui semua isi shaḥîfah itu, karena sebagian
sahabat dan tâbi’în telah membakar atau menghapus shaḥîfah yang ada pada
mereka sebelum wafat. Sebagian juga ada yang mewasiatkan shaḥîfah-nya
kepada orang-orang yang mereka percaya. Mereka melakukan itu karena
mengkhawatirkan shaḥîfah itu akan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak
ahlinya.
Salah satu shaḥîfah yang ditemukan antara lain Shaḥîfah Amîr Al-Mukminîn ‘Alî
bin Abî Thâlib yang beliau gantungkan pada pedang yang berisi keterangan
tentang umur-umur unta, beberapa hal tentang luka-luka, keharaman Madinah
dan tentang seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh seorang
kafir.
Metode MASÂNID
Al-Masânid, jamak dari sanad, yakni buku-buku yang berisi tentang kumpulan
hadis dari setiap sahabat secara tersendiri, baik hadis shaḥîḥ, ḥasan, atau dha’îf.
Urutan nama para sahabat di dalam musnad terkadang berdasarkan huruf
hijaiyah atau alfabet Arab, dan ini paling mudah untuk dipahami, serta terkadang
juga berdasarkan pada kabilah dan suku, atau berdasarkan yang paling dahulu
masuk Islam, atau berdasarkan negara tempat tinggal.
Pada sebagian musnad, terkadang hanya terdapat kumpulan hadis salah
seorang sahabat saja atau hadis sekelompok para sahabat seperti sepuluh
orang sahabat yang dijamin masuk Surga.
AT-TARGHÎB WA AT-TARHÎB
At-Targhîb wa At-Tarhîb adalah kitab-kitab hadis yang berisi kumpulan hadis
tentang targhîb (motivasi) terhadap perintah agama, atau tarhîb (ancaman)
terhadap larangannya, seperti targhîb untuk birr al–wâlidain (anjuran taat kepada
kedua orang tua) dan tarhîb untuk tidak durhaka kepada keduanya. Karya-karya
tentang ini antara lain:
1. At-Targhîb wa At-Tarhîb karya Zakî Ad-Dîn ‘Abd Al-‘Azhîm bin ‘Abd Al-Qawî Al-
Mundzirî (w. 656 H)
2. At-Targhîb wa At-Tarhîb karya Abî Ḥafsh ‘Umar bin Aḥmad, atau lebih dikenal
dengan nama Ibnu Syâhin (w. 385 H).
Buku tentang kezuhudan, keutamaan amal, adab, dan akhlak
Kitab-kitab yang ditulis dengan metode ini, antara lain: