Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ULUMUL HADITS
(Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits)
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits

Disusun oleh:
Amjad Fuad Hadi (NIM: 13.02.0006)
Sigit Dwi Antoro (NIM: 13.02.0002)

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SANGATTA
KUTAI TIMUR
2013

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa permulaan Alquran masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadits
karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Alquran. Pada masa itu, di samping
menyuruh menulis Alquran, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat
Alquran.

Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang penulisan hadits
tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang mengijinkannya.

Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan
sebagaimana Alquran. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam
terdorong untuk membukukan hadits setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang berjauhan
bahkan banyak di antara mereka yang wafat.

Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits
serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota
besar yang lain.

Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama
hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-
Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah dalam memahami sejarah pembukuan hadits dan permasalahannya, dalam
makalah ini, kami membahas tentang :

1. Sejarah penulisan dan pembukuan hadits.

2. Masalah-masalah dalam penulisan dan pembukuan hadits.

3. Latar belakang pemalsuan hadits dan upaya penyelamatannya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits

Pada abad pertama Hijriyah, mulai dari jaman Rasulullah SAW, masa Khulafa’ Al-Rasyidin dan

sebagian besar jaman dinasti Umawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits itu
berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada
kekuatan hafalannya. Pada masa ini mereka belum terdorong untuk membukukannya.

Ketika kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H sebagai
seorang khalifah dari dinasti Umawiyah yang terkenal adil, sehingga beliau dipandang sebagai
Khulafa’ Al-Rasyidin yang kelima, tergeraklah hati untuk membukukan hadits. Beliau sadar bahwa
para perawi yang membendaharakan hadits dalam kepalanya kian lama kian banyak yang
meninggal. Beliau khawatir apabila hadits dari para perawinya tidak segera dibukukan, kemungkinan
hadits-hadits tersebut akan lenyap dari muka bumi ini.

Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada gubernur
Madinah, Abu bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm untuk membukukan hadits Rasul dan hadits-
hadits yang ada pada Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq.

‘Umar bin Abdil Aziz menulis kepada Abu Bakar bin Hazm, yang bunyinya :

‘’Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah SAW, lalu tulislah
karena aku takut ilmu akan lenyap disebabkan meninggalnya ulama, dan jangan anda terima
selain dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hendaklah Anda sebarkan ilmu dan
mengadakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang belum mengetahui dapat mengetahuinya,
lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikan barang rahasia.”

Disamping itu ‘Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur ke wilayah yang di bawah
kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah
mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu
ialah : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az Zuhry, seorang tabi’in yang ahli
dalam urusan fikih dan hadits.[1]

2
Kitab hadits yang ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama yang ditulis atas
perintah kepala negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan semestinya. Dan kitab itu
tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Membukukan hadits yang ada di Madinah
itu, dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Muslim bin Syihah az Zuhry yang memang terkenal
sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits di masanya.

Kemudian dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran Abu
Abbas As Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah Abbasiyah.

Pada jaman dahulu, menyusun hadits tidak diberi upah, jangankan upah, tidak disuruh juga mereka
dengan senang hati menyusun hadits tanpa meminnta imbalan. Karena mereka berfikir/berkata
bahwa inilah hasil dari fikiran mereka, dan ini bukanlah suatu pekerjaan yang harus diberi upah.
Ulama jaman dahulu benar-benar berbeda dengan ulama jaman sekarang, mereka benar-benar
berjuang di jalan Allah dan tidak mengharapkan imbalan apapun.

Para pengumpul pertama hadits yang tercatat dalam sejarah adalah :

a. Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H= 669 M – 150 H 767 M).


b. Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (.....H = 151 M - ..... H=768 M), atau Ibnu Dzi’bin. Atau Malik bin Anas
(93 H = 703 M – 179 H = 798 M).
c. Di kota Bashrah, al-Rabi’ bin Shabih (.....H =.....M – 160 H = 777 M). Atau Hammad bin Salamah
(176 H), atau Sa’id bin Arubah (156 H= 773 M).
d. Di Kufah, Sufyan ats Tsaury ( 161 H ).
e. Di Syam, Al-Auza’y (156 H ).
f. Di Wasith, Husyaim al Wasithy ( 104 H = 772 M – 188 H = 804 M ).
g. Di Yaman , Ma’mar al Azdy (95 H = 753 M -153 H = 770 M ).
h. Di Rei, Jarir al Dlabby ( 110 H = 728 M – 188 H = 804 M ).
i. Di Khurasan, bin Mubarak (118 H = 735 M - 18 H = 797 M ).
j. Di Mesir, al Laits bin Sa’ad ( 175 M ).

Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al Muwaththa’ susunan Imam
Malik r.a. atas permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H (143 H).

Kitab al Muwaththa’ dianggap paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi daripada
kitab-kitab sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhary belum muncul, dari sistematika itu yang
paling baik.

3
B. Sistem Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan Hadits

Para ulama abad kedua membukukan hadits dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak
membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya itu, bahkan
fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama-sama. Maka terdapatlah dalam
kitab-kitab itu hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’.

C. Masa-masa Hadits di Bukukan

a. Masa Pembentukan Hadits

Masa pembentukan hadits tiada lain adalah pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW itu
sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam
benak atau hafalan para sahabat saja. Periode ini disebut al-wahyu wa al-takwin, yaitu hadits
yang penyampaiannya belum ditulis/masih lisan, hanya masih dalam benak mereka. Periode ini
dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya ( 610 M – 632 ).

b. Masa Penggalian

Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad
SAW pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadits belum ditulis ataupun dibukukan.
Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang
mendorong para sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

c. Masa Penghimpunan

Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima hadits
baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang
syari’at dan aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat dan tabi’in ini sangat
mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut,
sehingga jika ada hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya, diteliti secermat-
cermatnya, siapaa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa
pemerintahan khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in
memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad ke-II H, dan hadits yang
terhimpun belum dipisahkan mana yang merupahan hadits marfu’, mana yang mauquf, dan
mana yang maqthu’.

4
d. Masa Penyusunan

Abad ke-III H merupakan masa pentadwinan (pembukuan) dan penyusunan hadits. Guna
menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai perilaku Nabi
Muhammad SAW, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan
hadits yang termasuk marfu’ (yang sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad), mana yang
mauquf (yang sanadnya hanya sampai kepada sahabat) dan mana yamg maqthu’ (yang sanadnya
hanya sampai kepada tabi’in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini selain telah
dikelompokkan juga dilakukan penelitian Sanad dan rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud
tashih (koreksi/verifikasi ) atas hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad ke-
IV H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah
selesai melakukan pembinaan mahligai hadits. Sedangkan abad ke-V H dan seterusnya adalah
masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun untuk memudahkan mempelajari
dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad ke-IV H.[2]

e. Masa Pembukuan Hadits (dari abad ke-II H sampai abad ke-III H)

Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az Zuhri pada
sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama hadits pada pertengahan abad ke-II H. Perintah
kewarganegaraan mengenai pengumpulan hadits di atas dari khalifah ke-II Abasyiah di Baghdad,
yaitu Abu Ja’far al-Mansur yang memerintah selama 22 tahun (136 – 158 H). Perintah ini
ditujukan kepada Malik bin Anas sewaktu Abu Ja’far Al-Manshur berkunjung ke Madinah dalam
rangka ibadah haji.

Banyak ulama hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan ulama dalam bidang lain
untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam, dan sebagainya. Karena itu masa ini
dikenal dengan “Ashr al-Tadwin” (masa pembukuan). Karya ulama pada masa ini masih
bercampur antara hadits rasul dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan mereka belum
mengklasifikasikan antara hadits sahih, hasan dan dha'if.

Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai masalah yang
sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain dalam satu
karangan.

Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu:

1. Golongan politik: permulaan abad ke-II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan lain-lain yang
bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
5
2. Golongan tukang cerita: mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat ceritanya
dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.

3. Golongan zindik: mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah dan kekacauan di
golongan umat Islam.

Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama pada masa ini mengadakan
perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits dan meneliti sumber-
sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus hadits yang terkenal seperti Yahya bin said
bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi.

f. Kendala Pembukuan Hadits

Terdapat beberapa kendala dalam pembukuan hadits, antara lain :

1. Karena adanya orang-orang yang membuat hadits palsu

2. Ulama tidak/belum memperhatikan dhaif, shahih/hasan, yang penting itu sumbernya dari
Rasulullah SAW

3. Memisahkan hadits maudu’ saja, yang lain tidak.

4. Untuk memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini sudah, ya sudah, yang lain tidak
diurus.

D. Kedudukan dan Keadaan Kitab-kitab hadits abad ke-II H

Di antara kitab-kitab abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama adalah :

1. Al Muwaththa’, karya Imam Malik.

2. Al Musnad, susunan Imam Asy-Syafi’y. Kitab ini merupakan kumpulan hadits-hadits yang
terdapat dalam kitab beliau yang bernama “Al-Um”.

3. Mukhtaliful Hadits. disusun oleh Imam Syafi’i. Di dalamnya, dibahas tentang cara.-cara menerima
Hadits sebagai hujjah clan cara-cara mengkompromikan Hadits yang nampak kontradiksi satu
sama lain.

6
4. Al-Siratun Nabawiyah (Al-Maghazi wa Al-Siyar ). Disusun oleh Ibnu Ishaq. Berisi, antara lain
tentang perjalanan hidup Nabi dan peperangan-peperangan jaman Nabi.

Al Muwaththa’ yang paling terkenal dari kitab-kitab hadits abad kedua dan mendapat sambutan yang
besar sekali dari para ulama. Kitab ini mengandung 1726 rangkain khabar dari Nabi SAW, dari
sahabat dan dari tabi’in.[3] Kitab ini mendapat perhatian dari para ahli, karena itu banyak yang
membuat syarahnya dan yang membuat mukhtasharnya.

Adapun tingkat dan derajat hadits-hadits al-Muwaththa’ itu berbeda-beda. Ada di antaranya yang
shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang dha’if. Imam Asy-Syafi’y pernah berkata, “Kitab yang
paling shahih sesudah Alquran, ialah Al-Muwaththa’.”

Mukhaliful Hadits adalah sebuah kitab Asy-Syafi’y yang penting. Di dalamnya di terangkan cara-cara
menguatkan sunnah dan cara-cara yang mengharuskan kita menerima hadits ahad. Adapun di
dalamnya di terangkan pula cara-cara menyesuaikan hadits-hadits yang terlihat bertentangan satu
sama lainnya. Di dalamnya terdapat pula hasil perdebatan asy-Syafi’y dengan Muhammad bin al
Hasan dan lain-lain.

E. Pemisahan Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits Sirah

Di dalam abad yang kedua ini, mulai dipisahkan antara hadits-hadits tafsir dari hadits umum dan
mulai pula dipisahkan hadits-hadits sirah dan maghazinya. Maka yang mula-mula memisahkan
hadits-hadits sirah, ialah Muhammad bin Ishaq bin Yassar al Muththalaby (151 H). Lalu kitab ini
terkenal dengan nama Sirah ibnu Hisyam.

F. Hadits dalam Abad Ketiga

Ahli hadits abad ketiga mulai bangkit mengumpulkan hadits, mereka memisahkan hadits dari fatwa-
fatwa itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits berdasarkan statusnya. Akan tetapi
satu kekurangan pula yang harus kita akui, ialah mereka tidak memisah-misahkan hadits. Yakni
mereka mencampurkan hadits shahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dla’if. Segala hadits
yang mereka terima, dibukukan dengan tidak menerangkan keshahihannya.

Dapat kita katakan bahwa besar kemungkinan, Shahifah Abu bakar bin Hazm membukukan hadits
saja mengingat perkataan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz kepadanya :

“Jangan Anda terima melainkan hadits Rasul SAW”

7
Awal mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di kota mereka
masing-masing. Namun, keadaan ini dipecahkan oleh Imam Al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula
meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maroko, Naisabur,
Baghdad, Makah, Madinah dan masih banyak lagi kota yang beliau kunjungi.

Beliau membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar diberbagai daerah. Selama 16
tahun lamanya Imam Al-Bukhary menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihnya.

B. Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits.

a. Latar belakang mulai timbulnya pemalsuan hadits.

Di antara hal yang tumbuh dalam abad ketiga ini ialah muncul orang-orang yang membuat
hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali r.a. wafat. Sejak dari timbul fitnah di akhir masa
‘Usman r.a. umat Islam pecah menjadi beberapa golongan.

- Pertama : golongan Ali bin Thalib, yang kemudian dinamakan golongan “Syiah”.

- Kedua : golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah.

- Ketiga : golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu ).

- Keempat: Penganut ajaran tasawuf, di antara pengikut ajaran tasawuf, ada yang pengetahuan
agamanya masih sangat terbatas dan bahkan salah. Tetapi biasanya, orang yang demikian ini
merasa dirinya serba tahu tentang ajaran Islam. Ditafsirkanlah ajaran Islam sesuai dengan
kehendaknya. Dan untuk memperkuat alasan atas pendapat dan pemahamannya itu, maka
dibuatnyalah hadits-hadits palsu. Dan pemalsuan Hadits yang mereka buat, biasanya berkisar
tentang persoalan yang berhubungan dengan “targhib wat tarhib” (berita-berita yang
menggembirakan dan mencemaskan).

Terpecahnya umat Islam tersebut, didorong keperluan dan kepentingan golongan, mereka
mendatangkan keterangan hujjah untuk mendukung. Maka bertindaklah mereka membuat
hadits-hadits palsu dan menyebarkannya kedalam masyarakat.

Mulai saat itu, terdapatlah riwayat-riwayat yang shahih, dan riwayat-riwayat yang palsu, dan kian
hari kian bertambah banyaknya. Awal mula yang melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan
syi’ah, sebagaimana yang diakui sendiri oleh Ibn Abdil Hadid, seorang ulama syi’ah dalam

8
kitabnya Nahlul Balaghah, dia menulis, “Ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits yang
menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah golongan syi’ah sendiri.”

Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan sunnah (jumhur) yang bodoh-bodoh. Mereka juga
membuat hadits untuk mengimbangi hadits-hadits yang dibuat oleh golongan syi’ah. Maka
dapat diambil kesimpulan bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu ialah
Baghdad (kaum syiah berpusat di sana).

b. Langkah-langkah yang diambil untuk memelihara hadits

Melihat adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat, bergeraklah para ulama
untuk membela syariat dan memelihara agama Islam. Mereka berusaha menyaring dan menepis
hadits-hadits yang diriwayatkannya itu. Hadits-hadits yang shahih mereka ambil dan hadits-
hadits yang diduga palsu (maudhu’) mereka tinggalkan. Mulai saat itu timbullah ilmu yang
dinamakan ilmu jarh wa ta’dil. Para ulama menerangkan kejelekan-kejelekan pemalsuan hadits
dan menyuruh manusia untuk berhati-hati, serta menerangkan hadits palsu dan motif
pembuatan hadits palsu.

Telah dijelaskan bahwa di samping para ulama’ membukukan hadits dan memisahkan hadits dari
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in atau memisahkan yang shahih dan dha’if, beliau-beliau itu
memberikan pula kesungguhannya yang mengagumkan untuk menyusun kaidah-kaidah tahdis,
usul-usulnya, syarat menerima riwayat, syarat menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah
yang dipegangi dalam menentukan hadits maudhu’.

9
BAB III
PENUTUP

Dengan memperhatikan apa yang telah diusahakan para ulama dapatlah kita memantapkan, bahwa
merekalah ulama yang mula-mula menciptakan undang-undang (qawaid) untuk membedakan yang
baik dari yang buruk mengenai khabar-khabar dan riwayat-riwayat yang diterima dari antara seluruh
umat, karena memang ulama-ulama Islam sangat berhati-hati benar dalam soal menerima berita
yang disampaikan kepadanya.

Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunah rasul dan untuk menetapkan garis pemisah
antara shahih dan dha’if, istimewa antara hadits-hadits yang ada asal usulnya dengan hadits-hadits
yang semata-mata maudhu’.

[1] Az Zuhry menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Saheh ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud bin al Rabi’,
Sa’id bin Musaiyab dan Umamah bin Saheh.

[2] Shubhi ash Shaleh,’Ulum al-Hadits wa Musthalahuh (Libanon :Dar al-‘Iim al-Malayin, 1977), hal.
45.

[3] Perbedaan Musnad dengan Mushannaf, ialah musnad disusun haditsnya menurut nama perawi
pertama, sedangkan mushannaf disusun menurut bab fiqih. Begitu juga sunan dan shahih.

10
D. PEMALSUAN HADITS
Motif-motif Pemalsuan Hadits
1. Propagandis propagandis politik
Salah satu cara untuk menarik minat orang terhadap apa yang disam. paikannya, adalah dengan
mengemukakan cerita. Cerita itu akan lebih menarik bila dibumbui dengan hal-hal yang menakjubkan, yang
ganjih ganjil dan yang menakutkan.
2. Golongan Zindiq
Golongan yang pada lahirnya memeluk Islam , tetapi batinnya memusuhi Islam.
3. Tukang-tukang cerita
Maka, di antara penyebar ajaran Islam, karena dorongan dan ke¬inginannya yang sarigat besar untuk menarik
minat para hadirinnya, mereka lalu membuat kisah-kisah, dongeng-dongeng dan semacamnya. Celakanya,
kisah-kisah yang dikarangnya itu lalu dilengkapi. dengan ad dan dinyatakan berasal dari Nabi Muhammad.
4. . Penganut ajaran tasawuf
Di antara pengikut ajaran tasawuf, ada yang pengetahuan agamanya masih sangat terbatas dan bahkan salah.
Tetapi biasanya, orang yang demikian ini merasa dirinya serba tahu tentang aj aran Islam. Ditafsirkan¬hh ajaran
Islam sesuai dengan kehendaknya. Dan untuk memperkuat alasan atas pendapat dan pemahamannya itu, maka
dibuatnyalah Hadits¬hadits palsu. Dan pemalsuan Hadits yang mereka buat, biasanya berkisar ~soal-soal yang
berhubungan dengan “targhib wat tarhib” (berita-berita yangmenggembirakan dan mencemaskan).
E. CARA MENGATASI PEMALSUAN HADITS
1. Pemerintah, dalam hal ini dari bani Abbasiyah; berusaha menumpas kaum zindiq.
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat, bahwa bani Abbas menumpas kaum zindiq itu, boleh jadi
karena mereka mem¬buat Hadits-hadits palsu yang merendahkan derajat bani Abbas dan menjauhkan
masyarakat dari bani Abbas. Atau, mungkin para Kha¬lifah bani Abbas bermaksud memelihara agama dari
kerusakan yang dilakukan oleh golongan zindiq.
Usaha pemerintah ini, tentu saja belumlah berhasil secara tuntas menumpas pemalsu-pemalsu Hadits. Sebab,
kaum zindiq yang ditumpas pemerintah itu, barulah salah satu golongan saja di antara golongan Hadits.
Ditambah lagi, karena kaum zindiq ini, merupakan gerakan yang terselubung, maka dalam menumpasnya
tidaklah mudah.
2. Para Ulama berusaha dengan gigih menghadapi pemalsuan-pemal¬suan -Hadits. Caranya, bermacam-
macam. Di antaranya:
a. Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran Hadits-hadits yang diterimanya dan
meneliti sum¬ber-sumbernya, kemudian hasilnya mereka siarkan ke masyara¬kat.
b. Meneliti sanad dan perawi Hadits dengan ketat. Riwayat hidup dan tingkah laku para perawi dan sanad
Hadits diselidiki dengan saksama. Maka lahirlah, istilah-istilah: tsiqah, kadz¬dzab, fulan la ba’sa bihi, dan
sebagainya. Imam Malik misalnya, telah memberi tuntunan kepada penun¬tut/pencari Hadits, dengan
menyatakan: Janganlah mengambil ilmu (Hadits) dari empat macam orang, yaitu:
a. orang yang kurang akal,
b. orang yang mengikuti hawa nafsunya dan mengajak manusia untuk mengikuti hawa nafsunya,
c. orang yang suka berdusta, dan
d. seorang Syaikh yang memiliki keutamaan, kesalihan dan ak¬tif ibadah, tetapi tidak mengetahui apa yang
diriwayatkan¬nya yang berhubungan dengan Hadits.
Pada sekitar tahun 150 H, Ulama mulai memperbincangkan tentang ta’dil dan tajrih. Banyak Ulama yang
terkenal ahli dalam menilai perawi Hadits pada abad II periode keempat ini. Misalnya, Imam Malik, Auza’iy,
Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, Uyaiyah, Ibnu Wahhab, Waki’ Ibnu AI¬Jarrah, Yahya Ibnu Saad AI-Qatthan,
Abdur Rahman Ibnu Mahdi, dan lain-lain. Di antara Ulama tersebut, yang ferkenal memiliki ilmu yang
menda¬lam tentang kritik rijalil Hadits, ada dua orang. Yaitu:
1. Yahya Ibnu Saad Al-Qatthan (wafat th. 193 H).
2. Abdur Rahman Ibnu Mahdi (wafat th. 198 H).

11

Anda mungkin juga menyukai